BAB II KAJIAN PUSTAKA. Radikal bebas adalah suatu atom, gugus, atau molekul yang memiliki satu



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan senyawa yang terbentuk secara alamiah di

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. secara alamiah. Proses tua disebut sebagai siklus hidup yang normal bila

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang memiliki satu elektron

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

UJI DAYA REDUKSI EKSTRAK DAUN DEWANDARU (Eugenia uniflora L.) TERHADAP ION FERRI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman obat telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. lewat reaksi redoks yang terjadi dalam proses metabolisme dan molekul yang

Metoda-Metoda Ekstraksi

Aktivitas antioksidan ekstrak buah labu siam (Sechium edule Swartz) Disusun oleh : Tri Wahyuni M BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh mereka untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai

Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan

LATAR BELAKANG. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat

I. PENDAHULUAN. rusak serta terbentuk senyawa baru yang mungkin bersifat racun bagi tubuh.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Molekul ini sangat reaktif sehingga dapat menyerang makromolekul sel seperti lipid,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dihambat (Suhartono, 2002). Berdasarkan sumber. perolehannya ada 2 macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan

BAB I PENDAHULUAN. antioksidan. Hal ini terjadi karena sebagian besar penyakit terjadi karena adanya

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

KAJIAN AWAL AKTIFITAS ANTIOKSIDAN FRAKSI POLAR KELADI TIKUS (typhonium flagelliforme. lodd) DENGAN METODE DPPH

BAB I PENDAHULUAN. pada lingkungan hidup masyarakat terutama perubahan suhu, udara, sinar UV,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. jumlah banyak akan menimbulkan stres oksidatif yang dapat merusak sel yang pada

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN SAMPEL DAN EKSTRAKSI

Namun, peningkatan radikal bebas yang terbentuk akibat faktor stress radiasi, asap rokok, sinar ultraviolet, kekurangan gizi, dan peradangan

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) (2011) telah mengeluarkan suatu. program yang disebut MPOWER, program tersebut meliputi pemantauan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sebuah budaya sosial di seluruh dunia. 1 Data Survei Sosial Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada

BAB I PENDAHULUAN. resiko penyakit pada konsumen. Makanan fungsional ini mengandung senyawa atau

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

BAB I PENDAHULUAN. (Cyclea barbata Meer), cincau hitam (Mesona palustris), cincau minyak

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan oksidatif dan injuri otot (Evans, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB I PENDAHULUAN. Secara alamiah, setiap makhluk hidup atau organisme akan sampai pada

BAB I PENDAHULUAN. terakhir. Efek pangan dapat berdampak terhadap kesehatan, karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Buah pepaya kaya akan antioksidan β-karoten, vitamin C dan flavonoid. Selain itu buah pepaya juga mengandung karpoina, suatu alkaloid yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. bahan pengolah bahan-bahan makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan di perairan tropis diketahui memiliki

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

PENGARUH PERBANDINGAN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) DENGAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) DAN JENIS JAMBU BIJI TERHADAP KARAKTERISTIK JUS

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan

I. PENDAHULUAN. sinar matahari berlebih, asap kendaraan bermotor, obat-obat tertentu, racun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kadar HDL dalam darah (Linn et al., 2009). Dislipidemia sebagian besar (hingga

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini telah banyak diungkapkan bahaya lingkungan yang tidak sehat

BAB I PENDAHULUAN. DM tipe 1 (kurangnya sekresi insulin) dan tipe 2 (gabungan antara resistensi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Variasi produk dan harga rokok di Indonesia telah menyebabkan Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini jumlah perokok di dunia mengalami peningkatan termasuk di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari emisi pembakaran bahan bakar bertimbal. Pelepasan timbal oksida ke

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pengobatan tradisional sebagai alternatif lain pengobatan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif seperti diabetes melitus tipe 2, hipertensi,

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. elektron tidak berpasangan dan bersifat sangat reaktif (Fessenden dan Fessenden,

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Akan tetapi, perubahan gaya hidup dan pola makan yang tak sehat akan

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu atom, gugus, atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit paling luar, termasuk atom hidrogen, logam-logam transisi, dan molekul oksigen. Adanya elektron tidakberpasangan ini, menyebabkan radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat aktif. Radikal bebas dapat bermuatan positif (kation), negatif (anion), atau tidak bermuatan (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Sumber radikal bebas bisa berasal dari proses metabolisme dalam tubuh (internal) dan dapat berasal dari luar tubuh (eksternal). Dari dalam tubuh mencakup superoksida (O 2 *), hidroksil (*OH), peroksil (ROO*), hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), singlet oksigen ( 1 O 2 ), oksida nitrit (NO*), dan peroksinitrit (ONOO*). Dari luar tubuh antara lain berasal dari: asap rokok, polusi, radiasi, sinar UV, obat, pestisida, limbah industri, dan ozon (Siswono, 2005). Radikal bebas pada umumnya dapat mempunyai efek yang sangat menguntungkan, seperti membantu destruksi sel-sel mikroorganisme dan kanker. Akan tetapi, produksi radikal bebas yang berlebihan dan produksi antioksidan yang tidak memadai dapat menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan dan enzimenzim. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat gangguan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas asam lemak atau dikenal sebagai peroksidasi lipid. Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau mendasari berbagai keadaan

9 patologis. Di antara senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil ( OH) merupakan senyawa yang paling berbahaya karena mempunyai tingkat reaktivitas sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel yaitu: (1) Asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel (2) DNA, yang merupakan piranti genetik dari sel. (3) Protein, yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi, pembentuk matriks, dan sitoskeleton (Halliwell dan Gutteridge, 2000 ; Papas, 1999). Regulasi jumlah radikal bebas secara normal dalam sistem biologis tubuh dilakukan oleh enzim-enzim antioksidan endogenous seperti enzim SOD, GPx, dan CAT. Pengukuran radikal bebas di dalam tubuh sangat sulit dilakukan karena radikal bebas bereaksi sangat cepat sehingga seringkali dilakukan pengukuran tidak langsung melalui produk turunannya seperti MDA dan 4-hidroksinonenal. Kedua senyawa tersebut sering digunakan untuk pengukuran reaksi radikal bebas lipid (Nabet, 1996). 2.2 Malondialdehida Menurut Leibler et al. (1997), MDA merupakan produk enzimatis dan nonenzimatis dari pemecahan prostaglandin endoperoksida dan produk akhir dari lipid peroksidasi. MDA merupakan molekul reaktif yang memiliki rumus molekul C 3 H 4 O 2 dan dikenal sebagai penanda (marker) peroksidasi lipid.

10 Pengukuran MDA banyak dilakukan oleh para peneliti sebagai indeks tidak langsung dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid. Menurut pernyataan Tokur et al. (2006), prinsip pengukuran MDA adalah rekasi satu molekul MDA dengan dua molekul asam tiobarbiturat (TBA) membentuk kompleks senyawa MDA-TBA yang berwarna pink dan kuantitasnya dapat dibaca dengan spektrofotometer. Beberapa penelitian mengenai MDA dilakukan oleh para ahli seperti yang dilakukan oleh Prangdimurti et al. (2006), yang menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar MDA pada hati tikus Sprague Dawley yang diberi asupan ekstrak daun suji. Hasil penelitian Jawi et al. (2008) juga menyatakan terjadinya penurunan kadar MDA pada darah dan hati mencit jantan galur Swiss setelah diberi asupan ekstrak ubi jalar ungu. Puspawati (2009) menyatakan bahwa asupan sorgum dan jewawut yang kaya antioksidan dapat menurunkan kadar MDA pada hati tikus Sprague Dawley. Penelitian yang dilakukan oleh Kutlu et al. (2009) pada tikus hiperkolesterolemia yang disuplementasi dengan apricot cernel oil, memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan MDA pada hatinya. 2.3 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen reaktif, spesies nitrogen, dan radikal bebas lainnya sehingga mampu mencegah penyakit-penyakit degeneratif seperti kardiovaskular, kanker, dan penuaan. Senyawa antioksidan merupakan substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal

11 bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Senyawa ini memiliki struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Rajalakshmi dan Narisimhan (1996) menggolongkan antioksidan menjadi tiga tipe yaitu : (1) Antioksidan primer Senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan primer mampu memutus rantai reaksi pembentukan radikal bebas dengan memberikan ion hidrogen atau elektron pada radikal bebas sehingga menjadi produk yang stabil. Senyawa yang digolongkan sebagai antioksidan primer adalah kelompok senyawa polifenol, asam askorbat (vitamin C), kelompok senyawa asam galat, BHT, BHA, TBHQ, PG, dan tokoferol. (2) Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas, menginaktifkan singlet oksigen, menyerap radiasi ultraviolet dan bekerja sinergis dengan antioksidan primer. Senyawa yang digolongkan sebagai antioksidan sekunder adalah asam tiodipropionat, dilauril dan distearil ester. (3) Chelator sequestransts Senyawa yang tergolong sebagai chelator berfungsi sebagai pengikat logam-logam yang dapat mengkatalis reaksi oksidasi lemak seperti Fe dan Cu. Belitz et al. (2009) menyatakan bahwa terikatnya logam-logam tersebut oleh chelating agent mampu meningkatkan efisiensi reaksi antioksidan, menghambat

12 oksidasi asam askorbat dan vitamin-vitamin yang larut lemak. Senyawa yang digolongkan sebagai chelator atau chelating agent adalah asam sitrat, suksinat, oksalat, laktat, malat, tartarat, asam polifosfat, ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), asam amino dan peptida. Senyawa golongan asam karboksilat seperti asam sitrat, asam nikotinat, asam salisilat dan asetil salisilat disamping berfungsi sebagai chelator, juga memiliki keaktifan sebagai antioksidan. Dari keempat senyawa golongan asam karboksilat tersebut, asam sitrat merupakan antioksidan yang paling efektif dan memiliki sifat sebagai radioprotektor (Gromovaya et al., 2002). Sumber-sumber antioksidan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) antioksidan yang sudah ada di dalam tubuh manusia yang dikenal dengan enzim antioksidan (SOD, GPx, dan CAT), (2) antioksidan sintetis yang banyak digunakan pada produk pangan seperti BHA, BHT, PG, dan TBHQ, dan (3) antioksidan alami yang diperoleh dari bagianbagian tanaman seperti kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari, juga dapat diperoleh dari hewan dan mikroba. Jenis antioksidan yang banyak didapatkan dari bahan alami berupa vitamin C dan E, beta karoten, pigmen seperti antosianin dan krolofil, flavonoid, dan polifenol (Siswono, 2005 ; Ardiansyah, 2007). BHA, BHT, PG, dan TBHQ adalah senyawa antioksidan sintetis yang sudah dipergunakan secara luas oleh masyarakat dunia, tetapi hasil penelitian Amarowicz et al. (2000) menyatakan bahwa penggunaan bahan sintetis ini dapat meningkatkan resiko penyakit karsinogenesis. Sementara itu beberapa studi

13 epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan konsumsi antioksidan alami yang terdapat dalam buah, daun, bunga, rimpang, dan bagian-bagaian lain dari tumbuhan untuk menghindari penyakit-penyakit degeneratif (Ghiselli et al., 1998). Adanya beberapa mikronutrien pada tumbuhan seperti vitamin A, C, E, asam folat, karotenoid, antosianin, dan polifenol memiliki kemampuan menangkap radikal bebas sehingga dapat dijadikan pengganti konsumsi antioksidan sintetis (Gill et al., 2002). 2.4 Enzim Antioksidan Enzim antioksidan atau antioksidan endogenous enzimatik adalah SOD, CAT, GPx, dan glutation reduktase (GSH). SOD adalah metaloenzim yang mengkatalis dismutasi radikal anion superoksida (O 2 ) menjadi hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) dan oksigen (O 2 ) di dalam mitokondria. Selanjutnya H 2 O 2 di dalam mitokondria akan mengalami detoksifikasi oleh enzim katalase menjadi senyawa H 2 O dan O 2, sedangkan H 2 O 2 yang berdifusi ke dalam sitosol akan didetoksifikasi oleh enzim glutation peroksidase (Ihnat, et al., 2007). Enzim ini bersifat tidak stabil terhadap panas, cukup stabil pada kondisi basa, dan masih mempunyai aktivitas walaupun disimpan sampai lima tahun pada suhu 5 o C. Menurut Haliwell dan Gutteridge (2000), aktivitas SOD tertinggi ditemukan di hati, kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limfa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus, ovarium, dan timus. CAT adalah enzim yang disusun oleh lebih dari 500 asam amino dan memiliki gugus forfirin atau dikenal sebagai hemoprotein. Enzim ini mengkatalis

14 senyawa hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) menjadi oksigen (O 2 ) dan air (H 2 O). Menurut Haliwell dan Gutteridge (2000), aktivitas CAT optimal pada ph 7 dan meningkat dengan meningkatnya akumulasi H 2 O 2. Enzim CAT mampu mengkonversi 40 juta molekul hidrogen peroksida menjadi molekul air dan oksigen setiap detiknya. Disamping itu, enzim CAT juga mampu mendetoksifikasi senyawa formaldehid, fenol dan alkohol. CAT dengan konsentrasi yang tinggi ditemukan pada hati, darah, ginjal, otak, paru-paru, jaringan adiposa, dan kelenjar adrenal. GPx adalah selanoprotein yang terdiri atas empat sub unit protein yang mengkatalis reaksi reduksi H 2 O 2 menjadi air (H 2 O). Glutation banyak ditemukan dalam hati. Sampai saat ini ditemukandelapan isoform glutation peroksidase yaitu GPx1 (ditemukan pada sitosol, mereduksi hidrogen peroksida), GPx2(enzim ekstraselular pada saluran pencernaan), GPx3 (enzim ekstraselular pada plasma), GPx4 (enzim yang mereduksi hidroperoksida lipid), GPx5 (enzim pada epididymal), GPx6 (enzim pada olfactory), GPx7, dan GPx8 (putative). 2.5 Senyawa Antioksidan Alami Senyawa antioksidan alami pada umumnya berupa vitamin C, vitamin E, karotenoid, senyawa fenolik, dan polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kuomarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavonol, dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain

15 (Prakash, 2001 ; Kumalaningsih, 2006). Gromovaya et al. (2002) menyatakan bahwa dari hasil penelitiannya terhadap beberapa senyawa golongan asam karboksilat seperti asam sitrat, asam nikotinat, asam salisilat, dan asetil salisilat memiliki aktivitas antiradikal yang cukup tinggi dan pada umumnya berperan dalam mereduksi radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. 2.5.1 Vitamin E Vitamin E ditemukan pada tahun 1922, oleh Evans dan Bishop, dengan istilah tokoferol (dari bahasa Yunani, tocos berarti kelahiran anak dan phero berarti mengasuh). Vitamin E adalah nama umum untuk semua metil-tokol, jadi istilah tokoferol bukan sinonim dari vitamin E, namun pada praktek sehari-hari, kedua istilah tersebut disinonimkan. Struktur kimia tokoferol alfa diperlihatkan pada Gambar 2.1 (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Vitamin E tidak larut di dalam air tetapi larut dalam minyak dan lemak. Terdapat delapan bentuk vitamin E yaitu berupa tokoferol alfa, beta, gamma, dan delta serta empat bentuk tokotrienol homolog (alfa, beta, gamma, dan delta). Dari delapan bentuk tersebut, alfa tokoferol memiliki aktivitas biologis yang paling tinggi (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Sumber vitamin E di alam banyak dijumpai pada minyak bunga matahari, minyak biji kapas, taoge, kacang-kacangan dan kentang manis (Kumalaningsih, 2006).

16 Gambar 2.1 Struktur Molekul α tokoferol (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002) Fungsi vitamin E di dalam tubuh adalah melindungi asam-asam lemak tak jenuh pada membran sel, mampu meningkatkan respon imun, sebagai zat pengatur (regulasi) pada aktivasi Protein Kinase C, fungsi mitokondria, metabolisme protein dan produksi hormon. Vitamin E juga melindungi vitamin A dari kerusakan yang terjadi di dalam tubuh. Fungsi vitamin E sangat penting bagi tubuh seperti dapat mencegah kanker, penyakit kardiovaskuler, proses penuaan, osteoporosis dan meningkatkan kinerja sistem kekebalan tubuh (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad et al. (2006) menyatakan bahwa vitamin E memiliki aktivitas antioksidan dalam mengurangi degradasi tirosin akibat fotosensitisasi Psoralen in vitro. Kushi et al., (1996) dan Yochum et al., (2000) melaporkan adanya hubungan terbalik antara asupan vitamin E dengan kejadian kematian karena kardiovaskuler. Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi melindungi senyawa-senyawa yang mudah teroksidasi, antara lain ikatan rangkap dua pada UFA (Unsaturated Fatty Acid), DNA, dan RNA dan ikatan atau gugus SH (sulfhidril) pada protein.

17 Apabila senyawa-senyawa tersebut teroksidasi, maka akan terbentuk radikal bebas, yang merupakan hasil proses peroksidasi. Radikal bebas yang terjadi akan mengoksidasi senyawa-senyawa protein, DNA, RNA, dan UFA. Vitamin E akan bertindak sebagai reduktor dan menangkap radikal bebas tersebut. Vitamin E dalam hal ini berperan sebagai scavenger. Scavenger yang lain selain vitamin E adalah vitamin C, enzim glutation reduktase, dismutase, dan peroksidase yang bersifat larut dalam air. Scavenger yang larut dalam lemak adalah vitamin E dan ß-karoten (Traber, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Vitamin E lebih mudah diserap usus apabila terdapat lemak dan dalam kondisi tubuh yang mempermudah penyerapan lemak. Tokoferol dari makanan diserap oleh usus ditransportasikan ke hati melalui sistim limfatik dan saluran darah. Di hati, tokoferol disebarkan ke sel-sel jaringan tubuh melalui saluran darah. Di dalam plasma darah, tokoferol bergabung dengan lipoprotein, terutama VLDL ( Very Low Density Lipoprotein) (Weber and Rimbach, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Sekitar 40% sampai dengan 60% tokoferol dari makanan yang dikonsumsi dapat diserap oleh usus. Peningkatan jumlah yang dikonsumsi akan menurunkan persentase yang diserap. Vitamin E disimpan terutama dalam jaringan adiposa, otot dan hati. Dalam keadaan normal, kadar vitamin E dalam plasma darah berkisar antara 0,5 mg/ml sampai dengan 1,2 mg/ml (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA/ Poly Unsaturated Fatty Acid), dapat menurunkan penyerapan dan penggunaan vitamin E. Hal ini berkaitan

18 kemungkinan dengan kecenderungan vitamin E bersifat mudah teroksidasi. Oleh karena itu, kebutuhan vitamin E akan bertambah seiring dengan semakin bertambahnya konsumsi PUFA. Dengan demikian, peningkatan konsumsi PUFA yang tidak diikuti dengan peningkatan asupan vitamin E akan menimbulkan penurunan secara gradual α-tokoferol dalam plasma (Kumalaningsih, 2006). Di dalam hati, α-tokoferol diikat oleh α-ttp (α-tokoferol transfer protein). Setelah menjalankan fungsinya sebagai antioksidan, tokoferol dapat teroksidasi menjadi tokoferil (tokoferol bentuk radikal) bentuk radikal ini dapat direduksi kembali menjadi tokoferol oleh kerja sinergi dari antioksidan yang lain, misalnya vitamin C dan glutation. Vitamin E diekskresikan dari tubuh bersama dengan empedu melalui feses, sebagian lagi melalui urin setelah diubah lebih dahulu menjadi asam tokoferonat dan tokoferonalakton yang dapat berkonjugasi dengan glukoronat (Traber, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). 2.5.2 Vitamin C Vitamin C adalah vitamin yang larut di dalam air dan sangat banyak dijumpai pada tanaman sebagai L-asam askorbat dan sumber vitamin C di alam adalah buah-buahan dan sayur-sayuran. Vitamin ini sangat labil terhadap suhu dan oksigen. Struktur kimia vitamin C disajikan pada Gambar 2.2 (Padayatty et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Fungsi vitamin C adalah membantu penyerapan zat besi di dalam tubuh, menghambat produksi nitrosamin (zat pemicu kanker), memperbaiki sistem kekebalan tubuh, menjaga kesehatan gigi, gusi, pembuluh-pembuluh kapiler, mencegah oksidasi lemak dan membantu penyembuhan luka (Carr dan Frei, 2002

19 di dalam Cadenas dan Packer, 2002 ; Kumalaningsih, 2006). Vitamin C terbukti juga dapat meningkatkan kadar hemoglobin pada tikus putih apabila diberikan sebesar 14,4 mg per 200 g berat badan per hari (Wahyuni, 2007). Gambar 2.2 Struktur Molekul Asam Askorbat (Padayatty et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002) Vitamin C merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa oksigen reaktif dalam plasma dan sel. Vitamin C mampu bereaksi dengan radikal bebas kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil yang nantinya segera berubah menjadi dehidroaskorbat (Zakaria et al., 1996). Vitamin C berperan menekan risiko kanker saluran pencernaan, terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Zakaria et al. (2000) yang menunjukkan adanya peningkatan kemampuan proliferasi sel B dan sel T pada konsumsi buah dan sayuran selama 30 hari. Temuan ini mengindikasikan bahwa asupan sayuran dan buah-buahan dalam jumlah memadai dapat mengurangi resiko penyakit kanker. Pada umumnya penggunaan vitamin C sebagai antioksidan dikombinasikan dengan sumber antioksidan lain seperti vitamin E, buah-buahan dan sayur-sayuran yang mengandung pigmen antosianin, klorofil dan golongan

20 senyawa flavonoid. Penelitian yang dilakukan oleh Jeng et al. (1996) menyatakan bahwa kombinasi konsumsi vitamin C dan E ( 1 g vitamin C dan 400 mg vitamin E all-rac-α-tocoferil asetat) selama 14 hari dapat meningkatkan produksi IL-1 sebesar 1,8 kali dan TNF-α sebesar 1,5 kali. Sementara bagi kelompok yang diberi konsumsi vitamin C saja hasilnya tidak memberikan efek yang signifikan. Dilaporkan pula bahwa produksi sitokin pada 40 orang meningkat setelah diberi suplementasi 1 g vitamin C dan 400 mg vitamin E all-rad-α tokoferol selama waktu 28 hari. Vitamin C atau asam askorbat disintesis dari glukosa di dalam hati hewan yang tergolong mamalia. Manusia tidak bisa mensintesis vitamin C karena tidak memiliki enzim glunolakton oksidase yang dapat mensisntesis asam askorbat dari glukosa. Oleh sebab itulah manusia harus menyuplai vitamin C dari luar tubuh yaitu dari konsumsi makanan dan minumannya. Karena sifatnya yang larut dalam air, vitamin C mudah diserap oleh tubuh dan mudah pula dikeluarkan apabila asupan berlebih (Carr dan Frei, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Vitamin C atau asam askorbat mendonorkan dua elektron yang berasal dari ikatan rangkap antara karbon kedua dan ketiganya. Senyawa reaktif yang diberi elektron oleh vitamin C kemudian berubah menjadi senyawa yang stabil. Vitamin C kemudian berubah menjadi bentuk radikal semidehidroaskorbat atau radikal askorbil yang tidak reaktif. Senyawa ini dapat larut di dalam air sehingga mudah mengeluarkannya dari dalam tubuh. Berdasarkan mekanisme donor elektron yang dilakukan oleh vitamin C inilah maka vitamin C berfungsi sebagai

21 antioksidan yang tergolong scavenger (Landvik et al., 2002 dan Padayatty et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). 2.5.3 Karotenoid Karotenoid adalah suatu kelompok pigmen berwarna kuning, oranye, atau merah oranye, memiliki sifat larut dalam lemak atau pelarut organik tetapi tidak larut di dalam air. Senyawa ini sensitif terhadap alkali, udara (O 2 ), sinar, dan suhu yang tinggi. Terdapat sekitar 700 jenis karotenoid yang dibagi menjadi dua kelas yaitu xanthophyll dan karoten. Senyawa karotenoid yang populer adalah beta karoten. Senyawa ini dapat diubah menjadi vitamin A di dalam tubuh (Deming et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Fungsi biologis karotenoid adalah sebagai antioksidan, regulasi komunikasi intraseluler, regulasi diferensiasi sel dan apoptosis, meningkatkan respon imun, dan membantu penghambatan mutagenesis dan transformasi malignan di dalam sel (Palozza et al., 2001 dan Sumantran et al., 2000). Hasil studi epidemiologi menyatakan bahwa asupan karotenoid berhubungan dengan pencegahan beberapa penyakit kronis dan resiko terjadinya kanker paru pada kelompok pekerja asbestos dan perokok (Deming et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Pada kondisi tertentu, vitamin A (beta karoten) berperan sebagai sparing effect vitamin E. Bila tekanan dalam tubuh tinggi, vitamin E diangkut darah melalui LDL dan HDL, namun bila tekanan oksigen rendah, vitamin E digantikan oleh beta karoten (Suryohudoyo, 1995). Sistem kerja seperti ini sangat menguntungkan karena kedua senyawa tersebut mampu berperan sebagai

22 antioksidan sehingga dapat mempertahankan status antioksidan endogen secara bergantian. Senyawa karotenoid tersebar luas dalam tanaman. Senyawa ini terdapat dalam kloroplast daun atau batang tanaman yang berwarna hijau. Karotenoid juga banyak dijumpai pada umbi dan buah-buahan. Sumber karotenoid adalah wortel, jeruk, pisang, pepaya, semangka, dan tomat. Gambar 2.3 menunjukkan struktur kimia karotenoid (Anonim, 2010b). Gambar 2.3 Struktur Molekul Karotenoid (Anonim, 2010b) 2.5.4 Senyawa fenolik (polifenol) Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan sangat luas pada tanaman. Zat ini memiliki ciri khas yakni memiliki banyak gugus fenol pada molekulnya, dan berperan dalam memberi warna pada tumbuhan seperti warna daun saat musim gugur. Dari sejumlah penelitian pada tanaman obat dilaporkan

23 bahwa banyak tanaman obat yang mengandung polifenol dalam jumlah besar. Efek antioksidan terutama disebabkan karena adanya senyawa fenol seperti flavonoid dan asam fenolat. Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap gugus OH dan OR (Okawa et al., 2001). Senyawa polifenol yang khas terdapat pada teh adalah epigallocatechin gallate (EGCG) dan epicatechin gallate (ECG). Sementara itu senyawa polifenol pada rimpang kunyit disebut kurkumin (Gambar 2.4), pada jahe disebut zingerol, dan pada kulit buah-buahan adalah tannin (Anonim, 2010c). Gambar 2.4 Senyawa Kurkumin (Anonim, 2010c) Senyawa polifenol dapat berupa golongan asam-asam fenolat, polimer fenolat, dan flavonoid. Asam-asam fenolat membentuk bermacam-macam kelompok senyawa yang termasuk hidroksibenzoat dan asam hidroksisinamat. Polimer fenolat tersusun dari senyawa yang memiliki berat molekul besar seperti tannin. Ada dua jenis tanin yaitu: hydrolysable tannin dan condensed tannin. Hydrolysable tannin adalah senyawa tanin yang dapat dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti gula dan asam tanat (asam galat dan elagat) (Hagerman, 2002).

24 Galotanin adalah contoh hydrolysable tannin, yang mana molekulnya tersusun dari asam galat dan gula, sedangkan elagitanin adalah hydrolysable tannin yang molekulnya tersusun dari asam elagat dan gula (Gambar 2.5). Condensed tannin juga disebut proanthosianidin merupakan tanin yang tersusun dari flavonoid seperti katekin atau epikatekin, contohnya prosianidin B-2 yang disajikan pada Gambar 2.6 (Hagerman, 2002). Gambar 2.5 Struktur Molekul Galotanin (Hydrolysable Tannin) (Hagerman, 2002) Gambar 2.6 Struktur Molekul Prosianidin B-2 (Condensed Tannin) (Hagerman, 2002)

25 Flavoniod merupakan senyawa yang sangat banyak dijumpai pada tanaman atau merupakan golongan senyawa polifenol yang paling banyak terdapat pada tanaman. Struktur dasar dari flavonoid disajikan pada Gambar 2.7 (Fuhrman dan Aviram, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Antosianin dan antoxantin juga termasuk kelompok flavonoid. Antosianin adalah pigmen tanaman yang bertanggungjawab pada munculnya warna merah, biru, dan ungu, sedangkan antoxantin adalah pigmen yang tidak berwarna, berwarna putih atau putih kekuningan. Senyawa antioksidan alami polifenol ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai (1) pereduksi, (2) penangkap radikal bebas, (3) pengkelat logam, dan (4) peredam terbentuknya singlet oksigen. Aktivitas antioksidan flavonoid tergantung pada struktur molekulnya terutama gugus prenil (CH 3 ) 2 C=CH-CH - 2. Gugus prenil flavonoid dikembangkan untuk pencegahan atau terapi terhadap penyakit-penyakit yang diasosiasikan dengan radikal bebas (Birt et al., 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Cai et al. (2004) menyatakan bahwa kandungan senyawa fenolik dari 112 tanaman obat Cina memiliki koefisien korelasi positif dan sangat kuat (R 2 = 96,4%) dengan aktivitas antioksidannya sehingga disimpulkan bahwa senyawa fenolik memberikan kontribusi yang signifikan pada kapasitas antioksidan tanaman obat. Klopotek et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan vitamin C dan senyawa fenolik pada buah strawberi yang sudah mengalami pengolahan (prosesing) mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini mengakibatkan aktivitas antioksidan pada produk segar lebih tinggi dibandingkan dengan produk

26 olahan. Penelitian yang dilakukan oleh Indriati et al. (2002) menyatakan bahwa buah jambu mete yang mengalami penundaan pengolahan mengakibatkan penurunan senyawa polifenol yang dapat menurunkan aktivitas antioksidannya. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Kobayashi et al. (2008) menyatakan bahwa kandungan senyawa fenolik dan aktivitas antioksidan yang dianalisis dari buah pawpaw mengalami penurunan selama proses pematangan. Struktur Flavonoid: Senyawa Fenolik terdiri dari tiga cincin benzene dengan group hidroksil (OH) 1. Hilangkan OH pada (1): flavon Tanpa gula, molekul disebut aglikon 2. Ganti (OH) pada (1) dengan cincin ke tiga: isoflavon 3. Ganti O pada (2) dengan H: antosianin 4. Ganti OH pada (3) dengan glukosa; hilangkan OH pada (4); hilangkan OH pada (1): glukosida Gambar 2.7 Struktur Dasar Molekul Flavonoid (Birt et al., 2001) Senyawa flavonoid khususnya senyawa quersetin selain berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah penyakit degeneratif dan kronis, juga memiliki kapasitas melindungi jaringan otot jantung (myocardial) dari iskemia dan luka reperfusi sehingga memiliki potensi sebagai cardioprotective effect pada tikus putih (Ikizler et al., 2007).

27 2.6 Kapasitas Antioksidan Kapasitas atau aktivitas antioksidan menggambarkan kemampuan suatu senyawa yang mengandung antioksidan untuk menghambat laju reaksi pembentukan radikal bebas. Penentuan kapasitas antioksidan yang terdapat dalam tumbuhan pada umumnya menggunakan spektrofotometer. Eksplorasi bahanbahan alam terutama senyawa bioaktif yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan mikroorganisme yang hidup di darat maupun di air secara terus menerus diteliti untuk mendapatkan senyawa antioksidan yang berfungsi untuk menjaga kesehatan tubuh manusia (Shahidi, 1997 ; Prakash, 2001). Reaksi yang umum terjadi pada mekanisme penangkapan radikal bebas oleh antioksidan digolongkan menjadi dua yaitu mekanisme Hidrogen Atom Transfer (HAT) dan Electron Transfer (ET). Reraksi HAT pada umumnya terjadi akibat peroksidasi lemak yaitu antara radikal (X*) dengan antioksidan (AH) seperti pada reaksi di bawah ini : X* + AH ----------> XH + A (1) Sementara itu reaksi ET terjadi akibat reaksi reduksi oksidasi (redoks) antara radikal (X*) dengan antioksidan (AH) yang menghasilkan produk stabil (XH) dan air (H 2 O). Produk inilah yang dapat mempengaruhi warna menjadi memudar. Tahapan reaksinya disajikan pada reaksi di bawah ini : X* + AH -----------> X - + AH* + (2) H 2 O AH* + ---------> A* + H 3 O + (3) X- + H 3 O + -------> XH + H 2 O (4)

28 2.6.1 Pengukuran kapasitas antioksidan in vitro Beberapa metode pengukuran kapasitas antioksidan secara in vitro yang digunakan dewasa ini adalah beta karoten bleaching, 1,1-Diphenyl-2- Picrylhydrazyl (DPPH Radical Scavenging) method, Thiobarbituric Acid- Reactive-Substances (TBARS) assay, Rancimat assay, Oxygen Radical Absorbance Capacity (ORAC) assay, Total Radical-Trapping Antioxidant Parameter (TRAP) dan Ferric Reducing/Antioxidant Power (FRAP) assay, Trolox Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC) method, Peroxyl Radical Scavenging Capacity (PSC) dan Total Oxyradical Scavenging Capacity (TOCS) method dan Folin-Ciocalteau Total Phenolic assay, dan lain-lain (Mermelstein, 2009). Menurut Prior et al. (2005), metode analisis yang didasari atas reaksi HAT adalah ORAC, TRAP, dan TOCS, sedangkan metode analisis berdasarkan reaksi ET adalah FRAP, TEAC, dan DPPH. Klopotek et al. (2005) menyatakan bahwa metode FRAP assay dan TEAC assay yang digunakan untuk mengukur perubahan aktivitas antioksidan buah strawberi segar dan olahannya memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Gill et al. (2002) menghasilkan bahwa aktivitas antioksidan pada buah plum menggunakan FRAP assay lebih tinggi (40,4 mg sampai dengan 127,2 mg ekivalen vitamin C) dibandingkan dengan pengukuran menggunakan DPPH Radical Scavenging Method (27,4 mg sampai dengan 61,1 mg ekivalen vitamin C). Penelitian lain menunjukkan bahwa analisis aktivitas antioksidan menggunakan Total Phenolic assay dan FRAP assay memiliki hubungan positif

29 yang sangat kuat (R 2 = 94,8%) pada daun, batang, dan ekstrak buah tanaman Momordica charantia L. (Kubola dan Siriamornpun, 2008). 2.6.2 Pengukuran kapasitas antioksidan in vivo Wolfe dan Liu (2007) menyatakan bahwa di samping analisis in vitro, perlu melakukan analisis kapasitas antioksidan pada hewan coba atau manusia untuk mendapatkan efikasi aktual antioksidan tersebut di dalam tubuh. Tetapi dikatakan pula bahwa penelitian ini memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar dan sulit mengetahui perbedaan pengaruh spesifik dari antioksidan dengan asupan pangan sehari-hari. Beberapa penelitian mengenai kapasitas antioksidan secara in vivo dilakukan menggunakan mencit, tikus, dan manusia. Prangdimurti et al. (2006), menyatakan bahwa terjadi peningkatan aktivitas SOD dan CAT pada hati tikus Sprague Dawley yang diberi asupan ekstrak daun suji. Jawi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan pada ubi jalar ungu menggunakan mencit jantan galur Swiss dan menghasilkan bahwa ekstrak ubi jalar ungu dapat meningkatkan kapasitas antioksidan pada hati mencit tersebut. Hasil penelitian Puspawati (2009) juga menyatakan bahwa asupan sorgum dan jewawut yang kaya antioksidan dapat meningkatkan aktivitas SOD, CAT, dan GPx pada hati tikus Sprague Dawley. Penelitian yang dilakukan oleh Kutlu et al. (2009) pada tikus hiperkolesterolemia yang disuplementasi dengan apricot cernel oil, memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan aktivitas enzim GPx dan CAT pada hatinya.