Isolat Lokal Saccharomyces cerevisiae sebagai Biokompetitor Aspergillus flavus

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

diisolasi dari contoh kecap dengan menggunakan media SDA, sedikit sekali populasinya. Hal ini tentunya dikarenakan komposisi media tersebut kurang dap

PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN B1 DAN M1 PADA HATI ITIK DENGAN PEMBERIAN KULTUR Saccharomyces cerevisiae DAN Rhizopus oligosporus

BAB 3 METODE PENELITIAN

VIABILITAS Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus DAN CAMPURANNYA DALAM TEPUNG BERAS

BAB 3 METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

ABSTRAK. AKTIVITAS ANTIFUNGI AIR PERASAN LOBAK (Raphanus sativus L.) TERHADAP Candida albicans SECARA In Vitro

PERBANDINGAN EFEK ANTICANDIDA CHLORHEXIDINE 2% (CHX) TERHADAP PERTUMBUHAN CANDIDA ALBICANS

A. Isolasi Mikrobia merupakan proses pemisahan mikrobia dari lingkungannya di alam dan menumbuhkannya sebagai biakan murni dalam medium buatan harus

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25

III. METODE PENELITIAN. dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan di laboratorium Makanan Ternak, Jurusan

KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI)

PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA, TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN

I. PENDAHULUAN. perunggasan merupakan salah satu penyumbang sumber pangan hewani yang

BAB III BAHAN DAN METODE

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

KONTAMINASI FUNGI Aspergillus sp. PADA BIJI JAGUNG DITEMPAT PENYIMPANAN DENGAN KADAR AIR YANG BERBEDA

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga Surabaya dan

PENGARUH IRADIASI DAN PENYIMPANAN DARI SUPLEMEN PAKAN RUMINANSIA

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan

UJI PATOGENISITAS Fusarium moniliforme SHELDON PADA JAGUNG ABSTRAK

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April - Mei 2015 di Laboratorium

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi

Koloni bakteri endofit

PENENTUAN CEMARAN MIKROBA PADA JAMU PELANGSING YANG BEREDAR DI PASAR TARANDAM PADANG ABSTRACT

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai penambahan starter ekstrak nanas dengan level berbeda

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

SAMBILOTO (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES.) UNTUK MENGURANGI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PAKAN AYAM KOMERSIAL

OLEH Burhanuddin Taebe Andi Reski Amalia Sartini

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

UJI-UJI ANTIMIKROBA. Uji Suseptibilitas Antimikrobial. Menggunakan cakram filter, mengandung sejumlah antibiotik dengan konsentrasi tertentu

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian dibagi menjadi lokasi pengambilan sampel dan lokasi

III. METODE PENELITIAN

PERLAKUAN PENYEDUHAN AIR PANAS PADA PROSES FERMENTASI SINGKONG DENGAN ASPERGILLUS NIGER

UJI EFEKTIVITAS PENGAWET ANTIMIKROBA. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Molekuler. Penelitian ini di lakukan pada Agustus 2011.

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI

Lampiran 1. Diagram Alur Penelitian. Persiapan Penyediaan dan Pembuatan Inokulum Bacillus licheniiformis dan Saccharomyces.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

ABSTRAK. Kata Kunci : Streptococcus mutans, avokad, in vitro.

BAB II METODE PENELITIAN

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Mei 2011 di Laboratorium Mikrobiologi dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.L Diameter Koloni jamur Colletotrichum capsici pada Medium PDA (mm) secara In-vitro

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK)

METODE PENELITIAN. Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan April Bahan dan Alat.

Bakteri. mikroorganisme dalam industri. Minggu 02: Contoh peran mikroorganisme 9/13/2016

mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml selanjutnya diamkan selama 30 menit

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013 dengan tahapan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik bali merupakan itik lokal Indonesia yang juga sering disebut itik penguin, karena

GAMBARAN KUALITATIF BAKTERI PROBIOTIK (LACTOBACILLUS SP.) DALAM SUSU FERMENTASI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

BAB I PENDAHULUAN. diliputi oleh perairan. Dengan luas dan panjangnya garis pantai Indonesia, komoditi

Pengaruh Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Setaria splendida Stapf yang Mengalami Cekaman Kekeringan

Penyiapan Kultur Starter. Bioindustri Minggu 6 Oleh : Sri Kumalaningsih, dkk

DAYA ADAPTABILITAS ISOLAT KHAMIR DALAM CAIRAN RUMEN KERBAU STERIL SEBAGAI BAHAN PROBIOTIK

LAMPIRAN. Lampiran 1. Alur Kerja Isolasi Bakteri Endofit dari Batang dan Akar Tanaman Dara metode Radu & Kqueen (2002) yang dimodifikasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA BERBAGAI SEDIAAN BUAH MENGKUDU DI PASARAN TERHADAP Salmonella typhi dan Candida albicans SECARA IN VITRO

III. METODE PENELITIAN. bio.unsoed.ac.id

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Sampel

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu . Bahan dan Alat Metode Penelitian Survei Buah Pepaya Sakit

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Kapang R. Oryzae atau C.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2015.

MODUL 1 PENGENALAN ALAT LABORATORIUM MIKROBIOLOGI

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan April 2014.

I. PENDAHULUAN. hewan adalah bakteri. Mikroorganisme tersebut memiliki peranan yang positif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang

UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK ETANOL DAN ETIL ASETAT DAUN KETUMPANG (Tridax procumbens L.) TERHADAP Trichophyton mentagrophytes

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor

AKTIVITAS LIPOLITIK Rhizopus microsporus var. rhizopodiformis ISOLAT UICC No. 6

PERTUMBUHAN MIKROORGANISME

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada

METODE Lokasi dan Waktu Materi

Transkripsi:

Isolat Lokal Saccharomyces cerevisiae sebagai Biokompetitor Aspergillus flavus ENI KUSUMANINGTYAS Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 (Diterima dewan redaksi 5 Oktober 2005) ABSTRACT KUSUMANINGTYAS, E. 2006. Local isolate of Saccharomyces cerevisiae as biocompetitive agent of Aspergillus flavus. JITV 11(4): 324-330. Aspergillus flavus is a toxigenic fungus that contaminates feed and influences animal health. Saccharomyces cerevisiae can be used as a biocompetitive agent to control the contamination. The ability of local isolate of S. cerevisiae as a biocompetitive agent for A. flavus was evaluated. A. flavus (30μl) was swept on Sabouraud dextrose agar (SDA), while S. cerevisiae was swept on its left and right. Plates were incubated at 28 o C for nine days. Lytic activity of S. cerevisiae was detected by pouring its suspension on the centre of the cross streaks of A. flavus. Plates were incubated at 28 o C for five days. Growth inhibition of A. flavus by S. cerevisiae was determined by mixing the two fungi on Potato dextrose broth and incubated at 28 o C for 24 hours. Total colony of A. flavus were then observed at incubation time of 2, 4, 6 and 24 hours by pour plates method on the SDA plates and incubated on 28 o C for two days. Growth of hyphae of A. flavus sweep were inhibited with the swept of S. cerevisiae. The width of A. flavus colony treated with S. cerevisiae is narrower (3,02 cm) than that of control ( 4,60 cm). The growth of A. flavus was also inhibited on the centre of cross streak where the S. cerevisiae poured. S. cerevisiae gradually reduced the colony number of A. flavus in the mixed culture of broth fungi ie. 14 x 10 3 CFU ml -1 while colony number of control is 80 x 10 3 CFU ml -1. Results showed that S. cerevisiae could be used as biocompetitive agent of A. flavus. Key Words: Aspergillus flavus, Saccharomyces cerevisiae, Biocompetitive agent ABSTRAK KUSUMANINGTYAS, E. 2006. Isolat lokal Saccharomyces cerevisiae sebagai biokompetitor Aspergillus flavus. JITV 11(4): 324-330. Aspergillus flavus merupakan kapang toksigenik yang mengkontaminasi pakan dan mempengaruhi kesehatan ternak. Saccharomyces cerevisiae dapat digunakan sebagai biokompetitor untuk mengontrol kontaminasi tersebut. Pada percobaan ini diuji kemampuan kompetisi isolat lokal S. cerevisisae terhadap A. flavus. A. flavus (30 μl) digoreskan di tengah cawan berisi Sabouraud Dextrose Agar (SDA) sementara S. cerevisiae digores pada sebelah kiri dan kanannya. Cawan diinkubasi pada suhu 28 o C selama sembilan hari. Penentuan aktivitas litik S. cerevisiae dilakukan dengan menuangkan suspensi selnya pada gesek silang A. flavus. Cawan diinkubasi pada suhu 28 o C selama lima hari. Hambatan pertumbuhan A. flavus oleh S. cerevisiae ditentukan dengan mencampurkan kedua cendawan pada Potato Dextrose Broth dan diinkubasikan pada suhu 28 o C selama 24 jam. Total koloni A. flavus diamati pada masa inkubasi 2, 4, 6 dan 24 jam dengan metode cawan tuang pada media SDA yang kemudian diinkubasi pada suhu 28 o C selama dua hari. Pertumbuhan hifa A. flavus terhambat oleh goresan S. cerevisiae. Lebar koloni A. flavus pada perlakuan dengan S. cerevisiae lebih kecil (3,02 cm) dibandingkan dengan lebar koloni kontrol (4,60 cm). Pertumbuhan A. flavus pada daerah pertemuan gores silang tempat S. cerevisiae dituangkan juga terhambat. S. cerevisiae secara gradual juga mengurangi jumlah koloni A. flavus yang tumbuh pada kultur cendawan pada media broth yaitu 14 x 10 3 CFU ml -1 sedangkan jumlah koloni kontrol 80 x 10 3 CFU/ml. Hasil tersebut menunjukkan bahwa S. cerevisiae dapat digunakan sebagai kandidat biokompetitor A. flavus. Kata Kunci: Aspergillus flavus, Saccharomyces cerevisiae, Biokompetitor PENDAHULUAN Aspergillus flavus merupakan kapang toksigenik penghasil aflatoksin yang biasa tumbuh pada berbagai produk pertanian (COTTY et al., 1990; SCUDAMORE, 1994). Indonesia sebagai negara tropis sangat potensial bagi pertumbuhan kapang termasuk kapang-kapang penghasil mikotoksin. Pada kondisi yang ekstrim A. flavus dapat menginfeksi biji-bijian secara langsung (PAYNE et al., 1988; SMART et al., 1990; HORN et al., 1994). Infeksi A. flavus menyebabkan akumulasi aflatoksin pada komoditas yang dipanen dan konsumsi terhadap produk tercemar tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia dan hewan. Aflatoksin diketahui dapat menyebabkan hepatotoksik dan hepatokarsinogenik pada manusia (RAZZAGHI- 324

JITV Vol. 11 No. 4 Th. 2006 ABYANEH et al., 2005). Di bidang peternakan, kerugian akibat aflatoksin adalah menurunnya kualitas dan kuantitas produksi telur, terganggunya fungsi metabolisme, menurunkan absorbsi lemak, kalsium, besi dan fosfor serta memperlemah sistem kekebalan tubuh (SUTIKNO et al., 1993). Akumulasi dapat berlangsung semakin cepat pada iklim tropis dengan temperatur yang hangat dan kelembaban tinggi. Beberapa strategi telah dilakukan untuk menanggulangi pencemaran A. flavus maupun aflatoksin yang dihasilkan seperti secara fisik, radiasi dan perlakuan dengan berbagai bahan kimia (KUBENA et al., 1993). Walaupun demikian, beberapa metode fisika dan kimia yang dikembangkan belum sepenuhnya diterima secara internasional untuk penanggulangan A. flavus maupun aflatoksin (CAST, 1989; PARK dan LEE, 1990; PEMBERTON dan SIMPSON, 1991). Pendekatan lain yang juga sedang dikembangkan adalah penggunaan mikroorganisme sebagai biokompetitor (SARDJONO et al., 1992; FARAJ et al., 1993). Telah dilaporkan beberapa mikroorganisme yang dapat berfungsi sebagai biokompetitor dari A. flavus toksigenik diantaranya adalah strain non-toksigenik dari A. flavus dan A. parasiticus, bakteri asam laktat dan khamir (TAYLOR dan DRAUGHON, 2001). Kemampuan sebagai biokompetitor tersebut dapat disebabkan oleh kompetisi ruang dan nutrisi serta sintesis antifungi oleh mikroorganisme kompetitor. Saccharomyces cerevisiae yang mempunyai kemampuan fermentasi telah lama dimanfaatkan untuk pembuatan berbagai produk makanan dan sudah banyak digunakan sebagai probiotik (AGAWANE dan LONKAR, 2004). YIANNIKOURIS et al. (2006) juga melaporkan bahwa β-d-glucans pada dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin yang diproduksi oleh A. flavus melalui pembentukan ikatan hidrogen dan van der walls. Walaupun demikian, kemampuan S. cerevisiae untuk menekan pertumbuhan A. flavus belum banyak diketahui sehingga pada penelitian ini akan diuji kemampuan S. cerevisiae sebagai biokompetitor A. flavus dengan melihat pengaruh S. cerevisae terhadap kemampuan hidup dan pertumbuhan A. flavus secara in vitro. Mikroorganisme MATERI DAN METODE Saccharomyces cerevisiae (F0206) dan Aspergillus flavus (F0213) diperoleh dari Balitvet Culture Collection (BCC) Bogor. S. cerevisiae ditumbuhkan dalam media agar miring Sabouraud dextrose agar (SDA) dan diinkubasikan pada suhu 28 o C selama tiga hari. Dengan perlakuan yang sama A. flavus ditumbuhkan selama lima hari. S. cerevisiae dan spora A. flavus dipanen dengan melarutkan sel dalam air suling steril dan dipindahkan ke dalam tabung yang baru. Suspensi sel spora -1 diencerkan sampai mencapai konsentrasi 10 6 sel spora -1 per ml untuk aktivitas antifungi dan aktivitas litik, serta 10 4 sel/spora per ml untuk hambatan pertumbuhan koloni. Aktifitas antifungi Tigapuluh μl suspensi A. flavus digoreskan dengan cara streak-plate pada bagian tengah petri yang berisi Sabouraud Dextrose Agar (SDA) dengan lebar satu cm. Tigapuluh μl S. cerevisiae digoreskan pada sisi kanan dan kiri A. flavus dengan lebar satu cm dengan jarak dua cm dari A. flavus. Sebagai kontrol, A. flavus dan S. cerevisiae digoreskan di tengah petri dengan lebar satu cm secara terpisah. Petri diinkubasikan pada suhu 28 o C selama sembilan hari. Lebar koloni A. flavus yang tumbuh diukur dan dibandingkan dengan kontrol. Perubahan morfologi yang terjadi pada A. flavus juga diamati. Rancangan yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kali ulangan. Aktivitas litik Uji ini digunakan untuk menentukan kemampuan S. cerevisiae untuk melisiskan A. flavus. Suspensi A. flavus sebanyak lima puluh μl ditumbuhkan dengan cara gores silang pada petri. Dua puluh μl suspensi S. cerevisiae diteteskan di tengah persilangan A. flavus. Petri diinkubasikan pada suhu 28 o C selama lima hari. Pertumbuhan A. flavus terutama pada tempat yang ditetesi dengan S. cerevisiae diamati secara makroskopik maupun mikroskopik. Perlakuan diulang sebanyak tiga kali ulangan. Hambatan pertumbuhan koloni A. flavus Satu ml suspensi A. flavus dan satu ml suspensi S. cerevisiae dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi lima puluh ml Potato Dextrose Broth (PDB) dan digoyang agar suspensi tercampur secara merata. Erlenmeyer diinkubasikan pada suhu 28 o C. Sampel suspensi campuran sebanyak satu ml diambil pada jam ke-0, 2, 4, 6 dan 24 kemudian diinokulasikan ke dalam petri dengan metode cawan tuang pada media SDA dan diinkubasikan pada suhu 28 o C selama dua hari. Sebagai kontrol, A. flavus dan S. cerevisiae masing-masing ditumbuhkan secara terpisah pada media PDB. Koloni S. cerevisiae, A. flavus kontrol dan perlakuan yang tumbuh dihitung. Perlakuan diulang dengan tiga kali ulangan. Analisis statistik Untuk mengetahui adanya hubungan antara keberadaan S. cerevisiae terhadap pertumbuhan koloni 325

A. flavus pada aktifitas antifungi, maka data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji beda nyata terkecil menurut Duncan. Aktivitas antifungi HASIL DAN PEMBAHASAN Screening untuk aktivitas antifungi dilakukan untuk menentukan bahwa S. cerevisiae menghasilkan metabolit yang dapat meresap dalam medium dan metabolit tersebut mampu menghambat pertumbuhan A. flavus. Inkubasi dilakukan selama sembilan hari untuk mengoptimalkan pertumbuhan sehingga perbedaan kontrol dan perlakuan terlihat nyata. A. flavus (Af) pada kontrol tumbuh lebih lebar dibandingkan dengan perlakuan menggunakan S. cerevisiae (Sc) (Gambar 1), sedangkan perkembangan lebar koloni A. flavus dan S. cerevisiae seperti terlihat pada Tabel 1. A. flavus pada Gambar 1b tidak mampu tumbuh dengan baik meskipun masih ada ruang antara A. flavus dan S. cerevisiae. Zona hambat pada Gambar 1b juga terbentuk antara A. flavus dan S. cerevisiae yang terlihat sebagai daerah yang terang pada masa inkubasi sembilan hari. Hal tersebut sesuai dengan kriteria antagonisme oleh JOHNSON et al. (1959) bahwa sifat antagonisme ditandai dengan terbentuknya zona hambat antara dua mikroorganisme yang saling berinteraksi. Pada penelitian aktifitas antifungi, kecepatan pertumbuhan koloni A. flavus lebih lambat dibandingkan pada kontrol. Terhambatnya pertumbuhan A. flavus kemungkinan juga mempengaruhi total produksi aflatoksin. LEE dan MAGAN (1999) melaporkan bahwa pertumbuhan A. ochraceus menurun dengan kehadiran A. alternata atau Eurotium spp dan mengakibatkan menurunnya produksi ochratoxin. Mekanisme yang sama diduga juga terjadi pada A. flavus. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh S. cerevisiae terhadap pembentukan aflatoksin. Untuk mengetahui bahwa pengaruh tersebut bersifat sementara atau permanen maka dilakukan inokulasi ulang pada A. flavus. A. flavus yang pertumbuhannya terhambat diambil kemudian digores kembali pada media SDA yang baru. Setelah inkubasi sampai 3 hari ternyata A. flavus yang diinokulasikan kembali tumbuh lebih cepat. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa hambatan pertumbuhan A. flavus oleh S. cerevisiae hanya terjadi ketika ditumbuhkan bersama-sama dengan S. cerevisiae. Pada penelitian aktifitas antifungi sebelumnya (KUSUMANINGTYAS, tidak dipublikasi), A. flavus yang diperlakukan dengan S. cerevisiae mengalami perubahan warna koloni dari hijau menjadi putih dan pertumbuhannya terhambat sampai 60% dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan. Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa A. flavus hanya mampu menghasilkan miselium steril tanpa spora. Ada kemungkinan S. cerevisiae menghasilkan metabolit yang dapat menghambat pembentukan spora pada A. flavus. KALE et al. (1996) melaporkan bahwa perubahan morfologi pada A. parasiticus menyebabkan hilangnya kemampuan untuk menghasilkan aflatoksin. Diduga mekanisme yang sama juga terjadi pada A. flavus. Lebar koloni A. flavus setelah masa inkubasi sembilan hari pada perlakuan lebih kecil sekitar 35% dibandingkan dengan lebar koloni A. flavus kontrol. Lebar koloni kontrol rata-rata 4,6 cm sedangkan lebar koloni perlakuan rata-rata 3,02 cm. Pada kontrol, A. flavus dapat tumbuh lebih cepat karena tidak ada kompetisi nutrisi dan tidak ada unsur yang dapat menghambat pertumbuhannya sedangkan pada A. flavus perlakuan kemungkinan ada metabolit yang dilepaskan oleh S. cerevisiae yang mampu menghambat pertumbuhan A. flavus. Sc Kontrol a Sc1 Af b Sc2 Kontrol Af Gambar 1. Perbandingan pertumbuhan A. flavus kontrol dan perlakuan dengan S. cerevisiae 326

JITV Vol. 11 No. 4 Th. 2006 Hasil uji statistik untuk Tabel 1 menunjukkan bahwa lebar koloni pada kontrol Af dan lebar koloni pada Af perlakuan pada hari ke-3, 5, 7 dan 9 berbeda nyata (P<0,05). Dari hasil tersebut menandakan bahwa perlakuan dengan S. cerevisiae mempengaruhi pertumbuhan A. flavus. Sebaliknya, lebar koloni pada kontrol Sc apabila dibandingkan dengan lebar koloni pada Sc1 dan Sc2 pada perlakuan pada hari ke-3, 5, 7 dan 9 tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari hasil analisis tersebut sepertinya lebar koloni S. cerevisiae tidak begitu terpengaruh oleh kehadiran A. flavus dan kemungkinan kompetisi nutrisi tidak terjadi. Walaupun demikian, profil pertumbuhan pada kontrol Af maupun Sc dan perlakuan pada Af dan Sc berbeda sehingga belum dapat ditentukan hambatan pertumbuhan pada A. flavus perlakuan disebabkan oleh metabolit S. cerevisiae atau kompetisi nutrisi. Selain itu untuk mengetahui bahwa hambatan pertumbuhan A. flavus disebabkan oleh metabolit S. cerevisiae atau kompetisi nutrisi diperlukan pengukuran dan pengujian metabolit S. cerevisiae terhadap A. flavus terutama pengaruhnya terhadap pertumbuhan A. flavus secara lebih mendalam. Hambatan pertumbuhan A. flavus oleh S. cerevisiae yang terjadi hampir sama dengan pada perlakuan A. flavus dengan bakteri asam laktat (XU et al., 2002). Pertumbuhan aktif Lactobacillus plantarum secara total menghambat germinasi spora A. flavus. Pada hambatan pertumbuhan A. flavus oleh L. plantarum, bukan disebabkan oleh pelepasan asam laktat tetapi lebih cenderung pada ph rendah akibat fermentasi media dan kompetisi mikroba (XU et al., 2002). Untuk mengetahui S. cerevisiae melepaskan zat anti-mikroba perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut. Table 1. Pengaruh S. cerevisiae terhadap pertumbuhan koloni A. flavus Lebar koloni (cm) ± SD * Perlakuan Hari 3 5 7 9 Kontrol Sc 1,2 ± 0,00 a 1,38 ± 0,04 a 1,38 ± 0,04 a 1,38 ± 0,04 a Kontrol Af 3,15 ± 0,35 c 4,35 ± 0,49 c 4,60 ± 0,28 c 4,60 ± 0.28 c Af perlakuan 2,44 ± 0,09 b 3,02 ± 0,04 b 3,02 ± 0,04 b 3,02 ± 0,04 b Sc1 (kiri Af) 1,12 ± 0,04 a 1,28 ± 0,08 a 1,30 ± 0,01 a 1,30 ± 0,01 a Sc2 (kanan Af) 1,16 ± 0,05 a 1,24 ± 0,05 a 1,26 ± 0,05 a 1,26 ± 0,05 a *SD = Standar deviasi; Sc = S. cerevisiae; Af = A. flavus Perlakuan dilakukan dengan lima kali ulangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05) Aktivitas litik Aktivitas litik S. cerevisiae terhadap A. flavus ditunjukkan pada Gambar 2. Pada daerah persilangan gores silang A. flavus yang ditetesi dengan suspensi S. cerevisiae tidak terlihat pertumbuhan A. flavus. Warna putih di tengah persilangan A. flavus pada Gambar 2 adalah koloni S. cerevisisae. A. flavus tidak dapat tumbuh pada daerah tersebut dan diduga A. flavus terhambat karena aktivitas S. cerevisiae. S. cerevisiae Kontrol A. flavus Gambar 2. Pengaruh pemberian suspensi S. cerevisiae terhadap pertumbuhan A. flavus pada daerah persilangan streak A. flavus 327

Untuk mengetahui tipe hambatan pertumbuhan, pada bagian tersebut diambil contoh untuk diperiksa dengan mikroskop. Pada pengamatan dengan mikroskop pembentukan hifa A. flavus terhambat dan mengecil tetapi tidak terlihat tanda-tanda lisis. Data tersebut berbeda dengan Nannocystis exedens yang mempunyai aktivitas lisis terhadap A. flavus. Pada lisis A. flavus oleh N. exedens, sclerotia A. flavus tidak mengalami germinasi dan germ tube yang terbentuk mengalami lisis (JOHNSON et al., 1959; COTTY, 1990; TAYLOR dan DRAUGHON, 2001). Karena pada germinasi A. flavus yang diperlakukan dengan S. cerevisiae tidak terlihat lisis maka kemungkinan hambatan pertumbuhan hifa A. flavus terjadi karena kompetisi dan bukan aktivitas lisis. Pengamatan secara mikroskopik juga menunjukkan bahwa kemampuan A. flavus untuk menghasilkan spora juga sangat kurang. Selain kompetisi nutrisi, kemungkinan S. cerevisiae melepaskan metabolit tertentu yang dapat menghambat produksi spora oleh A. flavus. Lebih lanjut, pengamatan mikroskopik pada sel S. cerevisiae menunjukkan bahwa ukuran dan bentuk sel S. cerevisiae tidak terpengaruh dengan kehadiran A. flavus. Hal tersebut berbeda dengan sel L. plantarum (ATCC8014) yang membesar karena kehadiran A. flavus (XU et al., 2003). Hambatan pertumbuhan koloni Pada suspensi campuran A. flavus dan S. cerevisiae dari media PDB yang ditumbuhkan pada media SDA, koloni A. flavus yang tumbuh dengan perlakuan S. cerevisiae lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol tanpa S. cerevisiae (Gambar 3). Hambatan pertumbuhan tersebut mungkin disebabkan oleh pelepasan zat tertentu oleh S. cerevisiae. Zat tersebut akan mengubah kondisi lingkungan mikro yang dapat menyebabkan gangguan fisiologis, homeostatis dan metabolik A. flavus yang pada akhirnya dapat menurunkan viabilitas A. flavus (OGIEHOR dan IKENEBOMEH, 2004). Penurunan viabilitas ditandai dengan semakin sedikitnya koloni A. flavus yang tumbuh sampai masa inkubasi 24 jam (Gambar 3). Kemungkinan konsentrasi zat yang dilepaskan oleh S. cerevisiae ke dalam media semakin besar dan menghambat germinasi spora. Spora yang sudah mampu berkecambah dan membentuk miselia pada masa inkubasi sebelumnya juga tidak mampu hidup lebih lama dengan kehadiran S. cerevisiae. Karena pada penelitian sebelumnya, S. cerevisiae tidak menunjukkan aktivitas lisis terhadap miselia A. flavus, kemungkinan ada mekanisme perusakan lain yang belum diketahui. Selain penyebab di atas, hambatan pertumbuhan juga bisa terjadi karena kompetisi ruang dan nutrisi antara A. flavus dan S. cerevisiae. Seperti diketahui, S. cerevisiae mempunyai waktu generasi yang lebih cepat yaitu 36 jam (CAMPBELL dan DUFFUS, 1988) daripada A. flavus yang lebih kurang 72 jam. Koloni A. flavus yang tumbuh juga berwarna putih dan pertumbuhan koloni spora terhambat. Untuk menghindari kemungkinan bahwa A. flavus belum tumbuh sempurna karena masa inkubasi hanya 48 jam maka inkubasi diteruskan sampai 72 jam. Pertambahan ukuran koloni dan perubahan warna koloni juga tidak terjadi. Hasil pemeriksaan mikroskopik menunjukkan bahwa A. flavus hanya mampu menghasilkan miselia steril yang menyebabkan warna koloni menjadi putih. Jumlah spora ml -1 (10) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 2 4 6 24 Waktu (jam) Kontrol Af Af (Af+Sc) Gambar 3. Jumlah koloni A. flavus yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan dengan S. cerevisiae 328

JITV Vol. 11 No. 4 Th. 2006 Pada Gambar 3 terlihat bahwa koloni A. flavus yang tumbuh pada perlakuan dengan S. cerevisiae selalu lebih rendah dibandingkan kontrol tanpa S. cerevisiae. Pada inkubasi 0 jam koloni A. flavus kontrol masih sama dengan A. flavus yang diperlakukan dengan S cerevisiae. Kemungkinan S. cerevisiae belum berpengaruh terhadap pertumbuhan A. flavus pada waktu kedua cendawan dicampur. Pada masa inkubasi 24 jam, koloni kontrol A. flavus terhitung 80 x 10 3 CFU ml -1, jauh lebih banyak dibandingkan dengan koloni A. flavus pada perlakuan yang hanya 14 x 10 3 CFU ml -1 (P<0,05). Sedangkan perhitungan koloni kontrol S. cerevisiae dan S. cerevisiae dalam perlakuan dengan metode pengenceran adalah 5 x 10 5 CFU ml -1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa S. cerevisiae tidak terpengaruh dengan kehadiran A. flavus (P>0,05) dan sesuai dengan hasil pada pengukuran lebar koloni S. cerevisiae perlakuan yang mempunyai lebar koloni yang hampir sama dengan lebar koloni kontrol. KESIMPULAN Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa S. cerevisiae dapat digunakan sebagai kandidat biokompetitor A. flavus. Aktivitas biokompetitif ditunjukkan dengan hambatan pertumbuhan koloni A. flavus oleh S. cerevisiae. S. cerevisiae juga tumbuh lebih cepat daripada A. flavus dalam rentang waktu yang sama sehingga A. flavus tidak dapat bersaing dengan S. cerevisiae dalam penyerapan nutrisi. DAFTAR PUSTAKA AGAWANE, S.B. and P.S. LONKAR. 2004. Effect of probiotic containing Saccharomyces boulardii on experimental ochratoxicosis in broilers: Hematobiochemical studies. J. Vet. Sci. 5: 359-367. CAST. 1989. Mycotoxins: Economic and health risks. Report No 116. Council for Agricultural science and Technology. Ames, Iowa. CAMPBELL, I. and J.H. DUFFUS. 1988. Yeast. A Practical Approach. IRL Press Limited. pp. 3. COTTY, P.J. 1990. Effect of atoxigenic strains of Aspergillus flavus on aflatoxin contamination of developing cottonseed. Plant Dis. 74: 233-235. FARAJ, K., J.E. SMITH dan G. HARRAN. 1993. Aflatoxin biodegradation: Effect of temperature and microbes. Mycol. Res. 98: 1388-1392. HORN, B.W., J.W. DORNER. R.L. GREEN, P.D. BLANKENSHIP and R. COLE. 1994. Effect of Aspergillus parasiticus soil inoculum on invasion of peanut seeds. Mycopathologia 125: 179-191. JOHNSON, L.F., E.A. CURL, J.H. BOND and H.A. FRIBOURG. 1959. Methods for Studying Soil Microflora-Plant Disease Relationship. Burgress Publishing Co., Minneapolis. KALE, S.P., J.W. CARY, D. BHATNAGAR and J.W. BENNETT. 1996. Characterization of experimentally induced, nonaflatoxigenic variant strains of Aspergillus parasiticus. Appl. Environ. Microbial. 62: 3399-404. KUBENA, L.F., R.B HARVEY, W.E. HUFF, M.H. ELISSALDE, A.G. YERSIN, T.D. PHILIPS and G.E. ROTTINGHAUS. 1993. Efficacy of a hydrated sodium calcium aluminosilicate to reduce the toxicity of aflatoxin and diacetoxyscirpenol. Poult. Sci. 72: 51-59. LEE, H.B. and N. MAGAN. 1999. Environment factors influence in vitro interspesific interaction between A. ochraceus and other maize spoilage fungi, growth and ochratoxin production. Mycopathologia 146: 43-47. OGEIHOR, I.S. and M.J. IKENEBOMEH. 2004. Antimirobial effects of sodium benzoate on the growth, survival and aflatoxin production potential of some species of Aspergillus in Garri during storage. Pakistan. J. Nutr. 3: 300-303. PARK, D.L. and L.S. LEE. 1990. New perspectiveson the ammonia treatment for decontaminations of aflatoxins. In: A perspective on aflatoxins in field crops and animal products in United states. ROBENS JF (Ed). A Symposium US Department of Agriculture. Agricultural Research Service, AR-83 Beltsville, MD. pp 127-137. PAYNE, G.A., D.L. THOMPSON, E.B. LILLEHOJ, M.S. ZUBER and C.R. ADKINS. 1988. Effect of temperature on the preharvest infection of maize kernels by Aspergillus flavus. Phytopathology. 78: 1376-1380. PEMBERTON, A.D. and T.J. SIMPSON. 1991. The chemical degradation of mycotoxins. In: Mycotoxins and animal foods. J.E. SMITH and R.S. HENDERSON (Eds). CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. pp: 797-814. RAZZAGHI-ABYANEH, M., A. ALLAMEH, T. TIRAIHI, M. SHAMS- GHAHFAROKHI and M. GHORBANIAN. 2005. Morphological alteration in toxigenic Aspergillus parasiticus exposed to neem (Azadirachta indica) leaf and seed aqueous extract. Mycopathologia 159: 565-570. SARJONO, K. RAHAYU dan S. SUDARMADJI. 1992. Growth and aflatoxin production by Aspergillus flavus in mixed culture with Aspergillus oryzae. ASEAN Food J. 7: 30-33. SCUDAMORE, K.A. 1994. Aspergillus Toxin in Food and Animal Feeding Stuff. In: The genus Aspergillus. K.A POWELL, A. RENWICK and J.F. PEBERDY (Eds). Plenum Press. New York. NY. pp. 59-71. SMART, M.G., D.T. WICKLOW and R.W. CALDWELL. 1990. Pathogenesis in Aspergillus ear rot of maize: Light microscopy of fungal spread from wounds. Phytopathology. 80: 1287-1294. 329

SUTIKNO, A.J., T. HARYATI dan D. SUHERMAN. 1993. Kontaminasi aflatoksin pada ransum itik. Ilmu dan Peternakan 6 (1): 37-41. TAYLOR, W.J. and F.A. DRAUGHON. 2001. Nannocystis exedens: A potential biocompetitive agent against Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. J. Food Prot. 64: 1030-1034. XU, J., L. RAN, B. YANG and Z. LI. 2002. Inhibition of Lactobacillus species on the germination of Aspergillus flavus spore. Wei Sheng Yan Jiu 31: 47-49. XU, J., H. WANG, R. JI and X. LUO. 2003. Study on the effect of the growth and aflatoxin production by Aspergillus flavus parasiticus NRRL 2999 in present of Lactobacillus plantarum ATCC 8014. Wei Sheng Yan Jiu 32: 334-8. YIANNIKOURIS, A., G. ANDRE, L. POUGHON, J. FRANCOIS, C.G. DUSSAP, G. JEMINET, G. BERTIN and J.P. JOUANY. 2006. Chemical and conformational study of the interactions involved in Mycotoxin complexation with beta-dglucans. Biomacromolecules 7: 1147-1155. 330