Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Dalam Perkawinan Poligami Di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

ANALISIS TERHADAP ISTBAT NIKAH OLEH ISTRI YANG DI POLIGAMI SECARA SIRRI (Studi Putusan Mahkamah Syar iah Nomor: 206/Pdt.G/2013/MS.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA SUAMI - ISTRI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. batasan usia dewasa. Berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia. harus memenuhi syarat maupun rukun perkawinan, bahwa perkawinan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA DALAM AKTA PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT OLEH NOTARIS BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. wanita telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan, itu berarti mereka

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan dasar pertimbangan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga

BAB I PENDAHULUAN. dilindungi oleh Negara. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010

KEKUATAN HUKUM DARI SEBUAH AKTA DI BAWAH TANGAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu wadah yang disebut masyarakat, dan untuk memenuhi kebutuhan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaanya kedua belah pihak mengacu kepada sebuah perjanjian layaknya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang

STATUS HUKUM ISTERI DARI PERKAWINAN SIRI YANG DICERAIKAN MELALUI SHORT MESSAGE SERVICE (SMS) DITINJAU DARI HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA.

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan keturunan, mempertahankan rasnya, sehingga. perkawinan, karena dengan perkawinan manusia dapat melahirkan

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. hukum tentang tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu

Transkripsi:

338 LEX Renaissance No. 2 VOL. 4 JULI 2019: 338-353 Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Dalam Perkawinan Poligami Di Indonesia Aldilla Gemiyu Pawitasari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jln. Cik Di Tiro No. 1, Yogyakarta, 55223 aldilla.gemiyu@gmail.com Abstract This research is reviewed from Law No. 1 of 1974 on Marriage (Marriage Law) and Presidential Decree No. 1 of 1991 on Compilation of Islamic Law. Positive Law and Islamic Law only recognize open monogamous marriages, but it does not rule out the possibility for a husband to have a polygamy marriage with the conditions as stated in Article 4 paragraph (2) of the Marriage Law by submitting an application to the Religious Court. The problem formulation is first, how is the application of shared assets in polygamy marriages in Indonesia? Second, how is the legal protection of assets in the polygamy marriage agreement? This research is a normative-juridical study with the aim of finding the coherent truth. The distribution of shared assets in a polygamy marriage is based on an agreement between husband and wife. The first wife is entitled to assets obtained from the marriage between the husband and the second wife, but the second wife is not entitled to the assets of the first husband and wife. To guarantee legal protection for the shared assets, a prenuptial agreement between husband and wives can be concluded so that the problems do not arise in the future. With the prenuptial agreement, positive law and Islamic law protect the rights of the wife, especially regarding the assets obtained during the marriage. Keywords: Marriage; polygamy; shared assets Abstrak Penelitian ini ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Dekrit Presiden No, 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Hukum positif maupun hukum Islam hanya mengenal perkawinan monogami terbuka, namun tidak menutup kemungkinan juga untuk seorang suami melakukan perkawinan poligami dengan syarat sebagaimana tersebut dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama. Masalah yang diambil adalah pertama, bagaimana penerapan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami di Indonesia? Kedua, bagaimana perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian perkawinan poligami? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tujuan untuk menemukan kebenaran koheren. Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dilakukan berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri. Istri pertama berhak atas harta yang diperoleh dari perkawinan antara suami dan istri kedua, namun istri kedua tidak berhak atas harta dari suami dan istri pertama. Untuk menjamin perlindungan hukum terhadap harta bersama tersebut maka dapat dilakukan dengan perjanjian pra-nikah antara suami dan istri-istri agar tidak timbul masalah dikemudian hari. Dengan adanya perjanjian perkawinan, hukum positif maupun hukum Islam melindungi hak-hak istri terutama tentang harta kekayaan yang di dapat selama perkawinan. Kata-kata Kunci: Harta bersama; perkawinan; poligami

Aldilla Gemiyu P. Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen...339 Pendahuluan Perkawinan atau pernikahan adalah salah satu sarana untuk menjauhkan manusia dari perbuatan dosa. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Dalam perkawinan terhadap asas yang sangat penting dan menarik untuk dikaji, yakni asas monogami, dimana laki-laki hanya boleh mempunyai satu istri. Perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita dikenal sebagai perkawinan monogami, tetapi terdapat pula bentuk perkawinan yang dikenal dengan perkawinan poligami. Di Indonesia terdapat tiga peraturan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI). 2 Hal yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan Poligami diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa sebelum melakukan perkawinan, kedua belah pihak dapat membuat suatu perjanjian yang bersifat tertulis yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan selama tidak melanggar batas hukum dan kesusilaan. Dalam Kompilasi Hukum 1. 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Pasal 2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 1.

340 LEX Renaissance No. 2 VOL. 4 JULI 2019: 338-353 Islam bentuk perjanjian perkawinan ditambahkan dengan perjanjian taklik talak selama perjanjian yang lain tidak bertentangan dengan hukum Islam. 3 Tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan baik bagi kedua belah pihak suami istri maupun pihak lain yang terkait dengan harta benda perkawinan dan apa akibat hukum yang ditimbulkan oleh perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung, yaitu seperti harta perkawinan yang telah tercampur, hutang piutang yang telah ada ketika perkawinan berlangsung sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan tersebut dan hal-hal lainnya yang menimbulkan akibat hukum yang perlu dikaji dan diteliti lebih lanjut dengan adanya perjanjian perkawinan ini sebagaimana adanya akibat-akibat hukum dari perkawinan. Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, penulis ingin meneliti tentang putusan Pengadilan Agama sebagai objeknya. Putusan dengan Nomor Perkara 0501/Pdt.G/2016/PA.YK ini terkait dengan sorang suami yang ingin melakukan perkawinan poligami dengan menyertai penetapan harta bersama. Dalam putusannya hakim mengabulkan seorang suami untuk melakukan perkawinan poligami dan menetapkan harta bersama. Oleh karena itu, penulis tertarik mengangkat judul Perjanjian Perkawinan sebagai Instrumen Perlindungan Hukum dalam Perkawinan Poligami di Indonesia. Rumusan Masalah Adapun rumusan permasalahan yang dipaparkan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: Pertama, bagaimana penerapan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami di Indonesia? Kedua, bagaimana perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian perkawinan poligami? Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, untuk mengetahui penerapan pembagian harta bersama 3 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm. 35.

Aldilla Gemiyu P. Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen...341 dalam perkawinan poligami di Indonesia. Kedua, untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian perkawinan poligami Metode Penelitian Metode penelitian hukum merupakan bagian yang penting dalam penelitian hukum. Sehubungan dengan itu maka penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut : 1) Obyek dan Subyek Penelitian Obyek penelitian adalah sesuatu yang dapat memberikan data atau sebuah informasi terhadap penelitian yang dilakukan adalah perjanjian perkawinan. Dalam penelitian ini, penulismelakukan penelitian terhadap Putusan dengannomor Perkara 0501/Pdt.G/2016/PA.YK Subjek Hukum dalam penelitian berkenaan dengan pihak-pihak yanng akan memberikan data atau informasi berkaitan dengan penelitian yang dilakukan terkait perjanjian perkawinan dan harta bersama dalam perkawinan poligami di Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis mengambil subyek hukum terhadap Hakim Pengadilan Agama Kota Yogyakarta. 2) Data Penelitian atau Bahan Hukum Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan sifat penelitian deskriptif, yakni penelitian yang bertujuan untuk menata dan mengklasifikasi gejala-gejala yang akan digambarkan oleh peneliti dengan sebanyak mungkin diusahakan mencapai kesempurnaan atas dasar bangunan permasalahan penelitian. 4 berikut: Tahap-tahap penelitian yang dilakukan oleh penulis diantaranya, sebagai a. Penelitian Kepustakaan Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan sifat penelitian deskriptif, yakni penelitian yang bertujuan untuk menata dan mengklasifikasi gejala-gejala yang akan digambarkan oleh penulis dengan 4 Maria SW Sumardjono, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 6.

342 LEX Renaissance No. 2 VOL. 4 JULI 2019: 338-353 sebanyak mungkin diusahakan mencapai kesempurnaan atas dasar bangunan permasalahan penelitian. Tahap-tahap penelitian yang dilakukan oleh penulis diantaranya, sebagai berikut : Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan deskriptif kualitatif, yang merupakan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (literature research) yaitu data penelitian ynag diperoleh dari data sekunder. Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan, mencari, mempelajari, dan menganalisis data tertulis yang terdapat dalam buku, makalah, peraturan perundang-undangan, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan obyek penelitian untuk mendapatkan data sekunder. Sumber data penelitian ini antara lain: 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. 5 Bahan hukum primer terdiri dari: a) Dalil-dalil ayat Al-Quran maupun Hadist; b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; c) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; e) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam; f) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti buku-buku dan diktat-diktat literatur tentang perdata atau perkawinan, hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan. 6 5 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 82. 6 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 55.

Aldilla Gemiyu P. Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen...343 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 7 Data Tersier di peroleh melalui dengan cara membaca, melihat dan mengambil istilahistilah yang berhubungan dengan permasalalahan yang akan diteliti yaitu pada kamus hukum, kamus Bahasa, dan kamus-kamus lain yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. b. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung dengan mendasarkan pada fakta-fakta yang terjadi pada lokasi penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan berkaitan dengan masalah yang diteliti. 8 Data yang diperoleh dari penelitian lapangan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari beberapa hasil wawancara atau informasi langsung dari responden dan narasumber tentang suatu pokok persoalan yang dibutuhkan oleh responden atau pengamatan kejadian secara langsung (observasi), sedangkan data sekunder diperoleh berupa data statistik atau data-data lain yang sudah terdokumentasi. 3) Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: a) Studi pustaka, yaitu dengan mengkaji jurnal, hasil penelitian hukum, dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian; b) Studi dokumen, yaitu dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan perundang-undangan; c) Wawancara adalah teknik pengambilan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung ataupun tidak langsung sepada responden berdasarkan pedoman 7 Jhony Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ke-iii, Banyumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 392. 8 Rony Hanintijo, Op.Cit., hlm.92.

344 LEX Renaissance No. 2 VOL. 4 JULI 2019: 338-353 yang telah disusun terlebih dahulu secara terstruktur. 9 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta dan Notaris di Kota Yogyakarta. 4) Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, penetapan pengadilan, buku-buku, karya ilmiah, artikel, majalah/jurnal hukum, dan sumber lainnya yang terkait. 5) Analisis penelitian Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan dalam penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu metode analisis bahan hukum dengan cara mengelompokkan bahan hukum yang diperoleh dari penelitian yang kemudian dihubungkan dengan teori-teori dari studi kepustakaan sehingga dapat diperoleh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penerapan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami di Indonesia Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan diharuskan adanya pencatatan perkawinan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan agar mereka yang melangsungkan 9 M. Iqbal Asan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, cet. I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2002, hlm. 85.

Aldilla Gemiyu P. Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen...345 perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan mereka yang melakukan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam pencatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana di maksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. 10 Pencatatan perkawinan ini juga diatur secara tegas dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan, yang menyatakan bahwa: 11 a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk b. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana di maksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan c. Dengan tidak mengurangi ketentuanketentuan khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana di tentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini. Tujuan dari dilakukannya pencatatan perkawinan ini digunakan sebagai adanya suatu pengakuan sahnya perkawinan yang dilakukan oleh negara. Lembaga yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan ini adalah Kantor Urusan Agama (KUA) bagi warga negara yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil untuk warga negara selain beragama Islam. Lembaga pencatatan perkawinan ini memiliki 4 fungsi yaitu : 12 a. Untuk mewujudkan adanya kepastian hukum; b. Untuk membentuk ketertiban hukum; c. Sebagai pembuktian; d. Untuk memperlancar aktivitas Pemerintah dibidang kependudukan. 10 Abdul Kadir Muhammad, Loc. Cit., hlm.134. 11 Ibid 12 Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 13.

346 LEX Renaissance No. 2 VOL. 4 JULI 2019: 338-353 Dalam hukum Islam maupun hukum positif sama-sama mengenal adanya perkawinan poligami. Al-Qur an surah al-nisa (4) ayat 3 memberikan kebebasan kepada laki-laki (suami) untuk menikah lebih dari seorang apabila telah terpenuhi syarat-syarat keadilan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia juga mengatur tentang syarat-syarat seseorang diperbolehkan untuk melakukan perkawinan lebih dari seorang wanita atau biasa disebut poligami sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2). Dalam pasal ini disebutkan bahwa apabila seorang suami akan melakukan perkawinan lebih dari seorang istri maka wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan didaerah tempat tinggalnya dengan didasarkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Alasan-alasan tersebut yaitu : 13 a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Ketentuan harta bersama dalam juga diatur dalam UU Perkawinan yang menegaskan bahwa jika seorang suami berpoligami, suami harus memenuhi syarat sebagai berikut : 14 a. Suami wajib menberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya; b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi; c. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinan masing-masing. Berdasarkan pada Pasal 65 ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa pembagian harta bersama dari akibat adanya perkawinan poligami menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 adalah kedudukan isteri kedua, ketiga dan keempat dalam perkawinan poligami tidak memiliki hak atas harta bersama dari perkawinan suami dan isteri pertama, isteri ketiga dan keempat tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami dengan isteri pertama dan kedua, 13 UU Perkawinan, Pasal 4 ayat (2). 14 UU Perkawinan, Pasal 65 ayat (1).

Aldilla Gemiyu P. Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen...347 sedangkan isteri keempat tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami dengan isteri pertama, kedua dan ketiga. 15 Harta bersama dalam perkawinan poligami akan menjadi persoalan yang cukup rumit, karena juga akan menimbulkan kerugian pada istri terdahulu, maka pada zaman sekarang diperlukan adanya pembukuan yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan sempurna apabila terjadi sengketa dikemudian hari. 16 Harta bersama dalam perkawinan poligami telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 94 ayat (1) dan (2). Dalam Pasal tersebut telah dijelaskan bahwa harta bersama dalam perkawinan poligami harus terpisah dan berdiri sendiri. Hal ini memiliki tujuan untuk menghindari terjadinya percampuran harta bersama yang dapat berakibat sengketa jika terjadi peristiwa meninggalnya suami atau istri dan/atau perceraian. Pasal 94 ayat (2) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengatur mengenai pembagian harta bersama, Pasal ini menyebutkan: pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat Pasal 94 ayat (2) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dapat dipecah unsurunsurnya sebagai berikut : a. Pemilikan harta bersama; b. Dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang (perkawinan poligami); c. Harta bersama dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Dapat disimpulkan kepemilikan harta bersama dengan istriistrinya dalam perkawinan poligami akan berakhir semenjak akad perkawinan kedua, ketiga atau keempat. 15 Wawancara dengan Ibu Dr. Dra. Ulil Uswah, M.H selaku Hakim Pengadilan Agama Kota Yogyakarta pada hari Selasa, 17 September 2019 pukul 11.00 WIB. 16 Wawancara dengan Ibu Dyah Maryulina Budi Mumpuni S.H selaku Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kota Yogyakarta pada tanggal 9 September 2019 pada pukul 11.00 WIB.

348 LEX Renaissance No. 2 VOL. 4 JULI 2019: 338-353 Penerapan Harta bersama dalam perkawinan poligami terdapat dalam putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pada dasarnya pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dalam hal ini suami yang mengajukan permohonan ke Pengadilan tidak disinggung secara jelas. Dalam mengajukan permohonan izin poligami kepada Pengadilan, suami mencantumkan harta apa saja yang telah diperoleh dengan isteri terdahulu atau istri pertama sebagai dasar bagi hakim untuk menetapkan harta apa saja yang diperoleh dalam masa perkawinan sebelum terjadinya poligami. 17 Penerapan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami sebagaimana tercantum dalam putusan adalah merupakan syarat materiil, artinya penerapan tersebut dikembalikan kepada para pihak itu sendiri pembagiannya. 18 Perlindungan terhadap Harta dalam Perjanjian Perkawinan Poligami di Indonesia Perkawinan poligami sebagai perbuatan hukum akan membawa akibat hukum tertentu diantaranya adalah mengenai harta kekayaan perkawinan. Apabila dikemudian hari perkawinan berakhir baik oleh karena perceraian, kematian atau karena putusan pengadilan. Akibat dari suatu perkawinan memiliki akibat yang luas antara lain adalah terkait sosial dan hukum. Hukum Islam memberikan kebebasan kepada suami dan isteri untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan para pihak dan perjanjian itu mengikat secara hukum. Pembagian harta bersama ini dalam Islam disebut syirkah. Perjanjian perkawinan mulai lazim dilakukan oleh kalangan tertentu khususnya bagi yang bergerak dibidang wiraswasta. Misalnya, ketika seorang putri pemilik suatu perusahaan menjalin asmara dengan salah seorang staf yang dipercaya untuk mengelola perusahaan tersebut. 19 Bentuk perjanjian perkawinan telah diatur dalam Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dengan 17 Wawancara dengan Ibu Dr. Dra. Ulil Uswah, M.H selaku Hakim Pengadilan Agama Kota Yogyakarta pada hari Selasa, 17 September 2019 pukul 11.00 WIB. 18 Wawancara dengan Ibu Dr. Dra. Ulil Uswah, M.H selaku Hakim Pengadilan Agama Kota Yogyakarta pada hari Selasa, 17 September 2019 pukul 11.00 WIB. 19 MartimanProdjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Legal Centre Publishing, Jakarta, hlm. 30.

Aldilla Gemiyu P. Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen...349 tegas menentukan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman pembatalan. Syarat ini dimaksudkan agar: 20 a. Perjanjian perkawinan tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam hal ini adalah Notaris sehingga akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam hal ini pembuktian digunakan apabila terjadi suatu sengketa antara para pihak dikemudian hari. b. Memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak dan kewajiban antara suami dan isteri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan mempunyai akibat yang cukup luas. Untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan seseorang yang benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua syarat dengan teliti. Hal ini berkaitan dengan ketentuan bahwa bentuk harta perkawinan harus tetap sepanjang perkawinan tersebut. Suatu kekeliruan dalam merumuskan syarat dalam perjanjian perkawinan tidak dapat diperbaiki atau dirubah lagi sepanjang perkawinan. Dalam hal perjanjian perkawinan, para pihak bebas menentukan bentuk hukum perjanjian perkawinan yang akan mereka buat. 21 Mereka dapat menentukan bahwa dalam perkawinan mereka tidak ada persatuan harta atau ada persatuan harta yang terbatas yaitu persatuan untung rugi (gemeenschap van wins en verlies) Pasal 155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan persatuan hasil dan keuntungan (gemeenschap van vruchten en incomsten) Pasal 164 KUH Perdata. Perjanjian perkawinan ini tujuannya adalah untuk melakukan perlindungan hukum terhadap harta suami atau istri. Tujuan lain dari perlindungan hukum ini adalah dalam perkawinan dengan harta persatuan secara bulat, tujuannya agar isteri terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan tindakan-tindakan suami yang tidak baik dan dapat merugikan isteri yang telah dinikahi telebih dahulu. 22 Setelah perjanjian perkawinan dibuat oleh para pihak dihadapan Notaris, maka selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan pendaftaran kepada pegawai pencatat nikah. Karena suatu perjanjian perkawinan dapat dikatakan sah 20 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm.153. 21 Wawancara dengan Ibu Dyah Maryulina Budi Mumpuni S.H selaku Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kota Yogyakarta pada tanggal 9 September 2019 pada pukul 11.00 WIB. 22 Wawancara dengan Ibu Dyah Maryulina Budi Mumpuni S.H selaku Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kota Yogyakarta pada tanggal 9 September 2019 pada pukul 11.00 WIB.

350 LEX Renaissance No. 2 VOL. 4 JULI 2019: 338-353 apabila dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam hal ini adalah Notaris dan didaftarkan kepada pegawai pencatat perkawinan. Kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam hal ini adalah Notaris dan disahkan dengan didaftarkan ke Pegawai Pencatat Nikah sepanjang perjanjian tersebut tidak melanggar hukum, kesusilaan dan ketertiban umum. Bentuk dari suatu akta perjanjian adalah bebas, artinya dapat dibuat dengan akta otentik maupun dengan perjanjian di bawah tangan. Namun sesuai dengan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris. Tata cara pencatatan perjanjian perkawinan bagi pasangan yang beragama Islam pencatatannya dilakukan berdasarkan Surat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor: B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 (Surat Kementerian Agama 2017). Surat Kementerian Agama 2017 mengatur bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama perkawinan berlangsung yang disahkan dengan akta notaris dapat dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dicatatkan pada kolom catatan pada akta nikah dan di kolom catatan status perkainwan dalam kutipan akta nikah. Tata cara pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan untuk pasangan Islam adalah sebagai berikut: 23 I. Pasangan suami dan/atau istri menyerahkan persyaratan sebagai berikut: 1. Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau saat perkawinan dilangsungkan, dengan syarat: a. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) b. Foto copy Kartu Keluarga (KK) c. Foto copy salinan akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir. 2. Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan, dengan syarat: 24 a. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) b. Foto copy Kartu Keluarga (KK) c. Foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir d. Buku nikah suami dan isteri. 23 Surat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor: B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 (Surat Kementerian Agama 2017). 24 Ibid.

Aldilla Gemiyu P. Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen...351 II. Kepala KUA kecamatan selaku PPN, membuat catatan pada kolom bawah akta nikah dan kolom catatan status perkawinan pada buku nikah, dengan menulis kalimat Perjanjian Perkawinan dengan akta notaris nomor. telah dicatat dalam akta nikah pada tanggal, atau membuat surat keterangan bagi perkawinan yang dicatat di luar negeri dan perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia III. Catatan pada dokumen perjanjian perkawinan dilakukan pada bagian belakang halaman terakhir, dengan kalimat perjanjian perkawinan ini telah dicatatkan pada akte nikah nomor atas nama dengan tanggal kemudian ditandatangani oleh PPN IV. Buku nikah suami istri yang telah dibuatkan catatan perjanjian perkawinan atau surat keterangan, diserahkan masing-masing suami dan istri. 25 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami kecuali hukum agama yang dianut menentukan lain. Suami yang beragama Islam yang menghendaki beristri lebih dari seorang wajib untuk mengajukan izin poligami kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar iyah dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 26 Agar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah tidak bertentangan dengan asas monogami yang dianut oleh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dalam memeriksa dan memutus perkara permohonan izin poligami harus bersifat kontensius, pihak isteri didudukkan sebagai Termohon. Perlindungan hukum tidak hanya diberikan dalam hukum positif saja, melainkan juga diberikan dalam Hukum Islam. Perlindungan dalam hal ini adalah berkaitan dengan keadilan yang diberikan. Keadilan menurut Islam terkait perlindungan hukum terhadap harta bersama dalam perkawinan poligami harus diberikan pada istri-istrinya segala sesuatu yang menjadi haknya, tanpa melebihi atau mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula menyelewengkan hak istri-istri yang lain. 25 Ibid. 26 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2014, hlm. 135.

352 LEX Renaissance No. 2 VOL. 4 JULI 2019: 338-353 Penerapan pembagian harta bersama seperti yang dimaksud dalam putusan digunakan untuk melindungi hak-hak dari istri pertama dan untuk melindungi harta bersama dalam perkawinan karena perlindungan dari harta tersebut menyangkut sampai dengan harta waris atau hak-hak waris jika nantinya suami meninggal dunia. 27 Penutup Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa, harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang atau perkawinan poligami masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Kepemilikan harta bersama dalam perkawinan poligami dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan dengan isteri yang kedua, ketiga, atau yang keempat. Istri pertama dari suami yang berpoligami memiliki hak atas harta yang dimilikinya bersama dengan suaminya. Istri kedua dan seterusnya berhak atas harta bersamanya bersama dengan suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung. Keseluruhan istri memiliki hak yang sama atas harta bersama tersebut. Namun, istri-istri yang kedua dan seterusnya tidak berhak terhadap harta bersama istri yang pertama. Dalam perkawinan poligami, harta yang diperoleh tersebut dapat dilakukan perlindungan hukum dengan membuat perjanjian perkawinan antara isteri atau isteri-isteri dengan suami. Hal ini ditujukan agar melindungi hak-hak isteri yang dipoligami agar meminimalisir terjadinya sengketa dikemudian hari. Perjanjian perkawinan tersebut dapat dibuat dengan akta otentik dihadapan Notaris karena akta tersebut merupakan alat bukti yang sempurna. Perkawinan poligami bukanlah suatu perbuatan yang dilarang baik dari sisi agama maupun hukum positif di Indonesi. Dalam hal ini tidak berarti seseorang dapat melakukan perkawinan poligami dengan mudah tanpa menghiraukan aspek-aspek penting seperti perlindungan hukum bagi hak anak-anak. Pembagian harta perkawinan poligami tidak semudah dalam perkawinan monogami. Namun demikian, pada dasarnya pembagian harta bersama dalam 27 Wawancara dengan Ibu Dr. Dra. Ulil Uswah, M.H selaku Hakim Pengadilan Agama Kota Yogyakarta pada hari Selasa, 17 September 2019 pukul 11.00 WIB.

Aldilla Gemiyu P. Perjanjian Perkawinan Sebagai Instrumen...353 perkawinan poligami adalah sama dengan pembagian harta bersama di perkawinan monogami, yaitu masing-masing pasangan mendapatkan bagian seperdua. Hanya saja, pembagian harta bersama di perkawinan poligami juga harus memperhatikan bagaimana nasib anak-anak hasil perkawinan poligami ini serta mengangkut juga sampai ke harta waris apabila nantinya suami yang berpoligami meninggal dunia. Maka dengan demikian diharapkan pembagian harta perkawinan poligami sebaiknya dilangsungkan secara kekeluargan dengan memenuhi unsur keadilan bagi para pihak. Daftar Pustaka Buku Asan, M. Iqbal, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, cetakan ke-i, Ghalia Indonesia, Bogor, 2002. Ibrahim, Jhony, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ke-iii, Banyumedia Publishing, Malang, 2007. Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakanke-i, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, 2011. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Sumardjono, Maria S.W., Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 2014. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2011. Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.