Operasi Mastoid Revisi pada Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya

dokumen-dokumen yang mirip
Operasi Mastoid Revisi pada Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya

Mastoidektomi Revisi pada Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

Penatalaksanaan Fistula Labirin Akibat Komplikasi OMSK Tipe Bahaya

Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya

Korelasi Pneumatisasi Mastoid dengan Derajat Destruksi Tulang Pada OMSK Disertai Acquired Cholesteatoma Secara CT-Scan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3

PENATALAKSANAAN OMSK 1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (aural toilet)

Abses subgaleal sebagai komplikasi otitis media supuratif kronis

Pemeriksaan Pendengaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

OMSK Tipe Bahaya pada Pasien dengan Kelainan Telinga Kongenital

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Eustachius dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007).

Diagnosis dan Penatalaksanaan Otitis Media Tuberkulosis

Kanaloplasti pada Atresia Liang Telinga Pasca Trauma

Penatalaksanaan Kolesteatom Kongenital Dengan Mastoidektomi Radikal Modifikasi Bondy

(Assessment of The Ear)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Laporan Operasi Tonsilektomi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Otitis Media Supuratif Kronis

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN

Otitis Media Supuratif Kronik pada Anak

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

Perbandingan Miringoplasti Mediolateral dengan Medial dan Lateral

SCLINICAL PATHWAY SMF THT RSU DAERAH Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

PERBANDINGAN MIRINGOPLASTI MEDIOLATERAL DENGAN MEDIAL DAN LATERAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Otitis media supuratif kronis adalah peradangan kronis mukosa telinga

KRITERIA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

BAB 2 TINJUAN KEPUSTAKAAN

1. TES BATAS ATAS BATAS BAWAH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d.

Profil Penderita Otitis Media Supuratif Kronis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN KASUS. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kudus Periode 17 Oktober November 2016

NILAI PREDIKTIF RADIOGRAFI MASDTOID DALAM MENDETEKSI MASTOIDITIS PADA PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

LAMPIRAN 1. STATUS PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Trauma Pada Tingkap Lonjong Akibat Ekstraksi Benda Asing Di Liang Telinga

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK AD AKTIF TIPE AMAN

KEPUSTAKAAN. Aboet A, Radang telinga tengah menahun. Pidato pengukuhan jabatan guru besar

BAB I PENDAHULUAN. Referat Serumen 1

Pola bakteri aerob dan kepekaan antibiotik pada otitis media supuratif kronik yang dilakukan mastoidektomi

Vertigo. DR. Dr. Wiratno, Sp.THT-KL (K)

PERBANDINGAN HASIL PEMERIKSAAN RADIOLOGIK MASTOID DENGAN HASIL PEMERIKSAAN KLINIK PADA PENDERITA

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOMPLIKASI OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

FISIK DIAGNOSTIK THT Dody Novrial

Hubungan ekspresi RANKL dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada otitis media supuratif kronik

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu. infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

12/3/2010 YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN

Asti Widuri Bagian Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

Tes pendengaran rutin untuk diagnosis gangguan pendengaran Rinne, Weber, Schwabah test. Test penala nada tinggi dan nada rendah

AMNION PATCH MIRINGOPLASTI PADA RUPTUR MEMBRAN TIMPANI

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB II KONSEP DASAR. Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang disebabkan oleh suatu infeksi

ANGKA KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI PADA PERFORASI MEMBRANA TIMPANI KECIL, BESAR, DAN SUBTOTAL PADA BULAN JUNI 2003 SAMPAI JUNI 2004

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

Gambaran Audiologi dan Temuan Intraoperatif Otitis Media Supurtif Kronik Dengan Kolesteatoma pada Anak

Kesesuaian Temuan Erosi Tulang Dan Kolesteatoma Pada Tomografi Komputer Preoperatif Dengan Temuan Operasi Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO

SERUMEN PROP. Angga Rizky Permana Dina Nurfadhilah Khairi Maulana Azhari Isnaini Syakira

LAMPIRAN LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI

Definisi Vertigo. Penyebab vertigo

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

RINCIAN KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS THT-KL. Dokter spesialis yang mengajukan : Lulusan : Tahun lulus:

OMPHALOMESENTERIKUS REMNANT

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional dimana hanya diamati satu kali dan pengukuran

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan. suatu kondisi di mana terjadi peradangan pada mukosa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I LATAR BELAKANG. Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera

GAMBARAN AUDIOLOGI PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROK RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI TAHUN

Pengaruh pengobatan konservatif terhadap mucociliar clearance tuba Eustachius penderita OMSK benigna aktif

LAPORAN KASUS. Epistaksis. Oleh : Nanny Herwanto, S.Ked ( ) Pembimbing : dr. Ahmad Dian Wahyudiono, Sp.THT-KL

PERBANDINGAN KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI MEDIOLATERAL DENGAN MEDIAL DAN LATERAL PADA PERFORASI ANTERIOR DAN SUBTOTAL DENGAN PENDEKATAN TRANSKANAL

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media

BAB 4 PUSING BERPUTAR

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

Transkripsi:

Operasi Mastoid Revisi pada Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya Jacky Munilson, Tuti Nelvia Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher / RS. Dr. M Djamil ABSTRAK Operasi mastoid berkembang sebagai penanganan terhadap Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Operasi mastoid revisi dilakukan bila tujuan operasi pertama tidak tercapai. Kegagalan operasi mastoid bisa disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya penanganan air cell yang tidak adekuat, facial ridge yang tinggi, kegagalan membuang semua kolesteatom, meatoplasti yang tidak adekuat dan ketidakpatuhan pasien untuk kontrol setelah operasi. Operasi mastoid revisi biasanya lebih sulit dan berbahaya karena anatomi telinga tengah bisa tidak jelas, landmark dapat hilang dan struktur berbahaya dapat dikenai. Dilaporkan satu kasus operasi mastoid revisi pada seorang laki-laki berumur 25 tahun, yang ditatalaksana dengan timpanomastoidektomi dinding runtuh. Kata kunci : Otitis media supuratif kronik, operasi mastoid revisi, kolesteatom, meatoplasti. ABSTRACT Surgery of the mastoid developed as a treatment for chronic suppurative otitis media. Revision mastoid surgery done if the aim of first surgery not achieved. Failure of mastoid operation may caused by many things, including handling of air cells are not adequate, high facial ridge, failure to remove all cholestetoma meatoplasty in adequate and non adherence of patient to control after surgery. Revision mastoid surgery is usually more difficult and dangerous, because anatomy of the middle ear may be altered, some of the important landmarks may be loss and fragile structures may be exposed. It was reported one case revision mastoid surgery in a man aged 25 years old, management with canal wall down tympanomastoidectomy. Key word : Chronic suppurative otitis media, revision mastoid surgery, cholesteatoma, meatoplasty. PENDAHULUAN Otitis media supuratif kronik dengan kolesteatom adalah penyakit yang sering ditemukan, terutama di negara berkembang. Kolesteatom secara histologis bersifat jinak, tetapi dapat bersifat destruktif secara lokal, yaitu dapat menyebabkan destruksi tulang dan komplikasi lain seperti meningitis, abses otak, labirintitis, dan kelumpuhan syaraf fasialis. 1,2. Kolesteatom dari segi patogenesisnya terbagi dua yaitu kongenital dan didapat. Patogenesis kolesteatom didapat telah menjadi perdebatan selama lebih dari satu abad. Ada 4 teori terbentuknya kolesteatom, yaitu teori invaginasi, migrasi, metaplasi, dan implantasi. 3,4. Operasi mastoid merupakan pengobatan untuk otitis media supuratif kronik. 4 Dikutip dari Chole 5, Riolan pada tahun 1649 menjelaskan tentang prosedur mastoidektomi, John Louis Petit melakukan operasi mastoid pertama pada tahun 1774, JGH Fielitz melaporkan 5 kasus operasi mastoid pada tahun 1785, dan Schwartze mempopulerkan operasi ini pada tahun 1873. Sejak itu teknologi untuk operasi mastoid ini terus berkembang, seperti pemakaian mikroskop, bor dan berbagai peralatan bedah mikro. 6 Indikasi untuk dilakukan operasi revisi adalah bila tujuan operasi pertama tidak tercapai. Penyebab kegagalan operasi mastoid diantaranya penanganan air cell yang tidak adekuat, tidak berhasil membuang semua kolesteatom, facial ridge yang tinggi, dan meatoplasti yang tidak adekuat. 1,6,7 Operasi revisi biasanya lebih sulit dari operasi pertama, karena anatomi dari telinga tengah bisa tidak jelas, landmark bisa hilang, dan struktur yang berbahaya dapat dikenai. 1,6. LAPORAN KASUS Seorang pasien laki-laki, berumur 25 tahun, datang ke poli THT pada tanggal 15 Juni 2011, dengan membawa surat pengantar dari poliklinik rumah sakit Cipto Mangunkusumo dengan keluhan telinga berair sejak kecil, warna cairan kekuningan dan berbau, cairan yang keluar hilang timbul terutama bila batuk pilek. Riwayat operasi telinga 2 tahun yang lalu di RS daerah. Telinga yang dioperasi ini tidak berair selama 2 bulan setelah operasi, setelah itu kembali 1

berair. Pasien sudah berobat tetapi tidak sembuh. Pendengaran telinga menurun, tidak ada sakit kepala, tidak ada pusing berputar, dan tidak ada muntah proyektil. Pada pemeriksaan THT-KL pada regio mastoid tampak sikatrik bekas operasi, liang telinga lapang, sekret mukopurulen berwarna kekuningan, dan membrana timpani perforasi atik. Pada telinga kiri didapatkan liang telinga lapang, tidak ada sekret, membran timpani utuh, reflek cahaya positif. Pemeriksaan hidung rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior dalam batas normal. Tenggorok dalam batas normal. Laringoskop indirek dalam batas normal. Pada test penala didapatkan tuli konduktif di telinga. Tes penala (tabel1) Tabel 1. Tes penala kiri Rinne (-) (+) Weber Lateralisasi ke Gambar 2. Rontgen mastoid posisi Schuller setelah operasi pertama memperlihatkan air cell sklerotik dan destruksi tulang mastoid. Pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan Computer Tomografi Scanning (CT Scan) mastoid dan didapatkan pneumatisasi air cell mastoid tampak sangat berkurang dengan gambaran perselubungan pada mastoid, tampak destruksi tulang mastoid dan sklerotik, tidak tampak abses. Mastoid kiri baik. Kesannya mastoiditis AD dengan kolesteatom. (gambar 3,4) Swabach memanjang Sama dengan pemeriksa Pasien didiagnosis dengan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) tipe bahaya. Dilakukan pengambilan sekret liang telinga untuk kultur dan sensitivity test. Diberikan terapi siprofloksasin tablet 2x500 mg, H2O2 3% 2x5 tetes dan ofloksasin 3% 2x5 tetes di telinga. Pasien telah dilakukan Rontgen mastoid posisi Schuller sebelum operasi pertama yaitu tanggal 18 September 2009 di rumah sakit daerah (gambar 1) dan setelah operasi waktu berobat di RSCM tanggal 25 April 2011 (gambar 2). Gambar 3. CT Scan mastoid potongan koronal. Kesan destruksi tulang, mastoiditis dan kolesteatom di telinga. Gambar 4. CT Scan mastoid potongan aksial. Pada pasien ini diberikan informed consent dan pasien setuju. Pasien dipersiapkan untuk dilakukan operasi mastoid revisi. Hasil pemeriksaan laboratorium darah, Hb 15 gr/dl, leukosit 5600/mm 3, hematokrit 47 %, trombosit 295.000/mm, PT 11,5 detik, APTT 41,5 detik. Pada pemeriksaan audiometri didapatkan tuli konduktif derajat sedang-berat dengan ambang dengar 61,25 db pada telinga.(gambar 5) Gambar 1. Rontgen mastoid posisi Schuller sebelum operasi pertama memperlihatkan air cell yang sangat berkurang. 2

Gambar 5. Audiometri sebelum operasi, tuli konduktif sedang berat 61,25 db pada telinga Pasien ini dilakukan operasi tanggal 20 Juni 2011, dengan prosedur operasi, pasien telentang di meja operasi dalam anestesi umum dan kepala miring ke kiri. Dilakukan tindakan septik antiseptik. Liang telinga dievaluasi dengan mikroskop, tampak membran timpani perforasi atik, ditemukan sekret mukopurulen, dibersihkan dengan H2O2 3%. Selanjutnya dilakukan penandaan insisi 3 mm retroaurikular. Dilakukan infiltrasi dengan epinefrin 1:200.000 di regio retroaurikula. Dilakukan insisi tegak lurus terhadap kulit dan tangensial terhadap liang telinga. Dilakukan pengambilan graft dari fasia temporalis profunda. Insisi kulit diperdalam sampai terlihat korteks mastoid, dibuat insisi T untuk meluaskan lapangan operasi, dipasang retraktor, tampak tulang mastoid destruksi dan terlihat kolesteatom. Dilakukan pengeboran, tampak kolesteatom memenuhi antrum, semua kolesteatom dibersihkan. Facial ridge direndahkan. sinodural angle dibersihkan. Didapatkan tegmen intak, sinus sigmoid intak, kanalis semisirkularis intak, dan kanalis fasialis intak. Dinding posterior liang telinga diruntuhkan, korda timpani intak, tampak kolesteatom di kavum timpani dan tulang pendengaran telah hancur, kolesteatom dibersihkan. Graft diletakkan membentang diatas kavum timpani di regio foramen ovale dan difiksasi dgn spongostan. Dilakukan meatoplasti dengan membuang sebagian kartilago konka, sehingga liang telinga sangat lapang menyesuaikan dengan dinding posterior liang telinga yang diruntuhkan. Dilakukan obliterasi kavitas operasi dengan menggunakan flap jaringan lunak sekitar lapangan operasi. Luka operasi dijahit lapis demi lapis. Operasi selesai. Setelah operasi diberikan terapi injeksi seftriakson 2x1 gram, injeksi deksametason 3x5 mg, pseudoefedrin 120 mg + loratadin 5 mg 2x1 kapsul, Ambroksol 3x30 mg, dan drip tramadol. Follow up tanggal 21 Juni 2011. Pasien tidak demam, tidak ada sakit kepala, tidak ada pusing berputar, tidak ada wajah mencong, ada nyeri pada lapangan operasi. Status lokalis tht didapatkan telinga tertutup perban, tidak ada darah merembes, tidak tercium bau. Hidung dan tenggorok dalam batas normal. Diagnosa Post timpanomastoidektomi dinding runtuh AD(auris dekstra) hari pertama atas indikasi OMSK AD tipe bahaya. Diberikan terapi injeksi seftriakson 2x1 gram, injeksi deksametason 3x5 mg, pseudoefedrin 120 mg + loratadin 5mg 2x1 kapsul, ambroksol 3x30 mg, dan drip tramadol. Follow up tanggal 23 Juni 2011, Pasien tidak demam, tidak ada sakit kepala, tidak ada pusing berputar, tidak ada wajah mencong, nyeri lapangan operasi berkurang. Status lokalis tht didapatkan telinga terpasang tampon sofratul, tidak ada darah merembes, tidak bau, regio auris dekstra (RAD) luka operasi tenang, tidak ada pus. Hidung dan tenggorok dalam batas normal. Diagnosa post timpanomastoidektomi dinding runtuh AD hari ke-3 atas indikasi OMSK AD tipe bahaya. Dilakukan ganti perban luar. Hasil kultur sekret telinga didapatkan kumannya Pseudomonas spp, sensitif terhadap gentamisin, siprofloksasin, ceftazidim, netilmisin, cefoperazon. Terapi pasien diganti dgn injeksi seftazidime 2x1 gram, injeksi deksametason 3x5 mg, pseudoefedrin 120 mg + loratadin 5 2x1 kapsul, ambroksol 3x30 mg, ofloxasin tetes telinga 2x5 tetes AD, drip tramadol diganti asam mefenamat 3x500 mg Follow up tanggal 25 Juni 2011, dari anamnesa tidak ada demam, tidak ada sakit kepala, tidak ada wajah mencong, pusing tidak ada pusing berputar, nyeri lapangan operasi minimal. Pada status lokalis tht didapat telinga, liang telinga tertutup tampon sofratul, tidak ada darah merembes, tidak bau, RAD luka bekas insisi tenang, pus tidak ada. Hidung dan tenggorok dalam batas normal. Diagnosis Post timpanomastoidektomi dinding runtuh AD hari ke-5 ai OMSK AD tipe bahaya. Dilakukan ganti perban, jahitan retroaurikula dibuka selang seling. Diberikan terapi injeksi seftazidime 2x1 gram, injeksi deksametason 3x5 mg, pseudoefedrin 120 mg + loratadin 5 2x1 kapsul, Ambroksol 3x30 mg, dan asam mefenamat tablet 3x500 mg bila nyeri. Follow up tanggal 27 Juni 2011. Pasien tidak ada demam, tidak ada sakit kepala, tidak ada wajah mencong, tidak ada pusing berputar, nyeri lapangan operasi minimal. Status lokalis THT pada telinga, liang telinga tertutup tampon sofratul, tidak ada darah merembes, tidak bau. Pada regio aurikular dekstra, luka bekas insisi tenang. Hidung dan tenggorok dalam batas normal. Diagnosis post timpanomastoidektomi dinding runtuh AD hari ke-7 atas indikasi OMSK AD tipe bahaya. Dilakukan ganti perban, jahitan retroaurikula dibuka semuanya. Pasien boleh pulang. Terapi siprofloksasin tablet 2x500 mg, ofloxasin tetes telinga 2x5 tetes AD, asam mefenamat bila nyeri. Kontrol ke poli THT 3 hari lagi. Kontrol tanggal 4 Juli 2011. Telinga berair tidak ada, tidak ada demam, tidak ada batuk, tidak ada pilek, tidak ada cairan keluar dari telinga. Pemeriksaan telinga, liang telinga sangat lapang, tidak ada 3

sekret, debris ada, graft sukar dinilai. Hidung dan tenggorok dalam batas normal. Dan dilakukan tes penala (tabel 2) debris dan nekrotik, gambaran sesuai dengan kolesteatom ( gambar 6) Tabel 2. Tes penala pasien post operasi hari ke 14, kesan tuli konduktif AD kiri Rinne (-) (+) Weber Lateralisasi ke Swabach memanjang Sama dengan pemeriksa Diagnosis Post timpanomastoidektomi dinding runtuh AD hari ke-14 atas indikasi OMSK AD tipe bahaya. Dilakukan buka tampon dalam. Dan diberikan terapi siprofloksasin tablet 2x500 mg, ofloxasin tetes telinga 2x5 tetes AD. Kontrol tanggal 14 Juli 201, dari anamnesis didapatkan tidak ada telinga berair, tidak ada demam, tidak ada batuk, tidak ada pilek, tidak ada cairan keluar dari telinga, pendengaran telinga dirasakan ada perbaikan sedikit dibandingkan sebelum operasi. Status lokalis THT pada telinga, liang telinga sangat lapang, tidak ada sekret, debris positif, graft tampak tumbuh. Telinga kiri liang telinga lapang, tidak ada sekret, membran timpani utuh, refleks cahaya positif. Hidung dan tenggorok dalam batas normal. Dilakukan tes penala ulang pada pasien ini (tabel 3) Tabel 3. Tes penala pasien post operasi hari ke 24, kesan tului konduktif AD kiri Rinne (-) (+) Weber Lateralisasi ke Swabach memanjang Sama dengan pemeriksa Diagnosis Post timpanomastoidektomi AD hari ke-24 ai OMSK AD tipe bahaya. Dilakukan ear toilet, dan diberikan terapi ofloksasin tetes telinga 2x5 tetes AD. Hasil pemeriksaan histopatologi tampak potongan epitel berlapis gepeng, dengan massa keratin, Gambar 6. Gambaran histopatologi sesuai dengan kolesteatom. Kemudian pasien meminta untuk kembali ke Jakarta, karena harus masuk kembali bekerja, dan kontrol ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Dilakukan audiometri dengan hasil tuli konduktif derajat sedang, dengan ambang dengar 46,25 db (gambar 7) Gambar 7. Audiometri setelah operasi, dengan hasil tuli konduktif sedang berat 46,25 db pada telinga DISKUSI Pasien ini datang ke poli THT M.Djamil dengan keluhan telinga masih berair, dengan riwayat pasien sudah pernah operasi telinga 2 tahun yang lalu di rumah sakit daerah, tidak berair selama 2 bulan, setelah itu berair lagi. Pasien sudah berobat, tetapi masih tetap berair. Pada penelitian Cho Y.S 8 tahun 1997-2004 didapatkan pasien yang akan menjalani operasi revisi mastoid mempunyai keluhan telinga berair sebanyak 72,6%. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan penunjang Rontgen mastoid posisi Schuller, terdapat gambaran berkurangnya pneumatisasi di telinga. Rontgen mastoid posisi Schuller menggambarkan luasnya pneumatisasi sel mastoid, menampakkan lempeng tegmen, lempeng sinus, dan daerah epitimpanum. 9 CT Scan mastoid pasien ini memperlihatkan gambaran kolesteatom dan destruksi tulang. Pemeriksaan penunjang ini penting, meski bukan suatu 4

keharusan, terutama dengan kecurigaan adanya kolesteatom, CT scan memperlihatkan lebih baik ada tidaknya erosi atau destruksi dinding lateral atik, erosi aditus ad antrum, erosi osikel, fistula labirin, erosi tegmen timpani. 6,9 Penyebab tersering kegagalan operasi adalah 1. facial ridge yang tinggi, 2. Meatoplasti yang tidak adekuat, dan 3. Tulang yang bergaung. Skema penyebab tersering dari kegagalan operasi mastoid (gambar 8). 6 Pasien ini di rumah sakit daerah dilakukan operasi simple mastoidectomy, karena waktu itu hanya ditemukan jaringan granulasi. Atallah 1 melaporkan angka kejadian timbulnya kolesteatom setelah operasi mastoid adalah 7,6%-57%. Sedangkan menurut penelitian Faramarzi 10 pada pasien yang dilakukan operasi revisi pada tahun 2004-2006, dari 116 telinga operasi revisi, kolesteatom dideteksi pada 71 telinga(61,20%). 10 Kolesteatom terbentuk karena proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida karena adanya te negatif di telinga tengah. 3,11 Gambar 8. Skema penyebab tersering kegagalan operasi adalah 1. facial ridge yang tinggi, 2. Meatoplasti yang tidak adekuat, dan 3. Tulang yang bergaung. Meruntuhkan dinding posterior liang telinga adalah pilihan untuk kasus dengan adanya kolesteatom. Dengan meruntuhkan dinding posterior dari liang telinga merupakan eradikasi total dari kolesteatom. 2 Pada pasien ini kolesteatom ditemukan pada antrum mastoid. Pada penelitian Faramarzi 10, kolesteatom ditemukan terbanyak pada sinodural angle (28,28%), di atik(23%), tip mastoid (13%), di hipotimpani(5%). Menurut penelitian Bercin 12 pada tahun 2005-2008 mendapatkan kegagalan operasi pada mastoidektomi dinding runtuh adalah kolesteatom dan meatoplasti yang tidak adekuat pada 80,9% kasus, sel udara di sinodural angle dan resesus supra tuba yang tertutup pada 71,4% kasus, facial ridge yang tinggi, air cell yang tidak bersih di apex mastoid pada 52,4% kasus. Penyebab kegagalan pada mastoidektomi dinding utuh adalah kolestatom pada 78,6% kasus, pembersihan sel udara di sinodural angle dan apeks mastoid yang tidak adekuat pada 57,1% kasus. Pada pasien ini juga ditemukan facial ridge yang tinggi. Facial ridge yang tinggi dikenal sebagai beginner hump, dapat menyebabkan higiene lokal yang tidak baik, merupakan obstruksi mekanik. Ini bisa menyebabkan akumulasi debris, dan juga mencegah hubungan antara kavum mastoid dan telinga tengah. 8,10,12 Pada pasien ini dilakukan operasi mastoid revisi, dengan landmarks operasi yang sudah tidak jelas, dalam operasi struktur berbahaya tidak dikenai. Literatur mengatakan bahwa operasi mastoid revisi lebih banyak komplikasi dan lebih beresiko dibandingkan operasi pertama dimana perlu untuk membersihkan semua kelainan pada air cell, merendahkan facial ridge, dinding lateral epitimpani, perhatian khusus pada tip mastoid, sinodural angle, sel tegmental, dan hipotimpanum. Kecenderungan untuk terkena saraf fasialis adalah besar, tetapi ini dapat dikurangi dengan penggunaan mikroskop yang baik dan keahlian dari operator. 12,13 Pada pasien ini dilakukan meatoplasti. Pada penelitian didapatkan penyebab mekanik yang menyebabkan tertahannya debris pada 23% kasus adalah meatoplasti yang tidak adekuat. meatoplasti dapat dikerjakan dengan teknik membuang kartilago konka, atau dibuat insisi vertikal pada celah antara rim heliks anterior dan tragus menuju ke liang telinga dan dilebarkan, ini menyesuaikan dengan bentuk tulang yang dinding poterior liang telinga yang diruntuhkan. 7,10,14 Pada pasien ini meatoplasti dilakukan dengan membuat insisi dan membuang kartilago konka, menyesuaikan dengan dinding posterior liang telinga yang diruntuhkan. Teknik lain untuk mendapatkan meatoplasti yang adekuat, teknik lain adalah endaural meatoplasti, Z plasti, dan Y plasti. 7,12,15,16 Pada pasien ini didapatkan tulang pendengaran telah hancur. Pada penelitian Salami 13 menemukan erosi dari tulang pendengaran maleus, inkus dan stapes 24 pasien (80%). 5 Pada pasien ini dilakukan obliterasi kavitas operasi yaitu dengan flap jaringan sekitar operasi. Beberapa ahli menganjurkan obliterasi kavitas operasi dengan menggunakan kartilago, graft dari lemak perut, dan jaringan lunak lokal. 6 Strategi operasi revisi mastoidektom, pertama yang dilakukan adalah identifikasi nervus fasialis, membuang tulang yang bergaung, dan menipiskan tulang yang menutupi sinus sigmoid, memperluas sinodural angle, merendahkan fasial ridge, membuang anterior dan posterior buttress, membuat meatoplasti yang adekuat. 2,6 Kegagalan operasi pertama pasien ini kemungkinan tidak bersihnya seluruh jaringan patologis, atau karena ditemukan ada tulang yang bergaung, yang menyebabkan sulitnya drainase. Dari penelitian Bhatia yang dikutip dari Faramarzi mendapatkan kegagalan operasi disebabkan karena adanya tulang yang bergaung. 10 Pada pasien ini secara subjektif ada perbaikan pendengaran setelah operasi, dari pemeriksaan audiometri didapatkan peningkatan ambang dengar 15 db, padahal tulang pendengaran sudah hancur, ini 5

dimungkinkan karena dipasang graft yang dibentangkan di kavum mastoid. Pada penelitian Atallah 1 didapatkan adanya peningkatan pendengaran secara subjektif pada 71% pasien. Setelah dilakukan operasi mastoid terutama dengan adanya kolesteatom, sangat penting perawatan setelah operasi. idealnya pasien setelah operasi mastoid tetap kontrol selama bertahun-tahun. 9,17 16. Suskind D.L, Bigelow C.D, Knox G.W. Y modification of fish meatoplasty. Otolaryngol Head Neck surgery. 2009; 121: 126-7. 17. Kim M.Y, Yeo S.G. Long term clinical efficacy of lokal care of post surgical lokalized cholesteatomas. Journal of medical science research. 2007; 2: 43-48. DAFTAR PUSTAKA 1. Atallah SM, Al Anazy F, Al Dousary S. Surgical findings in revision radical mastoidectomy. Bahrain Medical Bulletin; 2010; 32(4): 1-4. 2. Ajalloueyan, M. Modified radical mastoidectomy techniques to decrease failure. Medical Journal of the Islamis Republic of Iran 1999; 13(3): 179-83 3. Telian S.A, Cecelia, Scmalbach E. Cronic Otitis Media in Ballenger s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Ontario : BC Decker Inc; 2003; p 261-291. 4. Djaafar Z.A, Helmi, Restuti R.D. kelainan telinga tengah dalan buku ajar ilmu kesehatan THT, edisi keenam. Jakarta; FKUI; 2007. 5. Chole R.A, Brodie H.A, Jacob A. Surgery of mastoid and Petrosa. In; Head & Neck surgery Otolaryngology. Byron J.B Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2006: p. 2093-2094. 6. Sanna M, Sunose H, Mancini F, Russo A, Taibah A. Revision surgey after open technique. In Middle ear and mastoid microsurgery. New York : Thieme; 2009: 324-332 7. Patil S, Ahmed J, Patel N. Endaural meatoplasty : the whipps cross technique. The journal of laryngology & otology. 2011; 125: 78-81. 8. Cho,Y.S, Hong S.D, Chung K.W, Hong S.H, Chung W.H, Park S.H. Revisioan surgery for chronic otitis media : and outcomes in comparison with primary surgery. Auris Nasus Larynx. 2010; 13(3): 179-83. 9. Helmi. Otitis media supuratif kronis. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2005: 29-39. 10. Faramarzi A, Zarandi M,M, Khorsandi M.T. Intraoperative findings in chronic otitis media surgery.2008; 11(2): 196-199 11. Raynov A.M, Choung Y.H, Park H.Y, Choi S.J. Establishment and characterization of an in vitro model of cholesteatoma. Clinical and experimental otorhinolaryngology. 2008; 1: 86-91. 12. Bercin M, Kutluhan A, Bozdemir K, Yalciner G, Sari N, Karamese O. Results of revision mastoidectomy. Acta Oto-Laryngologica ;2009; 129: 138-41. 13. Salami A, Mora R, Dellepiane, Crippa B, Guastini L. Result of revision mastoidectomy with Piezosurgery. Acta oto-laryngologica. 2010; 130: 1119-1124 14. Martin M.S, Raz Y. Mastoid surgey : Springer; 2008: p 50-9 15. Murray D.P, Jassar P, Lee M.S.W. Z meatoplasty technique in endaural approach mastoidectomy. The journal of laryngology & otology. 2000; 114:526-527. 6