Tingkat Kemakmuran dan Keadilan Masyarakat Indonesia: Perbandingan Antar Propinsi Uzair Suhaimi i uzairsuhaimi.wordpress.com Judul artikel terkesan tendensius dilihat dari sisi substansi maupun metodologi. Substansinya terkesan tendensius karena terkait dengan visi bangsa yang dinilai luhur oleh anak bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur ii. Dari sisi metodologi, judul artikel juga terkesan tendensius: Bagaimana mengukur tingkat kemakmuran maupun keadilan? Sebagaimana akan segera dijelaskan, kesan tendensius semacam itu tidak beralasan. Artikel dimaksudkan untuk memotret posisi-relatif propinsi terhadap posisi nasional dalam hal terkait dengan isu kemakmuran dan kemakmuran menggunakan alat potret sejumlah indikator sosial-ekonomi yang dianggap relevan. Alat potret yang digunakan merupakan produk Badan Pusat Statistik (BPS) terkini sehingga profil yang ditampilkan menggambarkan status-terkini pula. Alat Potret: Indikator yang Digunakan Kemakmuran Indikator kemakmuran yang mungkin paling popular--- sekalipun semakin disadari keterbatasannya---adalah Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengukur total nilai tambah dari kegiatan perekonomian (produksi barang dan jasa) suatu negara atau wilayah dalam periode waktu tertentu (biasanya setahun) yang dinilai berdasarkan mata uang. Agar dapat dibandingkan antar propinsi, artikel ini menggunakan PDB per kapita, bukan PDB total, sebagai ukuran. Selain PDB per kapita, dua indikator lain digunakan sebagai kandidat atau komplemen: (1) pertumbuhan PDB (total), dan (2) proporsi penduduk yang bekerja atau berusaha di lapangan usaha non-pertanian. Catatan penting untuk dikemukakan adalah bahwa PDB lebih aman jika ditafsirkan sebagai ukuran kemakmuran dari suatu negara atau wilayah, bukan kemakmuran penduduk yang tinggal di negara atau wilayah itu. Catatan ini penting karena, negara atau propinsi yang kaya terbukti secara empiris tidak selalu kaya penduduknya. 1
Keadilan Secara logis keadilan terkait dengan distribusi kekayaan: semakin merata distribusi kekayaan semakin adil. Jika kekayaan dinikmati oleh segelintir orang maka sulit untuk mengatakan ada keadilan. Ukuran ketimpangan distribusi kekayaan yang mungkin paling populer adalah Rasio Gini yang membandingkan sebaran penduduk dengan sebaran kekayaan. Ukuran ini terletak antara 0 dan 1: 0 menggambarkan distribusi yang merata secara sempurna, 1 menggambarkan distribusi yang tidak merata secara sempurna (hipotetis). Demikian, semakin tinggi angka Rasio, semakin timpang distribusi. Selain Rasio Gini artikel ini menggunakan lima kandidat atau komplemen indikator lainnya yang secara sepintas lalu tampak saling terkait: Lowest40: Bagian pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen termiskin; angka yang semakin tinggi menunjukkan distribusi yang semakin merata. Top20: Bagian pendapatan yang diterima oleh kelompok 20 persen terkaya; angka yang semakin tinggi menunjukkan distribusi yang semakin timpang. Inequality: Rasio antara Top20 dan Lowest40 (dikalikan 100); angka yang semakin tinggi menunjukkan distribusi yang semakin timpang. Pov-q0: Persentase penduduk yang tergolong miskin; angka yang semakin tinggi menunjukkan situasi yang semakin tidak adil. Unempl: Persentase angkatan kerja yang menganggur; angka yang semakin tinggi menunjukkan situasi yang semakin tidak adil. Tabel 1 menyajikan daftar indikator yang digunakan sebagai alat potret kemakmuran dan keadilan sebagaimana baru saja diulas, termasuk sumber data dan tahunnya. Perbandingan antar propinsi menggunakan pasangan indikator dimaksudkan untuk mengidentifikasi posisi relatif propinsi dalam skala nasional. Potret asional: Seberapa Makmur Indonesia? Bagaimana potret kemakmuran dan keadilan masyarakat Indonesia? Apakah tingkatnya sudah tinggi? Apakah ada kecenderungan naik? 2
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu jelas tergantung kepada indikator, alat ukur atau alat potret yang digunakan. Jika menggunakan indikator sebagaimana yang disajikan Tabel 1 maka dapat dikatakan secara meyakinkan bahwa tingkat kemakmuran maupun keadilan relatif tinggi dan perkembangannya memperlihatkan kenaikan yang signifikan. Tabel 1: Beberapa Indikator yang Digunakan dalam Analisis Dimensi Variabel dan Indikator Sumber Data dan Tahun Kemakmuran 1. GDP_Cap: Prdouk Domestik Bruto Per Kapita BPS, berbagai sumber; 1999 2. Growth: Pertumbuhan PDB Sama dengan 1 2008-2009 3. Prop_onAgric: Persentase pekerja non-pertanian Diolah dari Sakernas 2009 (Agustus) Keadilan 4. Gini_Ratio: Indeks rasio Gini (rentang: 0-1) 5. Lowest40: Bagian pengeluaran 40% terendah 6. Top20: Bagian pengeluaran 20% tertinggi 7. Inequality: Top20/Lowest40*100 8. Pov-q0: Persentase penduduk miskin 9. Unempl: Persentase penduduk yang menganggur (Tingkat Pengangguran terbuka, TPT) 3 Diolah dari Susenas Modul 2009 Sama dengan 4 Sama dengan 4 Dihitung Sama dengan 4 Sama dengan 3 Sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 dan Grafik 1, Indonesia secara keseluruhan sama-sekali bukan negara miskin. Dengan PDB per kapita per tahun sekitar 24.3 juta rupiah atau hampir US$ 2600 maka posisi Indonesia dalam skala internasional pada tahun 2009 jelas bukan terletak pada kelompok negara-negara termiskin; posisinya paling tidak menempati paling tidak menegah bawah (low-middle). Trennya selama kurun 2005-2009 meningkat (Grafik 1). Berbeda dengan tren PDB/kapita, tren total PDB
selama kurun itu tidak terlalu menjanjikan; kenaikan hanya terjadi dalam kurun 2006-2007, selebihnya cenderung turun. Rasio Gini naik selama kurun 2005-2007 tetapi terus turun pada tahun-tahun berikutnya. Pov-q0, persentase penduduk miskin, naik dalam kurun 2005-2006 tetapi kemudian turun terus pada kurun-kurun berikutnya. Tabel 2 Beberapa Indikator Sosial-Ekonomi Indonesia 2005 2006 2007 2008 2009 PDB/Kpita: Dalam Juta Rupiah 12.7 15.0 17.5 21.7 24.3 Dalam US$ 1,318 1,663 1,938 2,270 2,590 Pertumbuhan PDB(%) 5.70 5.50 6.30 6.00 4.50 Kemiskinan-Pov_q0 (%) 16.0 17.8 16.6 15.4 14.2 Rasio Gini 0.343 0.357 0.376 0.368 0.367 30 Garfik 1: Tren PDB/Kapita, Pertumbuhan PDB dan Kemiskinan, Indonesia 25 20 15 10 PDB/Kpita (Juta Rp) Pertumbuhan PDB(%) Kemiskinan-P0 (%) 5 0 2005 2006 2007 2008 2009 Perlu dikemukakan bahwa sebagai gambaran agregatif, potret nasional ini sudah memberikan gambaran menyeluruh. Walaupun demikian perlu dicatat bahwa gambaran itu hanya dapat dipercaya (reliable) dan tidak misleading jika variasi antar propinsi tidak terlalu besar. Hubungan antar Indikator Analisis singkat menggunakan matriks korelasi dapat memperjelas gambaran mengenai hubungan logis antar berbagai aspek kemakmuran dan 4
keadilan---sejauh yang dapat diukur dan tersedia datanya. Tabel 3 menyajikan matriks yang dimaksud yang dihitung berdasarkan data propinsi tahun 2009. Yang perlu dikemukakan adalah bahwa korelasi menyatakan hubungan probabilistik, bukan hubungan niscaya (determinstik). Tabel 3: Matriks Korelasi antara Berbagai Variabel Sosial-Ekonomi GDP_Cap Pearson Correlation Growth Pearson Correlation Prop_onAgric Pearson Correlation Gini_Ratio Pearson Correlation Lowest40 Pearson Correlation Top20 Pearson Correlation Inequality Pearson Correlation Pov_q0 Pearson Correlation Unempl Pearson Correlation Correlations Prop_ Growth onagric Gini_Ratio Lowest40 Top20 Inequality Pov_q0 Unempl 1 -.096.463**.197 -.292.227.278 -.301.403*.594.007.272.099.204.118.089.020 -.096 1 -.305.364* -.274.195.250.405* -.297.594.084.037.123.277.161.019.093.463** -.305 1.091 -.290.333.326 -.527**.591**.007.084.614.102.058.064.002.000.197.364*.091 1 -.864**.812**.864**.276.200.272.037.614.000.000.000.120.264 -.292 -.274 -.290 -.864** 1 -.921** -.978** -.039 -.215.099.123.102.000.000.000.831.230.227.195.333.812** -.921** 1.959**.087.301.204.277.058.000.000.000.632.089.278.250.326.864** -.978**.959** 1.062.302.118.161.064.000.000.000.734.088 -.301.405* -.527**.276 -.039.087.062 1 -.258.089.019.002.120.831.632.734.147.403* -.297.591**.200 -.215.301.302 -.258 1.020.093.000.264.230.089.088.147 GDP_Cap **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Berdasarkan tabel itu dapat ditarik paling tidak lima kesimpulan berikut: PDB/kapita secara positif berhubungan dengan lapangan usaha penduduk yang bekerja: semakin tinggi lapangan usaha nonpertanian, PDB per kapita cenderung semakin tinggi iii. PDB/kapita secara positif berhubungan dengan angka penganggur: semakin tinggi PDB per kapita, pengangguran cenderung semakin tinggi iv. 5
Hubungan antara PDB/kapita dengan angka kemiskinan (Pov-q0) dan indikator-indikator ketimpangan (Rasio Gini, Lowest 40, Top20 dan Inequality) secara statistik tidak signifikan v. Pertumbuhan PDB (total) secara positif berhubungan dengan Rasio Gini dan angka kemiskinan: semakin tinggi angka pertumbuhan, Rasio Gini dan angka kemiskinan cenderung semakin tinggi vi. Lapangan usaha non-pertanian secara negatif berhubungan dengan kemiskinan dan secara positif dengan pengangguran: semakin tinggi proporsi lapangan usaha non-pertanian, angka kemiskinan cenderung semaikin rendah dan angka pengangguran semakin tinggi vii. Potret Propinsi: Mana Propinsi yang Relatif Paling Ideal? Propinisi Makmur dan Merata Sebagaimana terlihat pada Tabel 3, antara kemakmuran dan kemerataan tidak ada kaitan viii. Ini berarti, propinsi yang kaya dapat saja memiliki distribusi kekayaan yang merata atau timpang. Bagian ini dimaksudkan untuk memotret mana propinsi yang ideal dalam arti relatif makmur (diukur dengan PDB/kapita) tetapi juga relatif merata distribusi kekayaannya (dikur dengan Rasio Gini); mana yang sebaliknya. Grafik 2 memperlihatkan lima propinsi yang relatif makmur dalam arti memiliki GDP/kapita di atas rata-rata nasional (=Rp 24.3 juta): Kalimantan Timur, Jakarta, Riau, Kepulauan Riau dan Papua. Walaupun demikian, Kalimantan Timur dan Papua (pada Grafik 2 terletak dalam Kuadran I menurut system Kartesian) kurang ideal karena memiliki tingkat ketimpangan di atas rata-rata (0.367). Dengan demikian, propinsi yang ideal dalam arti memiliki GDP/kapita di atas rata-rata nasional dan Rasio Gini di bawah rata-rata nasional adalah Kepulauan Riau, Riau dan Jakarta (Kuadran IV). Bagaimana dengan propinsi yang paling tidak ideal dalam arti relatif kurang makmur dan juga timpang distribusi pendapatannya? Ada tiga propinsi 6
yang tergolong kategori ini: Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Banten (Kuadran II). Grafik2: Kemakmuran V.S Ketimpangan 0.40 SulSel 0.38 Yogya Papua KalTim Banten JaBar 0.36 SulTra TT TB Jakarta Gini_Ratio 0.34 0.32 Gorontal PapuaBar KalSel SulTeng JaTim MalUt KalBar JaTeng Maluku SumUt Bali Riau 0.30 SumSel SulUt SulBar KalTeng SumBar Babel Kepri 0.28 AD Jambi 0.26 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 GDP_Cap Propinsi Makmur dan Tidak Miskin Tabel 2 menujukkan bahwa hubungan antara kemakmuran wilayah dan kemiskinan penduduk secara statistik tidak signifikan. Bagian ini mengidentifikasi propinsi yang ideal dalam arti relatif makmur wilayahnya dan relatif rendah penduduknya yang tergolong miskin. Grafik 3 memperlihatkan hanya empat propinsi yang tergolong ideal dalam arti relatif makmur wilayahya dan relatif kaya penduduknya (Pov-q0 rendah). Ke empat propinsi itu adalah Jakarta, Riau dan Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur (Kuadran IV). Sebagai catatan, seperti ditunjukkan oleh Grafik 2, tiga yang pertama juga tergolong ideal dilihat dari sisi distribusi kekayan. Bagaimana dengan propinsi yang paling tidak ideal? Jumlahnya relatif banyak sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik 3 Kuadan II: Papua Barat, Maluku, Gorontalo, usa Tenggara Timur, usa Tenggara Barat, anggro Aceh Darussalam, Lampung, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, 7
Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Sumatera Selatan dan Yogyakarta. Kembali Yogyakarta tergolong paling tidak ideal. Grafik 3: Kemakmuran v.s Kemiskinan 40.00 Papua PapuaBar 30.00 Maluku Gorontal Pov_q0 20.00 TT TB AD Lampung Bengkulu SulTeng JaTeng SulTra JaTim Yogya SumSel SulBar SulSel JaBar 10.00 MalUt SulUt Jambi SumUt Babel Kepri Riau KalTim Banten KalTeng KalSel Bali Jakarta 0.00 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 GDP_Cap Grafik 4: Kemakmuran v.s Pengangguran 15.00 Banten 12.50 Jakarta 10.00 JaBar Maluku SulUt KalTim Unempl 7.50 5.00 SulSel SumUt SumBar SumSel JaTeng PapuaBar Lampung KalSel MalUt Gorontal Yogya Babel SulTeng SulBar JaTim SulTra Papua Kepri Riau TT Bali 2.50 0.00 20.00 40.00 GDP_Cap 60.00 80.00 100.00 8
Propinsi Makmur dengan Sedikit Penganggur Seperti diperlihatkan oleh Tabel 3, antara kemakmuran dan pengangguran terdapat hubungan positif dan signifikan. Tantangannya dengan demikian adalah menciptakan pertumbuhan yang ramah terhadap ketenagakerjaan. Grafik 4 memperlihatkan fakta yang mengejutkan: semua propinsi tidak ada yang memenuhi kondisi ideal dalam arti makmur wilayahnya dan rendah angka penganggurnya. Satu-satunya kekecualian dalam hal ini adalah Riau. Sebaliknya, yang dalam kondisi sangat tidak ideal ada lima popinsi: Banten, Jawa Barat, Maluku, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Tampaknya ada yang salah dalam kebijakan ketenagakerjaan Indonesia. Ringkasan Jika alat potret difokuskan pada propinsi ekstrim maka kesimpulannya sederhana: Riau adalah propinsi yang paling makmur dan paling adil. Argumennya, Riau secara konsisten berada dalam Kudran IV: relatif makmur wilayahnya, relatif merata distribusi kekayannya, relatif sedikit penduduknya yang miskin dan relatif sedikit penduduknya yang menganggur...@ i Penulis berhutang budi kepada Saudara Ahmad Azhari yang telah berbaik hati mengolahkan data Susenas Modul 2009 untuk keperluan artikel ini. Untuk itu penulis berterimakasih. Terimakasih juga untuk Saudara Buyung Rimeto yang telah mengolahkan data Sakernas, untuk Saudara Dr. Indra Surbakti dan Saudara Syafii ur yang telah memfasilitasi kelengkapan data untuk keperluan penulisan artikel ini. ii Dalam visi ini dimensi keadilan didahulukan; dalam artikel ini sebaliknya. Perbedaan ini, tanpa mengurangi makna imperatif moral dalam perumusan visi bangsa itu, semata-mata menjelaskan bahwa, hemat penulis, yang layak dibagikan secara adil adalah kemakmuran, bukan kemiskinan (shared poverty), misalnya. iii Kata cenderung di sini perlu untuk menyatakan hubungan yang bersifat probabalistik. Cara lain untuk membaca hubungan itu: jika lapangan usaha non-pertanian tinggi maka PDB/kapita tinggi tetapi tidak selalu. iv Ini mungkin di luar dugaan kebanyakan pengamat sehingga perlu analisis lebih lanjut. v Ini juga mungkin di luar dugaan sehingga perlu kajian lebih lanjut. vi Ini mungkin memiliki implikasi kebijakan. Pertumbuhan ekonomi tampaknya belum ramah terhadap kemerataan dan kemiskinan. 9
vii Hubungan negatif dengan kemiskinan sesuai dengan dugaan tetapi hubungan positif dengan pengangguran perlu kajian lebih lanjut. Analisis deret berkala tampaknya diperlukan untuk melengkapi kajian lebih lanjut. viii Sebenarnya ada masalah teknis statistic di sini karena kemakmuran bebasis neraca nasional sedangkan ketimpangan berbasis survey rumahtangga (lihat Word Bank, Poverty Reduction and Growth: Vituous and Vicious Circles, 2006). Walaupun demikian, untuk mempermudah persoalan, isu ini tidak dibahas dalam artikel ini. 10