BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendapatan terbesar yang diperoleh negara adalah berasal dari pajak. Setiap warga negara yang telah memenuhi syarat subjek pajak memiliki kewajiban untuk membayar pajak kepada negara. Dalam UUD 1945 pasal 23A dikatakan bahwa pajak bersifat mengikat untuk setiap warga negara. Penerimaan pajak yang diperoleh negara dari warga negara akan digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan seluruh rakyat, oleh sebab itu pajak menganut prinsip keadilan, sesuai dengan teori keadilan yang diungkapkan oleh Adam Smith. Warga negara yang memiliki penghasilan lebih besar akan menanggung beban yang lebih besar dibandingkan dengan warga negara yang memiliki penghasilan lebih kecil. Dengan sistem self assessment wajib pajak diberikan kenyamanan untuk memiliki pilihan dalam menjalankan hak dan kewajiban pajaknya, yaitu dengan menghitung sendiri, membayar dan melaporkan pajaknya (Mardiasmo,2016) Kenyamanan yang diperoleh oleh warga negara atas sistem perpajakan self assessment tidak terlepas dari beberapa kelemahan sistem tersebut. Kebebasan wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan seringkali terdapat kesalahan baik disengaja maupun tidak tidak disengaja akibat kurangnya pengetahuan perpajakan yang dimiliki oleh wajib pajak. Padahal perpajakan merupakan hal yang mutlak yang harus dipenuhi oleh wajib pajak, maka apabila 1
2 terdapat wajib pajak yang tidak memenuhinya akan terkena sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pajak adalah kewajiban yang bersifat memaksa sesuai dengan definisi pajak seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 1 Undang- Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diperbaharui dengan Undang- Undang KUP No.16 Tahun 2009 dalam Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2012 yang berbunyi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah secara terus menerus melakukan perbaikan dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak. Hal yang sama juga dilakukan oleh perusahaan yaitu melakukan perbaikan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Persaingan dalam dunia bisnis dan ekonomi yang semakin ketat dengan banyaknya bermunculan pesaing-pesaing baru dalam suatu industri telah mengubah suatu perusahaan untuk berusaha lebih keras agar dapat meningkatkan nilai perusahaan. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak yang optimis pada tahun 2016 di tengah situasi perekonomian yang belum kondusif, dalam tekanan harga komoditas dan lemahnya permintaan global. Hal ini memukul kinerja PPh Badan dan PPN, padahal keduanya merupakan tulang punggung penerimaan pajak (kontribusi keduanya kurang lebih 75% dari total penerimaan pajak). Selain itu persoalan fundamental di sektor pajak juga masih belum sepenuhnya diatasi,
3 seperti rendahnya kepatuhan, tingginya shadow economy, hingga kebocoran pajak yang dikarenakan oleh aktivitas penghindaran pajak (tax avoidance). ( Darussalam, 2016). Wajib Pajak badan sebagian besar adalah perusahaan manufaktur, tentu pajak dipandang sebagai beban karena mengurangi laba yang akan diperoleh perusahaan. Hal inilah yang membuat perusahaan berusaha untuk meminimalkan kewajiban pembayaran pajak. Misalkan perusahaan Intikeramik Alamasri Industri Tbk (IKAI) dan perusahaan SLJ Global Tbk (SULI). Dari tahun 2001-2014 perusahaan IKAI dan SULI melaporkan rugi selama 10 tahun. Walaupun dalam keadaan merugi, perusahaan IKAI dan SULI tetap beroperasi. Perusahaan IKAI dan SULI memanfaatkan peraturan pajak mengenai kompensasi kerugian. Berdasarkan peraturan pajak, perusahaan yang mengalami kerugian akan dibebaskan dalam pengenaan pajak dan kerugian tersebut dapat dikompensasikan selama lima tahun ke depan (Astuti, 2016) Tax planning dapat memanfaatkan deductible expenses yang diperkenankan oleh peraturan perpajakan untuk mengecilkan jumlah penghasilan kena pajak yang secara otomatis akan menurunkan kewajiban pajak terutang. Usaha-usaha untuk mengurangi pajak dengan memanfaatkan deductible expenses didasari oleh konsep pendapatan dan biaya dari akuntansi dan perpajakan, diantaranya adalah biaya penyusutan Dalam pemahaman akuntansi dan perpajakan, pajak didapatkan dari tarif yang kemudian dikalikan dengan laba (penghasilan kena pajak) yang diperoleh dari penghasilan yang dikurangi dengan beban-beban. Untuk dapat mengecilkan pajak, tentunya perlu memasukkan beban-
4 beban sebanyak-banyaknya agar pendapatan kena pajak berkurang, yang akan berdampak pada berkurangnya kewajiban pembayaran pajak.(hidayat, 2015). Penghindaran pajak dilakukan oleh manajer dalam rangka efisiensi untuk kesejahteraan pemegang saham (Hanlon& Heitzman, 2010 ). Untuk itu, manajer akan menggunakan kemampuannya dalam mengelola laba fiskal dan akuntansi dengan memanfaatkan perbedaan dua kebijakan, yaitu di bidang perpajakan dan standar akuntansi (Khomsatun & Martani, 2015). Hanlon dan Heitzman (2010) sendiri mendefinisikan penghindaran pajak secara luas sebagai pengurangan pajak secara eksplisit. OECD (The Organization for Economic Cooperation and Development) mendeskripsikan bahwa tax avoidance adalah usaha wajib pajak mengurangi pajak terutang, meskipun upaya ini bisa jadi tidak melanggar hukum ( the letter of law), namun sebenarnya bertentangan dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan perpajakan (the spirit of the law). Untuk mengukur tax avoidance dalam penelitian ini menggunakan pengukuran Effective Tax Rates (ETR) sesuai penelitian Gupta and Newberry (1997). ETR didefinisikan sebagai rasio dari pajak yang dibayarkan berdasarkan total pendapatan sebelum pajak penghasilan akuntansi, sehingga dapat diketahui seberapa besar persentase perubahan membayar pajak sebenarnya terhadap laba komersial yang diperoleh perusahaan (Xing & Shujun,2007). ETR digunakan untuk mengukur pajak yang dibayarkan sebagai proporsi dari pendapatan ekonomi (Ardyansyah & Zulaikha, 2014).
5 Salah satu pengukuran ETR yang dipilih oleh penulis adalah GAAP ETR. Menurut Lanis dan Richardson (2013) menyatakan bahwa GAAP ETR merupakan proksi yang paling banyak digunakan pada literatur penelitian terdahulu. Semakin rendah nilai GAAP ETR yang dimiliki perusahaan maka semakin tinggi tingkat agresivitas pajak. Menurut Prastowo (2013), Indonesia sendiri sudah memiliki SAAR, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 169/PMK.03/2015 yang mengatur penentuan besarnya perbandingan antara Utang dan Modal perusahaan untuk keperluan perhitungan Pajak Penghasilan (Debt to Equity) wajib pajak mengurangi beban pajak dengan cara memperbesar pinjaman, bukan justru menambah modal, agar dapat membebankan biaya bunga dan mengecilkan laba. Tujuan dari SAAR (Specific Anti Avoidance Rule) adalah untuk mencegah suatu skema penghindaran pajak dalam bentuk thin capitalization. Besarnya perbandingan antara utang dan modal ditetapkan paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1). Ketentuan ini berlaku mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2016. Ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal di Indonesia sebelumnya telah diatur per tanggal 8 Oktober 1984 dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan antara Utang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Adapun penetapan besarnya perbandingan antara utang dan modal sendiri (debt equity ratio) ditetapkan setinggi-tingginya tiga dibanding satu (3 : 1). Namun, hanya berselang lima bulan yaitu pada tanggal 8 Maret 1985 dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia 254/KMK.01/1985 yang berisi
6 mengenai penangguhan pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1002/KMK.04/1984 dengan alasan bahwa dengan penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal sendiri untuk keperluan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat dan berlaku umum dikuatirkan akan menghambat perkembangan dunia usaha. Di sisi lain pembatasan struktur modal berlaku untuk perusahaan yang masuk dalam indeks saham syariah Indonesia (ISSI) telah lebih dulu ditetapkan sesuai dengan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-208/BL/2012 tentang kriteria dan penerbitan daftar efek syariah. Perusahaan ISSI merupakan perusahaan yang dapat menerbitkan efek syariah dibatasi oleh kepemilikan utang berbasis bunga yang tidak boleh lebih 45% dari total aset. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan yang tergabung di ISSI hanya mempunyai sedikit insentif pajak yang berasal dari tingkat leverage (Khomsatun & Martani,2015), sehingga hal ini akan mempengaruhi jumlah beban penghasilan pajak perusahaanperusahaan yang masuk dalam Indeks Saham Syariah Indonesia ( ISSI). Berdasarkan data sampel yang digunakan oleh peneliti, yaitu 64 perusahaan manufaktur yang terdaftar dalam Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) periode 2013-2015, diperoleh fenomena bahwa masih terdapat indikasi tindakan tax avoidance, hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa perusahaan yang mengalami penurunan effective tax rate, grafik dapat dilihat pada lampiran 1 (Grafik GAAP ETR Perusahaan Manufaktur ISSI Periode Tahun 2013-2015) Berdasarkan lampiran 1, pada tahun 2014 terdapat 37 perusahaan (dari sampel 64 perusahaan) yang mengalami penurunan ETR (Effective Tax Rate) dari
7 tahun sebelumnya, dan pada tahun 2015 terdapat 27 perusahaan yang mengalami penurunan ETR (Effective Tax Rate) dari tahun sebelumnya, dan pada tahun 2015 terdapat ETR perusahaan yang terendah yaitu 0,00. Pada saat ETR menurun maka tax avoidance diindikasikan mengalami kenaikan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Xing dan Shujun (2007), bahwa ETR memiliki hubungan yang terbalik dengan tax avoidance. Keberadaan para pemegang saham dan manajemen sangat berperan dalam kelangsungan hidup perusahaan karena keduanya dapat menentukan keuntungan yang harus diperoleh perusahaan, keduanya pun harus mampu membaca dan melihat situasi yang terjadi sehingga dapat melakukan pengelolaan yang baik di semua bidang agar dapat bersaing dengan perusahaan lain. Walaupun dalam prakteknya selalu ada conflict of interest antara pemegang saham dan manajemen, namun selama kepentingan keduanya bisa disejajarkan dan keduanya memiliki tujuan sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan yang sama maka konflik antara pemegang saham dan manajemen bisa diminimalisir. Perusahaan membutuhkan modal dan faktor lainnya untuk membangun dan menjamin kelangsungan perusahaannya. Dalam menentukan struktur modal perusahaan harus menyesuaikan dengan kebutuhan modalnya, kondisi penjualan perusahaan, kondisi industri pesaing dan kondisi perekonomian yang sedang terjadi di negara. Modal terdiri atas ekuitas (modal sendiri) dan hutang (debt), perbandingan hutang dan modal sendiri dalam struktur finansial perusahaan disebut struktur modal (Husnan, 2002). Dalam kegiatan usahanya pemilik perusahaan
8 melimpahkan tanggung jawab kepada pihak lain yaitu manajer. Salah satu keputusan penting yang dihadapi manajer (keuangan) dalam kaitannya dengan kelangsungan operasi perusahaan adalah keputusan pendanaan atau keputusan struktur modal, yaitu keputusan yang berkaitan dengan komposisi utang, saham preferen dan saham biasa yang harus digunakan oleh perusahaan. Subramanyam dan John (2010) mendefinisikan struktur modal merupakan pendanaan ekuitas dan utang pada suatu perusahaan yang sering dihitung berdasarkan besaran relatif berbagai sumber pendanaan.(p.263). Menurut trade-off teory yang diungkapkan oleh Myers (2001), perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress). Mengacu terhadap aturan yang berlaku untuk perusahaan ISSI tentang keterbatasan kepemilikan utang yang tidak boleh lebih dari 45% dari total aset dan berdasarkan teori yang disampaikan oleh Riyanto (2008;296), maka struktur modal dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan rasio DAR (Debt to Asset Ratio). Hanlon dan Heitzman (2010) mengatakan bahwa terdapat efek subtitusi antara leverage dan manfaat pajak non utang (non debt), yaitu dari depresiasi, investasi atau operasi lainnya. Ketika perusahaan tidak dapat memaksimalkan manfaat pajak dari utang, maka dapat memanfaatkan dari cara lain non utang seperti asset mix. Dalam penelitian kali ini, penulis mencoba meneliti intensitas persediaan dan intensitas asset tetap sebagai unsur lain dari manfaat pajak yang berasal dari non debt.
9 Tingginya intensitas persediaan dalam perusahaan akan menimbulkan tambahan beban bagi perusahaan. PSAK 14 no. 13 menyatakan adanya beberapa pemborosan yang ditimbulkan akibat tingginya tingkat persediaan, biaya-biaya tersebut meliputi biaya bahan, biaya tenaga kerja, biaya produksi, biaya penyimpanan, biaya administrasi dan umum, dan biaya penjualan. Biaya-biaya tersebut nantinya akan mengurangi tingkat laba bersih perusahaan dan mengurangi beban pajak. (Adisamartha,2015). Sedangkan menurut Barsky dan Catanach (2005), pada saat intensitas persediaan tinggi berarti perusahaan memiliki persediaan terlalu banyak, beresiko persediaan akan usang, slow moving, dan akan mengakibatkan permintaan barang tersebut turun (inferior goods).(p.78) Intensitas asset tetap ( capital intensity ratio) adalah jumlah modal perusahaan yang diinvestasikan pada aktiva tetap perusahaan yang biasanya diukur dengan menggunakan rasio aktiva tetap dibagi dengan penjualan (Gupta & Newberry, 1997). Lalu menurut Sartono (2001:120) intensitas asset tetap adalah rasio antara aset tetap, seperti peralatan pabrik, mesin dan berbagai properti terhadap penjualan. Stickney dan Mc Gee (1982) dalam penelitiannya menemukan bahwa perusahaan dengan ETR yang rendah cenderung memiliki leverage yang tinggi dan memiliki investasi dalam bentuk aset tetap dengan jumlah yang banyak. Penelitian berikutnya dilakukan setelah reformasi pajak yaitu oleh Gupta dan Newberry (1997), selain meneliti capital structure juga meneliti capital investment dengan meneliti asset mix yang diproksikan inventory intensity, capital intensity dan research and development intensity (RDINT) mereka menemukan
10 bahwa asset mix berpengaruh terhadap penghindaran pajak, walaupun RDINT tidak terbukti dan hanya terbukti setelah reformasi pajak di pengukuran cash ETR. Rodriguez dan Arias (2012) menyebutkan bahwa aset tetap perusahaan memungkinkan perusahaan untuk mengurangi pajaknya akibat dari penyusutan yang muncul dari aset tetap setiap tahunnya. Namun, untuk tujuan tertentu perusahaan dapat membuat kebijakan akuntansi dengan memperlambat waktu penyusutan aset tetap dibandingkan penyusutan menurut pajaknya sehingga laba akuntansi perusahaan menjadi lebih besar dari laba fiskalnya sehingga menimbulkan pajak tangguhan pada periode mendatang. Noor dan Sabli (2012) menjelaskan bahwa perusahaan yang mempunyai aset tetap yang tinggi cenderung melakukan perencanaan pajak. Kemudian Adhismarta (2015) menyebutkan bahwa tingginya jumlah aset yang ada di perusahaan akan meningkatkan agresitivitas pajak perusahaan, karena intensitas kepemilikan aset tetap dapat mempengaruhi beban pajak perusahaan karena adanya beban depresiasi yang melekat pada aset tetap. Hubungan antara keempat variabel yaitu struktur modal, intensitas persediaan intensitas asset tetap terhadap tax avoidance, diperoleh fenomena yang digambarkan pada lampiran tabel 1.1. Berdasarkan lampiran tabel 1.1 diperoleh fenomena bahwa selama periode 2013-2015 terdapat 27 perusahaan yang pada saat struktur modal, intensitas persediaan dan intensitas aset tetap menurun namun ETR ikut menurun atau diindikasikan terdapat tax avoidance, sesuai teori seharusnya pada saat tingkat utang perusahaan, investasi persediaan dan aset tetap menurun maka tingkat tax
11 avoidance berkurang (ETR naik), begitu juga sebaliknya tax avoidance diindikasikan terjadi pada saat tingkat utang dan investasi persediaan serta aset tetap meningkat. Gupta dan Newberry (1997) yang meneliti pengaruh struktur modal dan keputusan investasi setelah reformasi pajak menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi dengan proporsi aset tetap yang tinggi cenderung memiliki ETR yang rendah atau diindikasikan terjadi tax avoidance. Penelitian Harrington dan Smith (2012) menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan penghindaran pajak rata-rata memiliki tingkat leverage yang lebih tinggi untuk melakukan pembiayaan terhadap perusahaannya. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang fokus pada tax avoidance menggunakan lebih banyak hutang dalam struktur modalnya. Lina (2016) dalam penelitiannya terhadap koperasi syariah menyatakan bahwa semakin tinggi nilai leverage maka tindakan penghindaran pajak akan semakin tinggi. Utang yang mengakibatkan munculnya beban bunga dapat menjadi pengurang laba kena pajak. Penelitian Khomsatun dan Martani (2015) menyatakan bahwa perusahaan dengan pembatasan utang seperti perusahaan ISSI terbukti menurunkan hubungan positif antara thin capitalization dan penghindaran pajak. penyebabnya karena sedikit celah pengelolaan optimalisasi kepemilikan utang terkait dengan pengelolaan pajak. Penelitian dengan hasil yang berbeda diperoleh Adisamartha (2015) yang menyatakan bahwa leverage dan intensitas aset tetap tidak berpengaruh terhadap tindakan penghindaran pajak. Ardyansyah (2014) yang melakukan penelitian
12 sebelumnya menyatakan bahwa tingkat hutang dan investasi aset (persediaan dan aset tetap) tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak..berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh struktur modal perusahaan ISSI dengan ketentuan pembatasan utang maksimal 45% terhadap penghindaran pajak dan untuk mengetahui apakah ada pergeseran tindakan penghindaran pajak perusahaan ISSI dari variabel struktur modal (debt) ke variabel non debt, dalam hal ini pengelolaan investasi persediaan dan aktiva tetap. Selain pembatasan utang berbasis bunga, perusahaan ISSI juga dibatasi beberapa kriteria kegiatan bisnis syariah, sehingga pergeseran tersebut belum tentu terjadi karena perusahaan ISSI ingin mempertahankan reputasinya (Khomsatun dan Martani, 2015). Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut : terdapat perbedaan pengukuran variabel dependen, yaitu tax avoidance. Pada penelitian sebelumnya proksi tax avoidance menggunakan alat ukur BTD (Book Tax Different) dan perbandingan antara Net Profit Margin (NPM) dalam perusahaan dengan Net Profit Margin (NPM) dari industri perusahaan tersebut, sedangkan pada penelitian ini tax avoidance diproksikan dengan GAAP ETR ( Effective Tax Rate). Pada sisi lain, penelitian ini, menggunakan variabel struktur modal, intensitas persediaan dan intensitas aset tetap yang merupakan variabel yang masih jarang digunakan, karena umumnya yang digunakan sebagai variabel independen adalah likuidasi, ukuran perusahaan, koneksitas politik, dan profitabilitas.
13 Perusahaan ISSI manufaktur dipilih sebagai sampel penelitian dikarenakan untuk periode tahun 2013-2015 pada perusahaan manufaktur ISSI terdapat fenomena penurunan Effevtive Tax Rate (ETR), yang menunjukkan terdapat indikasi tax avoidance dalam perusahaan manufaktur tersebut. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hal tersebut dengan judul : PENGARUH STRUKTUR MODAL, INTENSITAS PERSEDIAAN DAN INTENSITAS ASET TETAP TERHADAP TAX AVOIDANCE PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI INDEKS SAHAM SYARIAH INDONESIA (ISSI) PERIODE 2013-2015. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, masalah dalam penelitian adalah terdapat indikasi tax avoidance pada perusahaan manufaktur ISSI selama periode 2013-2015, maka dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah struktur modal berpengaruh terhadap tax avoidance. 2. Apakah intensitas persediaan berpengaruh terhadap tax avoidance. 3. Apakah intensitas aset tetap berpengaruh terhadap tax avoidance 4. Apakah struktur modal bersama-sama dengan intensitas persediaan dan intensitas aset tetap berpengaruh terhadap tax avoidance.
14 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran sekaligus masukan tentang pengaruh struktur modal, intensitas persediaan dan intensitas aset tetap terhadap tax avoidance. Disamping itu juga sebagai syarat untuk menyelesaikan program studi S2 Magister Akuntansi Universitas Widyatama. Sedangkan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan : 1. Adanya pengaruh struktur modal terhadap tax avoidance 2. Adanya pengaruh Intensitas Persediaan terhadap tax avoidance 3. Adanya pengaruh intensitas aset tetap terhadap tax avoidance 4. Adanya pengaruh struktur modal, intensitas persediaan dan intensitas aset tetap secara bersama-sama terhadap tax avoidance 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah tax avoidance dengan memberikan masukan kepada Dirjen Pajak dan regulator terkait atas fenomena variabel struktur modal, intensitas persediaan dan intensitas aset tetap terhadap penghindaran pajak agar ke depannya ada suatu peraturan yang lebih komprehensif mengenai penghindaran pajak di Indonesia. 1.4.2 Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan akademisi, yaitu :
15 1. Universitas, penulis mengharapkan tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan dokumentasi yang dapat melengkapi sarana yang dibutuhkan dalam penyediaan bahan studi, khususnya mata kuliah akuntansi keuangan dan perpajakan. 2. Penulis sendiri, dengan adanya tulisan ini dapat menambah wawasan, pengembangan ilmu, pengetahuan dan daya nalar sebagai bagian dari proses belajar mengajar, sehingga dapat mengaplikasikan teori dan literature yang diperoleh selama kuliah dengan kondisi yang sebenarnya. 3. Peneliti lain, hasil tulisan ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi yang berkepentingan untuk melakukan penelitian dengan topik yang terkait penelitian ini.