Maaf, Bal. Yang semua aku kasih itu buat kebaikan, bukan tentang harapan. Ucap seorang cewek dengan rambut hitam ikal panjang yang baru saja buat gue patah hati. Nggak semua kita tau tentang harapan. Ada yang datang dengan indah, lalu berakhir perih. Ada juga datang tanpa permisi tapi bisa buat bahagia. Begitulah wujudnya. Yang harus kita lakuin cuma mengerti, lalu menjalani. Seperti kisah gue satu ini, mungkin yang namanya harapan itu indah pada waktunya. Dan yang berakhir perih bukan berarti itu yang terburuk buat kita, tapi bisa saja yang terbaik. Karena segala sesuatu yang kita berikan, selayaknya kita mendapatkan apa yang telah kita perbuat. Cuma nggak selalu di waktu yang kita harapkan, apalagi yang kita inginkan. ***
Namanya Erlin(nama disamarkan) (suara disamarkan), kita kenal di salah satu tempat nongkrong di daerah Bogor. CK Palem. Waktu itu gue lagi nongkrong bareng temen-temen gue, sebut saja Endoy dan Entis. Tanpa sengaja waktu itu ada tetangga gue, Vida(nama disamarkan) (suara juga), yang datang dan mau nongkrong juga disitu. Vida datang nggak sendiri, dia sama temen-temennya juga. Karena muka gue udah cukup terkenal se-taman Safari, Vida pun menyadari keadaan gue yang saat itu lagi ngupil pake sedotan. Iqbaaaaaaaaaal! Kyaaaa! teriak seorang cewek sambil berlari menghampiri gue. Astagfirullah Alazim. Anda siapa ya? jawab gue dengan kaget. Ih Iqbal, ini loh Vida ih, gitu dia mah~ ucap dia dengan wajah cemberut. Hampir semua orang disekitar pun menatap tajam ke arah gue. 2
Gue pun serasa artis Korea yang nyamar pake topeng vokalis Kange*n Band. Maaf, Vida mana yah? Tanya gue dengan muka yang penasaran sambil menyipitkan mata. Itu loh tetanggamu yang cantik jelita, baik hati, tidak sombong, rajin menabung, dan kembarannya Taylor Swift. Jawab Vida dengan wajah yang ceria. Entah setan Kecamatan mana yang merasuki tubuh wanita berbadan pendek, kulit hitam, rambut sepanjang mata kaki, dan gigi taring palsunya yang dicangkok dari Harimau Sumatra. He? Kembaran? Kembaran beda alam? potong Endoy yang saat itu dia tertawa melihat wajah Vida yang menjelaskan tentang dirinya. Enak aja, wooo.. Eh, Bal. Boleh gak gue gabung di meja lo ini? CK lagi penuh nih, boleh kan? Boleh dong? goda Vida dengan memedipkan matanya dengan kecepatan 1.000KM/jam. Saat 3
itu dia memakai bulu mata palsu yang lebat, panjang, dan berwarna seperti bulu burung Merak. Karena kencangnya kedipan Vida, gue, Endoy, dan Entis pun memegang meja dengan kuat, supaya nggak terbawa angin. Ayo.. ayo.. sok aja, Vid. Gabung aja sama kita. Biar bisa ngobrol. Ayo-ayo temen-temennya Vida juga gabung. Silahkan. Jawab cepat Entis sambil meberikan kursi yang kosong kepada temantemannya Vida. Entah kenapa Entis jadi semangat, awalnya dia yang dari tadi melamun memikirkan anak Marmut peliharaannya yang baru dilahirkan tanpa seorang ibu karena mati gantung diri melihat kekasihnya selingkuh dengan mouse komputer. Dan kini dia tiba-tiba jadi semangat. Akhirnya Vida dan dua temannya ikut nongkrong bareng sama gue, Endoy, dan Entis. Awalnya Vida ngobrol dengan teman-temannya 4
aja. Sedangkan gue dan Endoy asik memainkan HP masing-masing, tapi beda dengan Entis, dia sibuk mendengarkan sambil bertopang dagu melihat Vida dan teman-temannya mengobrol. Mungkin ada yang aneh dari Entis yang menatap penuh makna ke arah Vida. Seperti ada... Ah sudahlah. Eh, Doy. Liat tuh si Entis, daritadi dia ngeliatin ke arah si Vida mulu, gue takut kalo dia pengen adopsi Vida jadi ibu asuh anak marmutnya nanti. Bisik gue pelan ke Endoy yang duduk disebelah gue. Hmmm. Iya euy. Kayaknya dia lagi ngincer si Vida deh, gue takut kalo dia suka sama cewek. Kasian ceweknya nanti. Biasanya kan dia pacaran beda spesies. Sama marmut. Jawab Endoy dengan berbisik juga ke gue. Karena satu meja kita terpecah kayak Negara Jerman dulu. Meja Barat dan meja Timur. 5
Akhirnya gue mengajak Vida dan temantemannya buat main Uno, yang gue bawa setiap nongkrong bareng Endoy dan Entis supaya menghilangkan bete setelah habis bahan obrolan. Tapi beda lagi sih kalo cewek udah ngumpul dan nongkrong, nggak akan kehabisan bahan obrolan. Nongkrong dari siang sampai malam takbiran juga mereka masih kuat. Akhirnya kita pun bisa mencair dalam permainan Uno -sampai nggak kerasa langit udah semakin gelap. Vida dan teman-temannya berpamitan pulang kerumah masing-masing. Setelah mereka berpamitan Entis nanya sesuatu ke gue. Eh, Bal. Vida tuh tetangga lo yang rumahnya dimana sih? tanya Entis penasaran. Itu loh, yang rumahnya ada temboknya, atapnya, pintunya, sama jendelanya. Jawab gue seadanya. 6
Ah lo mah. Serius nih gue, soalnya gue penasaran banget. Kayaknya gue suka deh sama dia. Orangnya lucu gitu. Ucap Entis dengan jujur, sambil menatap langit-langit membayangkan dia bisa ngedate sama Vida diplanet Mars. He? Lo suka sama siluman kalajengking itu? Lo gak tau apa sebenernya dia balik aja tadi dijemput delman yang kudanya itu monster kalajengking? jawab gue manakut-nakuti Entis. Ah masa sih? Nggak mungkin atuh. Dia itu lucu, kalo ketawa aja kayak scream vokalis death metal gitu, bikin kuping pengen diamputasi. Lucu gak sih~... Karena ocahan dan khayalan tingkat tinggi Entis, gue pun nggak tahan lagi buat deket sama dia dan pengen pulang kerumah. Gue pun langsung bergegas ke tempat parkir motor dan langsung 7
pulang, Endoy dan Entis juga membawa motor masing-masing, jadi kita pulang pun berpisah dari tempat parkiran. Saat keluar dari parkiran dan belok ke jalan raya, gue lihat ada seorang cewek yang sepertinya gue kenal. Dia berdiri seperti menunggu sesuatu. Sendiri. Iya, dia temannya Vida yang tadi ngumpul bareng gue. Gue pun memberhentikan motor dan mencoba bertanya, Hey! ucap gue sambil membuka kaca helm. Dia pun menengok ke arah gue yang daritadi sibuk memainkan HP-nya. Ngapain disini? Vida mana? tanya gue penasaran. Tadi Vida duluan. Dan ditinggal deh. Jawab singkat cewek itu dengan wajah yang sedikit murung. 8
Oh gitu. Gak baik loh, nunggu dipinggir jalan, malam-malam dan gelap kayak disini. Rumahnya jauh? Ah nggak kok. Tuh, belokan Balai Binarum terus masuk. Masa sih? Dikirain rumahnya di kahyangan. Kalo bukan, yuk gue anter pulang. Ajak gue dengan ramah. Dia hanya tersenyum kecut lalu membuang muka karna sedikit malu. Tenang aja, nggak ngerepotin kok. Kalo kekahyangan tuh baru susah nganternya. Hahaha.. lanjut gue sambil bercanda. Lagi-lagi dia nggak menjawab, dan hanya mengangguk malu ditambah senyum manisnya. Tak lama, lalu dia naik ke jok belakang motor gue. Mungkin saat itu dia nggak sadar kalau joknya berdebu karena gak pernah didudukin orang, apalagi cewek. Tadinya juga motor gue 9
mau dijadiin single-seat karena prustasi buat apa motor gue dibuat jok untuk dua orang tapi yang sering dipake cuma satu doang. Gue. Akhirnya gue nganterin temennya Vida tadi kerumahnya, awalnya gue kira itu rumahnya cuma 300-400 meter doang dari CK Palem. Eh ternyata jauh juga. Gue dibawa melintasi jalan berbelok-belok, perumahan, bahkan melewati kebun yang gelap tanpa cahaya lampu sama sekali. Gue menganggap apa temen Vida ini adalah jelmaan kuntilanak yang bakal nyulik gue buat dijadiin pacarnya nanti. Pacaran beda alam deh. Atau dia adalah Wewe Gombel yang pengen adopsi gue supaya jadi anaknya buat dicekokin susunya dia nanti. Pikiran gue kacau saat itu. 10