. PENGARUH SIKAP, NORMA SUBJEKTIF, PERCEIVED BEHAVIORAL CONTROL, KOMITMEN ORGANISASI, DAN TINGKAT KESERIUSAN PELANGGARAN TERHADAP INTENSI MELAKUKAN WHISTLEBLOWING SKRIPSI Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Universitas Negeri Semarang Oleh Nur Fitri Rochmawati NIM 7211415174 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020 i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
PENGESAHAN KELULUSAN iii
PERNYATAAN iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto: Waktumu terbatas, jangan habiskan dengan mengurusi hidup orang lain. Steve Jobs Jangan biarkan hari kemarin merenggut banyak hal hari ini. Will Rogers Ubah pikiranmu dan kau dapat mengubah duniamu. Norman V. Peale Jangan menunggu. Takkan pernah ada waktu yang tepat. Napoleon Hill Jika kamu ingin bisa mengatur orang lain, aturlah dulu dirimu sendiri. Abu Bakar. Persembahan: Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada: Almamater, Universitas Negeri Semarang Mamak, bapak, dan ayahku, Yuniatul Wakidah, Sarmudi, Suyadi yang tak terlupakan Mbah kakung dan mbah putri tercinta, Bejo dan Renuk Diri sendiri v
KATA PENGANTAR Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yeng telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, Perceived Behavioral Control, Komitmen Organisasi, dan Tingkat Keseriusan Pelanggaran Terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan program Sarjana (S1) pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak. Untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Fathur Rokhman,M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di Universitas Negeri Semarang. 2. Drs Heriyanto, M.B.A.,PhD, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan mengikuti Program S1 di Fakultas Ekonomi. 3. Kiswanto S.E.,M.Si.,CMA.,CIBA.,CERA, Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan selama masa studi. 4. Dhini Suryandari S.E.,M.Si.,Ak.,CA,QIA,CRMP, selaku Dosen Pembimbing yang membimbing penulis dengan memberikan semangat, kesabaran, dan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini. vi
5. Dr. Sukirman, M.Si.,CRMP.,QIA.,CFrA, selaku Dosen Wali Akuntansi C 2015 sekaligus dosen penguji skripsi I yang telah mendampingi penulis mulai dari awal hingga akhir studi di Universitas Negeri Semarang dan juga yang telah membimbing dan memberi masukan, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 6. Indah Anisykurlillah S.E.,M.Si.,Akt.,CA, selaku dosen penguji skripsi II yang telah membimbing dan memberi masukan, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, khususnya dosen Akuntansi, terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis 8. Seluruh Perangkat Desa di Kabupaten Magelang yang telah membantu di dalam proses pengumpulan data penelitian. 9. Mamak Yuniatul Wakidah dan Bapak Sarmudi tercinta, terima kasih telah menjadi orang tua yang sangat luar biasa untuk penulis. Terima kasih untuk kasih sayang, do a, ridho, kesabaran, dan pengorbanan yang tiada terkira. 10. Ayah keduaku, Suyadi, terimakasih sudah menjadi ayah yang baik, menerimaku dan ibuku dengan segala kekurangan kami. Terima kasih untuk semangat, do a, dan kebaikan yang diberikan kepada penulis. 11. Mbah Kakung-Putri yang selalu mendoakan penulis tanpa henti. 12. Adik-adikku, Habibi, Ayuk, Ghinfa, Ainun tersayang, yang telah menjadi adik yang baik dan sudah menjadi penyemangat untuk penulis. vii
13. Sepupuku, Rezkia Juliana yang selalu mengingatkanku untuk tetap berjuang, bersyukur dan berusaha. 14. Sahabat-sahabatku, Fitroh, Rani, Cahyo, Jiin, Nien, dan Ika yang tidak pernah memberikan moivasi dan dukungan tetapi sudah menjadi sahabat yang baik. 15. Teman-teman seperjuangan skripsi, Binti dan Nurani, terima kasih atas kekompakannya. 16. Teman-teman seperjuangan Akuntansi C 2015, begitu indah waktu yang telah kita habiskan bersama. 17. Semua pihak yang telah memberikan doa, dukungan, semangat dan motivasi kepada penulis. Semoga bantuan, pengorbanan dan amal baik yang telah diberikan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT. Dengan segala keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, penulis yakin bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangta penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semarang, Februari 2020 Nur Fitri Rochmawati NIM 7211415174 viii
SARI Rochmawati, Nur Fitri. 2020. Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, Perceived Behavioral Control, Komitmen Organisasi, dan Tingkat Keseriusan Pelanggaran Terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing. Skripsi. Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing Dhini Suryandari S.E.,M.Si.,Ak.,CA,QIA, CRMP. Semua organisasi, apapun bentuk, jenis, kegiatan, dan skala operasinya memiliki risiko terhadap fraud. Di Indonesia, jenis fraud yang paling banyak di lakukan adalah korupsi. Sektor yang paling banyak di korupsi adalah anggaran desa dan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini membuat sadar bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan tersebut. Salah satunya dengan whistleblowing. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh sikap, norma subjektif, persepsi kontrol atas perilaku, komitmen organisasi, dan tingkat keseriusan pelanggaran terhadap intensi melakukan whistleblowing. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan membagikan 92 kuesioner kepada perangkat desa di Kabupaten Magelang. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan pemilihan sampel desa menggunakan area random sampling dan diperoleh sebanyak 31 desa. Metode analisis data yang digunakan adalah Structural Equation Model (SEM) berbasis Partial Least Square (PLS) dengan alat analisis SmartPLS 3.0. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap berpengaruh positif terhadap intensi melakukan whistleblowing, norma subjektif berpengaruh positif terhadap intensi melakukan whistleblowing. dan persepsi kontrol atas perilaku berpengaruh terhadap intensi melakukan whistleblowing. Sedangkan, komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap intensi whistleblowing. Begitu juga dengan tingkat keseriusan pelanggaran tidak berpengaruh terhadap intensi melakukan whistleblowing. Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah untuk penelitian diharapkan menambah variabel-variabel lain untuk mendukung hasil penelitian agar menjadi lebih baik. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk lebih terfokus meneliti intensi whistleblowing internal atau eksternal secara terpisah. Aparatur desa diharapkan untuk selalu meningkatkan minatnya untuk melakukan tindakan whistleblowing, mengingat whistleblowing merupakan cara yang paling efektif dalam mendeteksi dan mengungkap adanya kecurangan (fraud) yang terjadi. Kata kunci: Sikap Terhadap Perilaku, Norma Subjektif, Persepsi Kontrol Atas Perilaku, Komitmen Organisasi, Tingkat Keseriusan Pelanggaran, Intensi, Whistleblowing. ix
ABSTRACT Rochmawati, Nur Fitri. 2020. The Influence ff Attitude, Subjective Norm, Perceived Behavioral Control, Organization Commitment, and Wrongdoing Seriousness Toward Whistleblowing Intention. Final Project. Accounting Department. Faculty of Economics. State University of Semarang. Advisor: Dhini Suryandari S.E.,M.Si.,Ak.,CA,QIA, CRMP. Every organization, whatever its form, type, activity, and scale of operations has a risk of fraud. In Indonesia, the most common type of fraud is corruption. The sector most corrupted is the village budget and continues to increase every year. This makes us aware that we must do something to fix the irregularity. One of them with whistleblowing. This study aims to examine the influence of attitude, subjective norm, perceived behavioral control, organization commitment, and wrongdoing seriousness toward whistleblowing intention. Data collection in this study was carried out by distributing 92 questionnaires to village officials in Magelang Regency. The sampling technique used purposive sampling with village sample selection using area random sampling and obtained as many as 31 villages. Data analysis method used is Structural Equation Model (SEM) based on Partial Least Square (PLS) with SmartPLS 3.0 analysis tool. The results of this study indicate that atittude has a positive effect on whistleblowing intention, subjective norms has a positive effect on whistleblowing intention, and perceived behavioral control has a positive effect on whistleblowing intention. While, organization commitment has no effect on whistleblowing intention. As well as the seriousness of wrongdoing has no effect on whistleblowing intention. Suggestions that can be given from the results of this study are for research expected to add other variables to support the results of research in order to be better. Future studies are expected to focus more closely on internal or external whistleblowing intentions separately. The village apparatus is expected to always increase their interest in conducting whistleblowing, considering that whistleblowing is the most effective way of detecting and uncovering fraud. Keyword: Atittude Toward Behavior, Subjective Norm, Perceived Behavioral Control, Organization Commitment, Seriousness of Wrongdoing, Intention, Whistleblowing. x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii PENGESAHAN KELULUSAN... iii PERNYATAAN... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... vi SARI... ix ABSTRACT... x DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 15 1.3 Cakupan Masalah... 18 1.4 Perumusan Masalah... 18 1.5 Tujuan Penelitian... 19 1.6 Kegunaan/Manfaat Penelitian... 19 1.6.1 Manfaat Praktis...19 1.6.2 Manfaat Teoritis...20 1.7 Orisinilitas Penelitian... 20 BAB II KAJIAN TEORI DASAR... 23 2.1 Kajian Teori Utama (Grand Theory)... 23 2.1.1 Theory of Planned Behavior...23 2.1.2 Prosocial Organizatinal Behavior Theory...25 2.2 Pengertian Variabel... 26 2.2.1 Intensi Whistleblowing...26 2.2.2 Sikap...29 xi
2.2.3 Norma Subjektif... 31 2.2.4 Perceived Behavioral Control... 32 2.2.5 Komitmen Organisasi... 33 2.2.6 Tingkat Keseriusan Pelanggaran... 36 2.3 Kajian Penelitian Terdahulu... 37 2.4 Kerangka Berpikir... 40 2.4.1 Pengaruh Sikap terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 40 2.4.2 Pengaruh Norma Subjektif terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 40 2.4.3 Pengaruh Perceived Behavioral Control terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 41 2.4.4 Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 42 2.4.5 Pengaruh Tingkat Keseriusan Masalah terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 43 2.5 Hipotesis Penelitian... 45 BAB III METODE PENELITIAN... 46 3.1 Jenis dan Desain Penelitian... 46 3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 47 3.3 Operasional Variabel Penelitian... 51 3.3.1 Variabel Dependen (Variabel Terikat)... 51 3.3.2 Variabel Independen (Variabel Bebas)... 53 3.4 Teknik Pengumpulan Data... 62 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data... 62 3.5.1 Analisis Statistik Deskriptif... 63 3.5.2 Uji Kualitas Data... 68 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 71 4.1 Hasil Penelitian... 71 4.1.1 Analisis Deskripsi... 71 4.2 Pengujian dan Hasil Analisis Data Penelitian... 80 4.2.1 Pengujian Model Pengukuran (Outer Model)... 80 4.2.2 Pengujian Model Struktural (Inner Model)... 88 xii
4.3 Pengujian Hipotesis dan Pembahasan... 90 4.3.1 Sikap Berpengaruh Positif dan Signifikan terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 90 4.3.2 Pengaruh Norma Subjektif terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 92 4.3.3 Pengaruh Perceived Behavioral Control terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 93 4.3.4 Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 94 4.3.5 Pengaruh Tingkat Keseriusan Pelanggaran terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing... 96 PENUTUP... 98 5.1 Simpulan... 98 5.2 Saran... 99 DAFTAR PUSTAKA... 102 LAMPIRAN... 108 xiii
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Metode Pendeteksian Awal Occupational Fraud... 6 Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu... 37 Tabel 3.1 Daftar Kecamatan di Kabupaten Magelang... 47 Tabel 3.2 Pembagian Wilayah Kecamatan... 49 Tabel 3.3 Perhitungan Sampel... 50 Tabel 3.4 Item Pertanyaan Intensi Melakukan Whistleblowing... 53 Tabel 3.5 Item Pertanyaan Sikap... 55 Tabel 3.6 Item Pertanyaan Norma Subjektif... 57 Tabel 3.7 Item Pertanyaan Perceived Behavioral Control... 59 Tabel 3.8 Item Pertanyaan Komitmen Organisasi... 61 Tabel 3.9 Pertanyaan Tingkat Keseiusan Pelanggaran... 62 Tabel 3.10 Kategori Variabel Intensi Whistleblowing... 64 Tabel 3.11 Kategori Variabel Sikap... 65 Tabel 3.12 Kategori Variabel Norma Subjektif... 66 Tabel 3.13 Kategori Variabel Perceived Behavioral Control... 67 Tabel 3.14 Kategori Variabel Komitmen Organisasi... 67 Tabel 3.15 Kategori Variabel Tingkat Keseriusan Masalah... 68 Tabel 4.1 Hasil Pengumpulan Kuesioner... 71 Tabel 4.2 Jenis Kelamin dan Lama Bekerja Responden di Kantor Kepala Desa. 72 Tabel 4.3 Pendidikan Terakhir Responden... 73 Tabel 4.4 Data Usia Responden... 74 Tabel 4.5 Deskripsi Intensi Melakukan Whistleblowing... 75 xiv
Tabel 4.6 Deskripsi Sikap... 76 Tabel 4.7 Deskripsi Norma Subjektif... 76 Tabel 4.8 Deskripsi Perceived Behavioral Control... 77 Tabel 4.9 Deskripsi Komitmen Organisasi... 78 Tabel 4.10 Deskripsi Tingkat Keseriusan Pelanggaran... 79 Tabel 4.11 Nilai Outer Loading Setiap Indikator... 82 Tabel 4.12 Nilai Outer Loading Hasil Re-estimasi... 84 Tabel 4.13 Nilai Cross Loading... 85 Tabel 4.14 Nilai Average Variance Extracted (AVE)... 87 Tabel 4.15 Nilai Composite Reliability dan Cronbach s Alpha... 87 Tabel 4.16 Hasil Pengujian Inner Model... 88 xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Kecurangan Berdasarkan Sektor... 3 Gambar 1.2 Kasus Korupsi Sektor Desa Tahun 2015 2018... 4 Gambar 1.3 Pihak yang Melaporkan Kecurangan... 8 Gambar 1.4 Laporan Penanganan Laporan Masyarakat... 9 Gambar 2.1 Theory Planned of Behavior... 25 Gambar 2.2 Kerangka Berpikir... 45 Gambar 4.1 Model Pengukuran (Outer Model)... 81 Gambar 4.2 Re-estimasi Model Pengukuran (Outer Model)... 83 xvi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Instrumen Penelitian... 109 Lampiran 2 Daftar Desa Objek Penelitian... 118 Lampiran 3 Hasil Uji Outer Model... 119 Lampiran 4 Hasil Uji Inner Model... 120 Lampiran 5 Full Model SEM PLS Alogarithm... 121 Lampiran 6 Surat Permohonan Ijin Penelitian... 122 Lampiran 7 Surat Balasan Pemberian Ijin Penelitian... 125 xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Setiap organisasi memiliki risiko terhadap fraud atau kecurangan, bagaimanapun bentuknya, jenis, kegiatan, bahkan skala operasinya. Fraud tidak hanya memberikan keuntungan bagi pihak yang melakukannya, akan tetapi fraud atau kecurangan tersebut juga membawa dampak yang cukup fatal baik bagi pelaku maupun organisasi tempat ia bekerja, misalnya seperti hancurnya reputasi organisasi, kerugian organisasi dan keuangan negara, rusaknya moril karyawan serta dampak-dampak negatif lainnya. Secara umum, kecurangan didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum dan dilakukan oleh orang dari dalam oganisasi maupun luar organisasi dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dan menguntungkan diri sendiri ataupun kelompoknya dan secara langsung perbuatan tersebut merugikan pihak lain. The Institute of Internal Auditors (IIA) Tahun (2004) mendefinisikan fraud sebagai sekumpulan tindakan yang tidak diizinkan dan melanggar hukum yang ditandai dengan adanya unsur kecurangan yang disengaja. Sedangkan, International Standard on Auditing 240 (ISA no. 240): The Auditor s Responsibilities Relating To Fraud in an Audit of Financial Statements, 2009 paragraph 6 mendefinisikan fraud sebagai...tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen perusahaan, baik yang berperan dalam governance 1
2 perusahaan, karyawan atau pihak ketiga yang melakukan pembohongan atau penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil atau ilegal. Apapun definisinya, fraud tetaplah fraud, dimanapun itu dilakukan, baik di sektor swasta maupun di sektor publik. Motifnya sama, yaitu sama-sama memperkaya diri sendiri/golongan dan modus operasinya sama, yaitu melakukan tindakan yang ilegal. Kecurangan-kecurangan yang telah terjadi perlu diungkap, dan kecurangan-kecurangan yang berpotensi terjadi perlu dicegah agar tidak merugikan banyak pihak. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menyebutkan bahwa salah satu jenis fraud yang banyak terjadi dan paling merugikan di Indonesia adalah korupsi. Perkembangannya dari tahun ke tahun selalu meningkat baik dari jumlah kasus yang terjadi sampai jumlah kerugian keuangan negara. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi ke tujuh dalam kasus korupsi setelah Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, dan Filipina. Dalam indeks persepsi korupsi 2018, dari 179 negara yang di survei, negara Indonesia berada pada urutan ke 89. Fraud sejatinya dilakukan oleh berbagai kalangan, tidak memandang kelas bawah (low management) maupun kelas atas (top management). Fraud juga tidak hanya terjadi di kota, perusahaan, dan pemerintahan yang besar tetapi saaat ini sudah mulai memasuki wilayah desa. Dari hasil survey yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch yang dimasukkan dalam Laporan Tren Penindakan Korupsi tahun 2018, sektor
3 kecurangan yang terjadi di Indonesia beranekaragam yang digambarkan dalam Gambar 1.1 berikut ini. Berdasarkan Sektor 1100 120 100 1200 96 1000 80 800 57 60 287 40 20 470,7 53 32 64,7 37,2 600 21 56,3 20 40,2 14 203,7 21 18 46,7 400 8 7,9 0 200 0 Kasus Nilai Kerugian Negara (dalam miliar) Gambar 1.1 Kecurangan Berdasarkan Sektor Sumber: Laporan Tren Penindakan Korupsi yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch, 2018 yang telah diolah oleh peneliti. Dari data di atas, dapat diketahui bahwa anggaran desa merupakan sektor yang paling rawan di korupsi selama tahun 2018. Indonesia Corruption Watch mencatat sebanyak 96 kasus korupsi terkait anggaran desa dengan melibatkan 133 orang tersangka. Sementara itu kerugian negara yang ditimbulkan sebesar 37,2 miliar. ICW juga menjelaskan bahwa setidaknya ada 15 pola korupsi anggaran desa. Hal ini perlu diantisipasi mengingat besarnya anggaran desa yang akan digelontorkan dari pemerintah pusat. Sebagaimana yang di maksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa pasal 9 ayat (2) bahwa pendapatan desa dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: 1). Pendapatan Asli Daerah (PADes); 2). Transfer, meliputi: Dana Desa, bagian dari hasil pajak
4 daerah, Alokasi Dana Desa (ADD), bantuan keuangan dari APBD provinsi dan kabupaten/kota; dan 3). Pendapatan lain-lain, dapat diartikan bahwa korupsi pada sektor anggaran desa tidak seluruhnya berkaitan dengan kucuran pemerintah pusat melalui program Dana Desa. Berdasarkan pantauan ICW, jumlah kasus korupsi anggaran desa semakin meningkat. Pada tahun 2015 terdapat 17 kasus dan meningkat menjadi 41 kasus pada 2016. Pada tahun 2017, jumlah kasus meningkat dua kali lipat menjadi 96 kasus. Jumlah yang sama sebanyak 96 kasus juga terjadi di tahun 2018. Total temuan kasus yang ditemukan sebanyak 250 kasus. Jumlah kasus korupsi sektor desa yang semakin meningkat akan digambarkan pada Gambar 1.2 berikut ini. Kasus Korupsi Sektor Desa 2015-2018 150 100 50 0 17 2015 96 96 2017 2018 41 2016 Gambar 1.2 Kasus Korupsi Sektor Desa Tahun 2015 2018 Sumber: Indonesia Corruption Watch (antikorupsi.org, 2019) Tenaga Ahli Pengaduan dan Penanganan Masalah pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Denny Septiviant dalam siaran persnya menyebutkan bahwa di Jawa Tengah, dari total 20 kabupaten penerima dana desa, setidaknya separuh lebih terbukti bermasalah. Temuan sementara menurutnya hingga 2017, sudah ada 200 kasus dugaan penyelewengan dana desa (Muria News, diakses pada 19 Desember 2019).
5 Salah satu kasus korupsi yang terjadi pada sektor anggaran desa ialah kasus dugaan korupsi dana desa Sukaresmi, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi Tahun 2017 yang melibatkan Kepala Desa Sukaresmi, Ahmad Suryana yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 186,8 juta. Ia diduga menggunakan Dana Desa dan ADD untuk kepentingan pribadinya. Kasus lain pada sektor anggaran desa juga terjadi di Kepulauan Taliabu tahun 2017 dengan total kerugian negara sebesar Rp 4,2 miliar yang melibatkan Agusmaswati Toib Koten selaku Bidang Perbendaharaan dan Kas Daerah Kabupaten Taliabu. Ia diduga melakukan pemotongan Dana Desa hingga Rp 45 juta per desa dan dana tersebut dikirimkan ke rekening perusahaannya atas nama CV. Syafaat Perdana. Di Jawa Tengah, kasus korupsi anggaran desa terjadi di beberapa kabupaten seperti Brebes, Magelang, Kebumen, Klaten, Pati, dan Purworejo. Salah satu kasus yang baru-baru ini terjadi adalah kasus di Kabupaten Magelang, yang melibatkan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) degan dugaan korupsi pembangunan jembatan (2019). Kerugian negara ditaksir sebesar Rp 90,6 juta. Masih di Kabupaten Magelang, korupsi dana desa dilakukan oleh Kepala Desa, Muhammad Sajidun yang diduga menggelapkan dana bansos sekaligus dana desa senilai Rp 700 juta (2019). Maraknya fraud yang terjadi dan banyaknya berita mengenai investigasi terhadap indikasi penyimpangan (fraud) di dalam perusahaan dan juga pengelolaan negara baik di televisi dan surat kabar, membuat sadar bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan tersebut. Salah satunya dengan tip/whistleblowing.
6 Sebuah hasil study yang diterbitkan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang disebut sebagai Report of The Nations on Occupational Fraud and Abuse tahun 2018, menunjukkan bahwa whistleblowing sangat efektif dalam mendeteksi awal kecurangan kerja. Tip atau whistleblowing menduduki peringkat pertama dalam metode pendeteksian dan pengungkapan di berbagai negara. Di asia Tenggara, whistleblowing menduduki peringkat pertama dengan skor 53%. Hal ini membuktikan bahwa metode ini lebih efektif dipakai dalam mendeteksi kecurangan dibandingkan metode yang lain. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Sweeney (dalam Bagustianto & Nurkholis, 2015) menyatakan bahwa pengaduan dari whistleblower terbukti lebih efektif dalam mengungkap fraud dibandingkan metode lainnya seperti auditor internal, pengendalian internal maupun audit eksternal. Berbagai metode pengungkapan yang efektif menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) disajikan pada Tabel 1.1 berikut. Tabel 1.1 Metode Pendeteksian Awal Occupational Fraud Presentasi kasus terjadi (%) No. Metode 2018 2016 2014 1. Tip (whistleblowing) 40 39,1 42,2 2. Audit Internal 15 16,5 14,1 3. Tinjauan Manajemen 13 13,4 16 4. Ketidaksengajaan 7 5,6 6,8 5. Rekonsiliasi Akun 5 5,5 6,6 6. Lainnya 6 5,5 0,5 7. Pemeriksaan Dokumen 4 3,8 4,2 8. Audit Eksternal 4 3,8 3 9. Pemberitahuan Penegakan Hukum 3 2,4 2,2 10. Pemantauan 2 1,9 2,6 11. Pengendalian Teknologi Informasi 1 1,3 1,1 12. Pengakuan 1 1,3 0,8 Sumber: Report to The Nations on Occupational Fraud and Abuse, 2018 yang telah diolah oleh peneliti.
7 Whistleblowing adalah suatu mekanisme yang memungkinkan seluruh komponen organisasi melaporkan pelanggaran apapun yang disaksikannya, untuk kemudian ditindaklanjuti oleh pihak berwenang di dalam perusahaan. Whistleblowing dilakukan agar kecurangan-kecurangan yang terjadi lebih cepat terungkap dan segera ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Whistleblowing saat ini memang menjadi pusat perhatian karena banyaknya kecurangan yang terjadi. Hal ini yang membuat banyak perusahaan dan instansi pemerintahan menerapkan whistleblowing system untuk memperketat keamanan guna mencegah kecurangan yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan maupun instansi tersebut. Menurut Park & Blenkinsopp (2009:547) jalur pelaporan whistleblowing tidak hanya sebatas internal dan eksternal tetapi juga terdiri dari formal dan informal, serta anonim dan teridentifikasi. Pada umumnya, pengertian whistleblowing adalah aksi yang dilakukan karyawan untuk mengungkapkan kecurangan kepada manejemen perusahaan (internal whistleblowing) atau kepada publik (eksternal whistleblowing). Sedangkan pihak yang melakukan whistleblowing disebut sebagai whistleblower. Whistleblower adalah seorang pegawai di dalam suatu organisasi yang melaporkan dugaan kecurangan atau kejahatan kepada publik atau pejabat yang berkuasa yang terjadi di organisasi publik, organisasi swasta, atau pada suatu organisasi perusahaan (Susmanschi, 2012). Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa whistleblowing bisa dilakukan oleh pihak luar perusahaan.
8 Semendawai, Santoso, Wagiman, Omas, & Susilaningtias (2011) menjelaskan bahwa salah satu kriteria dari seorang whistleblower adalah orang dalam, yaitu orang yang mengungkap pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempat ia bekerja atau ia berada. Pengertian orang dalam sebagaimana yang dimaksud oleh Semendawai et al. adalah karyawan. Hal ini sesuai dengan hasil survei Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang diterbitkan ke dalam Report to The Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2018 yang menyatakan bahwa pihak yang paling berpotensi melakukan whistleblowing adalah karyawan. Pihak yang paling berpotensi melakukan whistleblowing disajikan pada Gambar 1.3 berikut. 5% 3% 2% 8% Karyawan Pelanggan Anonim 14% 53% Vendor Lain-lain Pesaing Pemilik 21% Gambar 1.3 Pihak yang Melaporkan Kecurangan Sumber: Report of The Nations on Occupational Fraud and Abuse, 2018 (www.acfe.com). Data diolah, 2019. Gambar di atas menunjukkan bahwa pihak yang paling banyak melakukan whistleblowing pada tahun 2018 adalah karyawan sebanyak 53% dari seluruh kasus kecurangan yang terjadi. Tidak hanya karyawan, whistleblowing juga
9 dilakukan oleh pihak lain seperti pelanggan 21%, anonim 14%, vendor, 8%, lainlain 5%, pesaing, 3%, dan pemilik 2%. Masyarakat yang mempunyai niat melakukan tindakan whistleblowing disusun ke dalam bentuk laporan masyarakat yang berkaitan dengan adanya kecurangan yang terjadi. Informasi tersebut disajikan dalam Gambar 1.4 berikut. Penanganan Laporan Masyarakat 21% 33% Laporan Diterima Laporan Selesai Verifikasi 12% Laporan Selesai Telaah Laporan File 34% Gambar 1.4 Laporan Penanganan Laporan Masyarakat Sumber: Data diolah dari Anti-Corruption Clearing House (ACCH), DUMAS (http://www.acch.kpk.go.id, 2020) Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa terdapat peran serta masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi, khususnya dalam melaporkan dugaan korupsi. Sebanyak 6468 (33%) laporan diterima dan selesai diverifikasi. 2257 (12%) laporan telah selesai ditelaah, dan 4000 (21%) laporan pada file tersebut diterima dan akan ditindaklanjuti lebih lanjut. Whistleblower mempunyai peran yang sangat penting dalam melakukan whistleblowing. Akan tetapi, menjadi whistleblower bukanlah merupakan sesuatu
10 yang mudah untuk dilakukan. Tidak jarang seorang whistleblower memperoleh ancaman dan tak jarang pula dikucilkan dari tempatnya bekerja. Salah satu kasus ancaman terhadap whistleblower terjadi terhadap Tama S. Langkun, seorang aktivis ICW yang mengungkap dugaan korupsi rekening gendut Polri pernah mengalami percobaan pembunuhan yang hingga saat ini proses hukumnya tidak jelas. Kasus lain terjadi terhadap SKN, Pelapor dugaan tindak pidana korupsi Alokasi Dana Desa (ADD), Bunkate, Kabupaten Lombok Tengah karena tidak ada transparansi dalam pengelolaan anggarannya. Namun, setelah dia melaporkan hal tersebut, ia diancam keluar dari desa tempatnya tinggal. Kasus berikutnya yang terjadi adalah kasus Stanley Ering yang dipenjara akibat mengadukan dugaan korupsi Rektor Universitas Negeri Manado (UNIMA), Philotus ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara dan KPK. Singkat cerita, Philotus melaporkan Stanley ke Polda Sulut dan ditahan selama 5 bulan. Setelah itu Stanley dituduh kembali mencemarkan nama baik rektor UNIMA. Hal serupa terjadi kepada Daud Ndakularak yang melaporkan adanya kecurangan pada pengelolaan dana kas APBD Kabupaten Sumba Timur. Namun, dia mendapatkan serangan balasan dan justru dijadikan tersangka oleh pengadilan atas pencemaran nama baik dan dipenjara selama 120 hari di Polres Sumba Timur. Tingginya ancaman dan intimidasi terhadap whistleblower, membuktikan bahwa belum memadainya peraturan yang ada. Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa perlindungan terhadap pelapor masih membutuhkan perhatian yang serius, dikarenakan di dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2006 hanya terdapat 1 (satu) pasal saja yang mengatur tentang
11 perlindungan terhadap whistleblower. Selain itu, tingginya ancaman disebabkan karena peran whistleblower belum dianggap penting oleh aparat penegak hukum. Bahkan, Selama proses penyusunan Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, setidaknya sudah ada sekitar 61 pelapor kasus korupsi yang dikriminalisasikan dalam berbagai bentuk. Pola ancaman terhadap pelapor selain dituduh melakukan pencemaran nama baik, dituding balik, ternyata pelapor juga mendapatkan ancaman pembunuhan. Untuk itu, dilakukan revisi terhadap undang-undang menjadi Undang-Undang No 31 Tahun 2014. Di dalam Undang-Undang No 31 Tahun 2014 disebutkan bahwa sudah ada peraturan yang menegakkan andilnya negara dalam melindungi pelapor semaksimal mungkin. Namun pada kenyataannya revisi terhadap undang-undang tersebut tidak begitu berpengaruh. Berdasarkan survei Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) pasca ditetapkannya peraturan tersebut, jumlah ancaman terhadap pelapor masih tetap tinggi dan masih dalam tren yang sama, tidak hanya berupa ancaman fisik, ancaman hukum lewat pelaporan balik, namun juga psikologis dan administratif. Padahal merujuk pada undang-undang tersebut, sudah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tapi, dalam perlaksanaannya, keberadaan lembaga itu terkesan masih diterima setengah hati oleh aparat penegak hukum (Antikorupsi.org, diakses pada 3 Desember 2019 ). Hal terpenting dalam whistleblowing adalah mau atau tidaknya karyawan yang mengetahui adanya kecurangan melaporkan ke atasan ataupun kepada pihak di luar organisasi. Dalam praktiknya di Indonesia, mereka yang menjadi pelapor
12 (whistleblower) justru pada kenyataannya akan mendapat banyak ancaman (retaliasi) dari berbagai pihak. Menurut Rothschild & Miethe (1999), sebagian besar whistleblower dinilai tidak loyal terhadap organisasi dan mungkin akan mendapat penolakan lainnya dari karyawan lainnya. Selain itu, seorang whistleblower juga bisa dilaporkan atas pencemaran nama baik oleh pihak yang tidak terima atas laporan whistleblower. Masalah-masalah yang terjadi membuat masyarakat resah dan semakin takut untuk menjadi whistleblower. Ditambah penetapan aturan baru terkait perlindungan pelapor masih diragukan masyarakat karena banyaknya ancaman dan intimidasi yang menimpa pelapor. Pada akhirnya masyarakat memutuskan untuk acuh tak acuh untuk mengungkapkan kecurangan. Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwa whistleblower bukanlah peran yang mudah untuk dilakukan oleh mereka yang mengetahui terjadinya suatu kecurangan. Menjadi whistleblower bukan tanpa risiko. Hal tersebut yang mengakibatkan whistleblower merasa takut dan dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkenan dalam kesaksiannya dalam suatu kasus, sehingga menyebabkan rendahnya keberanian untuk mengungkapkan kecurangan (Tuanakotta, 2010). Intensi untuk melakukan whistleblowing dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor individual, faktor situasional, faktor organisasional, faktor demografi dan faktor etika. Faktor individual terdiri dari sikap, personal cost, norma subjektif, komitmen organisasi, dan perceived behavioral control. Faktor situasional terdiri dari tingkat keseriusan kesalahan, status pelanggar dan reward. Faktor organisasional terdiri dari status manajerial, dan lingkungan organisasi.
13 Faktor demografi terdiri dari gender, umur, suku bangsa, dan pendidikan. Faktor etika terdiri dari egois, benevolence, principle, relativisme, dan sensitivitas etis. Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi intensi seseorang untuk melakukan whistleblowing perlu dipahami dan diterapkan, sehingga suatu organsiasi atau perusahaan mampu untuk merancang kebijakan dan menerapkan whistleblowing. Dari faktor-faktor yang dipaparkan, penulis menggunakan beberapa variabel bebas untuk melakukan pengujian dalam penelitian ini, yaitu sikap, norma subjektif, perceived behavioral control, komitmen organisasi, dan tingkat keseriusan pelanggaran. Berdasarkan theory of planned behavior yang dikemukakan Ajzen (1991) menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control terhadap niat perilaku. Zakaria, Razak, & Yusoff (2016) dalam penelitiannya yang berjudul The Theory of Planned Behaviour as a Framework for Whistleblowing Intentions menyatakan bahwa sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control secara signifikan mempengaruhi niat internal dan eksternal whistleblowing. Berbeda dengan penelitian Lin & Chen, (2011) yang berjudul Application of Theory of Planned Behavior on the Study of Workplace Dishonesty, yang menyatakan bahwa sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control hanya menjelaskan 30% sampai 40% varian niat perilaku tidak jujur di tempat kerja. Penelitian lain, Aliyah (2015) dan Suryono & Chariri (2016), memberikan hasil bahwa sikap tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap niat melaporkan kecurangan. (Saud, 2016) memiliki hasil yang berbeda, dimana faktor yang tidak
14 memiliki pengaruh terhadap niat seseorang melakukan whistleblowing adalah perceived behavioral control. Sedangkan dalam penelitian Rustiarini & Sunarsih (2013), sikap dan norma subjektif tidak berpengaruh signifikan terhadap intensi melakukan whistleblowing. Faktor lain yang mempengaruhi niat seseorang melakukan whistleblowing adalah komitmen organisasi. Komitmen organisasi adalah tingkat sampai mana seorang karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasi yang tinggi dapat diartikan bahwa pemihakan karyawan (loyalitas) pada organisasi yang memperkerjakannya adalah tinggi (Robbins & Judge, 2008:100). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bagustianto & Nurkholis (2015) dimana komitmen organisasi berpengaruh terhadap intensi melakukan whistleblowing. Namun, komitmen organisasi dalam penelitian Aliyah (2015); Lestari & Yaya (2017) menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap intensi melakukan whistleblowing. Selain faktor individual, beberapa penelitian juga mengaitkan faktor situasional seperti tingkat keseriusan masalah (Kaplan & Whitecotton, 2001; Winardi, 2013; Anuar & Salin, 2018) sebagai faktor yang turut mempengaruhi minat whistleblowing. Anggota organisasi yang mengamati adanya wrongdoing/kecurangan akan lebih mungkin untuk melakukan whistleblowing jika wrongdoing/kecurangan tersebut serius (Near & Miceli, 1985). Karena kecurangan yang serius dianggap akan memberikan dampak kerugian yang besar bagi organisasi maupun masyarakat. Penelitian yang dilakukan Lestari & Yaya
15 (2017) menunjukkan bahwa tingkat keseriusan pelanggaran berpengaruh positif terhadap intensi melakukan whistleblowing. Hasil berbeda didapatkan dari penelitian Aliyah (2015) yang mana tingkat keseriusan masalah tidak berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing pegawai di Unisnu Jepara. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya yang masih tidak konsisten serta masih banyaknya kasus kecurangan yang terjadi, penulis mencoba mengkaji kembali faktor-faktor yang mempengaruhi minat whistleblowing. Penelitian ini akan membahas tentang pengaruh sikap, norma subjektif, perceived behavioral control, komitmen organisasi, dan tingkat keseriusan pelanggaran terhadap intensi perilaku whistleblowing. penelitian ini dilakukan di seluruh desa di Kabupaten Magelang. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian berjudul Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, Perceived Behavioral Control, Komitmen Organisasi, dan Tingkat Keseriusan Pelanggaran Terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, peneliti mengidentifikasi beberapa permasalahan yang terjadi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi intensi untuk melakukan whistleblowing, yaitu sebagai berikut : 1. Sikap adalah penilaian seorang individu atas seberapa setuju atau tidak setujunya individu tersebut terhadap suatu perilaku/tindakan tertentu. Jika seseorang memiliki keyakinan bahwa tindakan whistleblowing akan memberikan konsekuensi/dampak pesitif tersebut penting/ diperlukan, maka
16 ia akan memiliki kecenderungan sikap yang positif pula untuk mendukung/memihak tindakan whistleblowing. 2. Norma subjektif merupakan faktor sosial seseorang dalam bentuk persepsi subjektif atas pendapat orang-orang yang menjadi teladan atau panutannya. Orang akan cenderung mematuhi pendapat orang yang menjadi panutannya. Apabila yang dipersepsikan ialah panutannya akan melakukan perilaku yang dipikirkan, maka orang tersebut memiliki intensi yang kuat untuk melakukan perilaku yang dipikirkannya. 3. Perceived behavioral control merupakan suatu persepsi seseorang terhadap suatu perilaku yang dilakukan orang lain, dimana ia yakin bahwa persepsi yang dimilikinya merupakan hasil dari kontrol dirinya sendiri mengenai persepsi perilaku tersebut. Semakin tinggi tingkat persepsi kontrol atas perilaku yang dirasakan, maka semakin kuat intensi untuk melakukan whistleblowing. 4. Komitmen organisasi, yaitu suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi di dalam dirinya akan timbul rasa memiliki organisasi (sense of belonging) yang tinggi sehingga ia tidak akan merasa ragu untuk melakukan whistleblowing karena ia yakin tindakan tersebut akan melindungi organisasi dari krisis. 5. Sensitivitas Etis adalah faktor penting yang berkaitan dengan adanya kesadaran dalam diri seseorang untuk memahami peristiwa yang sedang
17 terjadi disekitarnya. Kemampuan seseorang untuk menjadi professional dalam berperilaku etis akan dipengaruhi oleh sensitivitas etis yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat sensitivitas, maka pandangannya terhadap whistleblowing akan dianggap penting yang mengakibatkan semakin tinggi pula niat untuk melakukan whistleblowing. 6. Tingkat keseriusan pelanggaran merupakan suatu hal yang muncul akibat adanya suatu kecurangan yang dilakukan baik secara finansial maupun nonfinansial. Semakin serius dampak atau risiko dari pelanggaran yang akan diterima oleh organisasi, maka semakin tinggi pula niat para pegawai untuk melakukan whistleblowing. 7. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari sifatsifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat satu ke tempat yang lain. Masing masing gender memiliki pola pikiran dan perilaku yang berbeda-beda, termasuk dalam melakukan tindakan whistleblowing. 8. Reward adalah penghargaan yang diberikan untuk memotivasi masyarakat agar bertindak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tujuan adanya reward adalah untuk memberikan rangsangan dan motivasi pada pegawai untuk meningkatkan prestasi kerja dan efisiensi serta melakukan whistleblowing. Semakin tinggi penghargaan yang akan diberikan, maka akan semakin tinggi pula niat yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan whistleblowing.
18 1.3 Cakupan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang ada, peneliti memberi ruang lingkup yang akan dikaji dalam penelitian. Cakupan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini terbatas faktor-faktor yang mempengaruhi intensi melakukan tindakan whistleblowing. penelitian yang diajukan yaitu untuk menguji pengaruh sikap, norma subjektif, perceived behavioral control, komitmen organisasi, dan tingkat keseriusan pelanggaran terhadap intensi melakukan whistleblowing. Peneliti mengambil sampel pada Perangkat Desa yang berada di bawah administrasi pemerintahan Kabupaten Magelang dan merupakan perangkat desa yang memiliki akses dalam pengelolaan keuangan desa, yakni kepala desa, sekretaris desa, dan bendahara desa. 1.4 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini akan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut: 1. Apakah sikap memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistleblower? 2. Apakah norma subyektif memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistleblower? 3. Apakah perceived behavioral control memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistleblower? 4. Apakah komitmen organisasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistleblower?
19 5. Apakah tingkat keseriusan pelanggaran memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistleblower? 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaruh sikap terhadap intensi melakukan whistleblowing. 2. Untuk mengetahui pengaruh norma subyektif terhadap intensi melakukan whistleblowing. 3. Untuk mengetahui pengaruh perceived behavioral control intensi melakukan whistleblowing. 4. Untuk mengetahui pengaruh komitmen organisasi terhadap intensi melakukan whistleblowing. 5. Untuk mengetahui pengaruh tingkat keseriusan pelanggaran terhadap intensi melakukan whistleblowing. 1.6 Kegunaan/Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian tujuan di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kebermanfaatan baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis baik untuk peneliti selanjutnya maupun instansi tempat penelitian dilakukan. 1.6.1 Manfaat Praktis a.) Bagi perangkat desa di Kabupaten Magelang, penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan gambaran dan mempertimbangkan hasil penelitian ini
20 untuk dijadikan referensi agar dapat digunakan untuk mengembangkan sistem whistleblowing yang efektif. b.) Menambah bukti empiris tentang faktor-faktor yang mempengaruhi intensi melakukan whistleblowing yang meliputi faktor sikap, norma subjektif, perceived behavioral control, komitmen organisasi, dan tingkat keseriusan pelanggaran. c.) Penelitian ini diharapkan mampu menanamkan kesadaran pentingnya melakukan pengungkapan pelanggaran sehingga mampu mendeteksi dan mencegah praktik-praktik kecurangan yang terjadi. 1.6.2 Manfaat Teoritis a.) Hasil dari penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan acuan bagi peneliti berikutnya di bidang intensi melakukan whistleblowing. b.) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman dan pengetahuan tentang pentingnya whistleblowing. penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan hasil pengujian empiris untuk melengkapi penelitian tentang whistleblowing, khususnya di pemerintahan desa yang ada di indonesia. 1.7 Orisinilitas Penelitian Penelitian-penelitian yang telah dilakukan berhubungan dengan upaya untuk menemukan hubungan dari faktor-faktor yang mempengaruhi intensi untuk melakukan tindakan whistleblowing. Penelitian yang dilakukan oleh Ikhya Ullumudin (2018) mengkaji tentang pengaruh sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku persepsian dan dukungan organisasi terhadap intensi untuk melakukan tindakan whistleblowing. Dengan mengacu pada penelitian tersebut, penelitian ini
21 menggunakan variabel sikap, norma subjektif, kontrol perilaku persepsian sebagai faktor yang mempengaruhi intensi whistleblowing karena hasil penelitianpenelitian sebelumnya masih belum konsisten. Peneliti tidak mengambil variabel dukungan organisasi dikarenakan hasil penelitian Ullumudin (2018), Zubaidah (2019), dan Marta & Eliyana (2019) memberikan hasil bahwa persepsi dukungan organisasi mampu memoderasi variabel yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menambahkan variabel komitmen organisasi dan tingkat keseriusan masalah. Komitmen organisasi menjadi penting sebagai penentu minat individu dalam melakukan whistleblowing. Komitmen organisasi menunjukkan loyalitas dan perasaan pegawai terhadap organisasi. Seseorang dengan loyalitas tinggi maka dedikasi yang diberikan kepada organisasi juga tinggi. Dedikasi ini dibuktikan dengan perhatian terhadap hal yang mendukung keberhasilan dan kemajuan organisasi, salah satunya dengan cara whistleblowing. Sedangkan tingkat keseriusan pelanggaran menjadi penting dalam penentu tindakan whistleblowing diakarenakan organisasi akan berdampak buruk atas tindak pelanggaran yang serius daripada pelanggaran yang tidak serius. Apabila pegawai melihat adanya kecurangan yang memberikan dampak buruk pada organisasinya, maka akan tumbuh niat melaporkan kecurangan tersebut. Penambahan variabel tersebut juga dikarenakan adanya penelitian-penelitian sebelumnya yang tidak konsisten terhadap niat melakukan whistleblowing. Selain itu, variabel ini ditambahkan karena adanya saran dari peneliti sebelumnya.
22 Objek pada penelitian ini juga merupakan pembaruan penulis. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menggunakan responden perangkat desa di Kabupaten Magelang. Kabupaten Magelang dipilih karena merupakan salah satu kabupaten yang memperoleh dana desa terbesar selama 3 tahun terakhir. Selain itu, masih banyaknya kasus kecurangan dana desa yang terjadi di Kabupaten Magelang.
BAB II KAJIAN TEORI DASAR 2.1 Kajian Teori Utama (Grand Theory) 2.1.1 Theory of Planned Behavior Theory of Planned Behavior (TPB) atau biasa disebut dengan Teori Perilaku Terencana merupakan perkembangan dari Theory of Reasoned Action (TRA) atau Teori Tindakan Beralasan yang dikembangkan oleh Icek Ajzen pada tahun 1988. Ajzen (1988) menambahkan sebuah konstruk yang belum pernah ada di TRA. Konstruk ini disebut dengan kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control). Konstruk ini ditambahkan di TPB untuk mengontrol perilaku individual yang dibatasi oleh kekurangan-kekurangannya dan keterbatasan-keterbatasan dari kekurangan sumber-sumber daya yang digunakan untuk melakukan perilakunya (Jogiyanto, 2007). Dalam TPB, faktor utama dalam suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah intensi atau niat untuk menampilkan perilaku tertentu. Niat tersebut akan menentukan perilakunya (Jogiyanto, 2007). Semakin besar intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, maka semakin besar kecenderungan orang tersebut benar-benar melakukan perilaku tersebut. Intensi berperilaku akan menjadi perilaku sebenernya hanya jika perilaku tersebut berada dibawh kontrol individu yang bersangkutan. Individu memiliki pilihan untuk memutuskan perilaku tertentu atau tidak sama sekali (Ajzen, 1991). Intensi melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu menurut TPB dipengaruhi oleh tiga faktor, yang pertama adalah sikap terhadap suatu perilaku 23
24 (attitude towards behavior), kedua yaitu norma subjektif terhadap suatu perilaku (subjective norms), dan terakhir adalah kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control) (Ajzen, 2005). Ajzen (2005) mengatakan sikap merupakan suatu disposisi untuk merespon secara positif atau negatif suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh kepercayaan tentang konsekuensi dari sebuah perilaku, yang biasa disebut dengan behavioral beliefs. Seorang individu akan berniat menunjukan suatu perilaku tertentu apabila ia menilainya secara positif. Zakarija (2010) juga menyatakan bahwa suatu sikap ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan individu mengenai konsekuensi dari menampilkan suatu perilaku (behavioral beliefs), ditimbang berdasarkan hasil evaluasi terhadap konsekuensinya (outcome evaluation). Sikap memiliki efek langsung pada behavioral intention serta terkait dengan norma subyektif dan perceived behavioral control (Ajzen, 2005). Ajzen (2005) mengatakan norma subjektif merupakan fungsi yang didasarkan oleh kepercayaan (belief) yang disebut normative beliefs, yaitu belief mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan yang berasal dari referent atau orang dan kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua, pasangan, teman dekat, rekan kerja atau lainnya terhadap suatu perilaku. Seorang individu akan berniat menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orang-orang lain yang penting berfikir bahwa ia seharusnya melakukan hal itu (Zakarija, 2010). Dalam TPB ada satu faktor tambahan yang mempengaruhi intensi yaitu, perceived behavioral control (PBC). Kontrol persepsi atas perilaku (perceived
25 behavioral control) didefinisikan sebagai kemudahan atau kesulitan persepsi untuk melakukan perilaku dan diasumsikan untuk mencerminkan pengalaman masa lalu sebagai antisipasi hambatan atau rintangan (Ajzen, 1991). Behavioral Beliefs Normative Beliefs Control Beliefs Attitude Towards the Behavior Subjective Norms Intention Behavior Perceived Behavioral Control Gambar 2.1 Theory Planned of Behavior Sumber: Ajzen, 2005 2.1.2 Prosocial Organizatinal Behavior Theory Prosocial Organizatinal Behavior merupakan suatu perilaku yang (a) dilakukan oleh anggota suatu organisasi, (b) diarahkan kepada individu, kelompok, atau organisasi yang berinteraksi dengannya saat menjalankan peran organisasinya, dan (c) dilakukan dengan maksud untuk mempromosikan kesejahteraan individu, kelompok, atau organisasi yang menjadi tujuannya (Brief & Motowidlo, 1986). Perilaku prososial bukanlah perilaku altruistik. Menurut Staub (1978, dalam (Dozier & Miceli, 1985) perilaku prososial adalah perilaku sosial positif yang dimaksudkan untuk memberikan manfaat pada orang lain.