IN D O N E SIA IRA JAKARTA IRA JAKARTA



dokumen-dokumen yang mirip
R E U M A T O L O H R E P P U

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penderita lupus biasa disebut Odapus (Orang dengan Lupus). Penyakit ini dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA Fakultas Kedokteran UGM 1

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) berat pada laki-laki. Deske Muhadi Rangkuti, Blondina Marpaung, OK Moehad Sjah, Firman S W

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MEDIA BRIEFING KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERINGATAN HARI LUPUS SEDUNIA TAHUN 2018

Dr. Indra G. Munthe, SpOG

Kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

REFERAT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE)

Kelainan darah pada Lupus eritematosus sistemik

BAB 1 PENDAHULUAN. antara variasi genetik dimana faktor ini berperanan penting dalam predisposisi

BAB IV METODE PENELITIAN. dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. Penelitian telah dilaksanakan di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Dr.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Anemia Aplastik. Zuhrial Zubir, Fadli Arsyad. Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m 2 / hari pada

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

PENDAHULUAN. Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr.

Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai perdarah spontan di kulit dan atau perdarahan lain

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Instalasi Rekam Medik RSUP dr. Kariadi,

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

MODUL GLOMERULONEFRITIS AKUT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS. TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI)

HUBUNGAN ANTARA KARATERISTIK KLINIK DENGAN MANIFESTASI GINJAL PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

Gagal Ginjal Kronis. 1. Apa itu Gagal Ginjal Kronis?

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Preeklampsia dan Eklampsia

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HIPERTENSI ARTERI PULMONAL IDIOPATIK

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari ovulasi, migrasi sperma dan ovum, konsepsi dan pertumbuhan

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi.

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid

SINOPSIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PERSALINAN PREMATUR DI KAB BOJONEGORO TESIS OLEH INDRAYANTI

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak

PENYAKIT PERIKARDIUM AUGUSTINE PURNOMOWATI. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA)

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh adanya penyempitan arteri koroner, penurunan aliran darah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Arti tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak

BAB 1 PENDAHULUAN. American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15 juta

BAB I PENDAHULUAN. Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh

BAB V PEMBAHASAN. yang telah memenuhi jumlah minimal sampel sebanyak Derajat klinis dibagi menjadi 4 kategori.

UNIVERSITAS INDONESIA PENILAIAN AKTIVITAS PENYAKIT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK DENGAN SKOR SLEDAI DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RSCM TESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EATING DISORDERS. Silvia Erfan

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

Transkripsi:

PERHIMPUNAN REUMATOLOGI IN D O N E SIA IRA JAKARTA PERHIMPUNAN REUMATOLOGI IN D O N E SIA IRA JAKARTA

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik ISBN 978-979-3730-16-5 viii + 46 Halaman 150 x 210 mm Hak Cipta Dilindungi Undang-undang : Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit Diterbitkan oleh : Perhimpunan Reumatologi Indonesia

KATA PENGANTAR Salam Sejahtera, Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan sebutan SLE atau LES berbagai istilah lainnya seperti penyakit dengan seribu wajah, merupakan salah satu penyakit reumatik autoimun yang memerlukan perhatian khusus baik dalam mengenali tampilan klinis penyakitnya hingga pengelolaannya. Kedua jender dapat diserang oleh penyakit ini, dimana predominansi lebih menonjol pada perempuan di usia reproduktif. Juga mengenai semua ras walau lebih banyak terlihat pada perempuan di Asia, atau mereka yang berkulit hitam di Amerika. Perjalanan penyakit LES ini sangatlah dinamis sehingga seringkali menyulitkan diagnosis manakala profesional medik dihadapi pada tampilan gejala atau keluhan yang tidak lengkap. Pengenalan dini akan kemungkinan seseorang terkena penyakit ini sangatlah penting, mengingat angka kematian dapat terjadi dengan cepat terkait aktivitas penyakitnya di tahun-tahun pertama. Sementara itu, penyulit lanjut terutama pada sistim kardiovaskular dan terganggunya berbagai fungsi organ seiring dengan melajunya perjalanan alamiah penyakit ini pun memberikan kontribusi yang besar bagi morbiditas maupun mortalitas pasien dengan LES atau sering disebut sebagai orang dengan lupus (ODAPUS). Manifestasi yang beragam, seringkali tidak disadari oleh profesional medik yang menghadapi pasien tersebut. Tidak jarang, selama berhari-hari, berminggu-minggu hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun pasien didiagnosis berdasarkan manifestasi yang dominan terlihat seperti anemia, glomerulonefritis, dermatitis acneiform, dan sebagainya. Manifestasi yang muncul dapat terjadi dengan rentag waktu yang panjang. Kelambatan dalam menegakkan diagnosis akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan pengelolaan maupun kesintasan pasien dengan LES. Pengelolaan yang paripurna akan menentukan keluaran yang baik. Manfaat yang dirasakan pasien juga akan lebih nyata. Berbagai penyulit yang dapat dicegah tentunya meningkatkan kesintasan hidup ODAPUS, dihindarinya pemakaian obat yang tidak diperlukan atay bahkan mengurangi biaya pengobatan serta pemanfaatan fasilitas kesehatan. Para ahli yang tergabung dalam Perhimpunan Reumatologi Indonesia atau IRA menyadari betapa kompleksnya penyakit LES ini dan minimnya pengetahuan para profesional medik di tanah air. Akibatnya tidak jarang terjadi kesalahan dalam diagnosis yang berdampak pada pengobatannya. Para dokter menyatakan kurangnya akses terhadap protokol pengobatan yang mampu laksana, terutama mengingat geogra i iii

negara kita yang sangat luas dan tidak jarang terdapat wilayah-wilayah yang sangat terpencil. Melalui berbagai upaya dan sebagai revisi dari panduan mengenai diagnosis dan pengelolaan LES tahun 2004, maka IRA menerbitkan Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosis Sistemik. Rekomendasi ini dibuat sedemikian rupa agar terlihat seberapa besar peran yang dapat diberikan mulai dari dokter umum, spesialis terutama ahli penyakit dalam hingga para konsultan reumatologi di tanah air. Telah pula disiapkan sistim rujukan yang dapat diterapkan mulai dari periferi hingga ke rumah sakit rujukan nasional. Memang perlu disadari bahwa pemahaman yang paripurna akan penyakit ini sangat menentukan keberhasilan pengelolaan pasien dengan LES. Rekomendasi ini telah mendapat dukungan dari Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia atau PAPDI dan akan disampaikan sebagai salah satu bentuk rekomendasi bagi penatalaksanaan penyakit khusus kepada Departemen Kesehatan Indonesia untuk selanjutnya dapat dikeluarkan sebagai Panduan Nasional dalam Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Salam, Tim Penyusun

KATA SAMBUTAN Assalamu alaikum Wr. Wb., Lupus Eritematosus Sistemik (SLE Systemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit dengan berbagai manifestasi serta membutuhkan upaya yang komprehensif, upaya pencegahan diagnosis hingga penanganan berbagai komplikasi. Karena itulah, diperlukan pendekatan yang melibatkan semua subspesialisasi dibidang ilmu penyakit dalam. Pada penyakit ini kita melihat contoh yang paling tegas akan perlunya pendekatan holistik terhadap penanganan suatu penyakit. Sebuah visi yang sudah dicanangkan sejak lahirnya ilmu kedokteran, sebuah kebenaran yang tidak lekang oleh maraknya fragmentasi sekarang ini. Sehubungan dangan visi di atas, perkenankan saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan saya kepada Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA) atas karya yang besar dan komprehensif ini, yaitu Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus. Harapan saya rekomendasi ini akan menjadi panduan yang amat bermanfaat bagi tatalaksana penyakit ini dan memperkaya khasanah ilmu kedokteran Indonesia. Semoga karya ini dapat menjadi acuan bagi semua spesialis penyakit dalam dan professional maupun pemerhati lupus lainnya dalam pelayanan terhadap pasienpasien di seluruh negeri tercinta ini. Sekali lagi terimalah salut dari kami. Wassalamu alaikum Wr. Wb. Ketua Umum PB PAPDI Aru W. Sudoyo v

DAFTAR ISI ABSTRAK... 1 LATAR BELAKANG... 2 METODA... 3 Kewaspadaan Akan Penyakit SLE...... 4 Diagnosis SLE... 5 Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring... 6 Pemeriksaan Serologi pada SLE... 7 Diagnosis Banding... 8 Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE... 8 Penilaian Aktivitas Penyakit SLE... 9 PENGELOLAAN... 9 Tujuan... 9 Pilar Pengobatan... 9 SLE pada Keadaan Khusus... 20 Pengelolaan... 28 Vaksinasi Penyakit Lain pada SLE... 31 Pengelolaan Perioperatif pada Pasien dengan SLE... 31 Lampiran 1. Penilaian Aktivitas Penyakit SLE Menggunakan MEX-SLEDAI... 35 Lampiran 2. Pulse Metilprednisolon... 37 Lampiran 3 Protokol Pemberian Terapi Pulse Siklofosfamid... 38 Lampiran 4. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang pada Lupus Serebral... 41 DAFTAR PUSTAKA... 42 vii

REKOMENDASI PERHIMPUNAN REUMATOLOGI INDONESIA UNTUK DIAGNOSIS DAN PENGELOLAAN LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Yoga I Kasjmir 1, Kusworini Handono 2, Linda Kurniaty Wijaya 3, Laniyati Hamijoyo 4, Zuljasri Albar 1, Handono Kalim 5, Hermansyah 6, Nyoman Kertia 7, Deddy Nur Wachid Achadiono 7, Ida Ayu Ratih Wulansari Manuaba 8, Nyoman Suarjana 9, Sumartini Dewi 4, Jeffrey Arthur Ongkowijaya 10 1 Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI-RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta 2 Laboratorium Patologi Klinik, FK Universitas Brawijaya/RSU Dr. Syaiful Anwar, Malang 3 SMF Penyakit Dalam, RS Sari Asih, Ciputat 4 Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Padjadjaran/RS Hasan Sadikin, Bandung 5 Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Brawijaya/RSU Dr.Syaiful Anwar, Malang 6 Divisi Reumatologi, departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK UNSRI-Palembang 7 Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UGM-RSUP DR. Sardjito,Yogyakarta 8 SMF Ilmu Penyakit Dalam, RS Manuaba-Denpasar 9 SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Unlam-RSUD Ulin, Banjarmasin 10 Divisi Reumatologi, SMF/Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP Prof.Dr. R.D.Kandou-Manado ABSTRAK Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit in lamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Kekeliruan dalam mengenali penyakit ini sering terjadi. Terkait dengan kemampuan diagnosis para dokter umum, internis maupun ahli reumatologi dan ahli lainnya dengan latar belakang yang sangat berbeda, maka diperlukan suatu rekomendasi yang diawali bagaimana mendiagnosis SLE dan dilanjutkan dengan pengelolaannya, pada berbagai tingkatan kemampuan dokter tersebut. Tujuan: Ditetapkannya rekomendasi Perhimpunan Ahli Penyakit Reumatik Indonesia dalam melakukan diagnosis serta pengelolaan pasien dengan SLE. Metoda: Tim penyusun terdiri dari 12 orang ahli reumatologi dan 1 ahli patologi klinik. Beberapa langkah dalam pembuatan rekomendasi ditempuh guna mendapatkan hasil yang mendekati kekinian (updated). Berbagai pertanyaan kunci diajukan guna menetapkan butir-butir fokus rekomendasi dan memakai teknik Delphi. Penelusuran kepustakaan dilakukan terkait dengan pertanyaan yang telah disepakati dan mencakup masalah diagnosis, kewaspadaan dini terhadap SLE, prognosis, pemantauan hingga 1

pengelolaan penyakit. Pada rekomendasi ini dibahas beberapa topik yang baru seperti sindroma antibodi antifosfolipid, dan penatalaksanaan pasien SLE perioperatif. Evidence based medicine (EBM), dipakai dalam penguatan alasan atau pernyataan walaupun belum diberikan kategorinya maupun kekuatan rekomendasinya. Hasil: Sebelas pertanyaan muncul dalam curah pendapat dan melalui diskusi antar ahli ditetapkan yaitu kewaspadaan akan penyakit SLE (1), diagnosis (1), pemantauan (1), pengelolaan (6), prognosis (1) dan rujukan (1). Kesepakatan diambil berdasarkan data yang ada di Indonesia maupun melalui publikasi ilmiah dari negara lain. Belum dilakukan pembobotan. Rekomendasi akhir ditetapkan melalui panel di hadapan para ahli reumatologi seluruh Indonesia dan ahli dari perhimpunan lain yang terlibat dalam pengelolaan SLE. Tingkat persetujuan diantara para ahli adalah 9,7 dari angka maksimal 10. Bahasan disesuaikan dengan tingkat kemampuan target populasi pengguna rekomendasi ini, yaitu dokter umum, ahli penyakit dalam, ahli reumatologi maupun ahli lain yang terkait dan peran aktif pasien maupun care givernya. Ringkasan: Rekomendasi diagnosis dan pengelolaan SLE ditetapkan dan dipublikasikan setelah mempertimbangkan berbagai data EBM dan hasil akhir ditetapkan melalui pertemuan panel para ahli dengan tingkat persetujuan yang 9,7 dari 84,4% total ahli reumatik di Indonesia. 2

LATAR BELAKANG Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. 1-9 Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam pato isiologi SLE. 1-5,8 Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, 10 dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. 10,11 Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam 12, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010 13. Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7% 14. Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97% 15-17, 84-95% 15-16,18-19, 70-85% 15-16,18-19, 64-80% 15,19, dan 53-64% 15,20. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002 21 Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. 15,22 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis 14,23-25. Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat. Rekomendasi ini dibuat dengan tujuan agar kualitas penatalaksaan pasien SLE menjadi lebih baik, yakni penyakit SLE lebih mudah didiagnosis khususnya oleh sejawat dokter umum pada pusat pelayanan kesehatan primer dan sebagai panduan untuk semua dokter atau profesi lain yang terlibat pada pengobatan SLE. Sejawat dokter umum dapat mengenal secara dini kemungkinan adanya penyakit SLE di antara pasien-pasien yang lain yang ditanganinya dan selanjutnya diupayakan untuk dapat segera dirujuk kepada dokter konsultan reumatologi. Kekecualian diberikan manakala belum terdapat ahli reumatologi di daerah tersebut, maka pasien dirujuk kepada 3

dokter ahli penyakit dalam. Setelah diagnosis ditegakkan dan terapi diberikan oleh dokter konsultan reumatologi / ahli penyakit dalam. Jika derajat penyakit ringan serta keadaan pasien stabil pemantauan selanjutnya dapat dilakukan oleh dokter umum. Semua pasien SLE perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala oleh dokter konsultan reumatologi / ahli penyakit dalam. Dokter keluarga dapat dilibatkan bersama-sama dokter ahli penyakit dalam dalam pemantauan aktivitas penyakit. Pada SLE derajat moderat dan berat pemantauan dan pemberian terapi diberikan oleh dokter ahli penyakit dalam/konsultan reumatologi. Seiring dengan meningkatnya kewaspadaan serta pengetahuan dokter terhadap SLE diharapkan prognosis pasien SLE di Indonesia akan menjadi lebih baik. METODA Rekomendasi IRA mengenai diagnosis dan pengelolaan SLE diawali dengan penyiapan draft oleh sekelompok ahli (Kelompok Kerja Penyusun Rekomendasi IRA, yang terdiri dari 12 orang ahli reumatologi dan 1 ahli patologi klinik) setelah format rekomendasi disepakati. Para ahli tersebut melakukan pertemuan untuk menyepakati terlebih dahulu fokus perhatian, menetapkan batasan operasional dari diagnosis, pengelolaan, pemantauan dan prognosis. Kesepakatan akan pertanyaan kunci yang harus dijawab ditetapkan melalui metoda Delphi. Kemudian dilakukan penelusuran kepustakaan untuk mencari dukungan data (evidence based medicine) dari publikasi penelitian serta data Indonesia guna menjawab atau mendasari rekomendasi pada topik tersebut. Tidak dilakukan pembobotan maupun penetapan kekuatan rekomendasi mengingat belum lengkapnya data asli Indonesia. Para ahli yang menyusun rekomendasi ini bersepakat bahwa terdapat 11 (sebelas) pertanyaan yang akan dibuatkan rekomendasinya oleh Perhimpunan Ahli Reumatik Indonesia. Kesebelas rekomendasi terkait pertanyaan di atas adalah kewaspadaan akan SLE (1), diagnosis (1), pengelolaan (6), pemantauan (1) prognosis (1), dan rujukan (1). Pada rekomendasi ini dibahas beberapa topik yang baru seperti sindroma antibodi antifosfololipid, dan penatalaksanaan pasien SLE perioperatif. Dilakukan penyusunan draft akhir, di mana rekomendasi ini selanjutnya dipresentasikan pada panel ahli reumatologi dan ahli lain yang terkait guna mendapatkan konsensus ahli. Hasil akhir akan dipublikasikan guna sosialisasi rekomendasi tersebut serta sebagai materi dalam pengajuan penatalaksanaan yang akan digunakan di seluruh sentra rumah sakit pemerintah. Kewaspadaan Akan Penyakit SLE Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu 26 1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih. 2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan. 3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis 4

4. Kulit: ruam kupu-kupu (butter ly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis. 5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik 6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen 7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru. 8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis 9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali) 10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia 11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer. Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap penyakit lainnya. Bagi dokter umum yang menemukan gejala-gejala di atas dimintakan untuk mewaspadai kemungkinan penyakit SLE dan dilanjutkan dengan melakukan rujukan (lihat sistim rujukan) Rekomendasi Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita yang memiliki 2 atau lebih kriteria kewaspadaan SLE Diagnosis SLE Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (de initif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997. 7,9 Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi. Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting. 5

Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik 7,9 Kriteria Ruam malar Ruam diskoid Fotosensi fi t as Ulkus mulut Artri s Serosi s Pleuri s Perikardi s Gangguan renal Gangguan neurologi Gangguan hematologik Gangguan imunologik b An bodi an nuklear posi f (ANA) Batasan Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung dak melibatkan lipat nasolabial. Plak eritema menonjol dengan kerato k dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa. Ulkus mulut atau orofaring, umumnya d ak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. Artri s non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia. a. Riwayat nyeri pleuri k atau pleuritc fric on rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat buk efusi pleura. atau b. Terbuk dengan rekaman EKG atau pericardial fric on rub atau terdapat buk efusi perikardium. a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila dak dilakukan pemeriksaan kuan ta f atau b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran. a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ke d ak-seimbangan elektrolit). atau b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ke d ak-seimbangan elektrolit). a. Anemia hemoli k dengan re kulosis atau b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan a. An - DNA: an bodi terhadap na ve DNA dengan ter yang abnormal atau b. An - Sm: terdapatnya an bodi terhadap an g en nuklear Sm atau c. Temuan posi f terhadap an b odi an fosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar serum an b odi an kardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus an koagulan posi f menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes serologi posi f palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi an bodi treponema. Titer abnormal dari an b odi an - nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan se n gkat pada se a p kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat. 6

Keterangan: a. Klasi ikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. b. Modi ikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensiti itas 85% dan spesi isitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring 1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)* 2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin. 3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, pro il lipid)* 4. PT, aptt pada sindroma antifosfolipid 5. Serologi ANA, anti-dsdna, komplemen (C3,C4)) 6. Foto polos thorax pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring. * Setiap 3-6 bulan bila stabil Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif. ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien. Rekomendasi Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi. Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR untuk SLE Pemeriksaan Serologi pada SLE Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA generik.(ana IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya 7

infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal. 27 Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan. Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesi ik, termasuk anti-dsdna, Sm, nrnp, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi antidsdna merupakan tes spesi ik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesi itasnya hampir 100%. Titer anti-dsdna yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE. 27 Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsdna positif menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-dna negatif tidak menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-sm didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-sm yang tinggi lebih spesi ik untuk SLE. Seperti anti-dsdna, anti-sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Rekomendasi - Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesi ik untuk SLE - Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE - Test Anti dsdna positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak menyingkirkan diagnosis SLE Diagnosis Banding Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu: 26,28 a. Undifferentiated connective tissue disease b. Sindroma Sjögren c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS) d. Fibromialgia (ANA positif) e. Purpura trombositopenik idiopatik f. Lupus imbas obat 8

g. Artritis reumatoid dini h. Vaskulitis Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE. Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah: 26 1. Secara klinis tenang 2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa 3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit. Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan: 1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) 2. Trombositopenia (trombosit 20-50x10 3 /mm3) 3. Serositis mayor Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 26 a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna. b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung. c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika. d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous. e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister). f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi. g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm 3 ), trombositopenia < 20.000/mm 3, purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri. 9

Penilaian Aktivitas Penyakit SLE Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score, dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium canggih. Lihat lampiran 1. 29 PENGELOLAAN Batasan operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai digunakannya/ diterapkannya prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan yang lebih holistik yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-sosial. Tujuan Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah a). mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, c).mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal. Pilar Pengobatan Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi. Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik I. Edukasi dan konseling II. Program rehabilitasi III. Pengobatan medikamentosa a. OAINS b. An m alaria. Steroid d. Imunosupresan / Sitotoksik e. Terapi lain 10

I. Edukasi / Konseling Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas isik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE 1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya. 2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing pe tersebut. 3. Masalah yang terkait dengan fi s ik: kegunaan la h an terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seper osteoporosis, is rahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi. 4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri. 5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu daknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat an tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk an bio kum. 6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya. Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial. Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan fungsi kognitif sebesar 86,49%. 21 Pembuktian dilakukan menggunakan alat pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal ini memperlihatkan besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada SLE, karena secara nyata gangguan tersebut tidak melebihi 20%. Adanya stigmata psikologik pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Namun adanya gangguan isik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak buruk bagai pasien didalam lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau rumah. Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya. 11

II. Program Rehabilitasi Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas isik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu: a. Istirahat b. Terapi isik c. Terapi dengan modalitas d. Ortotik e. Lain-lain. III. Terapi Medikamentosa Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya, selanjutnya dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE Jenis Obat Dosis Jenis toksisitas Evaluasi Awal Pemantauan Klinis Laboratorik OAINS Tergantung OAINS Gejala gastrointes n al Perdarahan saluan cerna, hepatotoksik, sakit kepala, hipertensi, asep k meningi s, nefrotoksik. Darah ru n, krea n in, urin ru n, AST/ALT Darah ru n, krea n in, AST/ALT se ap 6 bulan Kor kosteroid Tergantung derajat SLE Cushingoid, hipertensi, dislipidemi, osteonekrosis, hiperglisemia, katarak, oesteoporosis Gula darah, profil lipid, DXA, tekanan darah Tekanan darah Glukosa 12