POLIFARMASI DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN USIA LANJUT RAWAT JALAN DENGAN PENYAKIT METABOLIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi

BAB I PENDAHULUAN orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. 2 Hal ini diperkuat oleh hasil

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. epidemiologi di Indonesia. Kecendrungan peningkatan kasus penyakit

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

KORELASI HBA1C DENGAN PROFIL LIPID PADA PENDERITA DM TIPE 2 DI RSUP H. ADAM MALIK PADA TAHUN Oleh: PAHYOKI WARDANA

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

STUDI RETROSPEKTIF INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI - JUNI 2012 TESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB I PENDAHULUAN. darah merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit dan menempati

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum

HUBUNGAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN PROFIL LIPID PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi

BAB I PENDAHULUAN. yang mendadak dapat mengakibatkan kematian, kecacatan fisik dan mental

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tahun. Menurut data dari Kementerian Negara Pemberdayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung koroner (PJK) penyebab kematian nomor satu di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR RISIKO PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

I. PENDAHULUAN. usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA PASIEN GAGAL JANTUNG DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

IDENTIFIKASI POTENSI INTERAKSI OBAT ANTI-HIPERTENSI PADA RESEP PASIEN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI INSTALASI FARMASI UNIT RAWAT JALAN RSUD

FREDYANA SETYA ATMAJA J.

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB I PENDAHULUAN. Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama atau hampir

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menyerang

BAB I PENDAHULUAN. suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit asam urat atau biasa dikenal sebagai gout arthritis merupakan

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

CIRI-CIRI KARAKTERISTIK PENDERITA DIABETES MELITUS DENGAN OBESITAS DI POLIKLINIK ENDOKRIN RSUP DR KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

HUBUNGAN BIAYA OBAT TERHADAP BIAYA RIIL PADA PASIEN RAWAT INAP JAMKESMAS DIABETES MELITUS DENGAN PENYAKIT PENYERTA DI RSUD ULIN BANJARMASIN TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu studi telah menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2009

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup dan penurunan angka fertilitas. mengakibatkan populasi penduduk lanjut usia meningkat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. DM merupakan penyakit degeneratif

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. atau tekanan darah tinggi (Dalimartha, 2008). makanan siap saji dan mempunyai kebiasaan makan berlebihan kurang olahraga

POLA PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PASIEN ANAK TB PARU RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT HAJI MEDAN PERIODE JANUARI - JUNI 2012

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

Polifarmasi dan Interaksi Obat Pasien Usia Lanjut Rawat Jalan dengan Penyakit Metabolik

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan merupakan masalah yang ada di setiap negara, baik di

BAB I PENDAHULUAN. darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya

BAB I PENDAHULUAN. dan kematian yang cukup tinggi terutama di negara-negara maju dan di daerah

BAB I PENDAHULUAN. mellitus tipe 2 di dunia sekitar 171 juta jiwa dan diprediksi akan. mencapai 366 juta jiwa tahun Di Asia Tenggara terdapat 46

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

INTISARI IDENTIFIKASI POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIHIPERTENSI PADA RESEP PASIEN UMUM DI UNIT RAWAT JALAN INSTALASI FARMASI RSUD DR. H.

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan global, penyebab utama dari kecacatan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang muncul ketika tubuh tidak mampu memproduksi cukup

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013).

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. tanpa gejala, sehingga disebut sebagai Silent Killer (pembunuh terselubung).

Transkripsi:

POLIFARMASI DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN USIA LANJUT RAWAT JALAN DENGAN PENYAKIT METABOLIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas farmasi Universitas sumatera Utara OLEH: EVA SARTIKA DASOPANG NIM 107014002 PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

TESIS POLIFARMASI DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN USIA LANJUT RAWAT JALAN DENGAN PENYAKIT METABOLIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN OLEH: EVA SARTIKA DASOPANG NIM 107014002 PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS POLIFARMASI DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN USIA LANJUT RAWAT JALAN DENGAN PENYAKIT METABOLIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN Oleh: EVA SARTIKA DASOPANG NIM 107014002 Medan, Januari 2015 Menyetujui: Komisi Pembimbing, Komisi Penguji, Prof. Dr. Urip Harahap, Apt Prof. Dr. Rosidah, M.Si.,Apt NIP 195301011983031004 NIP 195103261978022001 Dr. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-KEMD Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt NIP 195512221985021001 NIP 197802152008122001 Prof. Dr. Urip Harahap, Apt NIP 195301011983031004 Sp.PD-KEMD Dr. dr. Dharma Lindarto, NIP 195512221985021001 Mengetahui: Disahkan Oleh: Ketua Program Studi, Wakil Dekan I, Prof. Dr. Karsono,Apt Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt NIP 195409091982011001 NIP 195807101986012001

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang tak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul polifarmasi dan obat pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik di rumah sakit umum pusat haji Adam Malik Medan, sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Selama menyelesaikan penelitian dan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ini ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga kepada: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH&H., M.Sc., (CTM)., Sp.A(K). 2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi. 3. Ketua Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., yang telah menyediakan fasilitas bagi penulis selama menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi. 4. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., dan Bapak Dr. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-KEMD., selaku pembimbing yang selalu membimbing, mengarahkan, memberi dorongan dan semangat sehingga penulis terpacu untuk menyelesaikan penelitian dan penyelesaian tesis ini. 5. Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., dan Khairunnisa, S.Si., M.Pharm.,Ph.D., Apt., sebagai penguji. 6. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di RSUPHAM.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada hentinya kepada keluarga tercinta Iwan Yanuarsi, S.Si., Alifan Zaky, Carissa Azka Aqila dan kedua orang tua Hj. Zahara dan H. Zulkoddah Dasopang serta mertua dr. Yenny Azaniar, yang tiada hentinya berkorban dan mendoakan dengan tulus ikhlas bagi kesuksesan penulis. Serta buat direktur PT. Suryaprana Nutrisindo Bapak Hendra Halim dan rekan saya Heni kesuma, Fahruddin Batubara, Desi, Lia, Elny, Eka dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penelitian tesis ini. Kiranya Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi. Medan, Januari 2015 Penulis, Eva Sartika Dasopang

POLIFARMASI DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN USIA LANJUT RAWAT JALAN DENGAN PENYAKIT METABOLIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN ABSTRAK Proses penuaan menyebabkan penurunan fungsi organ pada usia lanjut sehingga mudah terserang berbagai penyakit. Penyakit metabolik merupakan penyakit yang berkaitan dengan peningkatan usia seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia dan obesitas. Penyakit-penyakit tersebut ditangani dengan terapi obat yang sifatnya polifarmasi sehingga bisa menyebabkan resiko efek samping obat meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah obat-obat yang terjadi, pola mekanismenya, tingkat keparahannya, hubungan antara jumlah dengan jumlah obat, hubungan antara jumlah dengan jumlah diagnosis. Penelitian ini dilakukan secara restropektif dengan menggunakan rekam medik pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik yang di rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Sebanyak 328 sampel yang termasuk kedalam kriteria inklusi diperoleh data bahwa jumlah obat-obat yang terjadi cukup tinggi sebesar 78,96%. Pola mekanisme yang terbanyak adalah farmakokinetik (63,6%) dengan tingkat keparahan yang terbanyak adalah moderat (69,8%). Penelitian ini menunjukan adanya korelasi antara jumlah dengan jumlah obat (r = 0,728; p = 0,0001), jumlah dengan jumlah diagnosis (r = 0,264; p = 0,0001). Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa yang terjadi pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik cukup tinggi, pola mekanisme terbanyak adalah farmakokinetik, tingkat keparahan terbanyak adalah moderat, dan ada korelasi yang signifikan antara jumlah dengan jumlah obat dan jumlah diagnosis. Kata kunci: polifarmasi, -obat, penyakit metabolik

POLIPHARMACY AND DRUG INTERACTIONS IN ELDERLY PATIENTS OUTPATIENT WITH METABOLIC DISEASES IN GENERAL HOSPITAL CENTER HAJI ADAM MALIK MEDAN ABSTRACT The aging process causes a decrease in organ function in elderly people so prone to various diseases. Metabolic disease is a disease that is associated with increasing age such as hypertension, diabetes mellitus, dyslipidemia and obesity. Such diseases are treated with drug therapy polypharmacy nature that can cause increased risk of drug side effects. This study aiims to determine the number of drug-drug interaction that occur, the pattern of the mechanism, its severity, the relationship between the number of interactions with a number of drugs, the relationship between the number of interactions with a number of diagnoses. This study was conducted using a restropective medical records of elderly patients with metabolic diseases in outpatient RSUP HAM Medan. A total of 328 samples were included in the inclusion criteria data showed that the number of drug-drug interactions that occur quite high at 78.96%. The pattern is the mechanism that most pharmacokinetic (63.6%) with the highest severity was moderate (69.8%). This study shows a correlation between the number of interactions with a number of drugs (r = 0.728; p = 0.0001), the number of interactions with a number of diagnoses (r = 0.264; p = 0.0001). It can be concluded that the interaction that occurs in elderly patients with metabolic diseases is high enough, the pattern is most pharmacokinetic mechanisms, most are moderate severity, and no significant correlation between the number of interactions with a number of drugs and the number of diagnoses. Keywords: polypharmacy, drug-interactions, metabolic-disease

DAFTAR ISI Halaman JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... PENGESAHAN TESIS... KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... i iii iv v vi viii ix x xiii xiv xv xvi BABI PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 5 1.3 Hipotesis... 5 1.4 Tujuan Penelitian... 6 1.5 Manfaat Penelitian... 7 1.6 Kerangka Pikir... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 9 2.1 Pasien Usia Lanjut... 9

2.1.1 Pengertian Usia Lanjut... 10 2.1.2 Perubahan Fisiologis Pada Pasien Usia Lanjut... 10 2.1.3 Prevalensi Penyakit Pada Usia Lanjut... 12 2.2 Polifarmasi... 12 2.3 Interaksi Obat... 13 2.4 Interaksi Obat...... 14 2.4.1 Interaksi farmakokinetik..... 15 2.4.2 Interaksi farmakodinamik....... 18 2.5 Perubahan Pada Lanjut Usia Berkaitan Dengan Penggunaan Obat..... 19 2.5.1 Interaksi Farmakokinetik Obat. 19 2.5.2 Interaksi Farmakodinamik Obat... 21 2.6 Penyakit Metabolik... 22 BAB III METODELOGI PENELITIAN... 26 3.1 Desain Penelitian...... 26 3.2 Tempat dan Waktu.... 26 3.3 Populasi dan Sampel... 26 3.3.1. Populasi.... 26 3.3.2 Sampel....... 27 3.4 Cara Pengumpulan dan Data... 28 3.5 Defenisi Variabel Penting... 28 3.6 Bagan Alur Penelitian... 29 3.7 Analisis Data... 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian.. 31 4.2 Karakteristik Umum Subjek Penelitian. 31 4.3 Gambaran Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien... 33 4.3.1 Gambaran Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Jumlah Obat... 34 4.3.2 Gambaran Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Jumlah Diagnosis 35 4.3.3 Korelasi Antara Jumlah Interaksi dengan Jumlah Obat dan Diagnosis... 36 4.3.4 Gambaran Interaksi Obat-Obat Pada Pasien Usia Lanjut yang di Rawat Jalan di RSUPUHAM Berdasarkan dan Tingkat Keparahan... 37 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 39 5.1 Kesimpulan... 39 5.2 Saran... 39 DAFTAR PUSTAKA... 41 LAMPIRAN... 47

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian.. 33 Tabel 4.2 Gambaran Kejadian Interaksi Obat pada Pasien... 34 Tabel 4.3 Gambaran Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Jumlah Obat.... 35 Tabel 4.4 Gambaran Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Jumlah Diagnosis..... 36 Tabel 4.5 Korelasi Antara Jumlah Interaksi dengan Jumlah Obat Dan Diagnosis... 37 Tabel 4.6 Interaksi Obat-Obat Pada Pasien Usia Lanjut Yang di Rawat di RSUPHAM... 38 Tabel 4.7 Tingkat Keparahan Interaksi Obat-Obat Pada Pasien Usia Lanjut Yang Dirawat Jalan di RSUPHAM... 38

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1 Skema Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat.... 8 Gambar 3.2 Bagan Alur Penelitian 30

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Surat Persetujuan Komite Etik.. 47 Lampiran 2. Surat Izin Penelitian di RSUPHAM.. 48 Lampiran 3. Surat Telah Selesai Melakukan Penelitian 49 Lampiran 4. Jenis Obat Yang Berpotensi Mengalami Interaksi... 50 Lampiran 5. Hasil Analisa Data SPSS... 54 Lampiran 6. Data Interaksi Obat-Obat pada Pasien Usia Lanjut... 55

DAFTAR SINGKATAN ACE AHA/NHLBI : Angiotensin Converting Enzim : The American Heart Association/National Heart, Lung and Blood Institute BPS BMR CMG s GFR HDL HCT ICD : Badan Pusat Statistik : Basal Metabolic Rate : Case Mix Main Groups : Glomerulus Filtration Rate : High Density Lipoprotein : Hidroklorotiazid : International Statistical Clasiffication of Disease and Related Health Problem IDF INA CBG s INH ISDN MAKP NCEP-ATP III : The International Diabetes Federation : Indonesia Case Based Groups : Isoniazid : Isosorbid dinitrat : Metode Asuhan Keperawatan Profesional : The National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel NKF : Nitrokaf Retard NHANES : National Health and Nutrition Examination Survey NSAID PTU : Non Steroid Anti Inflamasi : Propiltiourasil RSUP HAM SSP : Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan : Susunan Saraf Pusat

POLIFARMASI DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN USIA LANJUT RAWAT JALAN DENGAN PENYAKIT METABOLIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN ABSTRAK Proses penuaan menyebabkan penurunan fungsi organ pada usia lanjut sehingga mudah terserang berbagai penyakit. Penyakit metabolik merupakan penyakit yang berkaitan dengan peningkatan usia seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia dan obesitas. Penyakit-penyakit tersebut ditangani dengan terapi obat yang sifatnya polifarmasi sehingga bisa menyebabkan resiko efek samping obat meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah obat-obat yang terjadi, pola mekanismenya, tingkat keparahannya, hubungan antara jumlah dengan jumlah obat, hubungan antara jumlah dengan jumlah diagnosis. Penelitian ini dilakukan secara restropektif dengan menggunakan rekam medik pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik yang di rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Sebanyak 328 sampel yang termasuk kedalam kriteria inklusi diperoleh data bahwa jumlah obat-obat yang terjadi cukup tinggi sebesar 78,96%. Pola mekanisme yang terbanyak adalah farmakokinetik (63,6%) dengan tingkat keparahan yang terbanyak adalah moderat (69,8%). Penelitian ini menunjukan adanya korelasi antara jumlah dengan jumlah obat (r = 0,728; p = 0,0001), jumlah dengan jumlah diagnosis (r = 0,264; p = 0,0001). Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa yang terjadi pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik cukup tinggi, pola mekanisme terbanyak adalah farmakokinetik, tingkat keparahan terbanyak adalah moderat, dan ada korelasi yang signifikan antara jumlah dengan jumlah obat dan jumlah diagnosis. Kata kunci: polifarmasi, -obat, penyakit metabolik

POLIPHARMACY AND DRUG INTERACTIONS IN ELDERLY PATIENTS OUTPATIENT WITH METABOLIC DISEASES IN GENERAL HOSPITAL CENTER HAJI ADAM MALIK MEDAN ABSTRACT The aging process causes a decrease in organ function in elderly people so prone to various diseases. Metabolic disease is a disease that is associated with increasing age such as hypertension, diabetes mellitus, dyslipidemia and obesity. Such diseases are treated with drug therapy polypharmacy nature that can cause increased risk of drug side effects. This study aiims to determine the number of drug-drug interaction that occur, the pattern of the mechanism, its severity, the relationship between the number of interactions with a number of drugs, the relationship between the number of interactions with a number of diagnoses. This study was conducted using a restropective medical records of elderly patients with metabolic diseases in outpatient RSUP HAM Medan. A total of 328 samples were included in the inclusion criteria data showed that the number of drug-drug interactions that occur quite high at 78.96%. The pattern is the mechanism that most pharmacokinetic (63.6%) with the highest severity was moderate (69.8%). This study shows a correlation between the number of interactions with a number of drugs (r = 0.728; p = 0.0001), the number of interactions with a number of diagnoses (r = 0.264; p = 0.0001). It can be concluded that the interaction that occurs in elderly patients with metabolic diseases is high enough, the pattern is most pharmacokinetic mechanisms, most are moderate severity, and no significant correlation between the number of interactions with a number of drugs and the number of diagnoses. Keywords: polypharmacy, drug-interactions, metabolic-disease

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan menyebabkan peningkatan usia harapan hidup penduduk di Indonesia sehingga terjadi pertumbuhan jumlah penduduk usia lanjut. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 jumlah usia lanjut di Indonesia sebanyak 18,04 juta orang atau 7,59% dari keseluruhan jumlah penduduk di Indonesia dengan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari jumlah penduduk laki- laki. Batasan lansia menurut WHO meliputi usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut tua (old) antara 75 90 tahun, serta usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Ismayadi, 2004).Menurut Undang-Undang No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia yang dimaksud dengan usia lanjut adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (BPS, 2010). Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari berjalan terus menerus dan berkesinambungan sehingga menyebabkan perubahan pada tubuh yang akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam, 2008). Seiring dengan peningkatan usia akan disertai pula dengan peningkatan berbagai penyakit dan ketidakmampuan. Peningkatan usia harapan hidup menimbulkan konsekuensi logis yaitu adanya masalah kesehatan yang potensial pada seseorang dengan usia lanjut, terjadinya proses penuaan yang menyebabkan 1

penurunan tingkat produktivitas dan fungsi sistem organ diantaranya para lansia rentan terhadap faktor-faktor risiko penyakit metabolik, seperti hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan obesitas (Darmojo, 2000). Penyakit metabolik menurut Consensus The International Diabetes Federation (IDF) tahun 2005 adalah kumpulan faktor risiko yang terdiri atas diabetes dan prediabetes, obesitas abdominal, dislipidemia dan hipertensi. Sedangkan menurut National Cholesterol Education Program Expert Panel on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults Treatment Panel III (NCEP ATP III) tahun 2001, penyakit metabolik adalah sekelompok kelainan metabolik lipid maupun non lipid yang merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner yang terdiri atas obesitas sentral, dislipidemia, kadar trigliserida yang tinggi dan kadar High Density Lipoprotein (HDL) rendah, hipertensi, dan kadar glukosa plasma abnormal (Mittal, 2008). Prevalensi penyakit metabolik meningkat dengan bertambahnya usia (Ford, et al., 2003). Prevalensi penyakit metabolik di Amerika Serikat menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dari 8814 orang yang berumur 60-69 tahun sekitar 40% (Ford, et al., 2002). Kemunduran fungsi organ merupakan salah satu akibat proses menua karena proses ini menyebabkan perubahan pada usia lanjut seperti perubahan sistem muskuluskeletal, perubahan sistem kardiopulmonal, perubahan pada sistem pencernaan, perubahan pada sistem perkemihan, perubahan pada sistem endokrin, dan perubahan sistem neurologis (Ekowati, et al., 2006). Beberapa penyakit yang biasa diderita pada usia lanjut antara lain gagal jantung kongestif, hipertensi, depresi, osteoporosis, diabetes, Alzheimer, dan 2

dementia (Roy dan Varsha, 2005). Pada pasien usia lanjut sering terjadi penyakit iatrogenic akibat banyaknya obat-obatan yang dikonsumsi (polifarmasi) (Pranaka, 2011). Pengkhususan penelitian ini pada pasien usia lanjut didasari oleh kenyataan bahwa proses penuaan akan mengakibatkan beberapa perubahan fisiologi, anatomi, psikologi, dan sosiologi sehingga meningkatkan potensi terkena penyakit degeneratif. Penyakit penyakit tersebut biasanya ditangani dengan penggunaan terapi obat berupa polifarmasi yang akan menimbulkan risiko efek samping obat hampir sembilan kali dibanding mengkonsumsi satu obat (Ekowati, et al., 2006). Telah diketahui bahwa penyakit pasien usia lanjut mempunyai beberapa kriteria, bersifat multipel atau memiliki lebih dari satu penyakit, penyakit biasanya bersifat kronis sehingga menimbulkan kecacatan bahkan kematian, usia lanjut rentan terhadap berbagai penyakit akut yang diperberat dengan penurunan daya tahan tubuh (Hajjar, et al., 2007) Polifarmasi secara signifikan meningkatkan risiko obat dengan obat. Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan di Yogyakarta didapati bahwa pasien yang menggunakan 2 jenis obat mempunyai risiko 13% obat dan 38% ketika menggunakan 4 jenis obat, dan mencapai 82% ketika menggunakan 7 atau lebih jenis obat secara bersamaan. Beberapa peneliti mengatakan bahwa penggunaan 2 jenis obat disebut polifarmasi minor dan penggunaan lebih dari 4 jenis obat disebut polifarmasi mayor (Rahmawati, et al., 2009). Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan, sehingga keefektifan atau 3

toksisitas suatu obat berubah (Fradgley, 2003). Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut berbeda secara signifikan dengan pasien usia muda karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia dan dampak yang timbul akibat penggunaan obat-obatan sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien usia lanjut sulit dihindari karena berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat yang diresepkan oleh beberapa dokter, gejala yang dirasa tidak jelas, untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambahkan obat baru (Setiati dkk, 2006). Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat (Mamun, et al., 2004). Keparahan juga dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan yaitu: minor, moderate, dan mayor. Termasuk kategori minor jika kemungkinan terjadi pada pasien akibat kelalaian. Kategori moderat apabila terjadi pada pasien dan monitoring harus dilakukan. moderat mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan atau pasien semakin lama tinggal di rumah sakit. Suatu termasuk dalam keparahan mayor apabila tersebut membahayakan pasien termasuk nyawa pasien dan kerusakan/kecacatan mungkin terjadi (Bailie, 2004). Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai polifarmasi dan obat pada pasien usia lanjut (Mamun, et al., 2004). 4

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas rumusan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. apakah jumlah obat-obat yang terjadi pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik yang dirawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tinggi? b. apakah obat-obat berdasarkan pola mekanisme pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik tinggi? c. apa saja obat-obat yang terjadi berdasarkan tingkat keparahannya pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik tinggi? d. apakah terdapat hubungan antara jumlah dengan jumlah obat yang dikonsumsi pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik? e. apakah terdapat hubungan antara jumlah dengan jumlah diagnosis pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik? 1.3 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: a. Ha. Jumlah obat-obat pada pasien usia lanjut yang terjadi adalah tinggi Ho. jumlah obat-obat yang terjadi pada pasien usia lanjut adalah rendah b. Ha. jumlah obat-obat pada pasien usia lanjut berdasarkan pola mekanismenya adalah farmakokinetik, farmakodinamik, unknown adalah tinggi. 5

Ho. jumlah obat-obat pada pasien usia lanjut berdasarkan pola mekanismenya adalah farmakokinetik, farmakodinamik, unknown adalah rendah. c. Ha. jumlah obat-obat pada pasien usia lanjut adalah tinggi berdasarkan tingkat keparahan adalah mayor, moderate dan low. Ho. jumlah obat-obat pada pasien usia lanjut adalah rendah berdasarkan tingkat keparahan adalah mayor, moderate dan low. d. Ha. tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah dengan jumlah obat Ho. ada terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah dengan jumlah obat. e. Ha. tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah dengan jumlah diagnosis Ho. ada terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah dengan jumlah diagnosis 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan hipotesis penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini untuk: a. mengetahui jumlah obat-obat pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik yang dirawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. b. mengetahui pola mekanisme obat-obat yang terjadi pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik. c. mengetahui tingkat keparahan obat-obat yang terjadi pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik. 6

d. mengetahui hubungan antara jumlah dengan jumlah obat yang dikonsumsi pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik. e. mengetahui hubungan antara jumlah dengan jumlah diagnosis pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada rumah sakit tentang: a. gambaran jumlah obat-obat yang terjadi pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik yang dirawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. b. gambaran pola mekanisme obat-obat yang terjadi pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik c. gambaran mengenai tingkat keparahan obat yang terjadi pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik. d. gambaran hubungan antara jumlah dengan jumlah obat pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik. e. gambaran hubungan antara jumlah dengan jumlah diagnosis pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik. 7

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ini mengindentifikasi penggunaan polifarmasi pada pasien usia lanjut di Rumah Sakit Adam Malik Medan. Adapun kerangka pikir penelitian ini ditunjukan pada Gambar 1.1 Variable bebas Variabel terikat Parameter Pasien - Jenis kelamin pria wanita Jumlah Interaksi Obat (%) Jumlah obat (%) Polifarmasi - Dua obat - Tiga obat - Empat obat - Lima obat - Enam obat - Tujuh obat atau lebih Interaksi Obat - Farmakokinetik - Farmakodinamik - Unknown Diagnosis - Satu diagnosis - Dua diagnosis - Tiga diagnosis atau lebih Tingkat Keparahan - Mayor - Moderate - Minor Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pasien Usia Lanjut 2.1.1 Pengertian usia lanjut Menurut Undang-Undang No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, yang dimaksud dengan usia lanjut adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Diperkirakan pada tahun 2000 di dunia terdapat 138 juta orang usia lanjut, dengan perincian di Cina 32 juta orang, di India 17 juta orang, dan di Indonesia 15,3 juta orang. Berdasarkan sensus penduduk usia lanjut di Indonesia sebanyak 18,04 juta orang atau 7,59% dari keseluruhan jumlah penduduk di Indonesia, penduduk usia lanjut perempuan lebih banyak dari jumlah penduduk laki-laki (BPS, 2010). Seorang praktisi medik dalam praktiknya sehari-hari sering dihadapkan pada berbagai masalah pengobatan yang kadang memerlukan pertimbangan khusus misalnya pada pasien usia lanjut. Pertimbangan pemberian obat pada usia lanjut tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa tapi perlu beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar terhadap kemungkinan efek samping karena adanya perbedaan fungsi organ-organ tubuh dan lebih rentannya usia lanjut terhadap efek samping/efek toksik obat (Ismayadi, 2004). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 di Yogyakarta menyatakan bahwa pasien usia lanjut selama rawatan di rumah sakit mendapatkan 2-20 jenis obat. Sebanyak 31% dari pasien tersebut memperoleh lebih dari 10 jenis obat 9

selama dirawat di rumah sakit. Peneliti juga mendapatkan sebanyak 63% pasien menerima pengobatan yang tidak diperlukan (Rahmawati, et al., 2009). 2.1.2 Perubahan fisiologis pada pasien usia lanjut Kemunduran fungsi organ merupakan salah satu akibat proses menua menyebabkan perubahan pada usia lanjut antara lain: a. Perubahan system muskuluskeletal Pada usia lanjut perubahan sistem muskuluskeletal yang sering terjadi ialah tulang kehilangan densitas dan semakin rapuh sehingga menyebabkan pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, begitu juga dengan persendian semakin kaku. Selain itu tendon mengkerut dan mengalami sklerosis sehingga pergerakan lansia menjadi lambat dan ototnya mudah mengalami kram dan tremor (Taliaferro, 2001). b. Perubahan system kardiopulmonal Umumnya sistem kardiovaskuler pada usia lanjut mengalami perubahan yaitu kehilangan elastisitas arteri maupun aorta, tetapi katup jantung justru menebal dan menjadi kaku. Hal ini menyebabkan kemampuan jantung untuk memompa darah menurun sehingga terjadi penurunan kontraksi dan volume kardiopulmonal tetapi terjadi peningkatan nadi dan tekanan sistolik (Donatus, 1999). c. Sistem pencernaan Terkait dengan sistem pencernaan, kemunduran yang sering terjadi adalah pada esofagus yaitu gerakan peristaltik rendah sehingga usia lanjut cenderung mengalami disfagia, nyeri dan muntah. Asam lambung menurun sehingga sensitivitas rasa lapar juga menurun dan waktu pengosongan lambung juga 10

menurun. Pada pankreas terjadi penurunan jumlah sekresi pankreatik biasanya terjadi setelah usia 40 tahun begitu juga terjadi penurunan pengeluaran enzim sesuai dengan bertambahnya usia. Penurunan aktivitas enzim berhubungan dengan pencernaan lemak. Melemahnya peristaltik usus pada lansia akan menyebabkan konstipasi (Donatus, 1999). d. Perubahan sistem perkemihan Perubahan yang signifikan pada sistem perkemihan pada usia lanjut ialah. menurunnya laju filtrasi glomerulus, ekskresi dan reabsorbsi oleh ginjal, penurunan kapasitas kandung kemih dan penyempitan saluran kemih. Pada usia 40 tahun aliran darah keginjal perlahan mulai menurun (Donatus, 1999). e. Perubahan sistem endokrin Pada lansia produksi semua hormon akan menurun begitu pula dengan aktivitas tiroid, penurunan Basal Metabolic Rate (BMR), penurunan pertukaran zat dan produksi hormon seperti progesteron, estrogen dan testosterone (Donatus, 1999). f. Perubahan sistem neurologis Gangguan neurologis pada lansia disebabkan perubahan struktur dan fungsi saraf. Perubahan ini tergantung pada banyak faktor termasuk faktor genetik serta area otak yang mengalami kerusakan. Pada usia lanjut berat otak menurun 10-20% (setiap orang sel saraf otaknya berkurang setiap hari), pengecilan saraf pancaindra seperti penglihatan berkurang, pengecilan saraf penciuman, meningkatnya sensitivitas terhadap perubahan suhu karena rendahnya ketahanan terhadap dingin (Donatus, 1999). 11

2.1.3 Prevalensi penyakit pada pasien usia lanjut Penyakit yang sering terjadi pada usia lanjut adalah muskuloskeletal, kardiovaskuler, urogenital, dan pernafasan lebih banyak dialami lanjut usia pria dibandingkan wanita. Sedangkan penyakit digestif dan metabolik lebih banyak dijumpai pada lanjut usia wanita. Semakin banyak penyakit kronis yang dialami lansia terjadi kecenderungan menurunnya kualitas hidup (Yenny, et al., 2006). Berdasarkan penelitian Sudijanto Kamso ditentukan prevalensi penyakit metabolik adalah 14,9%, wanita 18,2% dan pria 6,6% (Sudijanto, 2007). 2.2 Polifarmasi Polifarmasi berarti penggunaan obat banyak sekaligus terhadap pasien, melebihi yang dibutuhkan terkait dengan perkiraan diagnosis. Pasien yang berusia lanjut biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang sering di derita usia lanjut adalah hipertensi, gagal jantung, dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi hati, dan ginjal. Juga terdapat berbagai keadaan yang khas dan sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua itu menyebabkan pasien usia lanjut mendapatkan pengobatan yang relatif banyak jenisnya (Roy dan Varsha, 2005). Polifarmasi termasuk meresepkan obat melebihi indikasi klinik, pengobatan mencakup setidaknya satu obat yang tidak diperlukan, penggunaan empiris 5 obat atau lebih, yang jelas polifarmasi mengandung risiko lebih besar dari manfaat yang didapat (Rahmawati, et al., 2006). samping antara obat yang serius dapat terjadi pada penggunaan polifarmasi pada kelompok pasien tertentu, misalnya usia lanjut, 12

pasien dengan sakit serius, pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal, pasien yang mendapat obat lebih dari satu dokter dan kelompok obat yang sering menimbulkan misalnya obat dengan proses metabolism jenuh (teofilin, dan fenitoin), obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, dan warfarin), obat berpotensi toksik (aminoglikosida, sitostatika, monoamine oksidase inhibitor) dan obat yang mempunyai kurva respon dosis yang curam (khlorpropamid dan verafamil) (Masjoer, 1998). 2.3 Interaksi obat Ketika dua atau lebih obat dikonsumsi secara bersamaan atau hampir bersamaan kemungkinan akan terjadi. Interaksi yang terjadi ini bisa menambah atau mengurangi efektivitas maupun efek samping obat, bahkan bisa saja menyebabkan efek samping baru, yang seharusnya tidak muncul jika obat dikonsumsi secara tidak bersamaan. Secara teoritis, peluang terjadinya obat sebanding dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Karena itu, seseorang yang mengkonsumsi beberapa obat dalam waktu bersamaan, kemungkinan memiliki risiko cukup besar. Adanya obat juga bisa menyebabkan peningkatan biaya karena kemungkinan adanya efek samping yang harus ditangani. Selain itu obat juga bisa menyebabkan munculnya penyakit yang seharusnya bisa dicegah. Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, seperti halnya efek farmakologis, efek samping obat juga merupakan hasil yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Interaksi obat dapat terjadi antara obat-obat, obat makanan, dan obat herbal (Prasetya, 2011). 13

Telah diketahui bahwa penyakit dan kesehatan pada usia lanjut tidaklah sama dengan penyakit dan kesehatan pada golongan populasi usia lainnya, yaitu dalam hal: penyakit pada usia lanjut cenderung bersifat multipel, merupakan gabungan antara penurunan fisiologik/alamiah dan berbagai proses patologik/penyakit; penyakit biasanya bersifat kronis, menimbulkan kecacatan bahkan kematian; usia lanjut juga rentan terhadap berbagai penyakit akut serta diperberat dengan kondisi daya tahan tubuh rendah; kesehatan usia lanjut juga sangat dipengaruhi oleh faktor psikis, sosial dan ekonomi; dan pada usia lanjut seringkali terjadi penyakit iatrogenic (akibat banyaknya obat yang dikonsumsi) (Pranarka, 2006). 2.4 obat Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan satu dari dua mekanisme berikut: a. modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan jaringan ( farmakodinamik). b. mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya ( farmakokinetik). Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena: i. indeks terapi obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas). ii. kurva dosis-respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara substansial). iii. untuk kebanyakan obat, kondisi ni tidak dijumpai, peningkatan sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin 14

hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar. iv. sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang sempit sehingga obat dapat menyebabkan masalah, sebagai contoh obat antitrombotik, antiepilepsi, litium, dan obat-obat imunosupresan (Hashem, 2005). 2.4.1 Interaksi farmakokinetik Interaksi ini terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologinya (Martin, 2009). a. obat pada level absorbsi contoh arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan over dosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Contoh lainantibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan kalsium dan besi membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008). b. obat pada level distribusi meliputi: i. pada ikatan protein Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel. Hanya 15

molekul obat yang tidak terikat yang bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008). ii. induksi dan inhibisi protein transpor obat Distribusi obat ke otak dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, sehingga meningkatkan efek samping obat di SSP (Stockley, 2008). c. obat pada level metabolisme i. perubahan pada metabolisme fase pertama Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat, pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obat akan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008). ii. induksi Enzim Ketika barbiturate digunakan dalam jangka lama sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis untuk mencapai efek terapi yang sama, disebabkan karena barbiturate meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolism dan ekskresinya sendiri (Stockley, 2008). 16

iii. inhibisi enzim Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh dan bisa menimbulkan toksisitas. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450 (Stockley, 2008). iv. faktor genetik dalam metabolisme obat Isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, artinya beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitasnya. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil memiliki varian aktivitas yang rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lagi memiliki isozim cepat sehingga kemampuan yang berbeda dalam metabolisme ini dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien mengalami toksisitas sementara yang lain tidak (Stockley, 2008). v. isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008). d. pada ekskresi obat i. perubahan ph urin Pada nilai ph tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pka 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut air, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap berada dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Perubahan ph yang menyebabkan jumlah 17

obat dalam bentuk terionisasi meningkat, akan meningkatkan hilangnya obat dari tubuh (Stockley, 2008). ii. perubahan ekskresi aktif tubular renal Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain untuk diekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya (Stockley, 2008). iii. perubahan aliran darah renal Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal berkurang (Stockley, 2008). 2.4.2 Interaksi farmakodinamik Interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang ber (Martin, 2009). a. Interaksi aditif atau sinergis Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan susunan saraf pusat, jika diberikan bersama dengan obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan (Stockley, 2008). b. Interaksi antagonis atau berlawanan Berbeda dengan aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang 18

waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008). 2.5 Perubahan pada usia lanjut yang berkaitan dengan penggunaan obat Pasien usia lanjut memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda akibat penyakit yang beragam dan kerumitan rejimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi pada pasien usia lanjut. Proses menua dapat mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat, sehingga berpotensi. 2.5.1 Interaksi farmakokinetik obat Proses penuaan menyebabkan menurunnya fungsi organ, baik akibat proses degenerasi yang secara alamiah akan dialami oleh setiap orang, maupun akibat penyakit yang diderita sebelumnya (Donatus,1999; Granfinkel, 2007). Absorpsi suatu obat pada usia lanjut dapat berubah disebabkan adanya perubahan fisiologis pada usia lanjut, seperti menurunnya sekresi asam lambung (25 35%), aliran darah ke saluran cerna, produksi tripsin pankreatik, gerakan saluran cerna atau waktu pengosongan lambung dan jumlah sel pengabsopsi. Obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke dalam sistem sirkulasi. Keadaan yang dapat mempengaruhi absorpsi obat pada usia lanjut antara lain perubahan kebiasaan makan, tingginya konsumsi obat-obatan non resep (misalnya antasida, laksansia) dan menurunnya kecepatan pengosongan lambung (Donatus, 1999; Granfinkel, 2007). 19

Sesuai dengan pertambahan usia maka terjadi perubahan komposisi tubuh. Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan pada komposisi cairan tubuh dan lemak. Pada bayi, komposisi terbesar adalah cairan tubuh dan setelah dewasa diganti dengan massa otot. Setelah dewasa sampai usia lebih tua jumlah air tubuh akan berkurang dan massa otot pun menurun. Pada usia lanjut akan terjadi peningkatan lemak tubuh. Persentasi lemak pada usia dewasa sekitar 8-20% (laki-laki) dan 33% pada perempuan dan pada usia lanjut meningkat 33% pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi distribusi obat plasma, dimana distribusi obat larut lemak akan meningkat dan distribusi obat larut air akan menurun (Darmansjah, 1994). Penurunan fungsi hati tidak sebesar penurunan fungsi ginjal karena hati memiliki kapasitas yang lebih besar. First pass effect dan pengikatan protein berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan secara oral diserap oleh usus dan sebagian besar melalui vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum melalui sirkulasi darah umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma obat hingga 30% atau lebih. Obat yang diberikan secara intravena tidak akan melalui hati lebih dahulu tetapi langsung masuk ke sirkulasi darah umum. Pengikatan protein juga dapat menimbulkan efek samping serius dimana obat yang terikat banyak dengan protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama menjadi tinggi dalam darah dan menimbulkan efek samping. Walfarin misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh 20

protein, aspirin menggeser ikatan walfarin dengan protein sehingga kadar walfarin bebas menjadi naik yang akhirnya menimbulkan efek samping pendarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intesitas pendarahan. Banyaknya obat geser-menggeser dalam proses protein-binding bila beberapa obat diberikan bersamaan. Sebagian mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Darmansjah, 1994). Perubahan paling berarti pada usia lanjut ialah menurunnya fungsi ginjal ditandai dengan menurunnya Glomerulus Filtration Rate (GFR) dan creatinine clearance walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar creatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang yang mengakibatkan bertambah lamanya kerja obat. Obat yang mempunyai waktu paruh panjang perlu diberikan dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Pemberian obat pada pasien usia lanjut tanpa memperhitungkan fungsi ginjal sebagai organ yang akan mengekskresikan obat akan berdampak pada kemungkinan terjadinya akumulasi obat sehingga menimbulkan efek toksik (Anonim, 2012). 2.5.2 Interaksi farmakodinamik obat Interaksi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan perubahan obat pada reseptor dan organ target, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan dosis mungkin harus disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opioid dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti 21

klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada lansia. terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994) 2.6 Penyakit Metabolik Berdasarkan The National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III), sindrom metabolik adalah seseorang dengan memiliki sedikitnya 3 dari kriteria berikut, a. obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); b. peningkatan kadar trigliserida darah ( 150 mg/dl, atau 1,69 mmol/ L); c. penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dl atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita <50 mg/dl atau <1,29 mmol/ L); d.. peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik 130 mmhg, tekanan darah diastolik 85 mmhg atau sedang menggunakan obat antihipertensi); e. peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa 110 mg/dl, atau 6,10 mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment Panel III, 2001). Selain kriteria berdasarkan NCEP-ATP III diatas masih ada beberapa kriteria untuk definisi penyakit metabolik antara lain; kriteria World Health Organization (WHO), kriteria International Diabetes Federation (IDF), The American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute (AHA/NHLBI), saat ini kriteria NCEP-ATP III telah banyak diterima secara luas (Mittal, 2008). 22

Penyakit metabolik merupakan kondisi yang diakibatkan kelainan metabolik yang meliputi: a. Obesitas sentral Obesitas sentral terjadi karena berkurangnya aktivitas fisik dan perubahan pola makan. Peningkatan jumlah lemak yang disimpan dalam rongga perut obesitas central sering terdeteksi dengan mengukur lingkar perut dan membandingkannya dengan lingkar pinggul. Juga disebut obesitas intraabdomen atau mendalam. Besar lingkar pinggang pada remaja berkaitan erat dengan kemungkinan menderita penyakit diabetes melitus tipe 2 dan penyakit komplikasi penyakit metabolik (hipertensi, kolesterol tinggi, serangan jantung, stroke, kerusakan hati, dan ginjal) (Widdy, 2011). b. Dislipidemia aterogenik Dislipidemia aterogenik terjadi apabila kadar trigliserida meningkat dan kadar kolestrol HDL rendah. Trigliserida merupakan bentuk asam lemak cadangan utama dan merupakan ester dari alkohol gliserol dengan asam lemak. Lemak disimpan di dalam tubuh dalam bentuk trigliserida. Apabila sel membutuhkan energi, enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak serta melepasnya ke dalam pembuluh darah. HDL atau α-lipoprotein membantu menghilangkan timbunan lemak dalam pembuluh darah. Semakin tinggi kadar HDL dalam darah, semakin baik untuk jantung. Kadar kolesterol HDL yang rendah dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan jantung hingga strok (Widdy, 2011). 23

c. Tekanan darah tinggi (Hipertensi) Tekanan darah adalah tekanan yang membantu mengalirankan darah disepanjang pembuluh darah. Tekanan darah tinggi adalah kondisi ketika tekanan darah di arteri terlalu tinggi. Tekanan darah tinggi akan merusak pembuluh darah. Jika tekanan darah tinggi berlangsung dalam jangka waktu lama, pembuluh darah akan menebal, dan kurang fleksibel. Hal ini disebut dengan arterosklerosis, dan dapat mempengaruhi arteri yang memberikan darah ke jantung (Widdy, 2011). d. Resistensi insulin Resistensi insulin adalah suatu keadaan dimana ambilan glukosa yang distimulasi oleh insulin pada berbagai jaringan seperti liver, jaringan lemak, otot skeletal berkurang (tidak dapat menggunakan insulin secara efisien) sehingga mengakibatkan kadar glukosa dalam darah meningkat. Kadar glukosa yang tinggi dalam waktu lama dapat menyebabkan disfungsi endotel dan akhirnya dapat mempercepat proses aterosklerotik (Merentek, 2006). 2.7. Penentuan Diagnosis dan tindakan di Rumah Sakit Dalam menentukan kode diagnosis dan tindakan harus berpedoman pada buku ICD-10 dan ICD-9CM, yang dalam INA CBG s penggunaannya dikelompokan dalam CMG yang membentuk kode INA CBG s. Koding adalah kegiatan memberikan kode diagnosis utama dan diagnosis sekunder sesuai dengan ICD-10 serta memberikan kode prosedur sesuai dengan ICD-9-CM. Koding sangat menentukan dalam sistem pembiayaan prospektif yang akan menentukan besarnya biaya yang dibayarkan ke Rumah Sakit. 24

Koding dalam INA-CBGs menggunakan ICD-10 tahun 2008 untuk mengkode diagnosis utama dan sekunder serta menggunakan ICD-9-CM untuk mengkode tindakan/prosedur. Sumber data untuk mengkoding berasal dari rekam medis (Depkes RI, 2014). 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Adam Malik Medan pada pasien usia lanjut dengan penyakit metabolik dan dirawat jalan pada periode Januari sampai Desember 2012 dan penelitian dilakukan secara retrospektif. Prinsip penelitian ini adalah mempelajari hubungan antara variable bebas (jumlah obat, pasien dan jumlah diagnosis) dengan variable terikat ( obat) meliputi pola mekanisme, jenis obat yang ber, jumlah obat yang ber dan tingkat keparahan. 3.2 Tempat dan waktu Penelitian di lakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada periode Januari-Oktober 2013. 3.3 Populasi dan sampel 3.3.1 Populasi Populasi pada penelitian adalah seluruh pasien usia lanjut yang dirawat jalan dengan penyakit metabolik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada periode Januari sampai Desember 2012. Subjek yang dipilih harus memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: a. pasien usia lanjut (60 tahun atau lebih) yang dirawat pada periode Januari sampai dengan Desember 2012 dan lengkap data rekam mediknya. b. pasien mendapat terapi lebih dari dua jenis obat. c. semua gender 26