BAB III KRITERIA PERJANJIAN TIMBAL BALIK YANG DI DALAMNYA MENGANDUNG SYARAT BATAL BERDASARKAN PASAL 1266 KUHPER



dokumen-dokumen yang mirip
istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya..

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Pasal 1600 KUH Perdata. Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

PENGALIHAN HAK MILIK ATAS BENDA MELALUI PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA. Oleh : Deasy Soeikromo 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

TINJAUAN YURIDIS PENGAKHIRAN SEWA MENYEWA RUMAH YANG DIBUAT SECARA LISAN DI KELURAHAN SUNGAI BELIUNG KECAMATAN PONTIANAK BARAT

BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI. A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. menjadi sebab lahirnya suatu perikatan, selain sumber lainya yaitu undangundang.jika

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

TINJAUAN PUSTAKA. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract, dalam bahasa Belanda

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA. Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB I PENDAHULUAN. berjudul Tentang Sewa-Menyewa yang meliputi Pasal 1548 sampai dengan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

A. Pengertian Perjanjian. C. Unsur-unsur Perjanjian. B. Dasar Hukum Perjanjian 26/03/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam Buku III itu, diatur juga perihal perhubungan hukum yang sama sekali tidak

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, maka manusia mengingkari kodratnya sendiri. Manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PRAKTEK OPER SEWA RUMAH KONTRAKAN

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. saseorang pasti mendapatkan sesuatu, baik dalam bentuk uang maupun barang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DAN SYARAT-SYARAT PERJANJIAN ASURANSI BERDASARKAN KUHD

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebutuhan hidup terutama kebutuhan untuk tempat tinggal merupakan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. tersebut sebagai alat pemuas kebutuhan hidupnya. keterbatasan kemampuan untuk menyediakan kebutuhan sendiri.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG DIBAWAH TANGAN. dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

Transkripsi:

BAB III KRITERIA PERJANJIAN TIMBAL BALIK YANG DI DALAMNYA MENGANDUNG SYARAT BATAL BERDASARKAN PASAL 1266 KUHPER 3.1. Pengertian Perjanjian Timbal Balik Berdasarkan Pasal 1266 KUHPer, maka hanya dalam perjanjian timbal balik terdapat syarat batal. Jika terdapat wanprestasi dari salah satu pihak maka pihak lainnya berhak meminta pembatalan perjanjian. Hanya dalam perjanjian timbal balik saja terdapat hak untuk meminta pembatalan. Tuntutan pembatalan berdasarkan Pasal 1266 KUHPer hanya dapat dilakukan terhadap perjanjian timbal balik yang sempurna, yaitu perjanjian di mana masing-masing pihak mengikatkan diri untuk melakukan prestasi dan sebaliknya pihak lawan berhak atas prestasi. Dalam perjanjian sepihak tidak dapat dituntut pembatalan karena kewajiban hanya ada pada satu pihak saja sedangkan fungsi tuntutan pembatalan adalah sebagai alat untuk membebaskan diri dari kewajiban melakukan prestasi jika pihak lawan telah melakukan wanprestasi. Tuntutan pembatalan juga tidak dapat dilakukan pada perjanjian timbal balik tidak sempurna, karena pada perjanjian jenis ini pada prinsipnya meletakkan prestasi pada satu pihak, tetapi dapat menimbulkan kewajiban pada pihak lainnya. Misalnya pada perjanjian penitipan barang yang prestasinya hanya ada pada pihak yang menerima titipan, yaitu menjaga barang yang dititipkan dengan baik dan jika 93

94 timbul biaya untuk menjaga barang tersebut, kewajiban mengganti biaya tersebut (yang sebenarnya bukan merupakan prestasi) harus dibayar oleh pihak yang menitipkan barangnya (Pasal 1728 KUHPer). KUHPer sendiri tidak mengatur bagaimana kriteria yang dimaksud dengan perjanjian timbal balik. Untuk mengetahui kriteria perjanjian timbal balik, sebelumnya dapat dilihat makna kata per kata. Kata timbal balik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dapat diartikan; pada kedua belah sisi (pihak), atau dari kedua belah pihak; bersambut-sambutan; saling (menagih, menuntut, mencintai) 130. Dari definisi kata tersebut, tampak bahwa dalam perjanjian timbal balik ada hubungan saling memiliki kewajiban dan hak. Hubungan diantara kedua belah pihak atau hubungan saling memilki hak dan kewajiban, didukung oleh pendapat dari beberapa sarjana. J.Satrio mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perjanjian timbal balik yakni: Perjanjian timbal balik perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya hak juga) kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya.yang dimaksud dengan mempunyai hubungan satu dengan yang lain adalah, bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain di sana berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban 131. J.Satrio mengemukakan bahwa pembagian antara perjanjian timbal balik dan lawannya yakni perjanjian sepihak adalah dilihat dari perikatan yang timbul apakah mengikat satu pihak atau kedua belah pihak (walaupun dalam uraiannya 130 WJS Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, susunan, diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, hal.1272. 131 J.Satrio III, Op.Cit, hal.36-37.

95 sendiri ia menyadari bahwa bahkan dalam perjanjian sepihak pun seperti pinjam pakai ada juga timbul perikatan pada kedua belah pihak), sehingga yang dipakai sebagai patokan adalah kewajiban pokoknya, bukan kewajiban sampingannya. J.Satrio mencontohkan perjanjian timbal balik diantaranya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar. Pendapat dari Rutten merumuskan perjanjian timbal balik sebagai perjanjian yang masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. 132 Perumusan dari Rutten bahwa dalam tiap-tiap perikatan selalu ada dua belah pihak, dimana pihak yang satu mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban. Adanya dua pihak dalam sebuah perikatan memiliki konsekuensi timbulnya perikatan pada masing-masing pihak. Berdasarkan hal tersebut maka dalam sebuah perikatan paling tidak terdapat dua perikatan, dimana salah satu pihak mempunyai hak dan pada perikatan lainnya ia berkedudukan sebagai pihak yang mempunyai kewajiban. J.Satrio mengemukakan bahwa kewajiban pada kedua belah pihak mempunyai nilai yang sama (seimbang) baik objektif maupun subjektif sehingga jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian itu tidak dapat disebut sebagai perjanjian timbal balik. 133 Berbeda dengan perjanjian timbal balik tak sempurna yang merupakan perjanjian sepihak, karena kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak saja, contohnya perjanjian pemberian kuasa tanpa upah. 132 Ibid, hal.38. 133 Ibid.

96 Beda dengan pendapat J.Satrio yang menyamakan antara perjanjian timbal balik tidak sempurna dengan perjanjian sepihak, Salim membedakan antara perjanjian timbal balik tidak sempurna dengan perjanjian sepihak. Menurut Salim 134 bahwa perjanjian timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak,sedangkan pihak lainnya wajib melakukan sesuatu. Misalnya si penerima pesan wajib untuk melaksanakan pesan yang dikenakan terhadapnya oleh orang pemberi pesan, dan apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban bagi salah satu pihak saja contohnya perjanjian pinjam mengganti. Herlien Budiono mengemukakan bahwa suatu perjanjian dikatakan timbal balik jika dengan terjadinya perjanjian, timbul kewajiban timbal balik diantara para pihak. Singkatnya ada elemen tukar menukar prestasi atau prestasi ada pada kedua belah pihak. 135 Menurutnya kriteria untuk menentukan kewajiban dari para pihak yang saling tergantung ditentukan oleh kewajiban pokoknya. Herlien Budiono membedakan antara perjanjian timbal balik dengan perjanjian sepihak. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak saja. Contoh perjanjian sepihak adalah perjanjian hibah, perjanjian penanggungan dan perjanjian pemberian kuasa tanpa upah. 134 Salim H.S, Op.Cit, hal.29. 135 Herlien Budiono II, Op.Cit, hal.54.

97 Termasuk ke dalam perjanjian sepihak adalah perjanjian pinjam pakai, penitipan barang tanpa biaya, dan pinjam meminjam tanpa bunga. 136 Perjanjian pinjam pakai, penitipan barang tanpa biaya, dan pinjam meminjam tanpa bunga, digolongkan sebagai perjanjian riil selain kata sepakat juga bendanya harus diserahkan. Penyerahan benda merupakan unsur dari perjanjian riil dan bukan merupakan prestasi. Prestasi ada pada pihak yang menerima titipan barang, yaitu untuk mengembalikan barang titipan seperti pada saat diserahkan barang saat penitipan. Pada perjanjian pinjam meminjam, prestasi ada pihak yang meminjam uang, yakni mengembalikan uang senilai yang dipinjamkannya. Penyerahan barang dalam perjanjian sepihak tersebut di atas, bukan sebagai prestasi tetapi sebagai unsur dari perjanjian riil. Prestasi dalam hal ini adalah penyerahan kembali barangnya atau uangnya dari pihak lainnya. Berbeda dalam hal terjadi penambahan biaya, bunga atau upah dalam perjanjian tersebut, barulah dapat dikatakan sebagai perjanjian timbal balik. Herlien Budiono menjelaskan lebih lanjut contoh dalam menentukan kewajiban pokok. Misal dalam perjanjian jual beli, pihak penjual mempunyai kewajiban pokok untuk menyerahkan barangnya sedangkan pembeli membayar harga jual belinya. Dalam tukar menukar agak sulit untuk menentukan yang mana termasuk kewajiban pokoknya dan mana yang merupakan kewajiban tambahan. 136 Ibid, hal.55.

98 Dalam tukar menukar sulit untuk menentukan apakah prestasi itu seimbang atau tidak. 137 Pendapat Herlien Budiono berbeda dengan pendapat dari J.Satrio dalam menentukan kriteria perjanjian timbal balik. J.Satrio mensyaratkan adalanya kesamaan kewajiban/ keseimbangan kewajiban, sedangkan Herlien Budiono menyatakan tidak diperlukan adanya ekuivalensi atau kesetimbangan dari prestasi yang dipertukarkan sebagai faktor penentu untuk menggolongkan suatu perjanjian sebagai perjanjian timbal balik. 138 Alasan yang dikemukakan adalah karena tidak adanya ukuran baik subyektif maupun obyektif untuk menentukan keseimbangan tersebut. 3.2. Kriteria Perjanjian Timbal Balik Herlien Budiono mengemukakan munculnya ajaran justum pretium, yang menyatakan bahwa dalam perjanjian harus diperlakukan asas keadilan. Di dalam undang-undang dikenal dengan itikad baik, kepatutan atau kepantasan. Kritik yang diajukan adalah tidak adanya formula yang memuaskan untuk menentukan prestasi yang paling mendekati titik ekuivalensi. Ajaran ini kadang dihubungkan dengan ajaran penyalahgunaan keadaan, sebagai dasar menuntut dibatalkannya perjanjian. 139 137 Ibid. 138 Ibid. 139 Ibid.

99 Asas keseimbangan sebagai salah satu alat ukur untuk menentukan prestasi yang paling mendekati titik ekuivanlensi dijabarkan oleh Herlien Budiono sebagai asas etikal dan asas yuridikal 140. Menurut Herlien Budiono; Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata seimbang (evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Di dalam konteks studi ini, keseimbangan dimengerti sebagai keadaan hening atau keselarasan karena dari pelbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak satu elemen menguasai lainnya 141. Kata keseimbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti keadaan seimbang (seimbang-sama berat, setimbang, sebanding, setimpal) 142. Dalam hubungannya dengan perjanjian, secara umum asas keseimbangan bermakna sebagai keseimbangan posisi para pihak yang membuat perjanjian. Keseimbangan dalam perjanjian dibatasi oleh dua hal, pertama yakni dibatasi oleh kehendak untuk mendapatkan keadaan yang menguntungkan dan kedua keyakinan akan kemampuan untuk mewujudkan hasil yang dikehendaki tersebut. Dalam batasan kedua sisi inilah diperoleh keseimbangan yang dimaknai positif. Hal ini memberikan dasar landasan etikal kekuatan mengikat perjanjian sepanjang dilandasi asas keseimbangan hubungan antaran kepentingan perorangan dan kepentingan umum atau antara kepentingan kedua belah pihak. Asas keseimbangan juga sebagai asas yuridikal dapat dilihat dari maksud dan tujuan dari suatu perjanjian. Berkenaan dengan tujuan dari perjanjian sesuai dengan teori dari Atiyah adalah untuk melaksanakan janji-janji dan melindungi 140 Herlien Budiono I, Op.Cit, hal.304. 141 Ibid. 142 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.97.

100 harapan yang wajar ditimbulkan baik dari janji-janji maupun bentuk lain kesepakatan, mencegah usaha untuk menambah kekayaan secara tidak wajar, dan mencegah kerugian ekonomi dengan pemberian kompensasi/ ganti rugi, maka pendapat dari Atiyah tersebut disempurnakan oleh Herlien Budiono dengan menambah satu tujuan lagi dari perjanjian yakni untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan 143. Tujuan dari perjanjian tersebut barulah tercapai jika adanya pertemuan antara penawaran dan penerimaan. Penawaran dan permintaan sendiri mengandung suatu janji. Namun tidak serta merta pertemuan antara penawaran dan permintaan membentuk perjanjian. Perjanjian baru akan terbentuk jika terdapat pertemuan atau persesuaian antara janji-janji yang ditujukan satu terhadap lainnya. Janji sendiri mengandung dua aspek penting, yakni kehendak dan kemampuan bertindak. Menurut Herlien Budiono suatu janji yang telah diberikan berarti penyerahan dari apa yang dapat diminta oleh pihak yang menawarkan kepada pihak yang menerima. 144 Janji dapat dipandang sebagai hak untuk bertindak. Para pihak berjanji karena para pihak memiliki hak bertindak (kemampuan bertindak). Berangkat dari teori P.S.Atiyah yang menggabungkan antara janji individual dan kewajiban untuk mencegah kerugian, Herlien Budiono memberikan definisi bahwa perjanjian adalah suatu proses yang bermula dari janji menuju kesepakatan (bebas) dari para pihak dan berakhir dengan pencapaian tujuan: 143 Herlien Budiono I, Op.Cit, hal.310. 144 Ibid, hal.314.

101 perjanjian yang tercapai dalam semangat/jiwa keseimbangan. 145 Keseimbangan antara kepentingan pribadi dan masyarakat akan memunculkan perpindahan kekayaan dan tindakan memperkaya diri yang dapat dibenarkan. 3.2.1. Karakteristik asas keseimbangan dalam perjanjian timbal balik. Menurut Herlien Budiono, asas keseimbangan memiliki tiga karakteristik diantaranya adanya pengharapan yang obyektif, kesetaraan para pihak dan asas keseimbangan in concreto. 146 Untuk lebih jelasnya maka dapat diuraikan satu persatu yakni: a.pengharapan yang obyektif. Dalam suatu perjanjian, kepentingan individu dan masyarakat akan bersamaan dijamin oleh hukum objektif. Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai landasan timbulnya pertukaran kekayaan yang sah. Tidak terpenuhinya asas keseimbangan akan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal perjanjian tersebut. Ketidakseimbangan terjadi akibat perilaku para pihak ataupun sebagai konskuensi dari muatan isi perjanjian atau pelaksanaan perjanjian. Berkaitan dengan isi atau maksud dan tujuan perjanjian yang di dalamnya terkandung pengharapan akan prestasi yang diinginkan. Motif akan prestasi harus tampak dalam pembentukan kehendak dan sepatutnya diketahui oleh para pihak. Semakin tinggi pengharapan akan berdampak pada ruang lingkup maupun kualitas kewajiban para pihak dalam perjanjian. Isi perjanjian akan merujuk pada 145 Ibid, hal.315. 146 Ibid, hal.317-322.

102 kewajiban pemberitahuan, penelitian dan penyampain informasi, dengan tujuan agar kehendak yang terbentuk terjadi selaras dengan maksud dan tujuan para pihak/ tidak terdapat motif terselubung. Pengharapan yang obyektif merupakan upaya mencegah dirugikannya salah satu pihak dalam perjanjian. b.kesetaraan para pihak. Suatu perjanjian menjadi tidak dapat dipaksakan/ditolak jika tampak bahwa kedudukan faktual salah satu pihaknya adalah lebih kuat dan kedudukan tidak seimbang ini mempengaruhi isi, maksud/tujuan perjanjian. Akibat ketidaksetaraan prestasi dalam perjanjian bertimbal balik adalah ketidakseimbangan. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan ketidakabsahan perjanjian. Prestasi yang dijanjikan dalam perjanjian bertimbal balik didasari pada kesetaraan, maka bila terjadi ketidakseimbangan, akan dilihat pada proses/ faktor bagaimana cara perjanjian terbentuk, bukan pada hasil akhir dari prestasi yang diharapkan/ditawarkan secara bertimbal balik. Faktor mengenai cara terbentuknya perjanjian yang melibatkan pihak-pihak yang berkedudukan tidak setara merupakan hal yang dapat mengganggu keseimbangan perjanjian. Kriteria untuk menentukan kesetaraan pada perjanjian timbal balik berbeda dengan perjanjian cuma-cuma. Kesetaraan pada perjanjian timbal balik diartikan sebagai kesetaraan para pihak, bukan pada kesetaraan prestasi yang dijanjikan, sedangkan pada perjanjian cuma-cuma didasarkan pada karakteristik maksud dan tujuannya. Untuk perjanjian yang menguntungkan hanya pada salah satu pihak, bukan dilihat pada kesetaraan prestasi namun pada sudut pandang pihak yang

103 berkehendak menguntungkan orang lain dengan cara melalui suatu perjanjian yang menjanjikan suatu prestasi tanpa adanya kontra prestasi. c. Asas keseimbangan in concreto. Pembentukan perjanjian yang didahului cara atau prosedur yang tidak mencerminkan kesetaraan akan mengakibatkan ketidakseimbangan. Pencegahan kerugian akibat terjadinya ketidakseimbangan tergantung pada pihak yang dirugikan untuk menuntut pembatalan perjanjian. Cara bagaimana maksud dan tujuan suatu perbuatan hukum tergantung pada apa yang dinyatakan oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum dimaksud serta maksud/ tujuan pernyataan tersebut. 3.2.2. Faktor penguji asas keseimbangan dalam perjanjian timbal balik. Herlien Budiono merangkum bahwa kriterium keseimbangan tidak berarti bahwa situasi dan kondisi faktual dari tujuan perjanjian seimbang atau tidak, tetapi lebih pada kondisi sebelum perjanjian itu dibentuk dan pelaksanaan setelah perjanjian itu yang memunculkan kondisi ketidakseimbangan. 147 Untuk mengetahui apakah yang dimaksudkan dengan kondisi ketidakseimbangan, diperlukan beberapa faktor penguji diantaranya perbuatan para pihak, isi perjanjian, dan pelaksanaan perjanjian. 148 Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut: 147 Ibid, hal.333. 148 Ibid, hal.334-338.

104 a.perbuatan para pihak. Perbuatan dimaksudkan sebagai kehendak yang diwujudkan dalam bentuk penawaran-penerimaan merujuk pada perbuatan individu baik secara lisan maupun tertulis. Perbuatan di sini ditujukan pada suatu akibat hukum. Perbuatan agar menimbulkan akibat hukum maka diperlukan pernyataan kehendak dan kewenangan bertindak. Perbuatan hukum yang dimaksudkan adalah pernyataan kehendak dari pihak yang berbuat atau bertindak untuk menciptakan, mengubah atau membatalkan suatu hubungan hukum tertentu. Suatu perbuatan hukum tidak bersumber dari ketidaksempurnaan jiwa. Keadaan tidak seimbang dapat terjadi sebagai akibat dari perbuatan hukum yang dapat menghalangi pengambilan keputusan atau pertimbangan secara matang. Perbuatan karena ancaman, penipuan, atau penyalahgunaan keadaan masuk dalam golongan perbuatan ini. Perbuatan tidak seimbang yang dalam perjanjian menimbulkan suatu kekeliruan tertentu sehingga mengakibatkan kondisi yang tidak seimbang. Keadaan-keadaan khusus yang membuat orang tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, misalnya kedudukan yang lebih kuat, penguasaan pasar secara monopoli juga merupakan faktor penguji keadaan tidak seimbang dari aspek perbuatan. b. Isi dari perjanjian. Isi perjanjian ditentukan oleh para pihak berdasarkan apa yang disepakati baik secara tegas maupun secara diam-diam. Hal ini sebagai akibat asas kebebasan berkontrak, yakni bahwa setiap orang bebas menentukan sendiri isi dari perjanjian. Asas kebebasan berkontrak dalam pelaksanaannya dibatasi oleh

105 undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu perjanjian yang bertentangan dengan ketiga hal tersebut menyebabkan perjanjian menjadi batal demi hukum dan mengakibatkan keadaan tidak seimbang. c. Pelaksanaan dari perjanjian. Pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik merupakan faktor penguji keseimbangan dalam perjanjian. Itikad baik tidak hanya muncul pada saat sebelum perjanjian dibuat namun juga ada pada pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Itikad baik dimaknai dengan keseluruhan proses perjanjian itu, artinya itikad baik ada pada tahap pra perjanjian, pada tahap perjanjian dan pada tahap pelaksanaan perjanjian. Muhammad Syaifudin mengutip pendapat dari R.Wirjono Projodikoro 149 yang membagi itikad baik menjadi dua macam yakniitikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum dan itikad baik pada waktu pelaksanaannya. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum berupa anggapan awal bahwa syarat-syarat dimulainya suatu hubungan hukum telah terpenuhi. Hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik sedangkan pihak yang beritikad tidak baik wajib bertanggungjawab dan menanggung resiko. Itikad baik ini terkandung dalam Pasal 1977 Pasal 1963 KUHPer. Itikad baik jenis ini bersifat subjektif dan statis. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diatur dalam Kalimat ketiga Pasal 1338 KUHPer. Itikad baik jenis ini bersifat objektif 149 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.95.

106 dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya serta titik beratnya terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal. Inti dari timbal balik dalam perjanjian adalah ditemukan dalam sifat pertukaran prestasi, artinya masing-masing pihak berutang untuk melakukan prestasi (yang berimbang atau sepadan) terhadap pihak lainnya. Kausa dari perikatan ditemukan di dalam kewajiban yang dapat ditagih dari pihak lainnya. Pertukaran prestasi adalah kunci dari perjanjian timbal balik. Pejanjian timbal balik ada bila para pihak saling bertukar prestasi yang dapat ditagih. Prestasi dinyatakan sah dengan adanya suatu kontraprestasi yang sepadan. Sepadan tidak dalam artian mutlak sama tetapi diartikan kurang lebih setara. Kesetaraan antara prestasi yang satu dengan yang lainnya ditelaah dengan menggunakan kriterium ekuivanlensi dari masing-masing prestasi yang diperjanjikan para pihak. Herlien Budiono mengutip pendapat dari Nieuwenhuis dalam menentukan apakah pertukaran prestasi terjadi secara adil atau tidak dengan menyatakan bahwa Keadilan sebagai kategori formal yang mensyaratkan perlakuan sama terhadap kasus serupa harus dilengkapi dengan bantuan kriterium materiil yang pada gilirannya berfungsi sebagai landasan bagi pola atau tata nilai yang berlaku 150. 150 Herlien Budiono I, Op.Cit, hal.347.

107 John Rawls berpendapat bahwa to set up a fair procedure so that any principles agreed to will be just. 151 (Untuk membuat sebuah prosedur yang layak/adil sehingga oleh semua diangap sebagai sebuah prosedur yang pantas). Berdasarkan pendapat dari John Rawls bahwa prosedur yang layak dalam hal ini berbentuk perjanjian, maka prestasi menjadi adil jika telah ditetapkan dan disepakati oleh para pihak. Rawls berpendapat bahwa kesamaan hasil bukan menjadi alasan untuk membenarkan sebuah prosedur. Keadilan sebagai fairness atau sebagai pure procedure justice tidak menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapat hasil yang sama. Oleh karena itu, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang mendasar pada diri setiap individu. 152 Prestasi menjadi adil selain karena telah disepakati juga akibat adanya asas keseimbangan yang mengikat para pihak dalam perjanjian. Asas keseimbangan ini menjamin keseimbangan terbentuknya perjanjian. Beranjak dari perjanjian yang timbal balik, maka pertukaran prestasi yang adil jika prestasi-prestasi muncul akibat adanya keseimbangan dari cara terbentuknya perjanjian dan mencapai tujuan yang diharapkan oleh para pihak. Timbal balik atau resiprositas timbul bila terdapat otonomi para pihak dalam menyatakan kehendak. Keterjalinan prestasi dan kontraprestasi yang berfungsi 151 John Rawls, Op.Cit, hal.118. 152 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.59.

108 secara seimbang dimunculkan akibat kesetaraan para pihak sebelum perjanjian ditutup. Menurut Huala Adolf, timbal balik (resiprositas) mensyaratkan bahwa pelaksanaan perjanjian memberikan keuntungan secara timbal balik, dan timbul akibat adanya kesepakatan timbal balik. 153 Perjanjian dianggap seimbang jika secara materiil seimbang. Keputusan para pihak yang akan menentukan apakah suatu perjanjian itu adil atau tidak, dengan memperhatikan tujuan dari perjanjian yang dibuat. Tujuan ditutupnya perjanjian adalah mendapatkan keuntungan. Perjanjian dianggap adil bila kedua belah pihak sebagai akibat dari perjanjian berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan sebelum perjanjian itu dibuat. Perjanjian yang tidak berisikan pertukaran prestasi diantara para pihak, dan tidak dilandasi keseimbangan, maka perjanjian itu tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian timbal balik yang sempurna. Perjanjian yang bukan merupakan perjanjian timbal balik tidak memiliki syarat batal dalam pelaksanaannya sesuai dengan apa yang telah ditentukan berdasarkan Pasal 1266 KUHPer. 3.3.Karakteristik Perjanjian Timbal Balik Pada Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Sewa Menyewa dan Perjanjian Tukar Menukar J.Satrio mencontohkan perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian tukar menukar sebagai contoh perjanjian timbal balik sempurna. 154 Berdasarkan pendapat dari J.Satrio maka untuk menentukan kriteria perjanjian 153 Huala Adolf, 2010, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (Edisi Revisi), Refika Aditama, Bandung, hal.29. 154 J.Satrio III, Op.Cit, hal.37.

109 timbal balik dapat ditemukan dari karakteristik perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian tukar menukar. 3.3.1. Karakteristik perjanjian timbal balik pada perjanjian jual beli. a. Pengertian perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli dirumuskan dalam Pasal 1457 KUHPer sebagai suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Dari rumusan tersebut dapat dilihat bahwa jual beli melahirkan kewajiban secara bertimbal balik kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jual beli dalam hal ini timbul jika kedua belah pihak sudah sepakat tentang benda dan harganya, yang ditindaklanjuti dengan penyerahan obyek perjanjian. Menurut Subekti bahwa jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 155 Perjanjian jual beli menurut Abdulkadir Muhammad sebagai perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan menerima sejumlah uang yang disebut dengan harga. 156 155 Subekti, 1992, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Subekti II), hal.1. 156 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.5.

110 M.Yahya Harahap menekankan pada persesuaian kehendak pada jual beli dengan memberikan definisi bahwa jual beli tiada lain dari persesuaian kehendak (wils overensteming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga (uang). 157 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi menekankan pada hasil perjanjian jual beli berupa perikatan dengan memberikan definisi dari jual beli adalah perjanjian yang melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu kepada kedua belah pihak dalam perjanjian. 158 R.M. Suryodiningrat memberikan definisi perjanjian jual beli sebagai suatu perjanjian/ persetujuan/kontrak di mana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda atau barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual. 159 Definisi ini menambahkan penjelasan yang diberikan berdasarkan Pasal 1457 KUHPer yang hanya disebut dengan perkataan menyerahkan tanpa tambahan kata hak milik dan pengkhususan terhadap alat pembayaran, jika dalam Pasal 1457 KUHPer ditekankan dengan harga sehingga bersifat lebih luas, sedangkan dalam definisi ini menekankan pada alat pembayaran berupa uang. Berdasarkan definisi tersebut di atas yang menjadi unsur essentialia dalam perjanjian jual beli ini adalah barang dan harga. Tanpa ada barang yang hendak 157 M.Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.189. 158 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2003, Seri Hukum Perikatan Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.51. 159 R. M. Suryodiningrat, 1980, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, hal.14.

111 dijual maka tidak akan ada jual beli, sebaliknya bila barang yang hendak dijual tidak ditetapkan dengan harga, maka jual beli dianggap tidak pernah terjadi. b. Karakteristik perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian obligatoir, karena perjanjian jual beli hanya meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milk atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui. Kewajiban pada pihak pembeli untuk membayar harga barang yang telah disepakati dan hak untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Hak milik baru berpindah setelah dilakukan levering atau penyerahan, yang merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik. Menurut Subekti bahwa levering diktrontruksikan sebagai zakelijke overeenkomst, yakni suatu persetujuan tahap kedua antara penjual dan pembeli yang khusus bertujuan memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli 160. Levering dilakukan tergantung pada jenis benda dan aturan yang berlaku. Menurut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, jual beli membawa dua aspek penting dalam hukum perdata diuraikan sebagai berikut; Pertama adalah kegiatan menjual, yang secara sederhana menunjukkan pada suatu proses atau kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi harta kekayaan seseorang pada satu sisi, yang merupakan suatu bentuk kewajiban, prestasi atau utang yang harus dipenuhi. Kedua, Pada sisi yang bertimbal balik, kegiatan membeli tersebut, melahirkan suatu bentuk tagihan atau hak yang merupakan kebendaan tidak berwujud yang bergerak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 160 Subekti II, Op.Cit, hal.11.

112 511 angka 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kedua hal tersebut ada secara bertimbal balik, pada saat yang bersamaan pada kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi dalam jual beli terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan secara bersama-sama. 161 c. Hak dan kewajiban penjual. Kewajiban yang bertimbal ada pada dua sisi baik penjual maupun pembeli. Dari sisi penjual, penjual diwajibkan untuk menyerahan suatu kebendaan, yang menurut ketentuan Pasal 1332 KUHPer dan kalimat pertama Pasal 1333 KUHPer haruslah kebendaan yang dapat diperdagangkan dan paling sedikit telah ditentukan jenisnya. Dari sisi pembeli, pembeli diwajibkan untuk membayar harga pembelian kebendaan tersebut, yang juga merupakan bentuk perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini adalah uang yang telah ditentukan nilainya Hak-hak penjual dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar dan diatur berdasarkan KUHPer, yakni; 1. Hak atas pembayaran dari harga barang yang dijual, hak ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1460 KUHPer, yaitu si penjual berhak menuntut harganya bila mana si pembeli telah menerima barang dari si penjual. 2. Hak untuk menuntut pembatalan perjanjian. Pembatalan ini berdasarkan Pasal 1266 KUHPer akibat tidak terpenuhinya salah satu kewajiban pembeli. Berdasarkan Pasal 1517 KUHPer yang menyatakan Jika pembeli tidak membayar harga pembelian, maka penjual 161 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op.Cit, hal.4.