Evaluasi Strategi Arah Kebijakan Penataan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (Suatu Tinjauan di Kota Surabaya) Oleh: Aminullah Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Yudharta Pasuruan Pendahuluan Penciptaan lapangan pekerjaan pengentasan kemiskinan di perkotaan merupakan dua dari beberapa masalah besar yang harus dipecahkan. Sektor informal pada dasarnya adalah salah satu bentuk respon migran masyarakat miskin di kota terhadap pembangunan antar daerah yang tidak merata, urbanisasi, meluasnya tingkat pengangguran merebaknya tekanan kemiskinan. Keberadaan PKL pada dasarnya bukanlah semata-mata beban atau gangguan bagi keindahan ketertiban kota. PKL kaum migran adalah sebuah potensi terpendam, yang bila dikelola dengan bijak dapat menjadi sumber pemasukan bagi PAD Kota Surabaya. Krisis multi dimensi yang terjadi di Indonesia pada masa reformasi telah membawa dampak yang luarbiasa bagi peningkatan jumlah pengangguran. Di samping semakin besarnya arus urbanisasi yang menyebabkan semakin sulit mencari pekerjaan, sampai kepada buruh atau karyawan yang terpaksa berhenti kerja karena mengalami pemutusan hubungan kerja dari perusahaan tempat mereka bekerja. Karena semakin kompleknya permasalahan ditambah semakin mendesaknya kebutuhan, menciptakan lapangan kerja serba cepat instan serta PKL adalah cara yang dianggap paling tepat. Dengan modal seaya untuk mendapatkan barang dagangan yang dinilai cepat laku, kemudian dijual dengan untung yang tidak terlalu besar. Banyak orang berpikir bahwa menggeluti PKL adalah suatu pekerjaan hina. Namun tidak semuanya benar, Sebab banyak orang sukses diawali dari profesi PKL. Kegiatan PKL dianggap sebagai proses menciptakan diri mandiri di big ekonomi meningkatkan skill berdagang. Memang tidak ada satupun kota di dunia ini yang tidak mempunyai PKL, khususnya Kota Surabaya sebagai kota terbesar ke-dua di Indonesia. Saat ini hampir tak ada lahan kosong di seantero kota ini yang tidak ditempati PKL. Kondisi real di lapangan menunjukkan bahwa PKL dibagi adalah dua jenis di Kota Surabaya, para PKL binaan adalah PKL yang dianggap sah atau legal, kemudian lainnya merupakan PKL ilegal atau liar. PKL yang dianggap sah, adalah PKL yang menempati lahan yang mendapat persetujuan dari yang berwenang. Pengertian yang berwenang ini macammacam, mulai dari perorangan sebagai pemilik lahan, sampai tingkat pengurus RT, RW, aparat kelurahan, kecamatan sampai tingkat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Semakin bertambahnya jumlah PKL yang kurang terkendali, dirasa perlu dilakukan konsep penataan PKL yang efektif guna menjaga keindahan kota. Dimulai dari mengidentifikasi karakteristik 38
PKL, mengidentifikasi perwatakan fisik PKL, kemudian dilanjutkan dengan strategi penataan PKL. Pemerintah Kota Surabaya dalam hal ini yang menjadi payung Keamanan Ketertiban Masyarakat Suarabaya secara umum khususnya PKL yang berada di kota Surabaya telah mengeluarkan suatu bentuk Perda No 17 Tahun 2003 yang secara umum mengatur menata keberadaan berupaya untuk menjamin keberlangsungan PKL. Dengan aya Perda yang dikeluarkan oleh Pemkot Surabaya itu diharapkan PKL bisa merasa terlindungi ada jaminan keberlangsungannya. Banyak upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam usaha pengembangan PKL. Tetapi pada kenyataanya, banyak solusi kebijakan program yang ditawarkan pemerintah belum sepenuhnya berhasil. Hal ini disebabkan karena pendekatan pemerintah yang masih bersifat supplyside oriented (pengaturan, penataan, bantuan terhadap PKL dilakukan tanpa melakukan komunikasi kerjasama dengan PKL sendiri). Dengan kata lain, kebijakan pembinaan PKL yang dibuat oleh pemerintah selalu memunculkan masalah baru ketimbang memecahkan masalah yang ada. Mengacu pada masalah di atas, maka saya mencoba mengevaluasi sekaligus menganalisa Strategi Arah kebijakan Pemerintah Kota Surabaya tentang sektor informal (PKL). Pembahasan A. Gambaran Umum kondisi PKL di Kota Surabaya Pada tahun 2001 Jumlah PKL mencapai angka 3818 di Surabaya (Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Surabaya tahun 2000). Dan tersebar di berbagai ruas jalan, pertokoan pusatpusat kegiatan di Surabaya. Persebaran PKL di Surabaya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Lokasi Kegiatan Jumlah PKL No. Lokasi Kegiatan (Jalan) JUMLAH 1. Kembang Jepun 15 2. Prapat Kurung 52 3. KHM. Mansyur 38 4. Kepanjen 31 5. Kawung 29 6. Barata Jaya 30 7. Sidoluhur 20 8. Alun-Alun Priok 45 9. Sedayu 27 10. KHM. Mansyur Timur 27 11. Kranggan Sisi Utara 32 12. Pasar Turi 28 13. Embong Blimbing 35 14. Sedap Malam 36 15. Kemuning 16 16. Embong Wungu 10 17. Iris 13 39
18. Ketupa 12 19. Kedungdoro 99 20. Kapasari 227 21. Tunjungan 250 22. Simo sekitarnya 180 23. Sekitar Masjid Agung 250 24. Pahlawan 270 25. Dukuh Kupang 147 26. Demak 150 27. Pacuan Kuda 178 28. Rungkut Industri 256 29. Joyoboyo 125 30. Raya Manukan Klon 100 31. Bogen 19 32. Petojo 70 33. Dharmahusada 90 34. Lapangan Kali Bokor 42 35. Pucang Anom 31 36. Pucang Rinenggo 15 37. Nginden Bengkok 67 38. Nginden 59 39. Ubi 11 40. Bentol 27 41. Setail 92 42. Anjasmoro 44 43. Widodaren 28 44. Kranggan Sisi Selatan 52 45. Karangpilang 72 46. Alun-Alun Karah 50 47. A. Yani 29 48. Indrapura 50 49. Kupang 57 50. Jemur Handayani 15 51. Jembatan Merah 170 JUMLAH 3818 Sumber : Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Surabaya tahun 2000 Berbagai solusi pernah ditawarkan mengembangkan juga menata sektor pemerintah dalam usaha informal PKL di perkotaan, sebagai contoh 40
Melakukan penataan PKL dengan merelokasi PKL dari satu kawasan ke kawasan lain yang telah disediakan oleh pemerintah. Hal ini tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) No 17 tahun 2003 tentang Penataan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Melakukan penggusuran PKL. Kebijakan ini dilakukan pihak pemerintah jika PKL yang ada susah untuk diajak bekerjasama. Penggusuran PKL yang dilakukan tanpa solusi bahkan dengan cara kekerasan tidak memecahkan masalah karenanya harus dihentikan. Karena tidak menyelesaikan masalah bahkan akan memicu konflik kekerasan. Melakukan pembinaan terhadap PKL. Langkah ini cukup efektif tetapi tidak dapat dikerjakan secara terus menerus secara keberlanjutan. Salah satu pembinaan yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi UKM adalah melalui Program Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima dengan fasilitasi Bantuan Perkuatan Sarana Usaha sebagai stimulator katalisator bagi Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam program tersebut, Kementerian Negara Koperasi UKM bersinergi dengan Pemerintah Propinsi atau Kabupaten/Kota untuk memberdayakan PKL melalui Koperasi. B. Evaluasi Konsep Strategi Arah Kebijakan Penataan Pemberdayaan PKL Keberadaan PKL yang menimbulkan dilematis tersendiri bagi pemerintah menuntut kebijaksanaan dalam proses penyelesaiannya. Konflik yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal: pertama, dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang menyusun konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar. Kedua, aya perbedaan persepsi logika dalam memang suatu masalah antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai aya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah Kota seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut sematamata hanya untuk keuntungan kepentingan Pemerintah Kota. Selain itu, tidak aya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi. Berdasarkan berita Surat Kabar Surya, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), Mansur minta agar Peraturan Daerah (Perda) No 17 tahun 2003 tentang Penataan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima 41
(PKL) direvisi. Pasalnya, keberadaan perda tersebut dinilai sudah tidak relevan tidak sesuai dengan kondisi serta situasi yang ada sekarang. Bahkan bentuk penataan pembinaan terhadap PKL seperti diatur dalam perda tidak lagi dilaksanakan sebagai mana mestinya. Dijelaskan Mansur, salah satu pasal perda yang menyebutkan melarang masyarakat melakukan transaksi terharap PKL, merupakan bentuk intimidasi yang jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Pada intinya, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah masih bersifat supply-side oriented. Dengan kata lain, 42 pemerintah terus menerus melakukan berbagai pengaturan penataan bantuan terhadap PKL tanpa melakukan komunikasi kerjasama seimbang kepada target group pedagang kaki lima itu sendiri (demand site). Disamping itu juga diidentifikasi belum aya keterkaitan koordinasi dalam perencanaan pengembangan PKL tingkat makro maupun mikro (Sethuraman dalam Firdausy, 1989). Kemudian hal tersebut diatas bisa dilihat dari Analisa Tabel Konsep dibawah ini: Tabel 2. Analisa Tabel Konsep Konsep Penataan PKL Tujuan/Sasaran Kriteria Evalusai Penilaian 1. Melakukan penataan 1. Perlindungan Efektifitas: Kawasan yang PKL dengan Usaha PKL 1. Meningkatnya telah disediakan merelokasi PKL dari 2. Penyediaan pendapatan oleh pemerintah satu kawasan ke lokasi Usaha masyarakat tidak ditempati kawasan yang lain pasar 2. Meningkatnya PKL karena yang telah disediakan oleh pemerintah 2. Melakukan yang strategis 3. Pengurangan lapangan kerja yang tersedia 3. Menghilangkan kurang strategis, sehingga semakin memicu penggusuran PKL 3. Melakukan pembinaan atau penghapusa hambatan birokrasi konflik PKL antara terhadap PKL n retribusi pungutan lainnya 4. Mendapat akses mudah memadai terhadap kredit yang faktor input lainnya 5. Usaha PKL yang berhasil mandiri permanen administrasi Kecukupan: 1. Mendapatkan lokasi usaha pasar yang strategis Perataan: 1. Program dapat dinikmati oleh seluruh PKL 2. Pengaturan lokasi yang rata Ketepatan: 1. Ketersediaan lokasi telah disiapkan, diharapkan dapat usaha sama yang pemerintah (dalam hal ini satpol PP) Dari 3818 PKL (tahun 2000) hanya sebagian kecil PKL yang telah mendapatkan lokasi usaha. Kebijakan tentang PKL dibuat dengan tidak memberikan ruang publik dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan pihak yang menjadi sasaran
Sumber: kumpulan Literatur dimanfaatkan digunakan oleh PKL. Responsifitas: 1. Ketersediaan lokasi usaha pasar memang sesuai dengan harapan pedagang PKL kebijakan Petugas di lapangan lebih sering menggunakan pendekatan legal formal seperti menertibkan daripada menata. Kurangnya sosialisasi tentang aya program pembinaan terhadap PKL Kesulitasn dalam memperoleh modal/kredit yang disediakan pemerintah Permasalahan PKL menjadi menarik, karena PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economy. Namun, mengingat bahwa kontribusi PKL sangat besar bagi semua kalangan masyarakat. Keberadaannya sangat membantu masyarakat terutama saat-saat kondisi tertentu. Masalah keberadaan PKL serta upaya untuk menghilangkannya atau menggusurnya sesungguhnya merupakan fenomena lama yang dialami oleh pemerintah di kota-kota besar. Di Pemerintah Kota Surabaya sendiri, masalah PKL telah diatur dengan mengeluarkan Perda No. 17 Tahun 2003 tentang Penataan Pemberdayaan PKL. Pemkot menegaskan komitmen penataan pengelolaan sektor informal yang secara khusus didirikan Dinas Koperasi Sektor Informal. Lembaga tersebut berupaya menyediakan kawasan legal bagi PKL untuk berjualan menyediakan a bergulir. Pemkot sendiri mengaku telah melakukan pendataan, penataan, pemberian modal bergulir hingga pelatihan kerja melalui Dinas Koperasi Sektor Informal. Melihat kenyataan di lapangan, upaya Pemkot dalam penataan PKL ternyata diangggap beberapa kalangan masih terkesan setengah-setengah. Akibatnya, upaya penertiban seringkali berujung pada bentrokan perlawanan fisik dari PKL. Dengan keluarnya Perda No. 17 Tahun 2003 tentang Penataan Pemberdayaan PKL, Pemerintah merasa telah melakukan hal yang terbaik bijaksana dalam menangani keberadaan PKL. Namun kebijakan ini ditolak oleh pedagan kaki lima sebagai terget group karena aya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan tersebut yaitu; Pertama, dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal 43
dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang menggodok konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar. Kedua, aya perbedaan persepsi logika dalam memang suatu masalah antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai aya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut sematamata hanya untuk keuntungan kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Kesimpulan Rekomendasi Hasil dari evaluasi ini menunjukkan bahwa : (1) Kawasan yang telah disediakan oleh pemerintah tidak ditempati PKL karena kurang strategis, sehingga semakin memicu konflik kekerasan antara PKL pemerintah (dalam hal ini satpol PP); (2) Hanya sebagian kecil PKL yang telah mendapatkan lokasi usaha, belum semua PKL; (3) Kebijakan tentang PKL dibuat dengan tidak memberikan ruang publik dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan pihak yang menjadi sasaran kebijakan; (4) Petugas di lapangan lebih sering menggunakan pendekatan legal formal seperti menertibkan daripada menata ; (5)Kurangnya sosialisasi tentang aya program pembinaan terhadap PKL; (6) Kesulitan dalam memperoleh modal/ kredit yang disediakan pemerintah. Analisa kondisi obyekti kondisi PKL dengan realita kebijakan pemerintah melalui produk Perda No. 17 Tahun 2003 tentang Penataan Pemberdayaan PKL nampaknya terkesan kurang sinergis sehingga tidak memberikan solusi pada masalah. Proses pembuatan kebijakan seharusnya dilakukan dengan pemikiran yang rasional, proporsional terpola. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan mengenai pemberdayaan PKL tersebut adalah berupaya mencari win-win solution atas permasalahan PKL. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang indah bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada kios-kios yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga dengan aya legalisasi tersebut pemkot dapat menarik restribusi dari para pedagang agar masuk kas pemerintah tentunya akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah. Selain itu, pemerintah juga memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, kemudahan modal usaha. 44
Oleh karena itulah, Pemerintah Kota seharusnya mengeluarkan alternatif kebijakan yang isinya antara lain : 1. Dalam tahapan proses kebijakan dari awal sampai pada level evaluasi Pedagang Kaki Lima dilibat secara langsung. 2. Penyediaan Area Khusus untuk PKL dengan melihat karaktristik ciri khas produk yang dijual dengan situasi area lingkungan (zoning position) setempat. 3. Penyediaan sarana pendukung atau penunjang strategis PKL. 4. Pembuatan outlet/kios yang standart: layak, nyaman aman, melalui sistem kredit tanpa bunga. 5. Pemberlakuan kewajiban Self Saving System melalui mekanisme retribusi dengan tujuan pengelolaan PKL jangka panjang. Daftar Pustaka Awang, Rasdian (2009). PKL sebagai Pendukung Perekonomian Kota: Antara Pengembangan, Penataan & Penggusuran. Diakses dari http://www.dewankotasurabay a.org.tanggal 8 Maret 2010 pukul 11.00 WIB. Ba Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya. (2003). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya 2003-2013. Surabaya: Bappeko Surabaya. Denny, hardi (2007). Pemberian Tenda Bagi PKL Alun-Alun Sidoarjo. Diakses dari http://dennyhardi.multiply.com tanggal 8 Maret 2010 pukul 11.00 WIB. Firdausy, Carunia Mulya. (1995). Model Kebijakan Pengembangan Sektor Informal Pedagang Kaki Lima. Pengembangan Sektor Informal Pedagang Kaki Lima di Perkotaan. Jakarta: Dewan Riset Nasional Bappenas bekerjasama dengan Puslitbang Ekonomi Pembangunan LIPI. (Perda) No 17 tahun 2003 tentang Penataan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL). 45