REGULASI PEMUKIMAN PASCA BENCANA MERAPI DI BANTARAN KALI CODE



dokumen-dokumen yang mirip
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III LANDASAN TEORI

Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang masih ada hingga sampai saat ini. Kerugian material yang ditimbulkan

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yaitu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. kualitatif. Suatu saat nanti, air akan menjadi barang yang mahal karena

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN. Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya di tingkatkan

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa dekade terakhir, skala bencana semakin meningkat seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. faktor alam dan non alam yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan Bumi mempunyai beberapa bentuk yaitu datar, berbukit. atau bergelombang sampai bergunung. Proses pembentukan bumi melalui

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK

Penataan Kota dan Permukiman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan. Menurut Bakosurtanal, pulau di

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Seminar Lokakarya Nasional Geografi di IKIP Semarang Tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENYEBAB TERJADINYA TSUNAMI

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang

by : Muhammad Alfi* Helfia Edial** Afrital Rezki**

BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PEMBANGUNAN DESA YANG BERBASIS PENGURANGAN RISIKO BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

kerugian yang bisa dihitung secara nominal misalnya rusaknya lahan pertanian milik warga. Akibat bencana tersebut warga tidak dapat lagi melakukan pek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

dua benua dan dua samudera. Posisi unik tersebut menjadikan Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

MITIGASI BENCANA TERHADAP BAHAYA LONGSOR (Studi kasus di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

MITIGASI BENCANA BENCANA :

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis serta demografis. Dampak dari terjadinya suatu bencana akan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perencanaan Partisipatif Kelompok 7

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

BAB I PENDAHULUAN. samudra Hindia, dan Samudra Pasifik. Pada bagian selatan dan timur

Masyarakat perlu diberikan pelatihan mengenai caracara menyelamatkan diri saat bencana terjadi. Sebenarnya di Indonesia banyak perusahaan tambang dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Arahan Adaptasi Kawasan Rawan Tanah Longsor Dalam Mengurangi Tingkat Kerentanan Masyarakat Di KSN. Gunung Merapi Kabupaten Sleman

SINERGI PERGURUAN TINGGI-PEMERINTAHMASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA ALAM

Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010

BAB I PENDAHULUAN. Disaster Reduction) 2005, dalam rangka mengadopsi Kerangka Kerja Aksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir

BAB I PENDAHULUAN. satunya rawan terjadinya bencana alam banjir. Banjir adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. terletakm pada 3 pertemuan lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

Transkripsi:

ABSTRAK REGULASI PEMUKIMAN PASCA BENCANA MERAPI DI BANTARAN KALI CODE Dradjat Suhardjo Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Universitas Islam Indonesia Email: dradjat@ftsp.uii.ac.id Letusan Gunung Merapi periode Oktober-Nopember 010 merupakan letusan yang tercatat terbesar dalam muntahan material vulkanik se besar 140 juta m. Bencana yang ditimbulkan, selain awan panas, material cair pasir dan bebatuan yang panas juga bencana sekunder berupa lahar dingin yang mengalir dahsyat ketika hujan deras turun di sungai yang hulunya di lereng Merapi. Pada bencana sekunder korban adalah pemukim di kawasan lindung bantaran sungai yang terkena luapan sungai berupa air, pasir dan bebatuan. Pada penelitian ini fokus adalah pada zone rawan bencana karena bermukim di Kawasan Lindung Bantaran Sungai Code di Ledok Tukangan, Kelurahan Tegal Panggung, Kecamatan Danurejan. Metode yang digunakan adalah evaluasi secara fisik pada rumah-rumah yang tergenang saat banjir dalam lingkup kawasan lindung. Evaluasi termasuk model pengaman yang digunakan untuk merespon ketika banjir datang. Hasil evaluasi memberikan gambaran bahwa rumah yang tergenang saat banjir termasuk dalam lingkup kawasan lindung bantaran sungai. Temuan ini dijadikan dasar bahwa secara riil bahwa tempat tersebut tidak semestinya digunakan untuk hunian, semestinya dikosongkan karena sangat membahayakan. Dengan dasar ini solusi yang paling baik adalah mengembalikan fungsinya sebagai kawasan lindung. Atas dasar temuan tersebut diadakan Focus Group Discussion (FGD) atau kelompok diskusi terarah untuk mencari solusi yang optimal. Dalam FGD tim peneliti memberikan stimulan segi positif jika berpindah, dan segi negatifnya kalau tidak mau berpindah karena lokasi pemukiman dinyatakan membahayakan. Evakuasi permanen adalah bagian yang paling penting bagi penduduk yang terancam bahaya maupun bagi kepentingan Negara dalam jangka panjang.hasil penelitian dengan jajag pendapat menggambarkan beragam syarat yang diminta penghuni kalau harus transmigrasi. Semula diperkirakan pemukim tidak akan mau pindah dari tempat tinggalnya. Hasil jajag pendapat menunjukkan dari 0 responden yang paling terancam bencana, tujuh kepala keluarga berminat untuk transmigrasi. Tempat yang dipilih Kalimantan, Sulawesi, Lampung dan Bali. Syarat yang diminta lokasi tidak jauh dari kota dengan talangan biaya hidup sebelum mendapatkan penghasilan yang cukup. Sedangkan biaya belajar anak-anak sampai dengan tingkat SLTA mendapat subsidi dari pemerintah. Kata kunci: kawasan lindung, berbahaya, evakuasi. PENDAHULUAN Letusan Gunung Merapi yang tak kunjung selesai sejak bulan Oktober-Nopember 010 telah membawa dampak yang sangat luar biasa terhadap tatanan sosial ekonomi maupun kehidupan seputar puncak Gunung Merapi. Zona berbahaya yang semula dalam radius 7 km dari puncak Merapi telah berkembang menjadi 10, 15 dan terakhir dipicu letusan pengungsi untuk Yogyakarta dan Jawa Tengah telah mencapai ratusan ribu jiwa. Jumlah ini belum termasuk peduduk yang terancam bencana sekunder yang pemukimannya terancam bencana bahaya banjir lahar dingin karena berlokasi di sepanjang sungai yang berhulu di lereng Gunung Merapi. Pada posisi dalam bahaya tiga, alternatif yang paling aman adalah relokasi pemukiman. Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 59

Letusan Gunung Merapi yang tak kunjung selesai sejak bulan Oktober-Nopember 010 telah membawa dampak yang sangat luar biasa terhadap tatanan sosial ekonomi maupun kehidupan seputar puncak Gunung Merapi. Zona aman yang semula dalam radius 7 km dari puncak dinihari 5 Nopember 010 yang dahsyat menjadi radius 0 km. Jumlah pengungsi untuk Yogyakarta dan Jawa Tengah telah mencapai ratusan ribu jiwa. Jumlah ini belum termasuk peduduk yang terancam bencana sekunder yang pemukimannya terancam bencana bahaya banjir lahar dingin karena berlokasi di sepanjang sungai yang berhulu di lereng Gunung Merapi. Pada posisi dalam bahaya tiga, alternatif yang paling aman adalah relokasi pemukiman. Korban meninggal sampai dengan 16 Desember 010 sebanyak 61 jiwa, dan kerugian secara finansial 5, triliun rupiah (Sutikno, 010). Persoalan rumit yang dihadapi adalah dimana korban akan ditempatkan, apakah mereka mau dipindah, apakah pihak penerima dapat menerima perpindahan tersebut. Bila tidak dipindah berarti membiarkan malapetaka terjadi cepat ataupun lambat. Secara nasional bila kebijakan pemerataan atau perpindahan penduduk (migrasi) tidak dilakukan dengan 60% penduduk tinggal di Pulau Jawa sementara luasnya hanya 6% wilayah NKRI, akan sangat merugikan bagi kesejahteraan, kesatuan, ketahanan karena terjadi kesenjangan yang melebar antara Jawa dengan luar Jawa. Secara kultural dan manusiawi tempat lahir dan dibesarkan memang mempunyai daya ikat yang kuat secara emosional dan kultural. Persoalan yang sangat mendasar dan pelik adalah ketika harus melaksanakan evakuasi permanen. Peliknya masalah karena terkait berbagai aspek, fisik, biota dan kultural terkait dengan penduduk yang harus dipindah ke tempat lain yang layak aman nyaman dan berkelanjutan. Untuk dapat mengevakuasi secara permanen dan dapat difahami, dapat diterima secara sadar dan optimis akan ada peningkatan kesejahteraan, perlu adanya proses perubahan persepsi bahwa rumah tempat tinggalnya yang baru adalah yang dapat mensejahterakan hidup bersama keluarganya. Secara realitas sekarang tempat tinggalnya berada lingkup bahaya III yang sangat terancam bencana. Persoalan bencana sekunder yang melanda kawasan bantaran sungai Kali Code sebenarnya merupakan persoalan kronis yang timbul sejak puluhan tahun yang telah lalu. Penggunaan lahan disepanjang bantaran sungai telah digunakan untuk pemukiman tanpa ijin apalagi sungai yang melintasi kota. Persoalan makin diperparah adanya kepentingan ekonomi, sosial, politik yang tidak sefaham dalam memaknai cara mengelola bantaran sungai. Bahkan terlalu sering terjadinya perbedaan kepentingan yang menyebabkan makin jauhnya penyimpangan dari penggunaan bantaran sungai yang semestinya menjadi kawasan lindung. Untuk menumbuhkan kesadaran bertempat tinggal yang aman, nyaman dan berkelanjutan karena terlindungi secara konsep maupun perundang-perundangan yang berlaku memerlukan proses pembelajaran dan stimulan untuk faham dan bersedia melaksanakan. Peran pendidikan dan pembelajaran sangat penting secara formal maupun informal dalam rangka mengurangi risiko bencana. Secara formal dalam program Sistem Pendidikan Nasional (DIKNAS) dengan disain kurikulum dari Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Secara informal melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerja sama dengan instansi terkait seperti Kementerian Dalam Negri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perhubungan. Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 60

Dengan mendesaknya kebutuhan, untuk jalur informal yang sudah dapat dilakukan. Sebagai contoh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul telah melakukan secara intensif untuk anak-anak, remaja maupun dewasa. Bencana gempa bumi 7 Mei 006 yang menelan korban korban meninggal lebih dari 6.000 jiwa karena tertimpa reruntuhan 180.000 unit rumah yang runtuh telah menstimulir melaksanakan pendidikan informal Mengurangi Risiko Bencana. Hasilnya sikap siaga bencana telah mulai menjadi bagian dari budaya untuk mengurangi risiko bencana. Pada saat menjelang peringatan kejadian gempa bumi 7 Mei 006, dengan mengadakan kegiatan atraksi budaya yang dikemas dalam pesta kesenian dengan program siaga bencana. Kejadian letusan Merapi telah berdampak sangat luas secara fisik dan persepsi dalam menanggapi bencana yang menimpa. Tempat tinggal yang semula dianggap aman, nyaman ternyata mempunyai risiko tinggi. Pemukiman di Kawasan Lindung Bantaran Sungai (KLBS) Kali Code yang telah dihuni puluhan tahun semestinya tidak pada tempatnya, karena dalam lingkup sempadan sungai atau KLBS. Perubahan KLBS menjadi pemukiman yang padat merupakan gejala yang selalu ada apalagi bila sungai melintasi perkotaan. Hal ini terjadi karena desakan kebutuhan perumahan di perkotaan, sementara regulasi penataan ruang selalu terlambat. Keterlambatan dapat terjadi karena ketidak tahuan maupun desakan yang semakin sulit diatasi. Segenap peraturan perundang-undangan belum mampu menahan dan mengatasi desakan menggunakan KLBS untuk pemukiman. Dampak letusan Gunung Merapi selama periode Oktober-Nopember 010 telah memperingatkan dan memberikan pembelajaran pada pemukim di KLBS Kali Code maupun Pemerintah Kota bahwa keberadaannya tidak luput dari ancaman bahaya letusan sekunder ialah aliran lahar dingin yang menggenangi pemukiman. Bila keadaan terus berlanjut ancaman tidak akan surut. Solusi secara fisik dengan membangun tanggul tidak menyelesaikan masalah yang akhirnya merupakan pembangunan dan pembiayaan pemeliharaan yang tinggi (high cost maintenance). Acuan penataan ruang KLBS semestinya untuk melestarikan fungsi lindungnya, wajib mempertimbangkan fungsi masing-masing bagian. Fungsi untuk aliran air atau hidrologis, fungsi pengaman longsoran dan fungsi pelestarian fungsi lingkungan. Secara fisual pembagian fungsi setiap bentang lahan sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Realitas yang terjadi pertumbuhan pemukiman di sepanjang sungai menggunakan tempat yang semestinya tidak diperbolehkan. Bahkan pemerintah juga melakukan hal yang sama dengan membangun Rusunawa di KLBS. Secara visual dapat dilihat pada Gambar. Bila kecenderungan tersebut masih terus berjalan, akan makin meningkatkan risiko bencana dengan biaya tinggi. Bencana erupsi Gunung Merapi berdampak tergenangnya ribuan rumah di KLBS Kali Code. Realitas tersebut wajib ditindak lanjuti dengan evaluasi dan mencari solusi yang mengurangi tingkat risiko bagi pemukim di KLBS, agar kerugian bagi Pemerintah Kota secara lokal, dan pemerintah NKRI secara nasional tidak terulang kembali. Pasca letusan Merapi kurun waktu Oktober-Nopember 010, merupakan momentum yang sangat baik untuk menata ulang fungsi lindung KLBS. Telah terjadi stimulan Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 61

secara alami bahwa bermukim di KLBS adalah tidak aman. Stimulan ini wajib ditindak lanjuti agar pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat diwujudkan walaupun masih jauh dari kenyataan. Secara konsep tindakan yang paling tepat ialah bila dapat mengembalikan fungsi lindung KLBS. Konsekuensi yang ditanggung adalah evakuasi permanen pemukim di KLBS Gambar 1 Tipical acuan profil KLBS Sumber: Sumaryono, 010 A B Gambar. A. RUSUNAWA yang dibangun PEMKOT di bantaran banjir merupakan contoh buruk terhadap pelanggaran aturan sempadan KLBS. B. kangan, KelurahanTegal Panggung, Kecamatan Danurejan, untuk meninggikan talud. Sumber: Data primer, 010 TINJAUAN PUSTAKA Sebelum usaha mitigasi bencana dilakukan, diperlukan pemahaman kesamaan persepsi dalam tindakan merespon bencana yang akan datang. Cara yang ditempuh dengan berbagai metode agar program mitigasi bencana dapat difahami dan dilaksanakan karena merupakan kebutuhan dalam rangka mengurangi risiko bencana ketika datang. Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 6

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 47 mendefinisikan: (1) Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana pada kawasan rawan bencana () Kegiatan mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pelaksanaan penataan ruang b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern Undang-Undang Nomor 6 tahun 007 Tentang Penataan Ruang Pasal, ayat (5). Pada pasal tersebut dinyatakan bilamana terjadi bencana dan suatu kawasan yang terjadi bencana merupakan zone berbahaya, peruntukan lahan dapat berubah fungsi. Konsekuensi dari perubahan adalah bahwa zone yang membahayakan beralih fungsi dari fungsi budidaya menjadi fungsi lindung yang berarti tidak boleh untuk pemukiman. Konsekuensi yang lain adalah wajib disediakan ruang evakuasi bencana darurat maupun permanen dalam lingkup lokal, regional maupun nasional. Dengan kondisi yang demikian RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Propinsi dapat ditinjau kembali. Kartini Kartono (00) mendefinisikan, persepsi adalah proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indra-indra yang dimilikinya. Sugiharto, 007. mendefinisikan persepesi merupakan proses untuk menterjemahkan atau menginterpretasi stimulus yang masuk kealat indera. Perilaku manusia diawali dengan adanya penginderaan. Penginderaan adalah proses masuknya stimulus ke dalam alat indra manusia. Setelah stimulus masuk ke alat indra manusia, maka otak akan menterjemahkan stimulus tersebut. Kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus disebut dengan persepsi. Seribulan, 005 menterjemahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah: 1. Faktor dalam situasi ialah waktu, keadaan atau tempat kerja dan keadaan sosial. Faktor pada individual pemersepsi berupa: sikap, motivasi, kepentingan, pengalaman dan pengharapan. Faktor pada target berupa: hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan Acuan yang dirujuk dari Kartono (00), Sugiharto (007) dan Seribulan (005) cukup jelas. Dalam ruang dan waktu terjadinya bencana akan mempengaruhi persepsi. Langkah lanjutan adalah faktor pemersepsi yang mampu menstimulir pemukim yang terancam bencana untuk mau pindah ke tempat yang lebih aman, nyaman dan berkelanjutan. Sedangkan faktor target ialah lokasi yang dapat diterima dan meyakinkan bahwa di lokasi tersebut dapat hidup yang lebih sejahtera. Dengan demikian stimulator dituntut untuk mampu meyakinkan korban hingga mau pindah ke tempat yang telah ditentukan. Ravenstein dan Lee, 199 menggambarkan terjadinya migrasi karena adanya stimulan pendorong untuk pindah dari tempat asalnya karena tidak kondusif (push factor) dan ada faktor daya tarik (pull factor) tempat tujuan migrasi. Dalam program evakuasi Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 6

permanen pasca bencana Merapi di KLBS Kali Code, stimulan pendorong migrasi adalah adanya ancaman bencana banjir lahar dingin, sedangkan faktor daya tariknya ialah tempat tujuan yang menjanjikan untuk dapat hidup lebih aman, nyaman dan berkelanjutan. Gerakan migrasi yang secara sistematik pernah dilakukan adalah di Amerika Serikat (USA). Program dilakukan untuk meningkatkann kekuatan ekonomi, politik dan pertahanan dimulai tahun 1790. Semula penduduk terkonsentrasi di pantai timur seputar New York yang menghadap Samudra Atlantik sementara pantai Barat yang menghadap Samudra Pasifik dan potensial belum dikelola secara optimal. Perubahan distribusi dan tingkat kepadatan secara proporsional menghasilkan USA Negara yang kuat (Hagget, P. 1975, p: 76). Peta perubahan tingkat kepadatan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar. Pada gambar menunjukkan setelah berjalan selama 170 tahun pada tahun 1960 tingkat kepadatan telah terdistribusikan secara proporsional. Dengan terdistribusinya penduduk secara proposional, ke setiap Negara bagian maka pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki dapat secara efektif dan optimal. Dengan luas wilayah 9, juta km, dan penduduk 0 juta Amerika merupakan Negara paling kuat di dunia secara politik, ekonomi maupun militer. Terdistribusinya penduduk secara proporsional di pantai timur dan barat secara otomatis Amerika dapat mengontrol secara efektif dua samudra terbesar di bumi ialah Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik. Proses distribusi penduduk di USA Gambar Proses pemerataan penduduk USA dari tahun 1790-1960 Bagi Indonesia yang terletak antara Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia dengan lebih dari 17.000 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 80.000 km, pendistribusian penduduk secara merata dan proporsional mutlak untuk dilakukan. Kasus lepasnya Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 64

pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia merupakan salah satu dampak tidak terurusnya pulau yang tidak dihuni dan tidak difasilitasi mercu suar sebagai kuajiban menurut hukum internasional. KEPADATAN POTENSI DAN DISTRIBUSI PENDUDUK PER KM INDONESIA TAHUN 000 1 4 0 17 5 7 18 19 6 1 4 6 8 10 11 1 1 Distribusi kepadatan penduduk di Indonesia Gambar 4 Peta distribusi dan kepadatan penduduk Indonesia Dengan kesenjangan kepadatan yang tinggi mengandung konsekuensi kerentanan secara sosial, ekonomi, politik maupun system pertahanan dan keamanan Nasional. Pulau Jawa yang luasnya 6% wilayah NKRI penduduknya 58 % atau 18 juta dengan kepadatan 980 jiwa/km. Kalimantan yang luasnya % jumlah penduduknya 0 juta (5,8%) dengan kepadatan 0 jiwa/km. METODE PENDIDIKAN MITIGASI BENCANA NON FORMAL Dalam kondisi yang serba darurat yang segera perlu ada tindakan nyata, tim peneliti berusaha sebagai instruktor sekaligus stimulator untuk para korban bencana. Peneliti berpendapat langkah yang dilakukan merupakan bagian dari pendidikan mitigasi bencana walaupun sifatnya nonformal. Target yang diharapkan adalah memahami kehendak korban seandainya harus evakuasi permanen. Tindakan tersebut merupakan usaha untuk mengurangi risiko bencana. Langkah-langkah yang dilakukan diuraikan sebagai berikut: 1. Pendataan Korban Bencana Pendataan korban bencana di lokasi penelitian di Ledok Tukangan, Kelurahan Tegalpanggung, Kecamatan Danurejan. Hasilnya sebagai berikut: Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 65

Tabel 1 Data rumah yang terkena banjir lahar dingin letusan Gunung Merapi Kelurahan Tegal Panggung, Kecamatan Danurejan No Wilayah Jumlah Korban Genangan (RW) Rmh KK Jiwa <50cm 1 1 16 15 47 11 5 4 8 1 50 16 14 68 49 19 5 175 65 8 9 14 5 Jumlah 96 151 59 6 Kerawanan 50-100cm >100cm Rawan I Pengungsi Rawan II Rawan III KK Jiwa 5 9 15 47 19 15 16 9 14 68 49 19 50 175 65 6 7 41 151 57 Sumber: Kelurahan Tegal Panggung, 010 Langkah berikutnya adalah melakukan sosialisasi maksud dan tujuan penelitian dalam forum FGD (Focus Group Discussion) atau diskusi kelompok terarah yang dihadiri camat Danurejan, Lurah Tegalpanggung dan para Ketua RT dan RW dalam lingkup Kelurahan Tegalpanggung. Materi ceramah tim adalah arti penting dari evakuasi permanen mengingat bencana yang terus mengancam. Sebagai stimulan dengan pendekatan kultural dengan mencontohkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah maupun wayang dengan melakukan migrasi atau pindah tempat untuk mendapatkan suasana yang lebih aman dan nyaman. Tokoh-tokoh yang dirujuk: Nabi Muhammad, Raden Wijaya, Panembahan Senopati, dan Pendawa dengan Babat Wanamerta. Dengan semangat migrasi akhirnya akan mendapatkan tempat yang lebih baik. Dalam lingkup NKRI tempat tersebut di luar Pulau Jawa yang masih sangat luas. Suasana FGD-I sebagaimana dapat dilihat pada Gambar. Gambar Suasana FGD-I di Balai Kelurahan Tegalpanggung Pada forum FGD-I materi yang disampaikan adalah konsep solusi dengan mempertimbangkan kondisi lokasi bencana. Dengan memberikan penjelasan arti penting fungsi KLBS dan stimulan arti penting evakuasi permanen diharapkan menimbulkan kesadaran risiko bertempat tinggal di KLBS. Target optimal yang diharapkan adalah evakuasi permanen dan mengembalikan fungsi KLBS. Penentuan Sampel Responden Penentuan dilakukan dengan memilih berdasarkan strata tingkat ancaman atau purposive stratified sampling. Sampel responden dipilih bagi yang rumahnya paling Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 66

dekat dengan talud dan tergenang lebih dari 1,0 meter saat terjadi banjir, dan kondisi sanitasi rumah. Hasilnya dapat disimpulkan: Dari data primer berdasarkan pengamatan langsung rumah yang tergolong paling berisiko atau Rawan-III setelah dilakukan peninjauan dan evaluasi menyimpulkan: a. Kondisi sanitasi buruk dengan tidak adanya fasilitas yang layak dalam penyediaan air bersih, pembuangan limbah cair dan peturasan b. Jarak dari rumah sampai talud bagi yang terendam saat banjir 50-100 cm dan > 100 cm dalam koridor 1-0 m sebanyak 0 rumah. Rincian: Jarak 1-5 m sebanyak 15 rumah. Jarak 6-10 m sebanyak 4 rumah. Jarak 11-15 m sebanyak 8 rumah, sedangkan 16-0 m sebanyak rumah. Jumlah yang dijadikan responden adalah 0 KK. Posisi rumah semua ada didalam koridor bantaran sungai (KLBS). Dengan demikian secara substantif KLBS semestinya terbebas dari pemukiman. Tahap berikutnya adalah melakukan FGD-II dengan peserta Camat, Lurah, Ketua RT, RW, KK yang termasuk dalam ring paling berbahaya, tokoh masyarakat, PKK dan remaja. FGD dilakukan di tenda POSKO BENCANA. Situasi FGD dapat dilihat pada Gambar 4. Pada FGD-II materi lanjutan dari FGD-I ialah maksud dan tujuan dari mitigasi bencana demi penyelamatan warga yang berisiko karena terjadinya bencana. Peserta kecuali peserta FGD-I ditambah tokoh masyarakat dari unsur ibu rumah tangga (PKK) dan tokoh pemuda di Ledok Tukangan. Pada tahap ini warga menyampaikan bahwa sudah merasakan repot, susah dan cemas menghadapi banjir yang sewaktu waktu datang bila intensitas hujan meningkat. Bagi yang piket di POSKO warga menyediakan minuman dan makanan. Keadaan ini berlanjut ketika keadaan dalam status waspada. Panduan tentang peringatan yang telah dibakukan dengan sandi pentahapan normal, waspada tahap-i, siaga tahap-ii dan awas tahap-iii. Penyampaian peringatan dengan menggunakan handy talky (HT), telpon selulair (HP), kentongan dan teriakan. Pada kesempatan ini peneliti menyampaikan stimulan tentang problem kependudukan NKRI yang ditribusinya masih sangat tidak berimbang antara Pulau Jawa dengan luar Jawa yang masih sangat membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. Gambaran distribusi penduduk di NKRI sebagaimana tercantum pada Tabel. Gambar 4 Suasana FGD-II di POSKO lembah Code Tukangan Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 67

Dalam Tabel menunjukkan bahwa Pulau Jawa yang luasnya 6% luas NKRI telah menampung 57,49% dari penduduk NKRI. Pulau Kalimantan yang luasnya 4,5 kali Pulau Jawa baru menampung 5,8% penduduk NKRI. Kepincangan ini kalau masih berlanjut akan menimbulkan kerentanan bagi keberadaan NKRI. Pada kesempatan ini juga disampaikan negara yang paling kuat di dunia Amerika Serikat, memerlukan waktu 170 tahun untuk mendistribusikan penduduknya secara proporsional ke seluruh wilayahnya Dari data sensus penduduk dalam dasawarsa 1971-000 pemerintah telah berhasil menurunkan prosentasi penduduk Pulau Jawa 5% dari penduduk Indonesia, atau sekitar 1,6% per 10 tahun, sedangkan pada dekade 000-010 pemerintah menurunkan prosentase 1,44%. Dari data transmigrasi dalam decade 1971-000 tercatat 7, juta transmigran, sedangkan dalam decade 000-010 sebanyak 0,6 juta. Bila program pendistribusian penduduk secara proposional tidak mampu dilakukan akan berpotensi meningkatkan kerentanan eksistensi NKRI. Tabel Persentase distribusi penduduk menurut Pulau 1971-010 SUMATERA JAWA DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH D I YOGYA JAWA TIMUR BANTEN NUSA TENGGARA KALIMANTAN SULAWESI MALUKU dan PAPUA INDONESIA 1971 17,6 6,89,85 18,16 18,7,09 1,4 5,56 4, 7,16 1,44 100 1980 19,07 6,1 4,4 18,68 17,7 1,87 19,87 1990 000 010 0,44 1,0 1,1 60, 58,9 57,49 4,6 4,06 4,04 19,81 17,6 18,11 15,97 15,17 1,6 1,6 1,5 1,45 18,0 16,89 15,78,9 4,48 5,40 5,7 5,4 5,50 4,58 5,09 5,49 5,80 7,08 7,01 7, 7,1 1,76 1,96,00,60 100 100 100 100 Sumber: Sensus Penduduk, 010. Penyuluhan Fungsi KLBS Kesimpulan setelah dilakukan FGD-I dan FGD-II bahwa secara teknis semestinya bantaran banjir tidak boleh ditalud banyak, mengundang pertanyaan. Pemukim beranggapan talud adalah untuk melindungi pemukim di KLBS dari banjir. Penjelasan secara sederhana adalah bila ruang untuk mengalir air dipersempit maka aliran air sungai menjadi makin banter atau makin cepat dan kuat daya tumbuknya. Apalagi bila aliran air disertai dengan pasir dan bebatuan atau lahar dingin akan berakibat talud, pengaman tebing, cekdam maupun jembatan dapat runtuh diterjang lahar dingin. Realitas telah menunjukkan betapa kuatnya daya gempur lahar dingin yang menghancurkan bangunan walaupun bangunan sudah dirancang aman dalam keadaan normal. Sepanjang Gunung Merapi masih hidup dan meletus keadaan tidak normal akan muncul kembali yang tetap mengancam pemukim yang berada di KLBS. Bila kondisi seperti ini masih dipertahankan, kecuali tidak aman juga terjadi pemborosan untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi disamping kerugian merosotnya kualitas lingkungan. Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 68

Pemberian penjelasan ini dilakukan pada FGD-III yang diselenggarakan di Gedung Serbaguna Ledok Tukangan, yang diharapkan dapat menjadi stimulan untuk bermukim di tempat yang aman dan nyaman. Suasana FGD-III sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5. Setelah FGD-III jajag pendapat dilaksanakan untuk para pemukim di KLBS yang posisinya paling terancam karena kedekatannya dengan alur sungai, dan ketinggian genangan air saat terjadi banjir. Hasil FGD diharapkan dapat sebagai stimulan dalam menyikapi bahaya bila tinggal di KLBS. Gambar 5 Suasana FGD- III di Gedung Serbaguna Tukangan Hasil jajag pendapat terhadap para pemukim di KLBS dapat diuraikan sebagai berikut: Data primer kuesioner diambil untuk mengetahui tentang sikap responden terhadap relokasi permanen pada Kepala Keluarga yang lokasi rumahnya masuk dalam katagori bahaya tiga atau sangat berbahaya. Data tersebut sebagai bahan untuk pertimbangan langkah-langkah yang diperlukan untuk solusi masalah pemukiman di KLBS Code sesuai program Pemerintah Kota Yogyakarta. Pertanyaan kuesioner terdiri atas 0 pertanyaan dengan 0 responden pemukim yang paling berisiko. Hasilnya secara umum sebagaimana tercantum dalam Tabel 4. No 1 4 Tabel 4 Respon pemukim KLBS terhadap tawaran relokasi permanen Jarak ke Jumlah Anggota Respon Respon Respon Talud/tanggul Responden Keluarga Sanitasi A B C (m) (KK) (jiwa) 1-5 6-10 11-15 16-0 15 4 8 0-5 -5-6 4-6 Buruk Buruk Buruk Buruk 8 5 1 5 1 1 15 Sumber: Data primer, 010 Jawaban tawaran untuk relokasi permanen: A. Tawaran untuk hidup yang lebih aman, nyaman dan berkelanjutan dijawab 1 responden Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 69

B. Tantangan untuk memulai hidup dengan suasana yang menjanjikan dijawab responden C. Tantangan untuk memulai hidup dengan suasana yang belum menentu dijawab 15 responden Jawaban ini berbeda dengan hasil jawaban pada, ketika tawaran itu untuk transmigrasi seandainya tempat tinggalnya dalam posisi Rawan-III atau sangat membahayakan, yang merespon positif transmigrasi 7 orang. Secara jelas bahkan menentukan lokasi pilihan ke Kalimantan 4 orang, Lampung, Sulawesi dan Bali masing-masing 1 orang. Adanya tanggapan responden yang memilih Kalimantan cukup menarik. Sejak awal diperkirakan tidak akan ada yang bersedia untuk evakuasi permanen dengan transmigrasi. Sebagai data untuk pertimbangan tindak lanjut program pilot proyek evakuasi permanen data detil yang bersedia transmigrasi ke Kalimantan sebagaimana tersebut dalam Tabel 5. Peminat transmigrasi yang lain ialah menuju ke Lampung, Bali dan Sulawesi. Faktor daya tariknya karena ada family dan atau kawan akrab. Walaupun demikian patut dipertimbangkan sebagai motivator, bahwa untuk hidup sejahtera dengan mengurangi risiko bencana banyak jalan dan tujuan yang masih tersedia di seantero NKRI. Daftar peminat yang menghendaki transimigrasi selain ke Kalimantan sebagaimana tercantum dalam Tabel 6. Dari 7(tujuh) peminat transmigrasi 4 menyatakan bahwa semangat hijrah dapat membangkitkan motivasi, tidak faham dan 1 karena ada famili di Bali. Tabel 5 Daftar peminat transmigrasi ke Kalimantan No. Nama umur suami/istri dan alamat Pendidikan Suami/istri Profesi yang diinginkan Kebutuhan usaha Pilihan kompensasi evakuasi 1. Kabul/Rini (55/40). LT; SMP/SMA DN-, RT-09 RW-0 No. 1 Berdagang Modal Beasiswa anak. Tri Agus/Mulyani (45/9). LT; DN-, 19 RT-07; RW-0 SD/SMA Berdagang Modal Beasiswa anak. Suprihatin (9). LT; DN /10 SMP Berdagang Modal Alat produksi 4. Nurdin Rianto/Sri Rejeki (5/1). LT., DN- RT-14., RW- SLTA/SLTA Berdagang Modal Biaya hidup Sumber: Data Primer, 010 Keterangan: LT Ledok Tukangan, Kelurahan Tegalpanggung DN Danukusuman (Kecamatan) Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 70

Tabel 6 Daftar peminat transmigrasi selain ke Kalimantan No Nama umur suami/istri dan alamat Pendidikan Tujuan Suami/istri Profesi yang Kebutuhan usaha diinginkan Pilihan kompensasi evakuasi 1. Rusbandi/Sutirah SMA/SMP Lampung Bengkel (47/44). LT; RW0 RT-14 Modal Beasiswa anak. Kendio/St. SD/ SD Aminah (45/45). LT; DN- No. RW- RT-15 Bali Pengrajin hiasan Modal Beasiswa anak. Budi/Aprilia SMA/S-1 (40/). LT; RW0; RT-09 No. 1 Sulawesi Dagang Rumah Beasiswa anak Sumber: Data Primer, 010 Tanggapan responden tentang perasaan ketika terjadi banjir, dari 0 orang yang menyatakan khawatir sebagaimana diduga sebelumnya 8 responden. Responden yang menyatakan tidak khawatir, hanya responden. Secara umum responden tidak faham fungsi KLBS sehingga menganggap bermukim ditempat tersebut diperbolehkan. Kenyataan sampai sekarang belum ada larangan dari pemerintah untuk tinggal di KLBS. Sebagian besar (0 responden) belum pernah menerima penjelasan tentang status dan fungsi KLBS. Peringatan dini ketika ada ancaman bahaya sudah disosialisasikan dengan tahapan waspada, siaga dan awas. Tetapi penyampaian informasi sangat beraneka ragam seperti dengan: HT, HP, kentongan, peluit bahkan dengan teriakan. Penyampaian secara seragam dan serempak masih diperlukan untuk dapat secara efektif sampai pemukim dengan sandi tingkat bahaya yang mengancam. Dengan demikian respon pemukim dapat sesuai dengan keadaan ancaman yang ada. Respon terhadap tanggap darurat banjir lahar dingin oleh pemerintah baik (0), cukup (5) dan kurang (5). Respon terhadap kebutuhan logistik merasa dibantu (15), usaha sendiri (14) tak menjawab (1). Secara realitas pemerintah memang telah berusaha keras untuk mengatasi masalah pemukim di KLBS. Walaupun secara konsep tidak tepat, dengan pembiaran pemukim di KLBS berarti membiarkan persoalan makin rumit dan sulit mengatasi bila risiko bencana banjir lahar dingin datang lagi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Beberapa kesimpulan penting dari hasil penelitian dan temuan di FGD ialah: 1. Warga semula kurang faham arti penting KLBS, dan bahaya yang dapat timbul karena tidak berfungsinya KLBS apalagi bila letusan Gunung Merapi dengan Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 71

muntahan material vulkanik besar. Muntahan akan menjadi aliran debris atau lahar dingin yang sangat membahayakan pemukim yang dilewati aliran tersebut. Bencana meletusnya Gunung Merapi tampak memberikan andil dalam proses pembelajaran mensikapi fenomena bermukim pada lokasi yang berisiko untuk ditanggapi secara rasional, intelektual tanpa harus meninggalkan kearifan lokal yang sarat makna dalam meningkatkan kearifan dalam kehidupan. Warga yang bermukim pada tempat berbahaya perlu mendapat pencerahan agar faham bahwa bertahan ditempat akan menjadi beban bagi masyarakat yang lain secara lokal, regional maupun nasional. Sistem komunikasi untuk peringatan bahaya waspada, siaga dan awas sudah mulai digunakan dengan HP dan HT (Handy Talky). 4. Adanya temuan bahwa diantara korban bencana sanggup atau mau transmigrasi perlu ada tidak lanjut sebagai rintisan solusi yang paling mendasar secara nasional. Ketimpangan distribusi penduduk antara Jawa dan luar Jawa mengandung kerawanan yang potensial dalam jangka pendek maupun jangka panjang dalam lingkup NKRI. Saran 1. Pemerintah wajib untuk melakukan proses pendampingan pada pemukim yang terancam bahaya dalam proses evakuasi permanen ke tempat tinggalnya yang baru secara aman, nyaman dan berkelanjutan. Pemerintah juga wajib menggalang semangat persatuan dan keperluan dana dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang dalam proses Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang akan selalu dihadapi. Pemerintah Kota diharapkan untuk menindak lanjuti temuan bahwa ada yang bersedia relokasi permanen transmigrasi walaupun hanya 7 (tujuh) KK sebagai usaha mengurangi risiko bencana (MRB) dengan evakuasi permanen. Bila dilaksanakan merupakan pilot proyek evakuasi permanen yang konseptual. Bila berhasil akan menjadi rujukan yang layak diikuti. Pemerintah Kota juga diharapkan mampu mengendalikan penggunaan KLBS untuk berfungsi sebagai kawasan lindung. 4. Secara bertahap Pemerintah Kota menertibkan bangunan pemukiman di KLBS termasuk membongkar RUSUNAWA yang dibangun tidak sesuai lokasinya dengan ketentuan perundang-undangan. Pemberian motifasi akan pentingnya menghindari bencana dengan transmigrasi disertai penegakan hukum dengan prinsip penghargaan (reward) bagi yang taat dan sangsi (punishment) bagi yang melanggar. 5. Bila penertiban dapat berhasil perlu mencari peruntukan alternatif KLBS. Peruntukan tetap mempertahankan fungsi tetapi produktif dengan tidak meninggalkan konsep dasar pelestarian fungsi lingkungan KLBS. Sebagai usulan misalnya menjadi kawasan wisata terbatas. DAFTAR PUSTAKA Anonim (007). UURI Nomor 4 Tahun 007 Tentang Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 47. Anonim (007). UURI Nomor 6 Tahun 007 Tentang Penataan Ruang Anonim (006). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor Tahun 006 Tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana Anonim (006). Mikro Zona Gempa Patahan Opak. Jurnal Riset Daerah. Vol. V, No., Desember 006. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul. Hal. 656-669 Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 7

Anonim (007). Bakornas PB, 007, Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya Di Indonesia, Penerbit Direktorat mitigasi Lakhar BAKORNAS PB, Jakarta Pusat. Anonim (009). Safer Communities through Disaster Risk Reduction in Development/SC-DRR Programme. Term of Reference CFP-DRRUNDP/CPRU/8/009 Arikunto S. (006). Prosedur Penelitian, Edisi Revisi VI, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Coburn A.W. (1994). Spence R. J. S., Pomonis A., 1994, Mitigasi Gempa, Cambridge Architectural Reseach Limited, The Oast House, Malting Lane, Cambridge, United Kingdom Gilbert, A and G. Josef. (198). Cities, Poverty and Development. Oxford University Press Gilbert dan Gugler. (1996). Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga (Terjemahan), Yogyakarta : Tiara Wacana Gunawan (008). Pemberdayaan sosial keluarga pasca bencana alam (studi tentang kondisi sosial masyarakat dalam managemen bencana. http://www.depsos.go.id/unduh/penelitian Hagget, P. (1975). Geography A Modern Synthesis. Harper International Edition. Harper & Row Publishers, New York, Evanston, San Francisco, London Kartono K, Dali G. (00). Kamus Psikologi, Penerbit Pionir Jaya, Bandung Lee,E.S. (199). Teori Migrasi. Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada Liaw, K.L. (1990). Netral migration process and its application to analysis of Canadian migration data. Journal Environment and Planning. Vol..4. No.7., 5. p.969-986 Soetomo (006). Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta Subandriyo., Yulianingsih (010). Merapi Catat Sejarah Baru. Surat Kabar Harian Republika 10 November hal: 6. Shadily H. (198). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Penerbit PT. Bina Aksara, Jakarta. Sugihartono dkk. (007). Psikologi Pendidikan, Penerbit UNY Press, Yogyakarta. Suhardjo, D. (1999). Hubungan Daerah Burit Dengan Perkembangan Kota Wates. Disertasi. Program Pasca Sarjana S-, Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada -------- (00). Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton. Penerbit Safiria Insania Press -------- (007). Melacak Akar Budaya Untuk Bangsa Yang Berdaya. Diskusi Panel Penambangan Pasir Besi di Kulon Progo, Konflik dan Solusinya. Prosiding ISBN 978-979-18558-0-8. -------- (007). Mereduksi Korban Gempa Dengan Rekayasa Lingkungan Fisik Dan Kultural. Makalah Seminar Nasional : Antisipasi, Respon dan Pemulihan Pasca Bencana Gempa Bumi. Prosiding ISBN: 978-979-961-8-1. -------- (009). The role of traditional early warning system to respond hazardous condition. International Seminar. The Reflection of Three Years of Yogyakarta Earth-quake May 006 May 009 Yogyakarta. Proceeding ISBN: 978-609501-0-8. Suhardjo, D., Nugraheni, F., 010. Sustainable Livelihood Community Development as The Respond of the Earthquake Disaster. Enhancing Disaster Prevention and Mitigation. 1st International Conference on Sustainable Built Environment. ISBN 978-979-961-9-8 Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 7