PENERAPAN PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009 TERKAIT BBM BERSUBSIDI

dokumen-dokumen yang mirip
patokan subsidi (Mean of Pajak BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Biro

Simulasi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2014

KEBIJAKAN DAN ALOKASI ANGGARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK TAHUN 2013

Ketidakwajaran perhitungan Pemerintah dan DPR (dugaan markup), terkait rencana kenaikan harga BBM 2012

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2002 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2001 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PMK.02/2006 TENTANG

BEBAN SUBSIDI BBM DALAM APBN TAHUN 2013

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012

2 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Ne

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

Uka Wikarya. Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat,

Catatan Atas Harga BBM: Simulasi Kenaikan Harga, Sensitivitas APBN dan Tanggapan terhadap 3 Opsi Pemerintah

ANALISIS MASALAH BBM

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2002 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2002 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

2015, No Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhi

SALIN AN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 03/ PMK.02/ 2009 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2001 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2001 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2002 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2001 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

24/11/2014. ICW - Catatan Kritis terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2002 TANGGAL 16 JANUARI 2002 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2002 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II EKSPLORASI ISU BIS IS

Mengapa Harga BBM Harus Naik?

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK

MUNGKINKAH ADA HARGA BBM BERAZAS KEADILAN DI INDONESIA?

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAHAN BAKAR. Minyak. Harga Jual Eceran.

PENELAAHAN BESARAN SUBSIDI BIODIESEL. Agus Nurhudoyo

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2005 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU

KEBIJAKAN PENGATURAN BBM BERSUBSIDI

Konsep KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI BBM

Subsidi BBM pada APBN. Komposisi Subsidi pada APBN 55% 50% 44% 44% 43% 35% 33% 33% APBN APBN LKPP LKPP LKPP APBN. Perkembangan Subsidi BBM ( )

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mencari formula subsidi BBM yang adil dan fleksibel

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENGELOLA SUBSIDI ENERGI, MENJAGA KESEIMBANGAN ANGGARAN IR. SATYA WIDYA YUDHA, M.SC WAKIL SEKJEN DPP PARTAI GOLKAR BID. ESDA

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lemb

JIKA SUBSIDI BBM DIPATOK RP PER LITER

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK

KERUSAKAN LINGKUNGAN YANG DIAKIBATKAN OLEH SUMBER TRANSPORTASI Iskandar Abubakar

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari fosil hewan dan tumbuhan yang telah terkubur selama jutaan tahun.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG HARGA JUAL ECERAN DAN KONSUMEN PENGGUNA JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan program Konversi minyak tanah ke LPG yang ditetapkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. tingginya tingkat inflasi, naiknya harga barang-barang, melemahnya nilai tukar

EVALUASI INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT (IKM) TERHADAP PEMBELIAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) JENIS PERTALITE DI KOTA DEPOK THERESIA DAMAYANTI

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL... i. HALAMAN PERSETUJUAN... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. PERNYATAAN PRIBADI... iv. ABSTRAK... v. ABSTRACT...

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG HARGA JUAL ECERAN DAN KONSUMEN PENGGUNA JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU

Bukan berarti rencana tersebut berhenti. Niat pemerintah membatasi pembelian atau menaikkan harga BBM subsidi tidak pernah berhenti.

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia. Semakin berkembangnya teknologi kendaraan bermotor saat ini

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. kepadatan tersebut diimbangi dengan tingginya penggunaan kendaraan bermotor yang

1 of 6 18/12/ :12

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

ANGKUTAN KOTA DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI DKI JAKARTA 26 MEI 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ini semakin menarik untuk dicermati, karena terjadi fluktuasi harga BBM

WAJIBKAN INDUSTRI MEMRODUKSI MOBIL BER-BBG: Sebuah Alternatif Solusi Membengkaknya Subsidi BBM. Oleh: Nirwan Ristiyanto*)

Copyright BPH Migas 2014, All Rights Reserved

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Analisis Dampak Pelaksanaan Program Low Cost Green Car Terhadap Pendapatan Negara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan alat-alat transportasi pun semakin meningkat. Alat transportasi,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kebijakan pemerintah siap menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada

SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK: SEJARAH, PERMASALAHAN DAN USULAN SOLUSI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS" 2)

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi.

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang sarana transportasi.sektor transportasi merupakan salah satu sektor

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG

2015 ANALISIS TATA LETAK DI STASIUN PENGISIAN BAHAN BAKAR UNTUK UMUM PERTAMINA CABANG

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN

Transkripsi:

PENERAPAN PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009 TERKAIT BBM BERSUBSIDI 1. Permasalahan Penerapan aturan PBBKB yang baru merupakan kebijakan yang diperkirakan berdampak terhadap APBN dan APBD. Untuk APBN, adanya diskriminasi tarif diharapkan dapat mengurangi subsidi BBM. Sementara itu, adanya penetapan tarif maksimal yang memungkinkan daerah provinsi dapat menerapkan tarif PBBKB berbeda dengan daerah lainnya akan berdampak terhadap penerimaan APBD masing-masing daerah. Namun demikian, penerapan aturan baru ini diperkirakan masih menghadapi berbagai kendala khususnya karena penetapan harga BBM saat ini masih ditetapkan secara seragam oleh Pemerintah dan belum mencerminkan harga keekonomian. Sebagian jenis BBM yang menjadi objek PBBKB, yaitu jenis premium dan solar masih bersubsidi sehingga peningkatan tarif PBBKB yang tidak diikuti oleh kenaikan jual per liter BBM, di satu pihak memang dapat meningkatkan penerimaan PAD, tetapi di lain pihak justru berdampak terhadap peningkatan subsidi BBM. Peningkatan tarif PBBKB yang diharapkan dapat mengurangi subsidi BBM berpotensi menyebabkan kenaikan harga BBM sehingga perlu dilakukan secara hati-hati mengingat potensi dampak sosial yang akan ditimbulkannya cukup besar. Kendala lain dari penerapan aturan PBBKB yang baru adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menghemat penggunaan BBM. Adanya diskriminasi tarif antar daerah maupun antar jenis kendaraan yang mungkin menyebabkan kenaikan harga jual BBM, tidak menjamin turunnya konsumsi BBM. Akibatnya besaran subsidi pada APBN tidak berkurang secara signifikan. Rendahnya dampak perubahan tarif PBBKB terhadap konsumsi BBM tersebut ditengarai dengan masih terbatasnya penyediaan sarana transportasi umum yang aman dan nyaman, yang menyebabkan penggunaan kendaraan pribadi, baik yang menggunakan premium maupun solar terus mengalami peningkatan, sehingga volume konsumsi BBM sulit untuk dikurangi. 2. Tujuan Adapun tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk menghitung dampak diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 dalam pengenaan PBBKB terhadap besaran subsidi BBM serta terhadap peningkatan taxing power daerah. Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan khususnya dalam proses penetapan besaran subsidi BBM dalam APBN. 3. Formula Perhitungan Subsidi BBM Penentuan besarnya subsidi yang dibayarkan Pemerintah kepada Pertamina dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : 1

Subsidi BBM = [ Patokan-( jual eceran BBM - Pajak)] x volume Keterangan : jual eceran BBM merupakan harga jual eceran per liter BBM dalam negeri. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). patokan BBM adalah harga yang dihitung berdasarkan MOPS ditambah biaya distribusi dan margin. patokan BBM = MOPS + α α adalah biaya distribusi + margin Mean Of Platts Singapore (MOPS) adalah harga transaksi jual beli pada bursa minyak di Singapura. Adapun perkembangan subsidi BBM dapat dilihat dalam grafik di bawah ini. Grafik: Perkembangan Subsidi BBM, 2004-2010 triliun Rp 160.0 139.1 120.0 80.0 69. 0 95. 6 64. 2 83. 8 45.0. 82.3. 40. 0 0. 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: APBN dan Indikator Ekonomi Realisasi subsidi BBM pada tahun 2005 mencapai Rp95,6 triliun atau meningkat sebesar 38,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut terjadi sebagai dampak meningkatnya harga minyak ICP pada tahun 2005 yang mencapai rata-rata US$53,4/barel dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai rata-rata US$$37,6/barel. Sebagai konsukuensinya, Pemerintah pada tahun 2005 telah mengambil opsi untuk menaikan harga BBM pada bulan Maret dan Oktober. Kenaikan harga BBM tersebut berdampak pada penurunan besaran subsidi BBM dimana pada tahun 2006 subsidi BBM mencapai Rp64,2 triliun. Dalam rangka menghemat subsidi BBM, pada tahun 2007 Pemerintah menjalankan program konversi/pengalihan penggunaan minyak tanah ke LPG 3 kg. Kebijakan tersebut masih berlanjut hingga sekarang. Dengan adanya kenaikan ICP yang cukup signifikan pada tahun 2008, Pemerintah melakukan langkah-langkah penghematan melalui berberapa kebijakan, yaitu: 2

penurunan alpha BBM (biaya distribusi dan margin) dari 14,1 persen menjadi 9 persen, melakukan penyesuaian harga jual BBM pada bulan Mei 2008, serta meningkatkan konversi minyak tanah ke LPG. Secara garis besar, kenaikan subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh harga minyak ICP dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. 5. Pengenaan PBBKB PBBKB adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor, yaitu semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Pemungutan PBBKB diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 yang telah direvisi menjadi UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000, besarnya PBBKB yang dikenakan pada setiap liter bahan bakar yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah sebesar 5 persen dari nilai jual sebelum pajaknya. Ini berarti dari setiap liter BBM yang dibeli oleh masyarakat, pemerintah daerah mendapatkan 5 persen penerimaan PBBKB. Sementara itu, besaran tarif PBBKB berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 paling tinggi sebesar 10 persen. Pengaturan lebih lanjut dilakukan terhadap kendaraan umum dengan tarif paling sedikit 50 persen lebih rendah dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi. Dengan demikian, dalam UU PDRD yang baru, pengenaan PBBKB dapat dilakukan secara diskriminatif baik antar daerah maupun antar jenis (peruntukan) kendaraan. Peluang pemberlakuan diskriminasi tarif tersebut sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan daya saing daerah, karena harga jual per liter BBM dapat berbeda antar daerah. Selain itu, diskriminasi harga tersebut juga secara tidak langsung juga ditujukan agar masyarakan dapat mengurangi konsumsi BBM sedemikian rupa sehingga besaran subsidi dalam APBN dapat dikurangi. Realisasi penerimaan PBBKB cenderung meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun waktu tahun 2002-2006 realisasi penerimaan PBBKB daerah meningkat rata-rata 23-28 persen setiap tahunnya. Pada tahun 2002, total PBBKB yang diterima oleh daerah adalah sebesar Rp1,5 triliun dan kemudian meningkat menjadi Rp1,9 triliun pada tahun 2003, atau mengalami peningkatan sebesar 26 persen. Penerimaan PBBKB mengalami peningkatan berturut-turut pada tahun 2004 dan 2005 masing-masing sebesar 23 persen dan 28 persen. Bahkan pada tahun 2006, realisasi penerimaan PBBKB mengalami peningkatan sebesar 80 persen dari tahun sebelumnya yang terjadi karena adanya kenaikan harga BBM di dalam negeri karena pengaruh kenaikan harga minyak dunia. Adapun penerima PBBKB tertinggi di Indonesia masih didominasi oleh provinsi-provinsi di pulau Jawa, yaitu Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten. Daerah-daerah di luar pulau Jawa yang memiliki realisasi penerimaan PBBKB yang cukup tinggi adalah daerah-daerah yang stabil secara keamanan, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta merupakan daerah penghasil migas yaitu Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Bali dengan proporsi penerimaan PBBKB secara nasional berkisar antara 2-5% setiap tahunnya. Khusus untuk provinsi Bali, tingginya penerimaan PPBKB lebih disebabkan karena daerah tersebut merupakan daerah 3

tujuan wisata internasional. Perkembangan penerimaan PBBKB dari tahun 2002 hingga 2006 dapat dilihat pada lampiran 1. 6. Hasil Simulasi Perhitungan PBBKB 6.1. Simulasi tanpa dan dengan kenaikan harga jual per liter BBM Simulasi perhitungan PBBKB akan dilakukan dengan 2 skenario, yaitu simulasi tanpa dan dengan kenaikan harga jual per liter BBM, masing-masing dengan kombinasi penggunaan tarif PBBKB sebesar 10 persen (dinaikkan), 5 persen (tetap), atau 0 persen (diturunkan). Untuk penyederhanaan, simulasi hanya dilakukan terhadap BBM jenis premium, dan hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Simulasi Perubahan Tarif PBBKB Jenis BBM Asumsi Patoka n (Rp/ltr ) Jual Sekaran g PBBKB Jual Baru Sebelum Pajak Pajak (%) PPN PBBKB 10 5 0 10 Penghematan Subsidi Subsidi 4500 3913 391 196 - - 1694 - Premium 5607 4500 included excluded 4500 4091 409-0 - 1516 178 4500 3750 375 - - 375 1857-163 4705 4091 409 205 - - 1516 178 4500 4091 409-0 - 1516 178 4909 4091 409 - - 409 1516 178 Sumber: Depkeu Pada simulasi skenario pertama, yaitu tanpa kenaikan harga jual per liter BBM, tarif PBBKB dimasukkan dalam perhitungan harga sebelum pajak (PPBKB included). Dalam hal ini, harga jual per liter BBM premium sebesar Rp.4500 sudah termasuk PPN sebesar 10 persen dan PBBKB sebesar 5 persen. Perhitungan tersebut adalah perhitungan yang saat ini diterapkan dalam penjualan BBM premium. Dengan menggunakan perhitungan tersebut, diperoleh harga BBM per liter sebelum pajak sebesar Rp3913 dengan nilai subsidi sebesar Rp1114 per liter. Dengan metode perhitungan yang sama, tarif PBBKB dapat diubah menjadi sebesar 0 persen ataupun 10 persen dan menghasilkan nilai subsidi masing-masing sebesar Rp936 per liter dan Rp1277 per liter. Dengan demikian, penurunan tarif PBBKB menjadi sebesar 0 persen dapat menghemat pengeluaran subsidi sebesar Rp178 per liter sedangkan peningkatan tarif PBBKB menjadi sebesar 10 persen justru akan menambah besaran subsidi Rp163 per liter. Skenario penurunan tarif PBBKB hingga 0 persen atau peningkatan hingga 10 persen hanya merupakan penyederhanaan. Dengan cara yang sama, simulasi dapat dilakukan dengan merubah-rubah tarif PBBKB antara 0 sampai dengan 10 persen, sesuai dengan batas maksimal tarif PBBKB yang ditetapkan dalam Pasal 19 Ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009. 4

Skenario kedua dilakukan dengan tarif PBBKB dikeluarkan dari perhitungan harga per liter premium sebelum pajak (PBBKB excluded). Jika tarif PBBKB tidak dimasukkan dalam perhitungan harga sebelum pajak (PBBKB excluded), terdapat perbedaan yang cukup signifikan khususnya dalam perhitungan besaran subsidi. Dengan harga jual per liter premium sebesar Rp4500, diperoleh harga BBM sebelum pajak yang lebih tinggi yaitu sebesar Rp4091 per liter dan nilai PPN yang juga lebih tinggi yaitu sebesar Rp409 per liter. Jika dilihat lebih jauh, terjadi penurunan besaran subsidi per liter BBM sebesar Rp178 per liter. Skenario kedua tersebut dapat menjawab tujuan penurunan subsidi BBM sekaligus membuka peluang peningkatan PAD. Namun demikian, dampak dari penerapan metode ini adalah adanya kemungkinan kenaikan harga jual per liter BBM bila Pemda akan meningkatkan penerimaan PAD-nya dari PBBKB. Pada metode kedua ini, seberapapun besarnya tarif PBBKB yang ditetapkan oleh Pemda, besaran subsidi per liter BBM adalah tetap, yaitu sebesar Rp936 per liter. Dengan demikian, total subsidi BBM nasional sangat tergantung pada jumlah total volume konsumsi BBM saja. 6.2. Simulasi dengan diskriminasi tarif berdasarkan jenis kendaraan Pada tahap selanjutnya akan dilakukan simulasi dengan pengenaan tarif diskriminatif berdasarkan jenis kendaraan. Sesuai Pasal 19 Ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009, tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50 persen (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan pribadi. Oleh karena itu dalam simulasi berikut ini terlebih dahulu akan dilakukan pemetaan perbandingan jumlah kendaraan dan total volume konsumsi BBM bersubsidi yaitu premium dan solar pada kondisi tahun 2006. Tabel 2 Jenis Kendaraan dan Konsumsi BBM Tahun 2006 K eterangan J enis Kendaraan (unit) Konsumsi BBM/jenis (Ribu KL) Mobil Bus Truk Motor Total Premium S olar Total J umlah 6,615,104 1,511,129 3,541,800 33,413,222 45,081,255 16,810.3 10,671.9 27,482.2 S hare Per J enis Kend.(% ) 14.67 3.35 7.86 74.12 61.17 38.83 S umber: Depkeu, C E IC Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa jumlah kendaraan bermotor jenis roda dua (motor) memiliki jumlah terbanyak bila dibandingkan dengan jenis kendaraan yang lain yaitu hampir 75 persen dari keseluruhan jumlah kendaraan. Sedangkan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk tahun 2006 mencapai 27.482 ribu kl dengan konsumsi terbanyak untuk BBM jenis premium sebesar 16.810 ribu kl atau mencapai 62 persen dari total konsumsi. Lebih lanjut, untuk mengetahui besarnya nilai subsidi yang dapat dihemat bila dilakukan diskriminasi tarif berdarsarkan jenis kendaraan digunakan beberapa asumsi sederhana sebagai berikut: 5

Tabel 3 Asumsi-Asumsi Jenis Kendaraan dan Konsumsi BBM As ums i-as ums i: 1. P erbandingan Mobil P ribadi : Umum = 2. P erbandingan Mobil P ribadi dg P remium : S olar = 3. Mobil Umum semuanya menggunakan premium 4. Bus dan T ruk semuanya menggunakan S olar & dikelompokkan sebagai kendaraan umum 5. Motor semuanya menggunakan P remium & dikelompokkan sebagai kendaraan pribadi 6. P erbandingan K onsumsi P remium untuk Mobil : Motor = 7. P erbandingan J umlah Mobil : Motor = 8. P erbandingan K onsumsi P remium untuk Mobil : Motor dikalikan P erbandingan J umlah Mobil : Motor ((6) * (7)) sehingga P erbandingan T otal K onsumsi P remium Mobil : Motor = 0.9 0.1 0.8 0.2 0.8 0.2 0.17 0.83 0.13 0.17 0.44 0.56 Asumsi-asumsi tersebut diatas disusun berdasarkan informasi dari beberapa pengguna kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, diperoleh gambaran kebutuhan konsumsi BBM per jenis kendaraan (baik pribadi maupun umum), sebagai berikut: Tabel 4 Kelompok Kendaraan Berdasarkan Jenis dan Konsumsi BBM K eterang an P ribadi Umum Mobil Motor Mobil Bus T ruk T otal J umlah unit 5,953,593.60 33,413,222.00 661,510 1,511,129 3,541,800 45,081,255.00 K onsumsi BBM: - P remium (R ibu kl ) 6,686.19 9,381.20 742.91 16,810.30 - S olar (R ibu kl ) 2,035.23 2,582.88 6,053.79 10,671.90 Jumlah kendaraan terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kendaraan pribadi dan umum. Kendaraan pribadi terdiri atas mobil pribadi dan motor, sedangkan kendaraan umum terdiri atas mobil umum (angkutan kota/mikrolet), bis, dan truk. Hasil perhitungan berdasarkan asumsiasumsi di atas menunjukkan bahwa konsumsi premium untuk motor adalah sebesar 9.381 ribu kilo liter (kl) atau sebesar 56 persen dari total konsumsi premium. Sedangkan konsumsi premium untuk mobil pribadi sebesar 6.686 ribu kl. Jadi total konsumsi premium untuk kendaraan pribadi sebesar 16.067 ribu kl. Sementara itu, untuk kendaraan umum yang mengkonsumsi premium (hanya angkutan kota/mikrolet) yaitu sebesar 743 ribu kl. Kendaraan yang mengkonsumsi solar terdiri atas mobil pribadi, bus, dan truk dengan volume konsumsi masing-masing sebesar 2.035 ribu kl, 2.528 ribu kl, dan 6.053 ribu kl. Besarnya volume konsumsi ini akan digunakan sebagai bahan perhitungan penghematan subsidi. Dalam tahap selanjutnya, dilakukan simulasi pada kendaraan yang menggunakan premium sebagai sampel. Berdasarkan simulasi tanpa kenaikan harga BBM (tarif PBBKB included), perhitungan penghematan subsidi adalah sebagai berikut: 6

Jenis BBM * Asumsi tarif PBBKB sebesar 50% dari kendaraan pribadi Tabel 5 Simulasi Perubahan Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dengan Pembedaan Jenis Kendaraan Bermotor Patokan Jual Sekarang Premium 5027 4500 Jenis Kendaraan Pribadi Umum* (PBBKB included) Pajak (%) Penghematan Total Subsidi Sebelum Pajak PPN PBBKB Subsidi Penghematan 10 5 0 10 Subsidi (Rp T) 3913 391 196 - - 1114 - - 4091 409-0 - 936 178 2.86 3750 375 - - 375 1277-163 -2.62 4000 400 100 - - 1027 87 0.06 4091 409-0 - 936 178 0.13 3913 391 - - 391 1114 0 0 Berdasarkan hasil simulasi di atas, jenis kendaraan pribadi diperkirakan akan memberikan penghematan subsidi terbesar yaitu Rp2,86 triliun pada pengenaan tarif PPN 10 persen dan PBBKB 0 persen. Sebaliknya jika tarif PBBKB diubah menjadi 10 persen maka jenis kendaraan pribadi justru akan memberikan tambahan beban pada subsidi sebesar Rp2,62 triliun. Penghematan subsidi juga terjadi pada jenis kendaraan umum walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Dengan pengenaan tarif PBBKB sebesar 2,5 persen, subsidi yang dapat dihemat adalah sebesar Rp0,06 triliun. (Catatan: 2,5 persen = 50 persen dari 5 persen tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi). Jika tarif PBBKB diperkecil menjadi 0 persen, subsidi yang dapat dihemat menjadi lebih besar yaitu Rp0,13 triliun. Sebaliknya jika tarif PBBKB diperbesar menjadi 5 persen, tidak ada subsidi yang dapat dihemat (Catatan: 5 persen = 50 persen dari 10 persen tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi). Jadi dengan penggunaan tarif PBBKB included, besarnya subsidi yang dapat dihemat secara optimal adalah pada pengenaan tarif PBBKB 0 persen untuk kendaraan pribadi dan umum sehingga jumlah total subsidi yang dapat dihemat adalah sebesar Rp2,99 triliun. Selain itu tarif PPN juga mengalami peningkatan menjadi Rp409 per liter premium yang digunakan. Pengenaan tarif PBBKB sebesar 0 persen ini hanya berdampak positif bagi penurunan subsidi tetapi tidak berdampak secara langsung terhadap peningkatan PAD yang terlihat dalam simulasi berikut ini. Tabel 6 Simulasi Perubahan Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dengan Pembedaan Jenis Kendaraan Bermotor (PBBKB excluded) Jenis BBM Patokan Jual Jenis Sekarang Kendaraan Pribadi Premium 5027 4500 Umum* * Asumsi tarif PBBKB sebesar 50% dari kendaraan pribadi Jual Baru Sebelum Pajak PPN Pajak (%) PBBKB 10 5 0 10 Subsidi Penghematan Subsidi 4705 4091 409 205 - - 936 178 2.86 4500 4091 409-0 - 936 178 2.86 4909 4091 409 - - 409 936 178 2.86 4602 4091 409 102 - - 936 178 0.13 4500 4091 409-0 - 936 178 0.13 4705 4091 409 - - 205 936 178 0.13 Total Penghematan Subsidi (Rp T) Dengan menggunakan tarif PBBKB excluded, besarnya subsidi yang dapat dihemat adalah sama di setiap besaran tarif PBBKB yang diterapkan untuk masing-masing jenis 7

kendaraan karena harga jual BBM per liter sebelum pajak adalah sama yaitu sebesar Rp4091 per liter. Jika kebijakan ini diterapkan, Pemerintah Pusat akan lebih mudah mengontrol besarnya subsidi yang akan disalurkan. Sementara itu Pemerintah Daerah (Pemda) akan mengatur besarnya tarif PBBKB sesuai target penerimaan PBBKB sebagai salah satu sumber penerimaan PAD, namun tetap mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya karena besaran tarif PBBKB akan mempengaruhi harga jual per liter premium. Besarnya tarif PBBKB yang diterapkan akan langsung berdampak pada harga jual premium. Jika Pemda mentargetkan penerimaan PAD dari PBBKB meningkat, maka tarif PBBKB dapat ditetapkan secara maksimal sebesar 10 persen. Namun hal ini akan membuat harga jual per liter premium meningkat menjadi Rp4909 per liter. Kenaikan harga ini tentunya akan berdampak bagi masyarakat luas. Selain itu, bila daerah lain tidak menetapkan tarif PBBKB secara maksimal akan terjadi perbedaan harga jual premium antar daerah. Kondisi tersebut di satu pihak akan meningkatkan suasana kompetisi antar daerah dimana daya saing daerah akan meningkat sejalan dengan harga jual per liter premium yang lebih rendah, namun hal ini berpotensi cukup signifikan bagi terjadinya black market dalam perdagangan BBM di daerah berupa penimbunan stok BBM oleh kelompok masyarakat tertentu. Di lain pihak, kondisi ini juga berpotensi menimbulkan kelangkaan BBM khususnya di daerah-daerah yang menerapkan taif PBBKB yang rendah. 7. Kesimpulan dan Rekomendasi 7.1. Kesimpulan a. Simulasi tanpa melakukan perubahan harga jual per liter BBM (PBBKB included) menghasilkan penghematan pengeluaran subsidi bila dilakukan tarif PBBKB diturunkan, sedangkan bila tarif PBBKB ditingkatkan justru akan menambah pengeluaranan subsidi. b. Dengan tidak dilakukannya perubahan harga jual per liter BBM maka penerapan aturan baru dalam pengenaan PBBKB cenderung tidak efektif mengingat Pemda tidak dapat menetapkan tarif PBBKB tanpa persetujuan dari Pemerintah Pusat. c. Simulasi dengan melakukan perubahan harga jual per liter BBM (PBBKB excluded), akan menghasilkan: (1) nilai PPN yang lebih tinggi; (2) harga BBM sebelum pajak yang lebih tinggi sehingga terjadi penurunan besaran subsidi, dan (3) besaran subsidi BBM per liter yang tetap sehingga besaran total subsidi BBM dapat dikontrol melalui pengaturan/pembatasan volume konsumsi BBM, sedangkan peningkatan penerimaan PBBKB tergantung pada besar kecilnya tarif PBBKB yang ditetapkan oleh masingmasing Pemda. Dampak dari penerapan metode ini adalah kenaikan harga jual per liter BBM. d. Simulasi dengan melakukan diskriminasi tarif PBBKB terhadap jenis kendaraan umum dan pribadi menghasilkan perubahan pada komposisi subsidi sehingga berpengaruh 8

terhadap besaran subsidi BBM secara total, namun besar kecilnya perubahan subsidi BBM sangat tergantung pada kombinasi tarif PBBKB yang ditetapkan. e. Diskriminasi tarif antar daerah maupun antar jenis kendaraan yang mungkin menyebabkan kenaikan harga jual BBM, tidak menjamin turunnya konsumsi BBM. Akibatnya besaran subsidi pada APBN tidak berkurang secara signifikan. Sulitnya masyarakat untuk mengurangi konsumsi BBM disebabkan karena masih terbatasnya pilihan sarana transportasi umum yang aman dan nyaman, yang menyebabkan penggunaan kendaraan pribadi terus mengalami peningkatan. f. Diskriminasi tarif PBBKB akan menyebabkan perbedaan harga jual BBM antar daerah. Kondisi tersebut di satu pihak akan meningkatkan suasana kompetisi antar daerah dimana daya saing daerah akan meningkat sejalan dengan harga jual per liter premium yang lebih rendah, namun hal ini berpotensi cukup signifikan bagi terjadinya black market dalam perdagangan BBM di daerah berupa penimbunan stok BBM oleh kelompok masyarakat tertentu. Di lain pihak, kondisi ini juga berpotensi menimbulkan kelangkaan BBM khususnya di daerah-daerah yang menerapkan tarif PBBKB yang rendah. Hal ini sangatberpotensi terjadi di daerah-daerah perbatasan yang menerapkan tarif PBBKB yang berbeda. 7.2. Rekomendasi a. Peningkatan tarif PBBKB yang diharapkan dapat mengurangi subsidi BBM sekaligus meningkatkan penerimaan PAD dapat tercapai apabila pengenaan PBBKB dilakukan secara on top terhadap harga jual per liter BBM yang ditetapkan pemerintah. Namun, pilihan kebijakan tersebut akan menyebabkan kenaikan harga BBM sehingga perlu dilakukan secara hati-hati mengingat potensi kenaikan inflasi serta dampak sosial yang akan ditimbulkannya cukup besar. b. Perlu disiapkan sistem, mekanisme dan sarana & prasarana yang memadai dalam pelaksanaan penjualan BBM serta pendataan terhadap jenis kendaraan umum dan pribadi sebelum dilaksanakannya pemberlakuan kebijakan diskriminasi tarif agar kebijakan tersebut dapat dioptimalkan dalam mengurangi subsidi BBM. c. Perlu adanya sistem pengawasan terpadu serta penegakan disiplin yang konsisten dalam alur distribusi BBM dari produsen hingga konsumen akhir dalam menghadapi kemungkinan terjadinya black market atau kelangkaan BBM di daerah-daerah tertentu. d. Perlu dilakukan sosialisasi sebelum diberlakukannya penetapan tarif PBBKB yang baru, baik yang bersifat seragam maupun apabila dilaksanakan diskriminasi tarif guna mengantisipasi terjadinya gejolak pada masyarakat. Selain itu pemberlakuan aturan baru dalam penerapan PBBKB perlu dilaksanakan pada situasi dan kondisi yang tepat. Sosialisasi perlu pula dilakukan sampai pada tingkat pengecer BBM (SPBU) agar pelaksanaan diskriminasi tarif dapat dilakukan secara optimal. 9

e. Untuk mengurangi konsumsi BBM yang tidak terkendali, perlu dilakukan perbaikan infrastruktur transportasi yang memadai sekaligus penyediaan alternatif moda transportasi massal yang aman, nyaman, dan terjangkau oleh masyarakat. 10