KETERAMPILAN NARASI SISWA TULI PADA TINGKAT MIKRO

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

ANALISIS PENANDA KOHESI DAN KOHERENSI PADA KARANGAN. NARASI SISWA KELAS VIII MTs AL-HIDAYAH GENEGADAL TOROH GROBOGAN TAHUN AJARAN 2012/2013

CHAPTER 5 SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain. Banyak sekali cara untuk berkomunikasi. Bentuk komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling memahami maksud atau keinginan seseorang.

MAKALAH. Mengenal Tuli dan Komunikasinya

KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA INTERAKTIF DALAM KOLOM DETEKSI HARIAN JAWA POS EDISI JUNI 2007 SKRIPSI

INTERFERENSI BAHASA INDONESIA DALAM PEMAKAIAN BAHASA INGGRIS PADA WACANA TULIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengembangan software kamus tematik bergambar Untuk meningkatkan penguasaan kosakata anak tunarungu

2015 FAKTOR-FAKTOR PREDIKTOR YANG MEMPENGARUHI KESULITAN MEMBACA PEMAHAMAN PADA SISWA YANG MENGALAMI KESULITAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB I PENDAHULUAN. dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa jurnalistik merupakan ragam bahasa tersendiri yang dipakai dalam

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca).

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting sebagai alat

KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG

BAB I PENDAHULUAN. Banyak keterampilan yang harus dikuasai oleh manusia baik sebagai makhluk

KEUTUHAN WACANA LEMBAR KERJA SISWA (LKS): ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI (JURNAL INI MASIH MELALUI PROSES PENYUNTINGAN)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi

BAB I PENDAHULUAN. kalimat satu dengan kalimat lain, membentuk satu kesatuan. dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam berinteraksi, manusia memerlukan bahasa. Bahasa memegang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan. komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap orang perlu mengungkapkan ide atau gagasan pada orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Globalisasi saat ini telah melanda dunia. Dunia yang luas seolah-olah

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

Tingkat Pemahaman Arti Leksikal pada Leksem yang Berkonsep Abstrak dan Emosi oleh Penyandang Tunarungu

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pergeseran makna pada BT, oleh sebab itu seorang penerjemah harus

PENANDA HUBUNGAN REPETISI PADA WACANA CERITA ANAK TABLOID YUNIOR TAHUN 2007

PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR BERSERI DALAM PENULISAN KEMAMPUAN NARATIF KELAS SEBELAS DI SMA PGRI 2 PALEMBANG

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS

PRINSIP KERJA SAMA DAN PRESUPOSISI PADA PAPAN NAMA TOKO DAN PAPAN NAMA PENJUAL JASA DI KABUPATEN KEDIRI (TINJAUAN PRAGMATIK) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text

BAB I PENDAHULUAN. Menulis adalah salah satu kemampuan bahasa bukanlah kemampuan yang

KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN NARASI DENGAN MEDIA AUDIO-VISUAL SISWA KELAS VII SEKOLAH MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI BINTAN TIMUR TAHUN PELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana untuk

2016 PENGARUH TEKNIK SCRAMBLE TERHADAP KEMAMPUAN MENENTUKAN IDE POKOK DAN MEMPARAFRASE DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB 1 PENDAHULUAN. menyampaikan ide, gagasan dan pesan yang hendak disampaikan oleh penutur

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa, seperti dikemukakan oleh para ahli, memiliki bermacam fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya metafora adalah suatu bentuk kekreatifan makna dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam Bab 1 ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki sistem fonologi dan tata bahasanya sendiri, yang membedakannya dari bahasa lain. Oleh karena itu, masyarakat

PENDAHULUAN. Saat ini, komunikasi merupakan hal yang sangat penting dikarenakan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA

ANALISIS WACANA LIRIK LAGU OPICK ALBUM ISTIGFAR (TINJAUAN INTERTEKSTUAL, ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL)

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas

PERMASALAHAN PEMBELAJARAN MEMBACA CHUUKYUU DOKKAI DI PERGURUAN TINGGI

PEMANFAATAN BUKU CERITA SIBI BERGAMBAR UNTUK MENINGKATKAN MINAT BACA DAN PENGETAHUAN ANAK TUNARUNGU. Oleh: Dariman 1

Apa yang Dipelajari oleh Ilmu Bahasa (linguistik)? (Bahan Kuliah Sosiolinguistik)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Desain bahasa gambar untuk anak tuna rungu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan pemiliknya. Sebagai salah satu milik, bahasa selalu muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Secara rutin manusia pasti berintaraksi dengan lingkungan sekitar. Interaksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hendra Setiawan, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22,

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjang dalam kehidupan manusia. Peranan suatu bahasa juga sangat

BAB I PENDAHULUAN. sangat berpengaruh terhadap makna yang terdapat dalam sebuah wacana. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jurnalisme online pada saat sekarang ini lebih banyak diminati oleh

BAB I PENDAHULUAN. Alih kode..., Dewi Nuryanti, FIB UI, Universitas Indonesia

ANALISIS KESALAHAN KOHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN DESKRIPSI SISWA KELAS X SMK SWASTA DHARMA PATRA PANGKALAN SUSU TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

B AB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

MODEL GROUP MAPPING ACTIVITY (GMA) DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA

38. Mata Pelajaran Bahasa Inggris untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunarungu (SMPLB B)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah

PENINGKATAN KEMAMPUAN LISTENING COMPREHENSION MELALUI STRATEGI TOP-DOWN DAN BOTTOM-UP

METODOLOGI PENELITIAN. kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitin deskriptif adalah

BAB V PENUTUP. aspek tersebut akan dipaparkan sebagai berikut. ini terdiri atas tiga, yakni (1) struktur dan keterpaduan Antarunsur dalam Wacana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Erni Nurfauziah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. haruslah digunakan ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi. Tetapi

BAB I PENDAHULUAN. sarana komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu. menggunakan bahasa dalam berbagai bentuk untuk mengungkapkan ide,

KEMAMPUAN MENULIS TEKS NARASI TENTANG PENGALAMAN LIBUR SEKOLAH SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 BERMANI ILIR KABUPATEN KEPAHIANG

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun kelompok. Ramlan (1985: 48) membagi bahasa menjadi dua

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan itu sendiri merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja dan

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Menurut Walija (1996:4), bahasa

BAB I PENDAHULUAN. memahami maksud dan tujuan yang disampaikan oleh penutur berbeda-beda. Dilihat dari segi

STRUKTUR KURIKULUM TAHUN AKADEMIK PROGRAM STUDI S-1 PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

KONSEP DAN KOMPONEN. Oleh: Pujaningsih

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. menyampaikan informasi tentang pengunduran diri seseorang dan faktor-faktor

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam mata

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan peranti kohesi yang tepat dalam sebuah teks berpengaruh terhadap

PERMASALAHAN MEMBACA PADA SISWA TUNARUNGU Penelitian Kualitatif di SLB Pembina Nasional Malang

BAB I PENDAHULUAN. Tarigan (1987 : 27), Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau

Transkripsi:

Linguistik Indonesia, Agustus 2019, 159-167 Copyright 2019, Masyarakat Linguistik Indonesia ISSN cetak 0215-4846; ISSN online 2580-2429 Volume ke-37, No.2 KETERAMPILAN NARASI SISWA TULI PADA TINGKAT MIKRO Alies Poetri Lintangsari 1 Wahyu Widodo 2 Rachmawati Ayu Kuswoyo 3 1, 2, 3 Universitas Brawijaya alieslintang@ub.ac.id 1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterampilan anak-anak Tuli di tataran penulisan narasi. Subjek penelitian ini adalah 37 siswa kelas 1 sampai kelas 6 Sekolah Dasar Luar Biasa Yayasan Pendidikan Tunas Bangsa (SDLB YPTB) Malang. Penelitian kualitatif ini menggunakan dua instrumen, yaitu (1) film bisu berdurasi enam menit The Pear Story Kisah Buah Pir yang digunakan untuk memancing subjek menarasikan apa yang telah dilihat dan kemudian menuliskan film tersebut dalam bentuk narasi, (2) narrative scoring guidelines panduan penilaian narasi yang mengukur keterampilan narasi pada tingkat mikro struktur yang meliputi kohesi naratif, kohesi referensial, penggunaan konjungsi, pembentukan kata-kata gramatikal, dan piranti-piranti naratif. Kata kunci: Tuli, keterampilan menulis, narasi, tingkat mikro Abstract This study aims to find out the narrative skills in deaf children. The participants in this research are 37 children from grade 1 to 6 from Sekolah Dasar Luar Biasa Yayasan Pendidikan Tunas Bangsa (SDLB YPTB) in Malang. This qualitative research uses two instruments: (10 The Pear Story, a six-minute silent movie to elicit the narrative story, and (2) narrative scoring guidelines to measure the narrative skills in the micro-structure which involves narrative cohesion, referential cohesion, the use of conjunctions, the formation of grammatical words, and the use of narrative devices. Keywords: Deaf, writing competence, narration, micro level PENDAHULUAN Sejak tahun 2012, Universitas Brawijaya telah menerima penyandang disabilitas melalui program SPKPD (Seleksi Penerimaan Khusus Penyandang Disabilitas) dan PSLD (Pusat Studi dan Layanan Disabilitas) dengan memberikan layanan khusus bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Total mahasiswa penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan tinggi di Universitas Brawijaya berjumlah 80 orang dengan berbagai macam jenis disabilitas. Dari 80 orang peserta didik, 43 di antaranya adalah mahasiswa Tuli. Dari jumlah total mahasiswa Tuli, sebagian besar di antaranya memiliki kemampuan literasi yang rendah. Dalam ranah morfologi, misalnya, mereka kesulitan menggunakan morfem infleksi dan derivasi, sedangkan dalam ranah sintaksis, baik di tingkat frasa maupun kalimat, mereka cenderung menggunakan pola inversi. Selain tataran morfologi dan sintaksis, mereka juga mengalami kesulitan di ranah semantik, khususnya pemahaman leksem berkonsep abstrak dan emosi. Pemaparan di atas memantik pertanyaan utama bagaimanakah sejatinya pembelajaran membaca dan menulis diajarkan di tingkat sekolah dasar bagi anak-anak Tuli? Apakah kecakapan literasi yang rendah dan lemah di tingkat perguruan tinggi tersebut bermuasal dari pembelajaran di tingkat sekolah dasar?

Alies Poetri Lintangsari, Wahyu Widodo, Rachmawati Ayu Kuswoyo Jawaban dari pertanyaan tersebut berkaitan dengan tujuan utama penelitian ini, yaitu bagaimanakah kecakapan menulis narasi bagi anak Tuli di tingkat sekolah dasar? Kecakapan narasi dipilih karena di dalam teks narasi memuat kecakapan bahasa yang kompleks meliputi perbendaharaan kosakata, kemampuan menggunakan kata dalam konteks yang tepat, kemampuan menyusun kalimat, kecakapan menyusun struktur naratif, dan kemampuan mengawetkan pengalaman pribadi. Ada tiga hal yang berperan dalam proses produksi teks narasi dalam ranah kognitif anak, yaitu (1) piranti bahasa, yang di dalamnya memerinci keterkaitan babak demi babak, (2) kemampuan pragmatik, yang di dalamnya memuat kesadaran siapa saja yang terlibat dalam percakapan, baik penutur maupun mitra tutur, dan (3) pelibatan kerja memori dalam artian anak yang menulis teks narasi dalam ranah kognisinya dipacu keras untuk mengingat kembali dan menuliskannya sehingga ada proses pengawetan ingatan (Rathmann, Mann, & Morgan, 2007). Berdasarkan peran teks narasi dalam proses perkembangan kognitif anak, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh proses pemahaman dan keterampilan siswa Tuli dalam menulis narasi yang kemudian akan menuntun pada kajian yang lebih spesifik dalam penelitian ini didasarkan pada kajian, yaitu kajian struktur mikro, pada tataran ini, penelitian ini akan mengungkap keterampilan menulis dan pemahaman koherensi, tata bahasa serta perbendaharaan kata siswa Tuli. Partisipan penelitian ini adalah siswa Tuli di tingkat sekolah dasar kelas 1 dan 6 sejumlah 37 orang siswa dari Sekolah Dasar Luar Biasa Yayasan Pendidikan Tunas Bangsa (SDLB YPTB) (khusus siswa Tuli) di kota Malang. Sebagai piranti untuk mengumpulkan data digunakan film bisu yang berjudul The Pear Story dalam durasi enam menit. Film tersebut dibuat oleh Wallace Chafe, seorang ahli linguistik Amerika pada tahun 1985 yang digunakan untuk memperoleh cerita narasi dari berbagai pembicara dengan latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda di seluruh dunia (Sukamto & Purwo, 2016). Analisis data pada tataranmikro yang meliputi kohesi leksikal (cohesion), proses pembentukan gramatika (grammatical morphemes), kohesi dan evaluasi penceritaan (narrative and evaluative cohesion) (Jones dkk., 2016). WACANA NARATIF DAN PERKEMBANGAN BAHASA KEDUA Bab ini memaparkan tentang wacana naratif yang merujuk pada teks naratif dan wacana yang merujuk pada tingkat analitik struktur bahasa, yang termasuk didalamnya keberlindangan beberapa ujaran yang membentuk rangkaian kalimat. Wacana naratif terdiri dari beberapa lapis informasi tentang karakter, tempat dan kejadian. Dalam memproduksi wacana naratif, seseorang akan melibatkan tiga bidang kognisi, yaitu (Rathmann dkk., 2007): 1. Piranti-piranti linguistik yang digunakan dalam merangkai kalimat sehingga membentuk wacana yang lebih luas termasuk babak dan keadaan (setting). 2. Kemampuan pragmatik merupakan hal terpenting dalam produksi dan pemahaman wacana naratif, termasuk keawasan dalam memahami percakapan dan informasi yang dibutuhkan. 3. Kemampuan kognisi umum yang termasuk dalam naratif, contohnya proses pengawetan ingatan dan informasi dalam memproses peruntunan informasi Menilik proses produksi wacana naratif yang melibatkan tiga bidang kognisi sebagaimana dipaparkan di atas, beberapa teori mengungkapkan bahwa keterampilan naratif 160

Linguistik Indonesia, Volume ke-37, No.2, Agustus 2019 dapat mempengaruhi perkembangan bahasa seseorang, baik lisan maupun tulis. Komponenkomponen naratif dapat meningkatkan perkembangan bahasa kedua karena pengolahan wacana naratif tidak hanya berpengaruh pada kompetensi komunikatif seseorang namun juga meningkatkankannya karena dalam proses mengolah wacana naratif, seseorang tidak hanya menyusun makna bagi dirinya sendiri namun juga bagi orang lain sehingga dapat meningkatkan kompetensi komunikatif seseorang (Negueruela, 2008). Komponen naratif (Pavlenko & Lantolf, 2000) terdiri dari struktur, evaluasi, elaborasi dan kohesi. Komponen pertama adalah pengetahuan terhadap struktur komponen naratif dalam bahasa sasaran and kemampuan untuk menggunakanya secara baik dan sesuai dalam konteks. Beberapa studi tentang penguasaan naratif pembelajar bahasa kedua sangat dipengaruhi oleh struktur naratif bahasa pertama mereka. Jika struktur naratif bahasa pertama memiliki struktur naratif yang sama dengan bahasa kedua, maka pembelajar akan lebih mudah dalam memahami dan memproduksi wacana naratif dalam bahasa kedua. Komponen kedua adalah evaluasi dan elaborasi. Dalam mengelaborasi wacana naratif, seseorang akan menggunakan leksem, bahasa kiasan, reported speech, perumpamaan, dan deskripsi. Dalam mengevaluasi wacana naratif, seseorang berusaha untuk menyampaikan inti dari sebuah cerita dengan menggunakan intensifier, modal verbs, negatives, pengulangan, komentar evaluatif, embedded speech, dan perbandingan dengan kisah kiasan (Labov, 1972). Komponen yang ketiga adalah kohesi naratif, yakni sebuah makna semantik yang merujuk pada hubungan makna dan teks, yang secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu kohesi gramatikal (referen, substitusi, elipsis, dan konjungsi) dan kohesi leksikal (reiterasi dan kolokasi). Dalam penyusunan wacana naratif, seseorang akan menggunakan komponen kohesi naratif sehingga dapat meningkatkan dan memperkaya keterampilan bahasa kedua seseorang. Keterampilan menyusun wacana naratif berkontribusi dalam perkembangan bahasa dan komunikasi seseorang. Maka dari itu, keterampilan naratif sangatlah penting untuk meningkatkan keterampilan literasi dan performa akademik seseorang. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa komponen-komponen dalam wacana naratif sangat potensial untuk meningkatkan kemampuan dan/atau keterampilan bahasa kedua seseorang. Lalu bagaimana dengan anak Tuli? Bagaimana hubungan wacana naratif dengan keterampilan berbahasa anak Tuli? Bagian selanjutnya akan memaparkan tentang penelitianpenelitian terdahulu yang membahas tentang hubungan naratif dengan keterampilan berbahasa anak Tuli. PRODUKSI NARATIF PADA ANAK TULI Tuli adalah kondisi dimana seseorang memiliki keterbatasan pendengaran yang menghambat stimuli audio sensori sehingga berakibat pada kemampuan berbicara. Kondisi ini mendorong adanya normalisasi dengan merepresentasi kaidah Bahasa Indonesia Lisan menjadi Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI). Hal ini bermula dari pandangan yang melihat orang Tuli sebagai orang cacat (Tunarungu) sehingga tindakan yang diberikan adalah tindakan rehabilitasi dalam bentuk terapi wicara dan normalisasi bahasa Isyarat. Dalam pandangan sosial budaya, Tuli merupakan identitas kebahasaan yaitu bahasa Isyarat. Melalui pendekatan sosial budaya, ketulian tidak dipandang sebagai kecacatan, namun dipandang sebagai potensi budaya yang melahirkan identitas kebahasaan yaitu bahasa Isyarat. Pendekatan sosial budaya melihat Tuli sebagai masyarakat dengan kemampuan berbahasa yang berbeda, sehingga kedudukan bahasa 161

Alies Poetri Lintangsari, Wahyu Widodo, Rachmawati Ayu Kuswoyo Isyarat bagi masyarakat Tuli tidak hanya sebagai media komunikasi namun sebagai identitas linguistik masyarakat Tuli. Dalam artikel ini, peneliti menggunakan istilah Tuli (bukan Tunarungu) berdasarkan dua pertimbangan, yaitu (1) istilah Tuli merupakan preferensi sebagian besar Komunitas Tuli, dan (2) peneliti menggunakan pendekatan sosial budaya. Berbagai penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa secara umum individu Tuli mengalami hambatan dalam hal literasi khususnya dalam hal penggunaan piranti linguistik, keterbatasan penguasaan kosakata dan produksi kalimat yang cenderung sederhana (Schley & Albertini, 2005). Penelitian kemampuan menulis narasi siswa Tuli pada tingkat sekolah dasar didasarkan pada bagaimana teks narasi diproduksi oleh siswa Tuli. Sebagian besar anak Tuli menggunakan bahasa isyarat, baik bahasa isyarat rumah (home sign) maupun bahasa isyarat umum (SIBI atau BISINDO). Dalam proses penulisan narasi bagi anak Tuli di dalamnya ada perpindahan dari bahasa isyarat ke tulisan, sedangkan bagi anak-dengar ada perpindahan dari lisan ke tulisan (Rathmann dkk., 2007). Ada tiga hal yang berperan dalam produksi teks narasi dalam ranah kognitif anak (1) piranti bahasa, yang di dalamnya merinci keterkaitan babak demi babak, (2) kemampuan pragmatik, yang di dalamnya memuat kesadaran siapa saja yang terlibat dalam percakapan, baik penutur maupun mitra tutur, dan (3) pelibatan kerja memori dalam artian anak yang menulis teks narasi dalam ranah kognisinya dipacu keras untuk mengingat kembali dan menuliskannya sehingga ada proses pengawetan ingatan (Rathmann dkk., 2007). Kaitannya dalam penelitian ini, penelitian ini menyasar keterampilan siswa Tuli dalam tataran-mikro untuk melihat piranti bahasa dan pragmatik. Produksi naratif melibatkan kemampuan mengungkapkan cerita yang menuntut keterampilan bahasa dan kognitif dalam tingkat mahir. Keterampilan ini termasuk keterampilan dalam merangkai babak, menciptakan teks yang koheren dengan piranti-piranti linguistik, pemilihan kosakata yang tepat, untuk mengungkapkan ide, untuk memahami efek sebab-akibat, dan untuk menyusun keseluruhan cerita. Apabila seseorang mengalami kesulitan dalam menyusun wacana naratif, hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh kelemahan dalam tingkat morfologi dan sintaksis, namun merupakan kelemahan dalam memproses kode, menyusun, dan menghubungkan proposisi serta kesulitan dalam mensarikan kembali makna kata yang berbeda dengan tepat (Bernaix, 2013). Produksi naratif pada anak Tuli menunjukkan adanya hambatan dalam perkembangan bahasa, hal ini diduga disebabkan karena anak Tuli tidak memiliki skemata cerita yang memadai sehingga anak Tuli tidak dapat menyusun materi yang ia dapatkan. Hal ini dimungkinkan karena anak Tuli lemah dalam memproses kode, menyusun serta menghubungkan proposisi sehingga mengalami kesulitan dalam penyusunan skemata cerita. Kesulitan tersebut dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain perbedaan karakterstik bahasa pertama dan bahasa kedua, sebagaimana diketahui bahwa bahasa pertama anak Tuli adalah bahasa visual yang memiliki karakter gramatikal yang berbeda dengan bahasa tulis. Faktor yang kedua adalah kurangnya penguasaan kosakata anak Tuli. Faktor yang ketiga adalah keterbatasan mereka dalam mendengar, karena pada anak Dengar, proses identifikasi kata tertulis dengan cara membunyikan kata-kata tersebut dalam hati untuk dapat lebih memaknai maknanya, sehingga terdapat proses kodifikasi dari fragmen visual menjadi fragmen bunyi. Proses ini yang kemudian membantu anak Dengar untuk lebih memahami makna sebuah cerita. Dengan hilangnya indra pendengaran, anak Tuli tidak mengalami proses ini. Adanya beberapa hambatan yang dialami anak Tuli dalam penguasaan bahasa membuat anak Tuli mengalami keterlambatan dalam berbahasa, sebagaimana dipaparkan dalam penelitian sebelumnya bahwa keterampilan 162

Linguistik Indonesia, Volume ke-37, No.2, Agustus 2019 berbahasa anak Tuli yang berumur tujuh tahun hampir setara dengan keterampilan berbahasa anak Dengar yang berumur empat tahun (Bernaix, 2013). Beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Jones dkk. (2016) yang berfokus pada keterampilan menulis narasi anakanak Tuli yang menggunakan bahasa Inggris lisan. Subjek dari penelitian tersebut adalah anakanak Tuli dan anak-anak Dengar yang berusia 6-11 tahun yang menggunakan Bahasa Inggris lisan. Data naratif didapatkan dari video yang dipertontonkan kepada subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak Tuli dan anak-anak Dengar memiliki kemampuan yang sama pada tingkat makro struktur, namun anak-anak Tuli memiliki kemampuan yang lebih rendah daripada anak-anak Dengar pada tingkat mikro struktur. Penelitian serupa juga dilakukan di Amerika dengan partisipan anak Tuli yang menggunakan American Sign Language (ASL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan dasar membaca berperan signifikan terhadap kemahiran menulis dengan sarana tulis maupun mengembangkan bahasa isyarat pada tingkat lanjut. Penelitian itu menyarankan bahwa kemampuan membaca yang baik adalah prasyarat mutlak bagi anak Tuli (Chamberlain & Mayberry, 2008). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sukamto & Purwo (2016) yang menggunakan instrumen yang sama dengan penelitian ini namun berfokus pada kelancaran naratif lisan dan tulis pada anak dengar dwibahasa di tingkat sekolah dasar. Hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa mereka lebih lancar bercerita dengan menggunakan bahasa pertama mereka yaitu bahasa Jawa daripada ketika menggunakan bahasa kedua mereka yaitu bahasa Indonesia. METODOLOGI Partisipan dalam penelitian ini merupakan siswa Tuli kelas 1 s.d. 6 dengan jumlah total 37 siswa dari Sekolah Dasar Luar Biasa Yayasan Pendidikan Tunas Bangsa (SDLB YPTB). Tahapan penelitian terdiri atas (1) penyusunan instrumen penelitian, (2) pengumpulan data, dan (3) analisis data. Dalam tahap penyusunan instrumen, peneliti menggunakan tiga instrumen, yaitu film bisu berjudul kisah buah pir (The Pear Story) sebagai media untuk memancing anak-anak menulis narasi, struktur narasi film bisu kisah buah pir (The Pear Story) yang diadaptasi dari Sukamto & Purwo (2016), dan rubrik penilaian narasi dalam tingkat makro dan mikro yang diadaptasi dari Jones, dkk (2016). Analisis data dilakukan melalui dua tahapan: (1) menilai narasi siswa dengan menggunakan rubrik yang telah disiapkan. Penilaian ini digunakan untuk mengukur keterampilan narasi tingkat mikro dan (2) menganalisis data secara deskriptif dengan mempertimbangkan data kuantitatif dari hasil penilaian. PEMBAHASAN Dalam keterampilan narasi anak Tuli pada tingkat mikro, penilaian difokuskan pada empat indikator, yaitu kohesi naratif/referensial, penggunaan konjungsi, pembentukan kata-kata gramatikal, dan piranti-piranti naratif. Nilai kohesi naratif/referensial mengacu pada penjelasan terkait identifikasi tokoh-tokoh yang dikisahkan. Poin ini didasarkan pada jumlah penyebutan identifikasi tokoh sesuai dengan kisah buah pir, yaitu ada tujuh tokoh. Sebanyak 2 poin diberikan untuk masing-masing penyebutan tokoh dengan benar, dan 1 poin apabila penyebutan tokoh tidak sesuai dengan 163

Alies Poetri Lintangsari, Wahyu Widodo, Rachmawati Ayu Kuswoyo cerita. Total nilai pada indikator ini adalah 14 poin. Penggunaan konjungsi dinilai apabila siswa mampu menggunakan konjungsi dengan tepat yang menghubungkan gagasan atau menghubungkan bagian-bagian penceritaan dengan total nilai 6 poin. Pembentukan kata-kata gramatikal ditentukan apabila siswa mampu menggunakan konjungsi dengan tepat yang menghubungkan gagasan atau menghubungkan bagian-bagian penceritaan dengan total nilai 6 poin. Selain itu, piranti-piranti naratif dinilai berdasarkan penggunaan kalimat langsung dan kalimat tak langsung, penyifatan pada tokoh, penggunaan keterangan untuk mendeskripsikan bagaimana kegiatan itu dilakukan, penyangatan terhadap objek cerita, gaya stilistik, dengan total nilai 4 poin. Berkaitan dengan keterampilan kohesi naratif/referensial, hampir semua anak Tuli dapat memberikan atau menuliskan tokoh dalam cerita, akan tetapi semua tokoh tersebut tidak sesuai atau tidak menggambarkan tokoh yang dideskripsikan dalam film Kisah Buah Pir. Dalam film tersebut terdapat tujuh kohesi referensial yaitu petani, buah pir, penggembala kambing, kambing, anak laki-laki yang mencuri buah pir, seorang gadis bersepeda, dan tiga orang anak laki-laki yang membantu anak laki-laki yang mencuri buah pir. Beberapa kohesi referensial yang disebutkan oleh anak Tuli dalam merujuk tokoh dalam kisah buah pir adalah sebagai berikut: 1. Petani diidentifikasi dengan sebutan Ayah, Bapak, saya, atau aku. 2. Buah pir diidentifikasi dengan sebutan buah jambu, mangga, pepaya, apel, atau alpukat. 3. Anak laki-laki yang mencuri buah pir diidentifikasi dengan sebutan anak laki-laki, aku, saya atau adik. 4. Gadis bersepeda diidentifikasi dengan sebutan ibu atau perempuan. Sebagian besar tidak dapat mengidentifikasi tokoh ini. 5. Tiga anak laki-laki diidentifikasi dengan sebutan anak-anak, kakak, atau adik. 6. Penggembala kambing diidentifikasi dengan sebutan Bapak, Kakak, atau Saya. Sebagian besar anak Tuli tidak mengidentifikasi tokoh ini. 7. Kambing diidentifikasikan sebagai kambing, sapi atau rusa. Dalam hal penggunaan konjungsi, ditemukan bahwa tidak ada satu pun anak Tuli yang menggunakan konjungsi dalam tulisan mereka. Perhatikan data di bawah ini: Pohon-Pohon Buahan-Buah Alpukat (1) Ayah mengambil buahan-buah alpukat di pohon ayah mengambil buah alpukat di pohon Ayah memberi buahan-buah alpukat di tempat ayah memberi [menaruh] buah alpukat di tempat Anak-anak mencuri buahan-buah alpukat, anak-anak naik sepeda anak-anak mencuri buah alpukat, anak-anak menaiki sepeda (ABF/VI/16) Paragraph narasi yang terdapat dalam (1) di atas memiliki tiga kalimat tunggal dengan pemerian di bawahnya dengan tanda glos ( ) adalah upaya memberikan makna gramatikal yang tepat untuk membantu memahami makna yang disusun oleh anak Tuli. Selain itu, ada verba memberi yang kemungkinan bermakna menaruh. Hal ini jamak ditemui dalam karangan anak Tuli karena keterbatasan kosakata yang dimiliki, yaitu seringkali satu verba 164

Linguistik Indonesia, Volume ke-37, No.2, Agustus 2019 memiliki banyak makna dan digunakan dalam ragam konteks yang berbeda. Ketiga kalimat tunggal tersebut dimungkinkan untuk dirangkaikan dengan konjungsi dan atau kemudian. Indikator kata-kata grammatikal dinilai dari banyaknya penggunaan verba utama yang berjumlah 15, yaitu memanen, memilih, membawa, membantu, menggembala, bersepeda, mencuri, mengayuh, melihat, menabrak, jatuh, berserakan, memunguti, memberikan, mengumpulkan, mengucapkan terimakasih, dan memakan. Dari penilaian diketahui bahwa nilai rata-rata anak Tuli adalah 2.3 (17%) dari nilai maksimum 17 poin. Temuan yang layak diperhatikan dengan saksama adalah sebagai berikut: 1. Anak Tuli cenderung menggunakan verba yang terbatas yaitu membawa, membantu, melihat, mengambil, mencuri, memetik, menolong, jatuh, dan menculik. 2. Tidak ada anak Tuli yang menggunakan kata memanen, yang merupakan salah satu verba inti dalam cerita. Sebagai gantinya mereka menggunakan kata memetik dan mengambil. 3. Sebagian besar anak Tuli menggunakan kata mengambil dan membawa yang merujuk pada kata mencuri. Satu anak Tuli menggunakan kata menculik untuk mengartikan mencuri, dan hanya tiga anak Tuli yang menggunakan kata mencuri. 4. Anak Tuli menggunakan kata dasar tabrak untuk merujuk pada menabrak. 5. Sebagian anak Tuli menggunakan banyak kata dasar seperti tabrak, jatuh, naik, ambil, dan pergi. Terkait penggunaan piranti-piranti naratif, hanya dua orang anak Tuli yang menggunakannya dalam bentuk komentar evaluasi, yaitu Dasar anak-anak (terkait dengan kenakalan dalam mencuri dan penggunaan piranti naratif dalam bentuk penyangatan dengan memberikan keterangan pada buah pir Jambu jatuh kotor dan sangat kotor. (1) Ibu sepeda jatuh buah jambu kotor (AAM/IV) (2) Buah jambu jatuh kotor (AAA/IV) Pada tingkat struktur mikro, ditemukan bahwa anak Tuli cenderung menggunakan kohesi referensial yang tidak sesuai dengan cerita. Dalam pengidentifikasian tokoh petani, anak Tuli cenderung menyebutnya dengan kata ganti bapak, ayah, kakak, atau aku, seperti contohcontoh di bawah ini. (3) Ayah memetik pohon jambu banyak (AAK/IV) (4) Bapak memetik buah manga di kebun buah-buahan (AHV/IV) (5) Aku memetik alpukat (DR/IV) (6) Kakak mengambil papaya jalan pulang (R/II) Hal ini dimungkinkan mengingat pengetahuan mereka tentang berbagai macam jenis karakter masih sangat lemah. Ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, yaitu bahwa anak Tuli tidak memiliki skemata cerita yang memadai sehingga anak Tuli kesulitan dalam menyusun ulang cerita yang mereka dapatkan. Hal ini disebabkan karena anak Tuli dengan keterlambatan perkembangan bahasa cenderung mengalamai keterlambatan ToM (Theory of Mind) (Bernaix, 2013). ToM adalah kemampuan manusia terkait dengan pengambilan perspektif sehingga kemampuan ini dirasa penting dalam penguasaan keterampilan menulis narasi karena mempengaruhi perspektif kita dalam memandang atau memahami tokoh dalam sebuah cerita. 165

Alies Poetri Lintangsari, Wahyu Widodo, Rachmawati Ayu Kuswoyo Anak Tuli yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya cenderung mengalami keterlambatan ToM sehingga membuat mereka kesulitan dalam memahami karakter dalam sebuah cerita, siapakah karakter itu, apa yang dilakukan karakter itu, dan apa yang dirasakan karakter itu (Bernaix, 2013). Hal ini mengakibatkan mereka cenderung menggunakan perspektifnya sendiri dalam mengidentifikasi tokoh dalam sebuah cerita. Hal inilah yang melatarbelakangi penyebutan tokoh dengan kata ganti orang ketiga yang sangat dekat dengan kehidupan anak Tuli, yaitu Bapak, Ayah, Kakak dan Saya. Begitu pula penyebutan buah pir yang diidentifikasi dengan buah lokal yang sering mereka temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti buah jambu, apel, mangga, alpukat dan papaya. SIMPULAN Keterampilan naratif memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa seseorang termasuk anak Tuli. Lemahnya kemampuan naratif anak Tuli menunjukkan bahwa paparan dan intervensi penguasaan bahasa anak Tuli sangat kurang sehingga mempengaruhi keterampilan literasi mereka. Lemahnya kemampuan anak Tuli pada tingkat mikro (penguasaan kosakata dan konjungsi) berdampak pada kemampuan anak Tuli dalam memahami dan menyampaikan pesan. Kondisi ini tentu saja akan berdampak buruk bagi kemampuan akademis dan kemampuan komunikasi anak Tuli mengingat rendahnya kemampuan naratif juga mempengaruhi kemampuan persepsi anak Tuli terhadap dunia di sekitarnya sehingga persepsi referensial anak Tuli terhadap dunia sekitarnya menjadi terhambat. CATATAN * Penelitian ini didanai oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya melalui program DPP SPP. * Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Bernaix, N. E. (2013). Oral and written narrative production in children who are deaf and hard of hearing, Tesis, Washington University School of Medicine. Chamberlain, C., & Mayberry, R. I. (2008). American Sign Language syntactic and narrative comprehension in skilled and less skilled readers: Bilingual and bimodal evidence for the linguistic basis of reading. Applied Psycholinguistics, 29(3), 367 388. https://doi.org/10.1017/s014271640808017x Jones, -a. C., Toscano, E., Botting, N., Marshall, C.-R., Atkinson, J. R., Denmark, T., Morgan, G. (2016). Narrative skills in deaf children who use spoken English: Dissociations between macro and microstructural devices. Research in Developmental Disabilities, 59, 268 282. https://doi.org/10.1016/j.ridd.2016.09.010 Labov, W. (1972). Language in the inner city: Studies in the Black English vernacular. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Negueruela, E. (2008). Revolutionary pedagogies: Learning that leads (to) second language development. In Sociocultural theory and the teaching of second languages (pp. 189 227). London, England: Equinox. 166

Linguistik Indonesia, Volume ke-37, No.2, Agustus 2019 Pavlenko, A., & Lantolf, J. P. (2000). Second language learning as participation and (re)construction of selves. In Sociocultural theory and second language learning (hlm. 155 77). Oxford, England: Oxford University Press. Rathmann, C., Mann, W., & Morgan, G. (2007). Narrative structure and narrative development in deaf children. Deafness & Education International, 9(4), 187 196. https://doi.org/10.1002/dei.228 Schley, S., & Albertini, J. (2005). Assessing the Writing of Deaf College Students: Reevaluating a Direct Assessment of Writing. Journal of Deaf Studies and Deaf Education, 10, 96 105. https://doi.org/10.1093/deafed/eni006 Sukamto, K. E., & Purwo, B. K. (2016). Oral narrative and descriptive proficiency in bilingual children: A case study of Javanese-Indonesian children. Linguistik Indonesia, 34(1), 85 100. https://doi.org/10.26499/li.v34i1.43 Verhoeven, S., & Strömqvist, L. (2001). Narrative development in a multilingual context. Amsterdam, Netherlands: John Benjamins. 167