Analisis Yuridis Terhadap Perkara Penggelapan Dalam Jabatan (Studi Kasus Perkara No : 127/Pid.B/2019/Pn Tte)

dokumen-dokumen yang mirip
KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB II LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan timbul dalam kehidupan masyarakat karena berbagai faktor

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

METODE PENELITIAN. penelitian guna dapat mengolah dan menyimpulkan data serta memecahkan suatu

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

Presiden, DPR, dan BPK.

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN. melekat pada diri masing-masing individu. Hal itu cukup beralasan, betapa tidak,

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

Transkripsi:

ISSN Print: 2580-9016 ISSN Online: 2581-1797 Khairun Law Journal, Vol. 3 Issue 2, March 2020 KHAIRUN Law Journal Faculty of Law, Khairun University Analisis Yuridis Terhadap Perkara Penggelapan Dalam Jabatan (Studi Kasus Perkara No : 127/Pid.B/2019/Pn Tte) Yusup Kaury Advokat KAI & Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Khairun Email: jhoeucok88@gmail.com Tri Syafari Dosen Fakultas Hukum Universitas Kahirun, Email: trisyaf69@gmail.com Nam Rumkel Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Kahirun, Email: namrumkel@yahoo.com ABSTRACT Whether or not the evidence used is valid according to the analysis material obtained, the documentary evidence referred to in the indictment is evidence that is not valid according to law. The validity of the results of internal audits conducted by a part of the company cannot be accounted for. In the relative theory or the goal theory of the State to impose punishment on criminals as a means to achieve its goals, the purpose of punishment is to discourage someone from carrying out evil acts. From what is stated in the theory of punishment, the objective of the law in this case will not be fulfilled. Because what needs to be feared against the defendant. The defendant did not feel he had committed the act he was accused of. Keywords: Juridical Analysi;, Embezzlement in Position ABSTRAK Sah atau tidaknya alat bukti yang digunakan sesuai dengan bahan Analisa yang didapatkan alat bukti surat yang dimaksud dalam dakwaan adalah alat bukti yang tidak sah menurut undang-undang. Rekapan hasil audit internal yang dilakukan oleh salah satu bagian dari perusahan tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Dalam teori relatif atau teori tujuan Negara menjatuhkan hukuman kepada penjahat sebagai alat untuk mencapai tujuannya, tujuan dari hukuman yaitu menakut-nakuti seseorang dari melaksanakan perbuatan jahat. Dari apa yang dikemukakan dalam teori tentang pemidanaan maka tidak akan terpenuhi tujuan hukum dalam perkara ini. Sebab apa yang perlu ditakut-takuti terhadap terdakwa. Terdakwa tidak merasa melakukan perbuatan yang dituduhkan. Kata Kunci: Analisa Yuridis; Penggelapan dalam Jabatan PENDAHULUAN Penegakan hukum menjadi isu yang tetap menarik untuk dibahas, di setiap belahan dunia sudah sangat pasti terdapat permasalahan dalam penegakan hukum. Fantasi kita melayang jauh untuk sekedar bermimpi dan berkhayal tentang hukum yang adil dan bermartabat serta menjamin akan tidak tebang pilih, Tidak tajam kebawah dan 55

tumpul keatas maupun perlakuan penegakan yang diluar norma hukum yang telah diatur. Hukum yang adil dan bermartabat sendiri bukanlah merupakan hal yang baru yang menjadi cita-cita setiap bangsa di dunia. Tujuan dari penegakan hukum pada setiap negara adalah mencapai suatu keadilan yang bermartabat, Untuk tujuan dimaksud kemudian muncul gagasan tentang penggunaan symbol terhadap keadilan. Meskipun pada setiap negara berbeda dalam menggunakan symbol terhadap keadilan, Akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu penegakan hukum yang sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Indonesia sendiri marak terlihat symbol themis yang merupakan symbol metologi Yunani yang kerap dipajang di Universitas, Kantor Pengacara maupun pengadilan ataupun kejaksaan. Seperti diketahui themis adalah seorang dewi dengan mata tertutup dan mebawa pedang bermata dua serta memegang timbangan yang menyimbolkan kekuatan dari keadilan itu sendiri, Mata tertutup juga diartikan sebagai keadilan harus diberikan secara objektif. Namun dalam penerapannya simbol yang begitu rasional terkadang hanyalah menjadi impian yang sulit untuk diraih. Hal itu ditandai dengan banyaknya fakta-fakta putusan peradilan yang terkadang dipengaruhi oleh politik, media masa, opini public maupun kekuatan ekonomi. Putusan peradilan yang kemudian tak lagi objektif menjadi permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia bahkan menciderai kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut dalam menegakan keadilan. Walau masih sebatas oknum yang tak lagi objektif dalam menetapkan putusan namun hal tersebut sangat berdampak buruk terhadap kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga peradilan. Putusan Peradilan pidana tak lepas dari hasil proses penyelidikan dan penyidikan dikepolisian maupun penilaian oleh kejaksaan terhadap perkara pidana yang dimaksud apakah memenuhi alat bukti ataukah tidak memenuhi alat bukti. Dalam prakteknya penetapan tersangka, penangkapan bahkan penahanan hanya didasarkan oleh karena tekanan pihak pelapor bukan berdasarkan syarat formil alat bukti yang telah terpenuhi. Hukum Pembuktian sendiri diatur dalam UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dihubungkan dengan system pembuktian, KUHAP mengatur system pembuktian yang dianut di Indonesia adalah Sistem Pembuktian Negatif Negatif Wettelijk. 1 Disebut wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian, undang-undanglah yang menentukan tentang jenis-jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada dan disebut negative karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa. Apabila jenisjenis dan banyaknya alat bukti itu belum menimbulkan keyakinan pada hakim, Bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. 2 Mengenai syarat yang dianut stelsel negative wettelijk ini tercermin dalam pasal 183 KUHAP, berdasarkan pasal tersebut maka hakim dilarang untuk menjatuhkan putusan bersalah apabila tidak ada minimal dua alat bukti yang sah yang membuat 1 H.Agus Takariawan,SH.,M.Hum.Hukum Pembuktiandalam perkara pidana di Indonesia,pustaka reka cipta 2019,hlm 20 2 P.A.F. Lamintang,Kitab Undang-undang Hukum acara Pidana dengan pembahasan secara yuridis menurut yurisprudensi dan ilmu pengetahuan Hukum Pidana,Sinar Baru,bandung,1984 hlm 421 56

hakim tersebut yakin. Dengan kata lain tidak bisa hanya keyakinan tanpa ada dua alat bukti yang sah (minimal dua alat bukti yang sah tidak boleh alat bukti yang tidak sah) baru kemudian yakin, bukan yakin terlebih dahulu baru mencari-cari dua alat bukti yang sah. Selaras dengan hal tersebut soebekti menyatakan: Ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (wilkeur) akan timbul apabila hakim dalam melaksanakan tugasnya itu, diperbolehkan menyandarkan keputusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan hakim harus didasarkn pada sesuatu yang oleh undangundang dinamakan alat bukti. 3 Didalam praktek persidangan sering timbul masalah sehubungan dengan keyakinan hakim yang ternyata keyakinan hakim tidak berdasar pada alat bukti yang sah maupun fakta persidangan. Oleh karena tidak ingin bersinggungan dengan Lembaga lain yang terlebih dahulu melakukan tahapan penyelidikan dan penyidikan maupun penuntutan. Imbasnya keyakinan hakim akan terjadi tindak pidana yang terkesan dipaksakan walau tidak cukup bukti sehingga keadilan diciderai dengan putusan tersebut. Pada penyelidikan dan penyidikan perkara pidana yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia selain berpedoman pada KUHAP juga dalam Kepolisian diatur tentang managemen penyidikan yaitu pada Perkap 14 tahun 2012. Hal ini untuk menjamin ketidak sewenang-wenangan pihak penyelidik maupun penyidik dalam mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai penegak keadilan yang terdepan. Seperti halnya untuk dapat dilakukan penangkapan kepada diduga keras melakukan tindak pidana, KUHAP tidak mengatur secara spesifik akan hal itu. Penangkapan dimaksud diatur dalam KUHAP Bab V pada pasal 16 ayat 1 & 2 kemudian pada pasal 17 KUHAP, Pada pasal 16 ayat 1 dan 2 mengatur penangkapan pada tahapan penyelidikan dan penyidikan pasal 17 KUHAP mengatur tentang syarat dalam penangkapan. Dalam redaksi pasal 17 kuhap : Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam prakteknya bukti permulaan yang cukup sering dikesampingkan, Yang sering terjadi adalah dilakukan penangkapan kemudian mencari alat bukti untuk memenuhi penangkapan tersebut. Penafsiran tentang bukti permulaan yang cukup dan diduga keras melakukan tindak pidana sangatlah tidak tepat diterapkan dalam perkara ini yang kemudian menjadi dasar penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan. Penangkapan sendiri kemudian diatur secara detail dalam Perkap nomor 14 tahun 2012 tentang manejmen penyidikan pada pasal 36 sebagi berikut : Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Adanya bukti permulaan yang cukup; dan b. Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. Adanya bukti permulaan yang cukup ditafsirkan sebagai minimal 2 (dua) alat bukti yang sah menurut Undang-undang dan tersangka telah dipanggil dua kali berturutturut. Hal ini menunjukan bahwa walaupun telah memenuhi sekurang-kurangnya 3 H.Agus Takariawan,SH.,M.Hum.Hukum Pembuktiandalam perkara pidana di Indonesia,pustaka reka cipta 2019,hlm 21 57

dua alat bukti akan tetapi hal tersebut tidak dapat menjadi dasar diakukan penangkapan tanpa melakukan pemanggilan terhadap tersangka. Sebagaimana Kata dan dalam pasal tersebut sangat penting untuk dimaknai, bahwa adanya bukti permulaan yang cukup dan tersangka telah dipanggil dua kali berturut-turut menjadi dasar komulatif untuk dilakukan Penangkapan bukan hanya diduga keras dan penafsiran tentang bukti permulaan yang cukup. Sebagaimana apa yang terkandung dalam pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah yaitu : Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk,Keterangan terdakwa. Bila berpedoman pada bukti permulaan yang cukup maka setidaknya dua diantara lima alat bukti harus terpenuhi, sesuai dengan urutannya adalah nilai dari pembuktian tersebut. Sebagaimana keterangan saksi yang merupakan orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar,ia lihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (pasal 1 butir 27 KUHAP). Dalam suatu penyelesaian perkara pada prinsipnya keterangan saksi seharusnya tidak memihak karena keterangan yang diberikan adalah harus sesuai dengan kebenaran yang alami, Namun pada faktanya keterangan yang diberikan terdapat keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan terdakwa. Penerapan untuk alat bukti keterangan ahli juga terkadang ditafsirkan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-undang. Sebagaimana pasal 120 KUHAP ayat 1 dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Kemudian diperjelas dalam pasal 132 KUHAP Dalam hal diterima pengaduan bahwa surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan,oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari seorang ahli. Pada pasal 133 KUHAP juga yang mengisyaratkan tentang keterangan ahli yang merujuk pada pasal 179 KUHAP. Demikian hal tersebut yang disampaikan yang berkaitan dengan keterangan saksi yang penerapannya bila tulisan dipalsukan sudah tentu keterangan ahli yang diambil adalah ahli yang menguasai tentang bidang tersebut. Namun penerapan dalam perkara ini ada hal yang berbeda dikarenakan seharusnya bila ada perkara penggelapan maka yang harus diperiksa adalah ahli dibidang ekonomi tapi malah sebaliknya yang ditunjuk menjadi ahli adalah ahli dibidang pidana. Hal itu dilakukan untuk memenuhi pasal 184 KUHAP namun keliru dalam penerapan tentang saksi ahli di maksud. Penggelapan merupakan kejahatan yang dilakukan terhadap barang yang sudah ada dalam kekuasaannya hal ini sering terjadi pada hubungan orang perorangan. Seperti yang dirumuskan dalam pasal 372 KUHP Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, Tetapi yang ada dalam penguasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Jeratan untuk pasal ini biasanya ditujukan untuk kejahatan yang dilakukan dalam hubungan perseorangan. Misalkan dalam hal terdakwa adalah penyelenggara arisan, karena tidak menyerahkan uang arisan yang terkumpul kepada anggota yang berhak, terdakwa melakukan penggelapan dan tidaklah tepat kalau arisan dianggap sebagai hubungan pinjam-meminjam tanpa 58

bunga. 4 Hal lain yang juga bisa dijerat dengan penggelapan adalah ketika seseorang menitipkan mobil kepada orang lain kemudian mobil tersebut dijual tanpa sepengetahuan pemilik itu juga dapat dijerat dengan penggelapan. Pada penggelapan yang dilakukan karena adanya hubungan kerja diatur khusus dalam pasal 374 KUHP Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang dalam penguasaannya terhadap barang disebabkan karena adanya hubungan kerja atau pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 5 Bila unsur yang terdapat dalam pasal 372 KUHP terpenuhi maka dapat disimpulkan untuk kejahatan yang dilakukan ada dalam hubungan pekerjaan dan mendapat upah maka secara yuridis pemberlakuan terhadap pasal 374 KUHP. Dalam penerapan hukum yang sering diberlakukan untuk kasus penggelapan pada tahapan penyelidikan adalah pasal 372 KUHP kemudian juga pasal 374 KUHP untuk penggelapan yang dilakukan karena adanya hubungan kerja atau mendapat upah. Penyelidikan, Penyidikan dan Penetapan tersangka kemudian penangkapan harusnya melalui tahapan formilnya,seperti halnya yang terjadi pada perkara penggelapan ini, penetapan tersangka hanya berdasarkan pada laporan polisi, keterangan saksi dan hasil audit tanpa mengkonfirmasi kepada terlapor mengenai hasil audit dimaksud. Keterangan saksi dimaksud adalah keterangan saksi yang berkaitan dengan hasil audit dan mengkonfirmasi terkait dengan hasil audit tersebut. Dari beberapa saksi yang diperiksa seluruhnya hanya konfirmasi yang berkaitan dengan hasil audit, yang seharusnya dilakukan untuk mendapatkan petunjuk adalah keterangan saksi satu dan saksi lainnya yang saling berkaitan sehingga dugaan terjadinya tindak pidana memang benar adanya. Dalam kasus ini pihak penyidik telah keliru dalam penerapan terhadap hukum formil yaitu penafsiran terkait dengan pasal 184 KUHAP yaitu pada alat bukti surat, alat bukti surat yang dipakai adalah hasil audit dari pihak yang tidak kompeten dalam melakukan audit terhadap perusahan dimaksud. Dari hasil penafsiran terkait dengan pasal 184 KUHAP kemudian dilakukan penangkapan terhadap Jeasika Amelia Tamboto terkait dengan bukti permulaan yang cukup dan dugaan keras melakukan tindak pidana. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan pasal 36 Perkap 14 tahun 2014 maupun apa yang menjadi amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, tentang frasa bukti yang cukup dan bukti permulaan yang cukup adalah minimal dua alat bukti sebagaimana yang terkandung didalam pasal 184 KUHAP. Bila yang menjadi sandaran dilakukan penangkapan adalah pemenuhan terhadap alat bukti saksi dan alat bukti surat maka hal ini merupakan ketidak cermatan pihak penyidik dalam menafsirkan akan pasal tersebut. Sebagaimana dalam penjelasan terkait dengan alat bukti surat pada 187 KUHAP adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Dari penetapan tersangka terkait dengan penggelapan dalam jabatan kemudian penangkapan dan di lakukan Praperadilan terhadap penetapan tersangka maupun penangkapan. Putusan dalam praperadilan mempertimbangkan bahwa apa yang 4 R.soenarto Soerodibroto,S.H.KUHP dan KUHAP dilengkapi yurisprudensi mahkamah agung dan Hoge Raad,PT.raja grafindo Persada,1991 hlm 232 5 Ibid hlmn 238 59

dilakukan oleh penyidik sudah sesuai dengan KUHAP dan menolak praperadilan tersebut selanjutnya perkara dimaksud diteruskan ke tahap berikutnya. Pada sidang pokok perkara Hakim Pengadilan Negeri Ternate memutuskan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan dan menghukum terdakwa dengan penjara satu tahun dipotong masa tahanan. Bahwa penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penuntutan dan putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 127/Pid.B/2019/PN.Tte terhadap Sdri. Jessy atas dasar alat bukti yang masih dalam perdebatan menarik untuk dilakukan kajian. Berdasarkan hal tersebut penulisan ini akan menjawab dua pokok permasalahan yaitu Bagaimana analisis yuridis terhadap sah tidaknya alat bukti yang digunakan pada perkara pidana Nomor 127/Pid.B/2019/PN.Tte? dan Apakah putusan pidana yang dijatuhkan dalam perkara Nomor 127/Pid.B/2019/PN Tte telah sesuai dengan tujuan hukum? METODE PENELITIAN Penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturanperaturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 6 Maksud dan tujuan menggunakan pendekatan yuridis normatif adalah penulis dapat menggunakan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundangundangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.dilanjutkan dengan menarik kesimpulan motode induktif yaitu suatu cara berfikir khusus lalu kemudian diambil kesimpulan secara umum guna menjawab permasalahan yang akan di analisis. PEMBAHASAN Penetapan Tersangka dan Penangkapan yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort Ternate adalah sesuai dengan KUHAP hal itu yang tertuang dalam putusan praperadilan. Penulis menilai bahwa merujuk pada pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 KUHAP yaitu Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana kemudian pasal 17KUHAP, Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasakan bukti permulaan yang cukup. Hal ini di Anulir oleh putusan Mahkamah konstitusi atas uji materil terkait dengan dua pasal tersebut pada putusan Mahkamah konstitusi no 21/PUU-XII/2014 tentang bukti permulaan yang cukup.inti dari Putusan Mahkamah konstitusi tentang bukti permulaan yang cukup adalah minimal 2 alat bukti sesuai dengan pasal 184 KUHAP. 6 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14. 60

Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Adanya bukti permulaan yang cukup; dan b. Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. Adanya bukti permulaan yang cukup dan tersangka telah dipanggil 2 kali berturut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar merupakan syarat akumulatif yang harus terpenuhi sehingga penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort ternate adalah Inkonstitusional. Adanya bukti permulaan yang cukup tidak serta merta dilakukan penangkapan tanpa ada surat panggilan untuk diperiksa sebagai terlapor ataupun statusnya sudah menjadi tersangka. Bila penangkapan dilakukan tanpa ada surat panggilan maka jelas hal ini bertentangan dengan pasal 36 Perkap 14 tahun 2012 dan penangkapan yang dilakukan oleh penyidik adalah inkonstitusional dan tindakan kesewenang-wenangan karena terhadap bukti permulaan yang cukup tetap harus dilakukan pemanggilan terhadap tersangka. Bukti permulaan yang cukup adalah minimal dua alat bukti sesuai dengan dengan perintah KUHAP. Dalam lampiran alat bukti yang terdapat dalam berita acara pemeriksaan maka alat bukti yang ada dalam perkara ini belum memenuhi pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang sah dalam perkara ini hanya keterangan saksi, Sebagaimana diketahui dalam dalam berita acara pemeriksaan bahwa hasil audit yang menyatakan bahwa ada kekurangan pada keuangan perusahan. Audit dilakukan setelah tersangka tidak lagi bekerja, Tersangka dipecat kemudian melaksanakan tugas dan tanggung jawab sampai pada tanggal 25 oktober 2018 setelah itu dilakukan audit pada saat tersangka tidak lagi bekerja. Dapat disimpulkan bahwa tidak satupun saksi yang melihat secara langsung akan penggelapan uang yang dilakukan oleh tersangka. Hasil audit yang menyatakan kerugian pada perusahan bukan diinterpretasikan bahwa tersangka yang melakukan perbuatan dimaksud. Berikutnya adalah kredibelitas dalam melakukan Audit tidak dapat dipertanggungjawabkan, Yang seharusnya melakukan audit agar dapat menjamin hasil audit yang objektif adalah akuntan public. Akan tetapi harus diketahui sekalipun akuntan Publik yang melakukan audit hanyalah menetukan laba rugi sebuah perusahan bukan dalam hal menemukan tersangka. Oleh hasil audit tersebut lalu seharusnya dihadirkan saksi ahli yang bisa menerangkan siapa yang bertanggung jawab dalam selisih keuangan perusahan. Keterangan saksi Ahli dalam pemenuhan alat bukti pada perkara ini tidak sesuai dengan apa yang diisratkan oleh undang-undang. Pasal 132 ayat (1) KUHAP Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli Penerapan saksi ahli dalam perkara ini dinilai oleh penulis adalah sangat keliru terhadap yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Resort Ternate. Seharusnya saksi ahli yang dapat membuat perkara ini menjadi terang karena keahliannya adalah Ahli dalam bidang ekonomi, yang memiliki keahlian dibidang struktur organisasi dalam perusahan. Hal ini diperlukan karena kekurangan uang perusahan pada perkara ini 61

hanya berdasarkan pada hasil audit internal perusahan yang rawan akan kepentingan. Dalam hal alat bukti yang ditampilkan oleh jaksa penuntut umum tidak lagi mencantumkan keterangan saksi ahli dalam pertimbangan tuntutan untuk memenuhi Alat bukti, hal ini selaras dengan apa yang menjadi kesimpulan penulis bahwa hal ini tidak tepat dalam menerapkan keterangan ahli. Oleh karena hal ini dalil penulis yang menyatakan bahwa alat bukti keterangan ahli tidak sah dan tidak dapat digunakan bahkan keliru dalam peruntukan dalam perkara ini semakin menguatkan. Keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa dan berikutnya barang bukti kemudian hal itu digunakan jaksa penuntut Umum sebagai petunjuk merupakan kekeliruan dalam penerapan. Sebagaimana keterangan saksi yang dituangkan dalam BAP kemudian dipakai dalam tuntutan sebagai alat bukti surat, hal ini menunjukan bahwa alat bukti yang tidak memadai sehingga interpretasi terhadap suatu pasal dipaksakan untuk memenuhi pasal 184 KUHAP. Secara teoritik untuk pemenuhan terhadap alat bukti surat adalah apa yang saksi ahli berikan di penyidikan dituangkan dalam bentuk laporan, Kemudian saksi yang tidak dapat hadir dengan alasan yang kuat, berita acara pemeriksaan dibacakan dihadapan sidang pengadilan dan menjadi alat bukti surat. Pada Penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.penggunaan metode Yuridis Normatif bertujuan agar dapat menggunakan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsepkonsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Pada penulisan ini penulis akan menganalisis beberapa aspek dalam perkara ini yaitu Putusan Praperadilan, Dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan putusan Peradilan No.127/Pid.B/2019/PN.Tte. Dalam dakwaan jaksa penuntut umum yang dibacakan di persidangan pengadilan negeri ternate penerapan hukum materil sesuai posisi kasus maka penerapan sudah sesuai dengan posisi kasus. Pada dakwaan kesatu tentang pasal 372 KUHPidana tentang penggelapan biasa dan pada dakwaan kedua pasal 374 KUHPidana tentang Penggelapan dalam jabatan atau penggelapan yang dilakukan kareana adanya hubungan kerja. Terhadap syarat formil pemenuhan terhadap sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP jaksa tidak tepat dalam penerapannya. Seharusnya perkara ini tidak siap untuk dilanjutkan ke dakwaan dan penuntutan dikarenakan perkara ini tidaklah mempunyai bukti yang cukup. Keterangan ahli pidana tidak lagi dimuat dalam dakwaan, ini mengartikan bahwa ada satu alat bukti yang ditiadakan dalam dakwaan karena sudah tentu keterangan ahli pidana tidak sesuai dengan apa yang menjadi persyaratan dalam pasal 184 KUHAP.Persesuaian dari perbuatan, kejadian atau keadaan antara yang satu dengan yang lain maupun 62

dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya merupakan petunjuk vide pasal 188 ayat 1 KUHAP. Sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat keterangan terdakwa vide pasal 188 ayat 2. Bila tiga aspek tersebut sebagai syarat kumulatif maka pemenuhan terhadap alat bukti petunjuk yang diuraikan oleh Jaksa penuntut umum tidak dapat dibenarkan.keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa harus bersesuaian, dalam memberikan keterangan tentang apa yang didakwakan kepada terdakwa, Terdakwa tidak melakukan sesuai apa yang didakwakan yaitu menggelapkan uang perusahan. Kemudian alat bukti surat dalam perkara ini adalah alat bukti yang juga di tafsirkan tidak sesuai dengan apa yang diisyaratkan oleh pasal 184 KUHAP. Surat dalam perkara a quo menurut jaksa penuntut umum adalah Berita acara Pemeriksaan saksi yang di kategorikan sebagai alat bukti surat. Hal ini jelas bertentangan dengan apa yang dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP, bila demikian bias diterapkan. Asumsinya adalah ketika seorang saksi diperiksa maka hal tersebut telah memnuhi dua alat bukti yaitu alat bukti keterangan saksi dan alat bukti surat. Dapat disimpulkan bahwa alat bukti surat yang dimaksud oleh jaksa penuntut umum adalah alat bukti surat yang tidak sah menurut undang-undang. Sehingga akumulatif dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa tidak menghasilkan sebuah petunjuk yang sempurna bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya. Dengan demikian penulis simpulkan bahwa selain Alat bukti surat yang digunakan tidak Sah ketidak sempurnaan terhadap petunjuk bahkan dihilangkan alat bukti saksi ahli dalam dakwaan maka dakwaan dan tuntutan pada perkara a quo adalah tidak cukup alat bukti, yang selanjutnya hakim yang akan menilai terhadap petunjuk sesuai dengan fakta persidangan. Dalam mengambil keputusan menghukum atau tidak hakim berdasarkan pada Pembuktian menurut undang-undang secara negative Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Hal ini juga menjadi maksud dalam KUHAP yaitu hakim tidak dapat memutus perkara tanpa dua alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam Tuntutan jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan hukuman 2 (dua) tahun penjara,namunhakim yang memutus perkara ini menjatuhkan dengan hukuman 1(satu tahun penjara dipotong masa tahanan. Pada pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa masih muda dan dapat memperbaiki kesalahan di masa yang akan dating hal ini menjadi pertimbangan yang tidak objektif. Pertimbangan ini memperlihatkan bahwa lemahnya pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sehingga menimbulkan keraguan terhadap hakim untuk mengikuti tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut dengan hukuman 2 tahun penjara. Bila kemudian kita kembali menelusuri apa yang disampaikan dalam tuntutan seperti keterangan saksi, surat, petunjuk, keterangan terdakwa,barang bukti maka dapat penulis buat Analisa bahwa pada perkara ini hanya terdapat satu alat bukti yang sah yaitu alat bukti keterangan saksi. 63

Keterangan saksipun masih dapat diuji dikarenakan dalam hal terdakwa tidak merasa melakukan prbuatan yang dituduhkan,karena dari keterangan saksi tidak dapat menunjukan dengan pasti penggelapan itu terjadi, Saksi hanya menunjuk bahwa ada penggelapan dalam perusahan,dan mengarahkan bahwa yang bertanggungjawab dalam kekurangan uang perusahan tersebut adalah terdakwa Jeasika Amelia Tamboto sebagai pelaku. Kemudian dalam hal barang bukti,dari sekian barang bukti yang diperlihatkan dalam sidang seperti yang tercantum dalam tuntutan tidak satupun barang bukti tersebut disita dari pelaku kejahatan. Bila dalam perkara ini adalah mengenai penggelapan uang perusahan maka yang harus dikejar adalah jumlah dana yang mengalir ke rekening terdakwa ataukah barang bukti yang dapat mengarahkan pada perbuatan pidana seperti sejumlah uang yang disita dalam penguasaan terdakwa.oleh karena tidak mempunyai cukup alat bukti yang sah oleh undang-undang hakim seharusnya tidak memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana melainkan membebaskan terdakwa bebas dari segala tuntutan hukum. Sebagaimana system pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah system pembuktian undang-undang secara negative atau Negatife Wettelijke Stelsel system maka hakim seharusnya tidak boleh yakin terhadpap alat bukti yang tidak sah menurut undang-undang. Dimana alat bukti surat yang dimaksud dalam perkara ini paling tepat penerapan adalah lembar hasil audit yang dilakukan oleh salah satu staf dari perusahan tersebut. Oleh karena yang bersangkutan tidak memiliki kapasitas dalam melakukan audit maka pemenuhan terhadap alat bukti surat pada lembaran audit tidak sah secara hukum. Lembar audit adalah hal yang pokok dalam perkara ini maka bila audit tersebut tidak dilakukan sesuai prosedur maka kuat dugaan audit tersebut sarat dengan kepentingan. Terlepas dari apa yang penulis analisis terhadap terhadap tepat tidaknya putusan hakim namun dalam hukum terdapat asas Res Judicata Pro Veritate Habetur memiliki arti bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Jika saksi palsu diajukan dan hakim memutus perkaranya berdasarkan saksi palsu tersebut, jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian yang benar, tetapi harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi bila ada upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali. PENUTUP Sebagai penutup penulis menyimpulkan bahwa Penyelesaian perkara penggelapan dalam jabatan nomor 127/Pid.B/2019/PN.Tte terhadap apakah sah atau tidaknya alat bukti yang digunakan sesuai dengan bahan Analisa yang didapatkan alat bukti surat yang dimaksud dalam dakwaan adalah alat bukti yang tidak sah menurut undang-undang. Rekapan hasil audit internal yang dilakukan oleh salah satu bagian dari perusahan tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Bila hasil audit yang dimaksud sah menurut undang-undang tidak berarti yang melakukan audit bebas dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam kekurangan uang perusahan; (2) Dari apa yang dikemukakan dalam teori tentang pemidanaan maka tidak akan terpenuhi tujuan hukum dalam perkara ini. Sebab apa yang perlu ditakuttakuti terhadap terdakwa. Terdakwa tidak merasa melakukan perbuatan yang dituduhkan. Perbuatan pidana tersebut adalah klaim sepihak yang sangat merugikan 64

hak-hak terdakwa karena dari pemidanaan yang dialami terdakwa sampai kapanpun akan melekat ke diri terdakwa sebagai seorang mantan narapidana. BIBLIOGRAFI Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, Sudarto, 1990/1991. Hukum Pidana Jenderal Soedirman, Purwokerto. H.A. Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta. R.soesilo,1976,Kitab Undang-undang Hukum Pidana,POLEITEIA,Bogor, Lamintang dan Theo Lamintang, 2013, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Bandung, Sinar Grafika, Cetakan ke- 2, Lamintang dan Samosir, 2007, Hukum Pidana Indonesia, Medan, Sinar Cetakan Pertama, Andi Sofyan, 2013, Hukum Acara Pidana, Rangkang Education, Baru, Yogyakarta, Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di Indonesia) (Malang: Setara Press, 2014), Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung. Mandar Maju. 2004. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, 65