BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Contextual Teaching and Learning

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa yaitu tahap sensorimotor, pra

PENDEKATAN CTL (Contextual Teaching and Learning)

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruggiero (Johnson, 2007:187) mengartikan berfikir sebagai segala aktivitas mental

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan yang dipelajari (Winkel, 1996). Menurut Bloom dalam Winkel

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Inayah, 2013

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh seseorang untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

BAB II KAJIAN TEORI. yang dikenal dengan sebutan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1I KAJIAN PUSTAKA Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKS (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan kebutuhan manusia. Dengan belajar manusia dapat

Prinsip Pemelajaran KBK

SERI MATERI PEMBEKALAN PENGAJARAN MIKRO 2013 PUSAT LAYANAN PPL & PKL. Pembelajaran Kontekstual Contextual Teaching & Learning (CTL)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah pendekatan (approach) dalam pembelajaran memiliki kemiripan

TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar merupakan tindakan dan

Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk

TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

I. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Belajar merupakan aktivitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN TEORI. dapat diketahui hasilnya melalui penilaian proses dan penilaian hasil. Hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. ingin terus belajar. Hal tersebut didukung oleh pendapat Sardiman (2007 : 76)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran dalam Satyasa (2007:3) diartikan sebagai semua benda

Pembelajaran Berbasis Kontekstual 2

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

II. KERANGKA TEORETIS. Sesuatu yang telah dimiliki berupa pengertian-pengertian dan dalam batasan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. sendiri. Sedangkan Sinaga dan Hadiati (2001:34) mendefenisikan kemampuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penalaran menurut ensiklopedi Wikipedia adalah proses berpikir yang bertolak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori perkembangan Kognitif Piaget. dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilakunya karena hasil dari pengalaman.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah

dapat dialami langsung oleh siswa, hal ini dapat mengatasi kebosanan siswa dan perhatiannya akan lebih baik sehingga prestasi siswa dapat meningkat.

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keterkaitannya dan mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembicaraan tentang pembelajaran atau pengajaran tidak bisa dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. berpikir yang melibatkan berpikir konkret (faktual) hingga berpikir abstrak tingkat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Hasil Belajar. Sudjana, (2004:22) berpendapat hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA. bersifat membentuk atau merupakan suatu efek.

Teori Belajar. Oleh : Putri Siti Nadhiroh Putrinadhiroh.blogs.uny.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Menurut

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Matematika

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching And Learning (CTL)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)

A. Lingkungan Sekitar Sekolah sebagai Sumber Pembelajaran. Lingkungan menyediakan rangsangan (stimulus) terhadap individu dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TUJUAN UMUM MODEL PEMBELAJARAN A. MODEL PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdahulu yang relevan dengan variabel-variabel yang diteliti sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

BAB II PEMBELAJARAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA MATERI SEGI EMPAT. A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran Matematika

BAB II KAJIAN PUSTAKA. awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru.

Transkripsi:

1. Belajar a. Hakikat Belajar BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Belajar merupakan suatu proses yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku seseorang yang dilakukan secara sadar ataupun tidak disadari. Belajar sudah bukan merupakan tuntutan melainkan suatu kebutuhan yang penting bagi diri seseorang. Proses belajar sangat dipengaruhi oleh keaktifan pribadi peserta didik itu sendiri. Berkaitan dengan keaktifan, Budiningsih berpendapat bahwa, Keaktifan siswa menjadi unsur amat penting dalam menentukan kesuksesan belajar. Aktifitas mandiri adalah jaminan untuk mencapai hasil yang sejati (2005: 5). Banyak definisi pengertian belajar yang diungkapkan oleh para ahli. Salah satu definisi belajar dijelaskan melalui teori behavioristik. Berdasarkan teori behavioristik pengertian belajar adalah sebagai berikut: Perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ditunjukkan perubahan tingkah lakunya (Budiningsih, 2005: 20). Watson dalam Budiningsih (2005: 22) mengatakan bahwa, Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang harus diamati (observabel) dan dapat diukur. Respon stimulus tersebut hendaknya dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Berkaitan dengan peningkatan tiga kemampuan tersebut, Dimyati dan Mudjiono memberikan penguatan bahwa proses belajar dianggap sebagai kegiatan peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik untuk lebih baik (2002). Belajar yang merupakan kegiatan untuk merubah tingkah laku seseorang yang lebih baik, baik itu secara keseluruhan maupun sebagian. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto mengenai konsep belajar. Berkaitan dengan hal ini, Slameto mengungkapkan bahwa belajar merupakan bentuk perubahan pribadi sebagai hasil dari pengalaman diri dengan lingkungan (2010). Dalam proses belajar hendaknya akan terjadi suatu perubahan dimana perubahan sikap dan tingkah laku serta pola inilah yang 9

10 menjadi suatu hasil dari proses belajar. Berkaitan dengan perubahan tingkah laku, Slameto menjelaskan ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar antara lain perubahan dalam belajar terjadi secara sadar, bersifat kontinu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, bukan bersifat sementara, bertujuan dan terarah serta mencakup seluruh aspek tingkah laku untuk menjadi pribadi yang lebih baik (2010). Selanjutnya menurut Sadiman (2007: 21), Belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Berdasarkan dari uraian dari beberapa pengertian atau definisi dari belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon yang mengakibatkan perubahan tingkah laku menuju ke pribadi yang lebih baik dan bermakna bagi siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuan ranah kognitif, psikomotor dan afektif. Selain itu juga menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa pada pribadi manusia seutuhnya. b. Tujuan Belajar Setiap proses pasti ada suatu muara yang merupakan tujuan dari proses tersebut. Begitu pula proses belajar, belajar diidentikkan dengan proses yang kontinyu, terarah dan merubah tingkah laku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan belajar ini akan menghasilkan kemampuan siswa dalam ranah kognitif, ranah psikomotor dan ranah afektif. Tujuan belajar yang dikemukakan oleh Bloom dan Krathwohl dirangkum dalam tiga kawasan yang dikenal dengan Taksonomi Bloom. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah domain kognitif, domain psikomotor, dan domain afektif. Pada domain kognitif terdiri dari 6 tingkatan, antara lain pengetahuan, pemahaman, aplikasi, sintesis, dan evaluasi. Domain psikomotor mempunyai 5 tingkatan yaitu peniruan, penggunaan, ketepatan, perangkaian, dan melakukan gerak yang tidak semestinya. Kemudian domain afektif meliputi 5 tingkatan yaitu pengenalan, merespon, penghargaan, penghargaan, pengorganisasian, dan pengalaman yang bernilai (Budiningsih, 2005).

11 Sedangkan tujuan belajar menurut Sadiman dibagi menjadi tiga jenis yaitu (1) Untuk mendapatkan pengetahuan. Kemampuan berpikir menjadi dasar dari suatu proses belajar, tanpa adanya media pengetahuan yang memadai kemampuan berpikir tidak akan berkembang, sebaliknya juga demikian. Maka dari itu pengetahuan dan kemampuan berpikir sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan; (2) Penanaman konsep dan ketrampilan. Suatu proses belajar sangat erat hubungannya dengan ketrampilan. Keterampilan meliputi ketrampilan jasmani dan rohani yang dapat diasah denagn banyak melatih kemampuan; (3) Pembentukan sikap. Dari proses pembentukan mental atau nilai-nilai diharapkan dapat terjadi penghayatan terhadap nilai-nilai yang baik. Hal ini bertujuan supaya siswa mampu mempraktikan nilai-nilai tersebut secara nyata (2007). Berdasarkan uraian dari berbagai penjelasan dari tujuan belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan belajar adalah suatu hasil dari suatu proses belajar yang menghasilkan tiga ranah kemampuan siswa yaitu ranah kognitif, ranah psikomotor dan ranah afektif. Dimana tiga ranah tersebut mengandung ketrampilan, cara berpikir dan bersikap. Selain itu tujuan belajar dapat menghasilkan suatu pengetahuan, ketrampilan dan penanaman sikap ataupun mental serta nilai-nilai pada pribadi yang melakukan proses belajar. c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi belajar Jenis faktor-faktor yang mempengaruhi belajar pada umumnya beraneka ragam. Tetapi untuk mempermudah dalam mempelajarinya, faktor-faktor ini dikelompokkan. Banyak pengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dilakukan oleh para ahli. Secara umum, faktor-faktor yang dominan dalam mempengaruhi hasil belajar adalah faktor yang mempengaruhi dari dalam diri siswa dan dari luar diri siswa. Berkaitan dengan pengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, Syah memberikan tiga kelompok faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa. Faktor-faktor itu antara lain adalah faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), faktor eksternal (faktor dari luar siswa) dan faktor pendekatan belajar. Faktor internal siswa meliputi aspek fisiologis yang bersifat jasmaniah dan aspek psikologis yang bersifat rohaniah. Kondisi jasmani yang sehat dan bugar akan mempengaruhi semangat dan intensitas dalam mengikuti pelajaran. commit Sedangkan to user tingkat kecerdasan/ intelegensi,

12 sikap, bakat, minat dan motivasi siswa merupakan aspek rohaniah yang paling umum dipandang lebih penting untuk diperhatikan (2009). Pengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar oleh Syah diperkuat Slameto. Slameto (2010) mengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar menjadi dua golongan saja yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yaitu faktor jasmaniah yang meliputi kesehatan dan cacat tubuh; faktor psikologis yang meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan; dan faktor kelelahan yang meliputi kelelahan jasmani dan rohani. Sedangkan faktor Ekstern adalah faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Faktor keluarga meliputi cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan. Faktor sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. Faktor masyarakat yang meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dari dua ahli tersebut, faktor-faktor psikologi dalam belajar merupakan faktor yang sangat dominan dalam belajar. Mengenai masalah faktor psikologi ini, Sadiman berpendapat, Faktor-faktor psikologi akan senantiasa memberikan landasan dan kemudahan dalam mencapai tujuan belajar secara optimal. Sebaliknya, tanpa kehadiran faktor-faktor psikologis, bisa jadi memperlambat proses belajar, bahkan dapat pula menambah kesulitan dalam mengajar (2007: 39). Bertolak penjelasan dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi belajar adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berhubungan dengan aspek pribadi dan faktor eksternal berhubungan dengan aspek lingkungan pribadi. d. Masalah Masalah Pengajaran Setiap proses pengajaran yang berlangsung di sebuah tempat pastilah ada hambatannya. Hamalik memberikan beberapa commit jenis to user masalah dalam pembelajaran yaitu

13 masalah arah atau tujuan, tujuan suatu pengajaran kurang dimengerti oleh siswa sehingga para siswa mencoba menduga gurunya. Banyak pertanyaan yang menunjukkan bahwa apa-apa yang diberikan tidak relevan. Kemudian masalah evaluasi, masalah ini lebih mengarah pada prosedur evaluasi yang tidak dikenal oleh siswa. Sehingga prosedur kenaikan dan pengujian tidak adil dan tidak memuaskan para siswa. Masalah isi dan urutan pelajaran, masalah ini timbul karena isi pelajaran tidak jelas dan urutannya tidak logis. Sehingga materi pengajaran (course) dipandang tidak serasi dan tidak terorganisasi. Masalah metode, metode dirasa kurang mendorong dan tidak memajukan belajar sehingga para siswa tidak terotivasi dan tidak belajar. Kemudian yang terakhir masalah hambatan, sumber-sumber seperti ketrampilan guru, kemampuan siswa, dan sumber-sumber sekolah tidak dikenal sehingga guru dan siswa tidak mampu menggunakan sumber-sumber yang tersedia (2003). Berdasarkan penjelasan tersebut, masalah pengajaran dapat terjadi dikarenakan berbagai sebab, antara lain karena tujuan yang kurang tersampaikan, evaluasi tidak jelas, isi materi pengajaran, metode yang digunakan dalam pegajaran dan masalah hambatan lainnya yang mendasar adalah terbatasnya sumber belajar yang digunakan guru dan siswa. e. Teori Belajar Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang diharapkan menjadi lebih baik. Perubahan tersebuh meliputi sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan akibat pengalaman individu. Banyak teori belajar yang berkembang di masyarakat, berikut ini beberapa landasan teori belajar yang melandasi pembelajaran kontekstual yang berkaitan dengan penelitian pengembangan. Teori belajar tersebut antara lain; 1) Teori Belajar Konstruktivisme Kumpulan dari teori-teori belajar baru psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivisme. Teori belajar konstruktivisme ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan menstransformasikan informasi komplek, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha commit dengan to susah user payah dengan ide-ide. Teori ini

14 berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8). Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan pada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan didalam pikirannya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Nur, 2002: 8). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sejalan dengan teori belajar kontruktivisme, pembelajaran yang diterapkan dengan basis Contextual Teaching and learning (CTL) atau pembelajaran kontekstual mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman nyata. 2) Teori Pembelajaran Piaget Piaget cit. Paul Suparno (2006) menyebutkan, menurut filsafat kontruktivisme, pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) sendiri yang sedang menekuninya. Bila yang sedang menekuni adalah siswa maka pengetahuan itu adalah bentukan siswa sendiri. Teori perkembangan Piaget mewakili kontruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Belajar pengetahuan menurut Piaget cit. Dimyati dan Mudjiono (2002) ada tiga fase antara lain: 1) fase eksplorasi, siswa mempelajari gejala dengan bimbingan; 2) fase pengenalan, konsep siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala; 3) fase aplikasi, konsep siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut. Secara singkat Piaget cit. Dimyati dan Mudjiono (2002) menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, eksperimentasi dan eksplanasi. Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif.

Tabel 2.1 Tahap tahap Perkembangan Kognitif Piaget Tahap Perkiraan Usia Kemampuan-kemampuan utama Sensorimotor Lahir sampai 2 tahun Terbentuknya konsep kepermanenan obyek dan kemajuan gradual dari prilaku refleksif ke prilaku yang mengarah kepada tujuan. Pra operasional Operasi Kongkrit Operasi Formal 2 sampai 7 tahun Perkembangan kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia. Pemikiran masih egosentris dan sentrasi. 7 sampai 11 tahun Perbaikan dalam kemampuan untuk berfikir secara logis. Kemampuankemampuan baru termasuk penggunaan operasi-operasi yang yang dapat balik pemikiran tidak lagi sentrasi tetapi desentrasi, dan pemecahan masalah tidak begitu dibatasi oleh keegosentrisan. 11 tahun sampai Pemikiran abstrak dan murni simbolis dewasa mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui penggunaan eksperimentasi sistematis. Berdasarkan teori Piaget tersebut, penerapan pendekatan pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL) sangat tepat diterapkan pada siswa SMA karena siswa telah memiliki kemampuan berfikir abstrak dan logis yang dapat digunakannya untuk memecahkan permasalah yang berkaitan dengan kehidupan seharihari siswa. Hal ini berdasarkan siswa SMA kelas X rata-rata berusia 15 tahun termasuk anak yang memiliki kemampuan berfikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berfikir tersebut siswa mempunyai kemampuan untuk memecahkan permasalahan. 3) Teori Pembelajaran Bruner Salah satu model intruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan. Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna dalam. (dalam Trianto, 2008: 56). Bruner dalam Hamid (2011: 11) menyatakan belajar adalah bagaimana seorang memilih, mempertahankan, dan mentrasformasikan informasi secara aktif. Selama proses belajar berlangsung murid dibiarkan mencari dan menemukan 15

16 sesuatu yang dipelajarinya.menurut Bruner, proses belajar siswa tersebut melibatkan tiga hal yang berlangsung hampir bersamaan, yaitu: 1) memperoleh informasi baru, 2) transformasi informasi, 3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, serta mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen yang mengijinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri. Pembelajaran berbasis kontekstual sesuai dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Bruner. Pada pembelajaran kontekstual dengan komponen inquiri siswa diajak berpartisipasi aktif dari percobaan sederhana dalam memahami konsep-konsep dan memperoleh pengalaman nyata. Pada bagian inkuiri merupakan inti dari pembelajaran kontekstual, siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. 4) Teori Pembelajaran Vygotsky Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Teori Vygotsky ini lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development, yaitu daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini (Rodi, 2015: 23). Kurniawan (2013: 17) menerangkan bahwa Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik, dan serta dialog/ komunikasi verbal dengan individu lain. Penerapan teori pembelajaran Vygotsky bertolak pada pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik yaitu siswa yang belajar dalam kelompok kecil dapat mengkonstruksikan gagasan-gagasan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Para siswa dalam tahap ini diharapkan dapat bertukar pendapat atau pemikiran selama proses pembelajaran berlangsung, sehingga akan diperoleh solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

17 Penerapan pembelajaran berbasis kontekstual sejalan dengan teori belajar Vygotsky karena dalam kontekstual siswa dituntut untuk bertukar informasi dalam dan antar kelompok kecil. Siswa mendapat kesempatan memecahkan masalah dalam kelompok-kelompok kecil yang juga dikembangkan keterampilan psikomotorik dan keterampilan sosial seperti mengemukakan pendapat, pendengar aktif, dan menyampaikan kembali. 2. Modul a. Arti Modul Modul merupakan bahan ajar mandiri (cetak/software) yang dirancang atau disusun secara sistematis dan menarik (Diktat Bimtek KTSP, 2009). Mengenai pengertian modul lainnya, Daryanto mengatakan bahwa modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, didalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik (2013: 9). Mulyasa (2006:43) mengungkapkan bahwa modul merupakan suatu proses pembelajaran mengenai pokok bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, operasional, dan terarah untuk digunakan oleh siswa, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru. Sebuah modul merupakan pernyataan satuan pembelajaran dengan tujuan kompetensinya. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa modul merupakan alat bantu belajar peserta didik yang berfungsi mempermudah aktivitas dan mencapai tujuan belajar siswa, dimana modul mengandung pokok bahasan tertentu yang sistematis, operasional dan terarah. b. Kemandirian belajaristik Modul Kemandirian belajaristik modul merupakan aspek yang sangat penting dalam proses pengembangan modul. Berikut ini adalah Kemandirian belajaristik yang perlu diperhatikan dalam penyusunan atau pengembangan modul, Daryanto (2013) menjelaskan dalam 5 komponen yaitu: 1) Intruksi Pribadi (Self-instruction) Dengan Kemandirian belajaristik ini, modul mampu memungkinkan peserta didik mampu belajar secara mandiri dan commit tidak tergantung to user pada pihak lain. Peserta didik

18 dapat terjun secara langsung dalam proses pembelajaran. Untuk memenuhi aspek Selfinstruction, sebuah modul harus memuat tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, contoh dan liustrasi, soal-soal latihan, kontekstual, bahasa yang sederhana dan komunikatif, rangkuman, instrumen penilaian, umpan balik dan yang terakhir adalah informasi rujukan/ pengayaan/ referensi. 2) Berisi Lengkap (Seft Contained) Modul dikatakan Seft Contained bila seluruh materi pembelajaran yang dibutuhkan termuat dalam modul tersebut. Tujuan dari modul tersebut adalah membuat siswa belajar secara tuntas dan menyeluruh. Materi pembelajaran dikemas menjadi suatu kesatuan yang utuh. 3) Berdiri Sendiri (Stand Alone) Berdiri sendiri merupakan Kemandirian belajaristik modul yang tidak bergantung dengan media lain dan tidak harus digunakan bersama-sama dengan media lain. Dengan menggunakan modul, peserta didik tidak perlu menggunakan bahan ajar/ media lain untuk mengarjakan tugas pada modul tersebut. Jika peserta didik masih menggunakan dan bergantung dengan bahan lain selain menggunakan modul, maka bahan ajar tidak dikategorikan sebagai modul berdiri sendiri. 4) Adaptif (Adaption) Modul hendaknya memiliki daya adapsi yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul dapat menyesuaiakan perkembangan ilmu pengetahuan dan tegnologi, serta fleksibel/ luwes digunakan di berbagai perangkat keras (hardware). 5) Bersahabat/ Akrab (User Friendly) Modul juga hendaknya memenuhi Kemandirian belajaristik kaidah bersahabat/ akrab dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, salah satunya adalah kemudahan pemakai dalam meres[on dan mengakses sesuai dengan keinginan. Pengunaan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, serta menggunakan istilah yang umum digunakan merupakan salah satu bentuk dari user frindly. Kemandirian belajaristik modul dapat diketahui dari formatnya yang disusun atas dasar:

19 1) prinsip-prinsip desain pembelajaran yang berorientasi kepada tujuan (objective model) 2) prinsip belajar mandiri 3) prinsip belajar maju berkelanjutan (continuous progress) 4) penataan materi secara modular yang utuh dan lengkap (self contained) 5) prinsip rujuk silang (cross referencing) antar modul dalarn rnata pelajaran 6) penilaian belajar mandiri terhadap kemajuan belajar (self-evaluation). c. Tujuan Penulisan Modul Menurut Subdit Pembelajaran Direktorat Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (2008), tujuan penulisan modul adalah: 1) memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal; 2) mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik siswa maupun guru; 3) dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti: meningkatkan motivasi dan gairah belajar bagi siswa, mengembangkan kemampuan siswa dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya, memungkinkan siswa belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya, memungkinkan siswa dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil belajarnya. d. Teknik Pengembangan Modul Ada tiga teknik yang dapat dipilih dalam menyusun modul. Ketiga teknik tersebut menurut Sungkono, dkk.(2003:10), yaitu menulis sendiri, pengemasan kembali informasi, dan penataan informasi: 1) Menulis Sendiri (Starting from Scratch) Penulis/guru dapat menulis sendiri modul yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Asumsi yang mendasari cara ini adalah bahwa guru adalah pakar yang berkompeten dalam bidang ilmunya, mempunyai kemampuan menulis, dan mengetahui kebutuhan peserta didik dalam bidang ilmu tersebut.. 2) Pengemasan Kembali Informasi (Information Repackaging) Penulis/guru tidak menulis modul sendiri, tetapi memanfaatkan buku-buku teks dan informasi yang telah ada di pasaran untuk dikemas kembali menjadi modul yang memenuhi Kemandirian belajaristik modul yang baik. Modul atau informasi yang sudah ada dikumpulkan berdasarkan commit to kebutuhan user (sesuai dengan kompetensi,

20 silabus dan RPP/SAP), kemudian disusun kembali dengan gaya bahasa yang sesuai. Selain itu juga diberi tambahan keterampilan atau kompetensi yang akan dicapai, latihan, tes formatif, dan umpan balik. 3) Penataan Informasi (Compilation) Cara ini mirip dengan cara kedua, tetapi dalam penataan informasi tidak ada perubahan yang dilakukan terhadap modul yang diambil dari buku teks, jurnal ilmiah, artikel, dan lain-lain. Dengan kata lain, materi-materi tersebut dikumpulkan, digandakan dan digunakan secara langsung. Materi-materi tersebut dipilih, dipilah dan disusun berdasarkan kompetensi yang akan dicapai dan silabus yang hendak digunakan. e. Komponen-komponen Modul Untuk menghasilkan modul pembelajaran yang mampu memerankan fungsi dan perannya dalam pembelajaran yang efektif, maka modul sebaiknya berkualitas. Kualitas modul dinilai dari empat aspek, yaitu: aspek-aspek yang didasarkan pada standar penilaian bahan ajar oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2008) yang antara lain adalah aspek kelayakan isi, kelayakan bahasa, kelayakan penyajian dan kelayakan kegrafikaan. 1) Aspek Kelayakan Isi Aspek kelayakan isi mencakup: a) Kesesuaian Uraian Materi dengan SK dan KD; b) Keakuratan Materi; c) Kemutakhiran Materi; d) Mendorong Keingintahuan. 2)Aspek Kelayakan Bahasa Aspek kelayakan bahasa mencakup: a) Lugas; b) Komunikatif, c) Dialogis dan Interaktif; d) Kesesuaian dengan Perkembangan Siswa. 3)Aspek Kelayakan Penyajian Aspek kelayakan penyajian meliputi: a) Teknik Penyajian; b) Pendukung Penyajian; c) Penyajian Pembelajaran; d) Koherensi dan Keruntutan Alur Pikir. 4)Aspek Kelayakan Kegrafikaan Aspek kelayakan kegrafikaan mencakup: a) Ukuran Modul; b) Desain Kulit Modul; c) Desain Isi Modul. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan modul adalah penyusunan struktur atau kerangka modul. commit Depdiknas to user (2008) menyebutkan bahwa

21 modul berisi: 1) Petunjuk Belajar (Petunjuk Siswa/Guru); 2) Kompetensi yang akan dicapai; 3) Content atau isi Materi; 4) Informasi Pendukung; 5) Latihan-latihan; 6) Petunjuk Kerja, atau Lembar Kerja (LK); 7) Evaluasi; 8) Balikan terhadap evaluasi. f. Prosedur Pengembangan Modul Penulisan modul yang disarikan oleh Depdiknas (2008) melalui tahapan sebagai berikut: 1) Analisis Kebutuhan Modul Analisis kebutuhan modul merupakan kegiatan menganalisis kompetensi/tujuan untuk menentukan jumlah dan judul modul yang dibutuhkan untuk mencapai kompetensi. Analisis kebutuhan modul menurut Depdiknas (2008:12) sebagai berikut: (a) Menetapkan kompetensi yang terdapat di dalam garisgaris besar program pembelajaran yang akan disusun modulnya; (b) Mengidentifikasikan dan menentukan ruang lingkup unit kompetensi tersebut; (c) Mengidentifikasikan dan menentukan aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang disyaratkan; (d) Menentukan judul modul yang akan ditulis; (e) Kegiatan analisis kebutuhan modul dilaksanakan pada tahap awal pengembangan modul. 2) Penyusunan Draft Penyusunan draft modul merupakan proses penyusunan dan pengorganisasian materi pembelajaran dari suatu kompetensi menjadi satu kesatuan yang sistematis. Kegiatan penyusunan draft modul menurut Depdiknas (2008:13) sekurang-kurangnya mencakup: (a) Judul modul; (b) Kompetensi atau sub kompetensi yang akan dicapai; (c) Tujuan; (d) Materi pelajaran; (e) Kegiatan belajar siswa; (f) Tugas dan latihan soal yang harus dikerjakan siswa; (g) Evaluasi atau penilaian; (h) Kunci jawaban. 3) Validasi Validasi adalah proses permintaan persetujuan atau pengesahan terhadap kesesuaian modul dengan kebutuhan. Validasi perlu dilakukan dengan melibatkan pihak praktisi yang ahli sesuai dengan bidang-bidang terkait dalam modul untuk mendapatkan pengakuan kesesuaian tersebut. Validasi modul bertujuan untuk memperoleh pengesahan kesesuaian modul dengan kebutuhan sehingga modul tersebut layak dan cocok digunakan commit dalam to pembelajaran. user Validasi modul meliputi

22 validasi isi materi, penggunaan bahasa, serta penggunaan metode instruksional. Berdasarkan kegiatan validasi draft modul akan dihasilkan draft modul yang mendapat masukan dan persetujuan dari para validator, sesuai dengan bidangnya. Masukkan tersebut digunakan sebagai bahan penyempurnaan modul. 4) Revisi Revisi atau perbaikan merupakan proses penyempurnaan modul setelah memperoleh masukan dari kegiatan validasi. Kegiatan revisi draft modul bertujuan untuk melakukan penyempurnaan yang komprehensif terhadap modul, sehingga modul sesuai dengan masukan yang diperoleh dari kegiatan sebelumnya. 5) Uji Coba Uji coba draft modul adalah kegiatan penggunaan modul pada peserta terbatas (kelompok kecil), untuk mengetahui keterlaksanaan dan manfaat modul dalam pembelajaran sebelum modul tersebut digunakan secara umum. Berdasarkan hasil uji coba diharapkan diperoleh masukan sebagai bahan penyempurnaan draft modul yang diujicobakan. 3. Pembelajaran Kontekstual a. Pengertian Kontekstual Konteks berasal dari kata kerja Latin contextere yang berarti menjalin kerja sama. Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan diri, yang terjalin bersamanya. Pendekatan kontekstual merupakan sebuah strategi pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan dari benaknya sendiri. Jadi CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi yang terdapat di sekitar siswa, sehingga mendorong siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang telah dimilikinya dengan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini dikuatkan oleh Suprijono (2013), pembelajaran CTL merupakan suatu konsep yang mengaitkan materi dengan kehidupan nyata supaya mendorong peserta didik membangun pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan mereka sehari-hari dalam masyarakat.

Menurut sebagai berikut: Elaine B. Johnson, pengertian Contextual Teaching and Learning Contextual teaching and learning is an educational process that aims to help student see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily live, that is, with context of their personal, social, and cultural circumstance. To archive this aim, the system encompasses the following eight components: making meaningful connections, doing significant work, selfregulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assessment. (Elaine B. Johnson,2009:19) Pernyataan di atas mempunyai arti bahwa CTL merupakan proses pendidikan yang membantu siswa melihat makna dalam materi-materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yakni dengan konteks keadaan pribadi, sosial, budaya mereka. Untuk mencapainya, sistem ini memiliki 8 komponen yakni: 1) Membuat keterkaitan-keterkaitan tersebut bermakna. 2) Melakukan pekerjaan yang berarti. 3) Pembelajaran yang mandiri. 4) Kerja sama. 5) Berpikir kritis dan kreatif. 6) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang. 7) Mencapai standar yang tinggi. 8) Menggunakan penilaian yang autentik. b. Komponen-Komponen Kontekstual Komponen pembelajaran kontekstual memiliki 7 komponen penting yaitu kontruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning comunity), pemodelan (modelling), refleksi, penilaian auntentik, (Suprijono, 2013). 1) Konstruktivisme (Constructivism) Merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). Pengetahuan dibangun secara asimilasi dan akomodasi. Belajar secara kontruktivisme menekankan pada pengetahuan yang menggiring siswa mempersiapkan kegiatan belajar seperti mengembangkan ide dalam bertanya dan menjelaskan pengetahuan yang didapat (Garbett, 2011). 23

24 2) Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan inti dari kegiatan pembelajaran yang berbasis CTL. Belajar penemuan merujuk pada proses dan hasil belajar. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ripandelli (2003) bahwa pertanyaan- pertanyaan inquiry menggiring siswa membuat kesimpulan dan prekdisi menggunakan perkiraan dan pengukuran terhadap data-data seperti diagram, grafik, dan persamaan sesuai dengan fakta. 3) Bertanya (Quetioning) Pembelajaran kontekstual dibangun dari dialog interaktif melalui tanya jawab oleh keseluruhan yang unsur yang terlibat dalam komunitas belajar. Bertanya dalam pembelajaran yang berbasis CTL dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dengan bertanya siswa dapat menggali informasi, mengkonfirmasi hal-hal yang telah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. 4) Masyarakat belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar ditujukan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain sebagai proses sosial sehingga lebih bermakna.. Kerjasama dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dalam kelompok belajar formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Kelompok tersebut dapat dalam kelompok besar dan kelompok kecil dengan mendatangkan ahli didalamnya. 5) Pemodelan (Modelling) Pembelajaran kontekstual menekankan arti penting pendesmonstrasian terhadap hal yang dipelajarai oleh peserta didik. Dalam pendekatan CTL guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Siswa yang terlibat ini, dapat dikatakan sebagai model. 6) Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir tentang hal-hal yang baru dipelajari atau berpikir hal-hal yang telah dilakukan. Refleksi merupakan upaya untuk melihat kembali, mengorganisir kembali, menganalisis kembali, mengklarifikasi kembali, dan mengevaluasi kembali hal-hal yang telah commit dipelajari. to user

7) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) Penilaian autentik adalah upaya pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa. c. Perbedaan Pembelajaran CTL dengan Pembelajaran Tradisional Pembelajaran CTL dibandingkan dengan pembelajaran traditional cukup berbeda. Hal ini dikemukaan Blanchard, membandingkan pola pembelajaran tradisional dengan CTL sebagai berikut: Tabel 2.1. Perbedaan Pengajaran Tradisional dan Pengajaran Kontekstual Pengajaran Tradisional Menyandarkan pada hafalan Pengajaran Kontekstual Menyandarkan pada memori spasial Mengintegrasikan berbagai bidang disiplin atau multidisiplin Nilai informasi bergantung pada peserta didik Menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik Penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan problem nyata (Sumber: Suprijono, 2013: 83) Pembelajaran secara tradisional sudah termasuk di dalam pembelajaran CTL, Berfokus pada satu bidang disiplin Nilai informasi bergantung pada guru Memberikan informasi kepada peserta didik sampai pada saatnya dibutuhkan Penialaian hanya akademik formal berupa ujian hal ini diperkuat dengan pernyataan Smith. Smith berpendapat, The characterizing Contextual Theaching and Learning were then aligned and compared with thoose of traditional methods of teaching. Traditional methods of theaching include, but are not limited to lecture, discussion and questioning, and drill and practice (2010: 25). Pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL) berdasarkan penjelasan diatas dapat diterapkan dengan berbagai langkah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini: 1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; 2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik; 3) kembangkan sifat ingin tahu commit siswa dengan to user bertanya; 4) ciptakan masyarakat 25

belajar (belajar dalam kelompok-kelompok); 5) hadirkan model sebagai contoh pembelajaran; 6) lakukan refleksi di akhir pertemuan; 7) lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara yang betul-betul menunjukan kemampuan siswa. Pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL), suatu kompetensi dapat dicapai ketika guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti yang ditunjukan pada Tabel 2.2 sebagai berikut. Tabel 2.2 Sintaks/Tahapan Pembelajaran Melalui Pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) di Kelas. Tahap Kegiatan Pendahuluan Inti Aktivitas Guru Aktivitas Siswa CTL 1. Menyampaikan tujuanpembelajar an. 2. Menyampaikan prasyarat. 3. Menyampaikan motivasi 4. Menyampaikan materi dan memberikan contoh. 5. Menjelaskan dan medemonstrasika n suatu percobaan yang berkaitan dengan materi. 6. Mengorganisasika n siswa ke dalam kelompok belajar yang heterogen. 7. Membimbing siswa menjawab pertanyaan yang ada di LKS. 8. Meminta perwakilan dari setiap kelompok mempersentasika n hasil diskusi di depan kelas. 1. Mendengarkan tujuan pembelajaran yang disampaikan guru. 2. Menjawab prasyarat dari guru 3. Menjawab motivasi dari guru. 4. Mendengar dan mencatat penjelasan dari guru 5. Memperhatikan demostrasi guru. 6. Membentuk kelompok. Melakukan percobaan yang ada di LKS 7. Menjawab pertanyaan yang ada di LKS 8. Mempersentasikan hasil percobaan kelompok yang diperoleh. Questionig Contructivim Inquiry Learning Community Modeling 26

Tahap Kegiatan Penutup Aktivitas Guru Aktivitas Siswa CTL 9. Membimbing siswa menyimpulkan semua materi yang telah dipelajari. 10. Memberikan tes 4. Kemampuan Berpikir Kritis a. Pengertian Berpikir Kritis 9. Menyimpulkan materi yang telah dipelajari. 10. Mengerjakan soalsoaltes. Reflection Authentic Assesment (Sumber: Rodi, 2015: 34) Berpikir kritis adalah kemampuan yang sangat mempengaruhi suatu pembelajaran bagi seorang peserta didik. Proses berpikir kritis sangat diperlukan dalam pemahaman materi yang dipelajari. Ada beberapa pendapat mengenai pengertian kemampuan berpikir kritis. Menurut Afrizon dkk (2012) menjelaskan pengertian berpikir kritis dari berbagai yang dirangkum dari pendapat beberapa ahli merupakan suatu sikap yang bergantung pada perilaku berkarakter yang dianggap sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Ennis dalam Afrizon dkk, menjelaskan kemampuan berpikir kritis sebagai suatu proses pemikiran yang logis dan reflektif yang berfokus pada sebuah tujuan yang dilengkapi alasan yang tegas tentang suatu kepercayaan atau kegiatan yang telah dilakukan. Berdasarkan penjelasan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari berpikir kritis adalah suatu proses menenmukan atau inquiri dalam menghadapi suatu masalah yang muncul untuk menentukan suatu keputusan melalui suatu pemikiran yang logis dan mencapai suatu tujuan. b. Tahapan Berpikir Kritis Menurut Ennis dalam Afrizon, dkk (2012) dalam Goal for A Critical Thinking Curiculum, terdapat lima tahap berpikir dengan masing-masing indikatornya sebagai berikut: 1) Memberikan penjelasan sederhana, meliputi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis pernyataan, dan bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan. 27

2) Membangun keterampilan dasar, meliputi: mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya/ tidak, dan mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi. 3) Menyimpulkan, meliputi: mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan menentukan nilai pertimbangan. 4) Memberikan penjelasan lanjut, meliputi: mendefinisikan istilah dan pertimbangan dalam tiga dimensi, dan mengidentifikasi asumsi. 5) Mengatur strategi dan taktik, meliputi: a) menentukan tindakan, b) berinteraksi dengan orang lain. Berdasarkan tahapan tersebut, dapat dijelaskan bahwa tahapan berpikir kritis dimulai dari pemikiran sederhana, kemudian membangun ketrampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut dan mengatur strategi dan taktik. c. Indikator Berpikir Kritis Kemampuan berpikir kritis penting untuk dikembangkan, diterapkan serta diintegrasikan dengan kurikulum agar peserta didik terlibat dalam pembelajaran yang aktif. Menurut Ennis dalam Poppy (2011:4) terdapat empat indikator kemampuan berpikir kritis yaitu: 1) memberikan penjelasan sederhana terdiri dari keterampilan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan 2) membangun keterampilan dasar terdiri dari menyesuaikan dengan sumber, mengamati dan melaporkan hasil observasi 3) menyimpulkan terdiri dari keterampilan mempertimbangkan kesimpulan, melakukan generalisasi dan melakukan evaluasi 4) membuat penjelasan lanjut contohnya mengartikan istilah dan membuat definisi 5) mengatur strategi dan taktik contohnya menentukan suatu tindakan dan berinteraksi dengan orang lain dan berkomunikasi. Kemampuan berpikir kritis dapat diukur dengan tahapan berpikir secara ilmiah. Menurut Wahab (2013:104), indikator keterampilan berpikir kritis disajikan pada tabel 2.3 sebagai berikut: 28

29 Tabel 2.3. Indikator-Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Indikator keterampilan berpikir kritis 1. Merumuskan masalah 2. Memberikan argument 3. Melakukan deduksi 4. Melakukan induksi 5. Melakukan evaluasi Deskriptor keterampilan berpikir kritis a) Memformulasikan pertanyaan yang mengarahkan investigasi jawaban dengan penjelasan sederhana a) Argument sesuai dengan kebutuhan b) Menunjukan persamaan dan perbedaan c) Argument yang diajukan orisinil dan utuh a) Mendeduksi secara logis b) Menginterprestasi secara tepat a) Menganalisis data b) Membuat generalisasi c) Menarik kesimpulan a) Mengevaluasi berdasarkan fakta b) Memberikan alternative lain 6. Mengambil keputusan dan a) Menentukan jalan keluar b) Memilih kemungkinan yang akan menentukan tindakan dilaksanakan ( Sumber: Wahab.2013:104) Berdasarkan Philips, dkk dalam Afrizon, dkk (2012: 12), menjabarkan alat ukur atau tes kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan dari lima subskala sebagai berikut ini: 1) Analisis (analysis), subskala analisis mengukur apakah seseorang dapat memahami dan menyatakan maksud atau arti dari suatu data yang bervariasi, pengalaman, dan pertimbangan. 2) Evaluasi (evaluation), subskala evaluasi mengukur kemampuan seseorang untuk melihat informasi dan kekuatan nyata atau relasi kesimpulan, kemampuan untuk menyatakan hasil pemikiran seseorang. 3) Kesimpulan (inference), subskala kesimpulan mengukur kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi dan mengamankan informasi yang diperlukan untuk menggambarkan kesimpulan. 4) Pemikiran deduktif (deductive reasoning), subskala pemikiran sesuktif mengukur kemampuan seseorang dimulai dari hal yang bersifat umum atau premis yang dianggap benar, sampai pada kesimpulan yang bersifat khusus. 5) Pemikiran induktif (inductive reasoning), subskal pemikiran induktif mengukur kemampuan seseorang commit to dimulai user dari premis dan aplikasi yang

terkait dengan pengetahuan dan pengalaman, menjangkau kesimpulan yang umum. Menurut Facione, (dalam Muanisah,2010) ada enam kecakapan berpikir kritis utama yang terlibat di dalam proses berpikir kritis seperti pada tabel 2.4 berikut: Tabel 2.4 Aspek Kemampuan Berpikir Kritis 30 Aspek keterampilan Interpretasi Analisis Inference Evaluasi Penjelasan Definisi Ahli Untuk memahami dan mengekspresikan makna dari keberartian berbagai macam pengalaman, representasi, situasi, data, kejadian, penilaian, kaidah-kaidah, aturan, prosedur atau criteria Untuk mengenali hubungan inferensial yang diharapkan dan yang sesungguhnya antara pernyataan, pertanyaan, deskripsi, atau hubunganhubungan representasi lain yang diharapkan dapat mengekspresikan keyakinan, penilaian, pengalaman, alasan, informasi atau pilihan. Mengenali dan memperoleh unsur yang diperlukan untuk menarik kesimpulan yang masuk akal; merumuskan dan memecahkan dugaan hipotesis; mempertimbangkanstrategi mencari informasi yang relevan; dan mengurangi konsekuensi yang ditimbulkan dari data, pernyataan, prinsip, bukti, penilaian, keyakinan, opini, konsep, deskripsi, pernyataan, atau bentuk-bentuk representasi lainnya. Menilai kredibilitas pernyataan atau representasi lainnya yaitu catatancatatan atau deksripsi tentang persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, keyakinan atau opini, konsep, deskripsi, pertanyaan, atau bentuk-bentuk representasi seseorang. Menyatakan dan membenarkan bahwa pertimbangan dalam kaitannya dengan pertimbangan bukti, konseptual, metodologi, anterologi, commit dan to kontekstual user Sub Keterampilan Mengelompokka n signifikansi pengkodean mengklarifikasi makna mengkaji gagasan mendeteksi agumen analisis argumen menanyakan bukti dugaan alternatif menyusun kesimpulan menyatakan hasil membenarkan prosedur menyajikan argumen menyatakan hasil mendukung prosedur menyajikan

31 yang menjadi dasar dari hasil seseorang; dan untuk menyajikan pertimbangan seseorang dalam bentuk pendapatpendapat yang kuat. Regulasi Diri Secara sadar seseorang memantau pengetahuannya, unsur-unsur yang digunakan dalam kegiatan tersebut, dan hasilnya direduksi denga menerapkan keterampilan dalam menganalisis dan mengevaluasi penilaian inferensial pada dirinya dengan sebuah pandangan kearah pertanyaan yang menegaskan, memvalidasi atau pertimbangan orang lain. argumenargumen pemantauan diri perbaikan diri Tabel 2.5 Aspek keterampilan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian. Aspek keterampilan berpikir kritis Indikator Interpretasi Menyajikan informasi kedalam konversi bahasa,angka,grafik,gambar,simbol Membuat deskripsi atau penjelasan informasi tentang ide,kata-kata,gambar,angka atau peristiwa Analisis Mengidentifikasi masalah Mengenali hubungan antar representasi disertai alasan Inference Merumuskan dugaan atau hipotesis Strategi mencari informasi yang relevan Membuat kesimpulan Evaluasi Menentukan kebenaran argumen Menggunakan prinsip atau konsep untuk memecahkan masalah Penjelasan mempresentasikan penalaran seseorang dalam bentuk argumen-argumen atau alasan yang kuat. Regulasi Diri mengoreksi baik penalarannya atau hasilhasilnya. d. Cara Meningkatkan Berpikir kritis Di dalam kelas atau ketika berinteraksi dengan orang lain, cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan berpikir kritis adalah: 1) Membaca dengan kritis

32 Berpikir secara kritis seseorang harus membaca dengan kritis pula. Dengan membaca secara kritis, diterapkan keterampilan-keterampilan berpikir kritis seperti mengamati, menghubungkan teks dengan konteksnya, mengevaluasi teks dari segi logika dan kredibilitasnya, merefleksikan kandungan teks dengan pendapat sendiri, membandingkan teks satu dengan teks lain yang sejenis. 2) Meningkatkan daya analisis Suatu diskusi dicari cara penyelesaian yang baik, untuk suatu permasalahan, kemudian mendiskusikan akibat terburuk yang mungkin terjadi. 3) Mengembangkan kemampuan observasi atau mengamati Dengan mengamati akan didapat penyelesaian masalah yang misalnya menghendaki untuk menyebutkan kelebihan dan kekurangan, pro dan kontra akan suatu benda, kejadian atau hal-hal yang diamati. Dengan demikian memudahkan seseorang untuk menggali kemampuan kritisnya. 4) Meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi Pengajuan pertanyaan yang bermutu, yaitu pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban benar atau salah atau tidak hanya satu jawaban benar, akan menuntut siswa untuk mencari jawaban sehingga mereka banyak berpikir. 5. Kreativitas a. Pengertian Kreativitas Pengertian kreativitas secara tradisional berhubungan dengan penemuan sesuatu yang baru dengan menggunakan sesuatu yang telah ada. Sesuatu yang baru itu mungkin berupa perbuatan atau tingkah laku (Slameto,2010:145). Sedangkan menurut Moreno dalam Slameto (2010:146), kreativitas bukan penemuan sesuatu yang belum pernah diketahui orang sebelumnya, melainkan sesuatu yang baru bagi diri sendiri dan tidak harus merupakan sesuatu yang baru bagi orang lain atau dunia pada umumnya. Menurut Munandar (2012:14), kreativitas adalah hasil dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan dimanapun berada, dengan demikian perubahan di dalam individu atau lingkungan dapat menunjang atau menghambat upaya kreatif. Sedangkan menurut Semiawan (1988) dalam Harsono (2009:45), kreativitas adalah bentuk aktualisasi diri

33 manusia yang paling hakiki didalamnya melibatkan kemampuan rasional, kemampuan emosional atau perasaan, bakat khusus, kemampuan imajinasi, intuisi, dan fantasi. Kreativitas dapat dipandang sebagai proses memikirkan berbagai gagasan atau pemecahan masalah. Berpikir kreatif bersifat holistik dan imajinatif dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Dalam berpikir kreatif, pikiran akan menjelajahi semua persoalan untuk mencari jawaban terhadap suatu persoalan. Menurut Cameron dalam Johnson (2009), kreativitas adalah ciptaan alami dari suatu kehidupan, dimana ciptaan tersebut adalah diri pribadi seseorang yang mempunyai takdir meneruskan kreativitas dengan menjadikan diri yang kreatif. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan kemampuan alamiah yang sudah ada pada diri pribadi seseorang dengan berbagai potensi diri yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru sebagai suatu proses pribadi kreatif b. Ciri-ciri Individu Kreatif Menurut Sund (1975), individu dengan potensi kreatif dapat dikenal melalui pengamatan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Hasrat keingintahuan yang cukup besar; (2) Bersikap terbuka terhadap pengalaman baru; (3) Panjang akal; (4) Keinginan untuk menemukan dan meneliti; (5) Cenderung lebih menyukai tugas yang berat dan sulit; (6) Cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan; (7) Memiliki dedikasi bergairah serta aktif dalam melaksanakan tugas; (8) Berpikir fleksibel; (9) Menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban lebih banyak; (10) Kemampuan membuat analisis dan sintesis; (11) Memiliki semangat bertanya serta meneliti; (12) Memiliki daya abstraksi yang cukup baik; (13) Memiliki latar belakang membaca yang cukup luas (Slameto, 2010: 147-148).

34 Kreativitas Afektif (non aptitude) Kognitif (aptitude) Rasa ingin tahu Imajinatif Tertantang oleh kemajemukan Berani mengambil resiko Sifat menghargai Berpikir lancar Berpikir luwes Berpikir orisinil Elaborasi Mengevaluasi Gambar 2.1 Ciri-Ciri Kreativitas Ditinjau Secara Afektif dan Kognitif (Sumber: Harsono, 2009:46) Menurut Munandar (1999) dalam Harsono (2009:46-48), kreativitas berhubungan dengan faktor kognitif dan non kognitif. Berdasarkan ciri-ciri tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.1 Berdasarkan Gambar 2.1, ciri-ciri non aptitude adalah ciri-ciri yang berhubungan dengan sikap dan perasaan. Ciri-ciri non aptitude meliputi rasa ingin tahu, bersifat imajinatif, tertantang oleh kemajemukan, berani mengambil resiko, bersifat menghargai. Rasa ingin tahu, mencakup rasa selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak, mengajukan banyak pertanyaan dan peka dalam pengamatan. Imajinatif, mencakup kemampuan memperagakan atau membayangkan hal-hal yang belum terjadi dengan menggunakan khayalan. Tertantang oleh kemajemukan, mencakup rasa terdorong untuk mengatasi masalah yang sulit, merasa tertantang oleh situasi yang rumit, dan lebih tertarik pada tugas yang sulit. Sifat mengambil resiko, mencakup keberanian memberikan jawaban meskipun belum tentu benar, tidak takut gagal, tidak takut mendapat kritik, dan tidak ragu-ragu karena ketidakjelasan. Sifat menghargai, mencakup kemampuan menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup dan menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang berkembang (Harsono, 2009:47). Dalam penelitian ini menggunakan ciri-ciri afektif dengan lima spek yang akan dinilai yaitu rasa ingin tahu, imajinatif, tertantang oleh kemajemukan, sifat mengambil resiko, dan sifat menghargai. Adapun aspek dan indikator yang digunkana dalam penelitian pengembangan ini dapat dijelaskan pada Tabel 2. Sebagai berikut;

Tabel 2.6. Aspek dan Indikator Kreativitas yang digunakan dalam Penelitian Aspek Kreativitas Rasa Ingin Tahu Imajinatif Tertantang Kemajemukan Indikator Kreativitas a. Senang mencari literature atau informasi dari sumber lain. b. Senang dengan sesuatu yang baru. c. Bereksperimen dengan benda-benda yang berhubungan dengan sumber informasi yang dicari. d. Mengungkapkan pertanyaan untuk memahami suatu materi. a. Memikirkan sesuatu yang baru sehingga membentuk sesuatu ide atau gagasan baru. b. Mampu membuat rangkuman pelajaran setelah pembelajaran. c. Menceritakan ulang penjelasan guru setelah diskusi. d. Merencanakan kegiatan yang menarik dan belum pernah terjadi dalam pembelajaran. a. Memecahkan masalah dengan kemampuan sendiri. b. Tidak cenderung mencari jalan yang termudah c. Berdaya juang tinggi dalam menghadapi suatu masalah. d. Mampu melihat berbagai permasalahan dari berbagai sudut pandang. Berani Mengambil Resiko a. Berani mempertahankan gagasan atau pendapat yang benar. b. Berani mengakui kesalahan yang telah dilakukan sendiri. c. Berani mencoba hal-hal baru. d. Berani menerima kritik dari orang lain. Menghargai a. Menghormati teman yang sedang berpendapat. b. Menghargai kesempatan dengan memberikan gagasan jika diberi kesempatan. c. Menghargai guru yang sedang memberikan pembelajaran. d. Bertanggung jawab ketika diberikan tugas dari guru. 35

c. Penghalang Kemampuan kreativitas Kreativitas pada seorang individu hendaknya dapat dikembangkan terusmenerus untuk lebih baik. Menurut Johnson (2009), menjelaskan bahwa sebuah pribadi mempunyai kompas nurani yang dapat menuntun kita untuk melindungi dan memperbaiki kreativitas pada setiap pribadi. Kreativitas dalam perkembangannya pasti ada kendala yang membuat kreativitas menjadi kurang maksimal. Diantara banyak kendala yang membungkam kreativitas, berikut ini adalah beberapa kendala yang dapat merusak berkembangnya kreativitas (Johnson, 2009: 221): individu 1. Sensor internal dari seseorang. 2. Orang-orang yang mencari kesalahan. 3. Peraturan dan persyaratan yang membatasi dan melarang. 4. Perilaku menerima dengan pasif, tanpa bertanya. 5. Pengotak-ngotakkan. 6. Memusuhi intuisi. 7. Takut membuat kesalahan. 8. Tidak menyempatkan diri untuk merenung. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas suatu dapat dikembangkan dan diperbaiki, tetapi dalam proses peningkatan kreativitas ada beberapa hal yang dapat menghambat kreativitas. 6. Konsep Kalor dan Perpindahannya a. Kalor Kalor didefinisikan sebagai energi yang berpindah dari zat yang suhunya lebih tinggi menuju zat yang suhunya lebih rendah. Satuan dari kalor adalah kalori, dimana 1 kalori adalah menyatakan banyaknya kalor yang diperlukan untuk memanaskan 1 kg air sehingga suhunya naik sebesar 1 derajat Celcius. Sedangakan kalor jenis zat didefinisikan sebagai jumlah kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan atau menurunkan suhu 1 kg massa zat sebesar 1derajat Celcius atau 1 K. Hubungan besaran- besaran tersebut dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut: 36 Q m.c. T (2.1) dengan : Q = Kalor yang dibutuhkan atau dilepaskan ( J atau kal)

37 m = massa benda (kg) c = kalor jenis benda (J/kg 0 C) T = T2- T1 = Perubahan suhu benda ( 0 C) Kalor jenis zat adalah suatu besaran yang menunjukkan Kemandirian belajaristik suatu zat. Setiap benda memiliki nilai kalor jenis yang berbeda, semakin besar kalor jenis suatu zat maka semakin besar kalor yang dibutuhkan untuk menaikkkan suhu sebesar 1 o C. Selain itu besaran lain yang menunjukkan Kemandirian belajaristik suatu zat adalah kapasitas kalor. Kapasitas kalor adalah banyaknya kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu benda sebesar 1 o C atau 1 K. Secara matematis dapat kita tulis dengan persamaan sebagai berikut: Q C atau C m. c (2.2) T Keterangan: C = Kapasitas kalor suatau zat (J/K atau J/ o C) c = kalor jenis benda (J/kg 0 C) b. Asas Black dan Perubahan Wujud Zat Ketika dua benda atau lebih dengan suhu berbeda dicampurkan maka benda yang bersuhu lebih tinggi akan melepaskan kalornya, sedangkan benda yang bersuhu lebih rendah akan menyerap kalor hingga mencapai keseimbangan yaitu suhunya sama. Pelepasan dan penyerapan kalor ini besarnya harus seimbang. Kalor yang dilepaskan sama dengan kalor yang diterima sehingga berlaku hukum kekekalan energi. Pernyataan tersebut merupakan bunyi dari Asas Blak. Pada sistem tertutup, kekekalan energy panas (kalor) ini dapat dituliskan sebagai berikut: Qlepas Qterima m 1. c1. T1 m2.c 2. T2 dengan: T 1 = T 1 T akhir dan T 2 = T akhir T 2 Dimana, T akhir adalah suhu campuran ( Tc). m 1 = massa benda 1 yang suhunya tinggi (kg) m 2 = massa benda 2 yang suhunya rendah commit (kg) to user (2.3)

c 1 = kalor jenis benda 1 (J/kg 0 C) c 2 = kalor jenis benda 2 (J/kg 0 C) T 1 = Suhu mula- mula benda 1 ( 0 C atau K) T 2 = Suhu mula- mula benda 2 ( 0 C atau K) Tc = Suhu akhir atau suhu campuran ( 0 C atau K) Alat yang digunakan dalam mencari kalor jenis suatu benda menggunakan Asas Black adalah kalorimeter. persamaan matematis sebagai berikut: 38 atau zat yang Apabila suatu benda atau Zat menerima atau melepaskan suatu kalor maka wujud zat itu akan berubah wujud dari wujud satu ke wujud lainnya. Kalor yang dibutuhkan atau dilepaskan per satuan massa pada saat perubahan wujud atau fase disebut dengan kalor laten. Berdasarkan definisi tersebut dapat didefininsikan sebagai berikut: Q L atau Q m. L (2.4) m dengan : Q m L c. Pemuaian = Kalor yang diserap atau dilepas (J atau kal) = Massa benda (kg) = Kalor laten (J/ Kg) Suatu benda ketika dipanaskan akan mengakibatkan gerakan- gerakan partikel dalam benda akan bergerak cepat. Gerakan ini akan menyebabkan pergeseran molekul yang semakin besar, peristiwa ini dinamakan dengan pemuaian. Peristiwa pemuaian ini akan mempengaruhi akan pertammedia panjang, luas dan volume suatu benda atau zat. 1) Muai Panjang Pemuaian panjang atau juga disebut dengan pemuaian linier. Muai panjang didefinisikan sebagai pertammedia panjang benda yang panjangnya satu satuan panjang (m) dengan kenaikan suhu satu satuan suhu. Sedangkan bilangan yang menunjukkan pertammedia panjang benda per satuan panjang mula-mula per kenaikan suhu disebut dengan alfa (α). Sehingga dapat kita tuliskan secara

L atau L T 0 L L0 (2.5) L (T T ) 0 0 dengan: α = Koefisien muai panjang (/ o C atau / K) L = Pertammedia panjang benda (m) Lo = Panjang benda mula-mula (m) T = Pertammedia suhu / selisih suhu ( o C atau K) T = Suhu setelah benda dipanaskan ( o C atau K) To = Suhu benda sebelum dipanaskan ( o C atau K) 2) Muai Luas Ketika suatau benda dipanaskan akan bertambah panjang maupun lebarnya. Benda yang memuai ini mempunyai suatu koefisien tertentu yang dinamakan koefisien muai luas (β). Koefisien muai luas merupakan pertammedia panjang luas terhadap pertammedia panjang luas awal per kenaikan suhu. Hubungannya dengan koefisien muai panjang (α) adalah (β = 2 α). Dengan persamaan matematisnya sebagai berikut: 39 A A. T 0 atau A t A0 (2.6) A (T T ) 0 0 Dengan luas benda setelah dipanaskan dapat dicari dengan persamaan sebagai berikut: A t 0 A (1. T) (2.7) dengan: β = Koefisien muai luas (/ o C atau / K) A = Pertammedia Luas benda (m 2 ) Ao = Luas benda mula-mula (m 2 ) A t = Luas benda setelah dipanaskan (m 2 ) T = Pertammedia suhu / selisih suhu ( o C atau K) T = Suhu setelah benda dipanaskan ( o C atau K) T 0 = Suhu benda sebelum dipanaskan ( o C atau K)

40 3) Muai Volume Sedangkan koefisien muai volume (γ) suatu benda adalah menunjukakan pertammedia volume suatu benda dari volume mula-mula per kenaikan suhu. Dengan persamaan sebagai berikut : V V. T 0 atau Vt V0 (2.8) V (T T ) 0 0 Dengan volume benda setelah dipanaskan dapat dicari dengan persamaan sebagai berikut: Vt 0 V (1. T) (2.9) dengan: γ = Koefisien muai Volume (/ o C atau / K) V = Pertammedia Volume benda (m 3 ) V 0 = Volume benda mula-mula (m 3 ) V t = Volume benda setelah dipanaskan (m 3 ) T = Pertammedia suhu / selisih suhu ( o C atau K) T = Suhu setelah benda dipanaskan ( o C atau K) T 0 = Suhu benda sebelum dipanaskan ( o C atau K) d. Perpindahan Kalor Ada tiga cara perpindahan kalor yaitu: 1) Konduksi Gambar 2.2 Sebuah Batang Konduktor dengan Ujung-ujungnya pada Dua Suhu yang Berbeda (Sumber: Tipler, 1998:606) Perhatikan Gambar (2.2), perpindahan kalor secara konduksi dapat terjadi dalam dua proses yaitu:

41 Pemanasan pada satu ujung zat menyebabkan partikel-partikel pada ujung itu bergeser lebih cepat dan suhunya naik atau energi kinetiknya bertambah. Partikelsebagian energi partikel yang energi kinetiknya lebih besar ini memberikan kinetiknya kepada partikel-partikel tetangganya melalui tumbukan sehingga partikel-partikel ini memiliki energi kinetik lebih besar. Selanjutnya partikel-partikel ini memberikan sebagian energi kinetiknya ke partikel-partikel tetangga berikutnya. Demikian seterusnya sampai kalor mencapai ujung yang dingin (tidak dipanasi). Proses perpindahan kalor seperti ini berlangsung lambat karena untuk memindahkan lebih banyak kalor diperlukan beda suhu yang tinggi di antara kedua ujung. Gambar 2.3 Laju Perpindahan Kalor Secara Konduksi yang Melalui Dinding (Sumber: Serway, 2004:623) Faktor-faktor yang mempengaruhi laju kalor konduksi seperti pada Gambar 2.5 sebagai berikut : (1) Beda suhu di antara kedua permukaan T=T 1 -T 2 ; (2) Ketebalan dinding l; (3) Luas permukaan A; (4) Konduktivitas termal zat k, merupakan ukuran kemampuan zat menghantarkan kalor. Jadi, banyak kalor Q yang melalui dinding selama waktu t, dinyatakan: Q t ka T l 2) Konveksi Konveksi adalah proses perpindahan kalor dari satu bagian fluida ke bagian lain fluida oleh pergerakan fluida itu sendiri. (2.10)

42 Pada Gambar (2.3) ditunjukkan peristiwa konveksi alami dalam air. Ketika air yang diberi zat warna (beberapa butir kalium permanganat) dipanasi, massa jenis air pada bagian itu menjadi lebih kecil, sehingga air bergerak naik ke atas. Tempatnya digantikan oleh air dingin yang massa jenisnya lebih besar. Di dalam air terbentuk lintasan tertutup yang ditunjukkan oleh anak panah, disebut arus konveksi. sekitarnya secara konveksi adalah sebanding dengan luas permukaan benda A yang bersentuhan dengan fluida dan beda suhu T di antara benda dan fluida. Secara matematis dapat dituliskan 3) Radiasi Q t ha T dengan h adalah koefisien konveksi Radiasi atau pancaran adalah perpindahan kalor dalam bentuk gelombang (A) dan pangkat empat hukum Stefan-Boltzmann yang persamaannya dapat ditulis: Q t e AT Gambar 2.4 Konveksi dalam Zat Cair (Sumber: Giancoli, 1997:506) Faktor-faktor yang mempengaruhi laju perpindahan kalor secara konveksi adalah laju kalor Q/t ketika sebuah benda panas memindahkan kalor ke fluida suhu mutlak permukaan itu (T 4 ), sehingga disebut dengan 4 (2.11) elektromagnetik. Laju radiasi kalor suatu benda sebanding dengan luas permukaan (2.12) dengan σ adalahah tetapan Stefan-Boltzmann (σ = 5,67 x 10-8 Wm -2 K -4 ) dan e adalah emisivitas ( 0 e 1), pemantul sempurna (penyerap paling jelek) memiliki e = 0, sedangkan penyerapp sempurna sekaligus pemancar sempurna, yaitu benda hitam sempurna memiliki e = 1.