PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 40/PID/2012/PT.JBI) JURNAL ILMIAH Oleh : TIKA PUSPA LESTARI D1A 011 343 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2016
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NO.40/PID/2012/PT.JBI) TIKA PUSPA LESTARI D1A011343 FAKULTAS HUKUM Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak menurut Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak dalam putusan hakim NO. 40P/PID/2012/PT.JBI telah sesuai dengan UndangUndang No. 11 Tahun 2012. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak terdapat dalam Pasal 3 dan 4 UU No. 11 Tahun 2012 dan diberlakukannya Diversi yaitu dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan mati tidak terdapat dalam Putusan hakim No.40/PID/2012/PT.JBI dengan demikian anak sebagai pelaku tindak pidana ini tetap dilanjutkan ke proses peradilan dan dalam putusan Hakim No. 40/PID/2012/PT.JBI, putusan ini tidak sesuai dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kata Kunci : Perlindungan Anak, Diversi, Putusan Hakim LEGAL PROTECTION OF CHILDREN AS ACTORS OF VIOLENCE AGAINST CHILDREN (CASE STUDY DECISION NO. 40 / PID / 2012 / PT.JBI) Abstract This study aims to determine the legal protection of children as perpetrators of violence against children according to Act No. 11 of 2012 on the Criminal Justice System Child and to determine the legal protection of children as perpetrators of violence against children in the judge's decision NO. 40 / PID / 2012 / PT.JBI accordance with Act No. 11 2012. The legal protection of children as perpetrators of violence against children contained in Articles 3 and 4 of Law No. 11 Year 2012 and the enactment of Diversi which starts from the stage of investigation, prosecution, and examination in court. The legal protection of children as perpetrators of violence against children that result in death are not contained in the judge's decision No.40 / PID / 2012 / PT.JBI thus children as criminals have continued to judicial process and in the Court decision No. 40 / PID / 2012 / PT.JBI, this decision is not in accordance with Law No. 11 Year 2012 on Child Criminal Justice System. Keywords: Child Protection, Diversion, Judge Decision
i I. PENDAHULUAN Secara filosofi anak sebagai bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus pula. 1 Anak adalah generasi penerus cita-cita bangsa, maka setiap warga negara perlu melakukan upaya perlindungan anak terhadap pemenuhan hak anak tanpa diskriminasi dan kekerasan karena seyogyanya anak perlu mendapat suatu kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik mental maupun fisik serta sosial. Perlu disadari bahwa penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain, disebabkan oleh faktor diluar diri anak tersebut. Didalam mensikapi kasus hukum yang melibatkan anak diperlukan cara pandang yang berbeda dibandingkan dengan orang dewasa. Artinya anak tetaplah anak meskipun pelanggaran hukum yang dilakukan seperti yang dilakukan orang dewasa. Dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan pergantian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan 1 Nashrian, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 76
ii dengan hukum. Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 antara lain, mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Hal yang paling mendasar dalam undang-undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Restoratif Justice dan Diversi. Salah satu kasus yang menarik untuk dibahas berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak adalah kasus dengan putusan no. 40/Pid/2012/Pt.Jbi. Dalam kasus ini terdapat beberapa perbedaan antara Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dimana Pelaku tindak pidananya adalah seorang anak dan yang menjadi korban tindak pidananya juga seorang anak, dengan demikian telah terjadi konflik norma hukum (antinomy normen) dalam perkara ini. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak menurut Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak dalam putusan hakim No.40/Pid/2012/Pt.Jbi telah sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak UU No. 11
iii tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak dalam putusan hakim No.40/Pid/2012/Pt.Jbi telah sesuai dengan UndangUndang No. 11 Tahun 2012. Adapun manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Sebagai bahan literatur bagi pembaca dan sebagai masukan bagi para peneliti lain dalam melakukan penelitian pada bidang yang sama terutama melihat dari sisi yang lain dari penelitian ini; 2. Secara teoritis yaitu memberikan gambaran yang mendalam, obyektif dan berimbang mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak menurut UU No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; 3. Secara praktis, yaitu Memberikan kontribusi keilmuan (contribution of knowledge) bagi para praktisi hukum dalam memahami sistem perlindungan anakyang diterapkan di Indonesia sehingga dapat menjadi salah satu acuan dalam penegakan hukum di kemudian hari yang melibatkan anak. Metode penelitian yaitu penelitian hukum normatif yang mengkaji sebagai norma dalam perundang-undangan. Melakukan penelitian hukum normatif menggunakan peraturan perundang-undangan, teori hukum, pendapat para ahli, buku-buku, dan pedoman-pedoman yang erat kaitannya dengan tinjauan yuridis tentang permasalahan yang akan diteliti. Sumber dan jenis bahan hukum berupa : 1. Bahan hukum primer; 2. Bahan hukum sekunder; 3. Bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi dokumen.
iv II. PEMBAHASAN Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Kekerasan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Anak yang melakukan tindak pidana secara legalitas harus menjalani proses peradilan pidana. Di usianya yang masih sangat muda, mereka harus mengalami proses hukum atas perkara yang demikian panjang dan melelahkan, mulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, pemeriksaan disidang pengadilan sampai pelaksanaan putusan hakim. Untuk hal itu maka anak yang melakukan tindak pidana memerlukan perlindungan hukum secara khusus terutama dalam sistem peradilan untuk menghindarkan anak dari kekerasan dan diskriminasi. Secara yuridis yaitu Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Apabila seorang anak melakukan tindak pidana, saat ini undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem peradilan demi terwujudnya sistem peradilan pidana yang terpadu, atas pemunduran terhadap nilai-nilai yang
v telah ada sebelumnya. Terdapat beberapa perubahan dan perkembangan khususnya dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, diantaranya adalah terdapatnya ketentuan diversi sebagai bentuk upaya tindakan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang SPPA, setiap anak dalam proses peradilan berhak: 1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; 2. Dipisahkan dari orang dewasa; 3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. 4. Melakukan kegiatan rekreasional; 5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam; tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; 6. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; 7. Tidak diangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; 8. Memperoleh keadilan dimuka pengadilan anak yang obyektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; 9. Tidak dipublikasikan identitasnya; 10. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak; 11. Memperoleh advokasi social; 12. Memperoleh kehidupan pribadi; 13. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; 14. Memperoleh pendidikan; 15. Memperoleh pelayanan kesehatan; 16. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Hak-hak di atas merupakan hak-hak dasar yang harus diperoleh anak ketika menjadi pelaku tindak pidana. Artinya, melakukan tindak pidana bukan penghalang bagi anak untuk memperoleh hak-hak mereka. Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan anak terdapat dalam Pasal 4
vi UU SPPA, yaitu: 1. Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. Mendapat pengurangan pidana; b. Memperoleh asimilasi; c. Memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. Memperoleh pembebasan bersyarat; e. Memperoleh cuti menjelang bebas; f. Memperoleh cuti bersyarat; g. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 2. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain hal-hal tersebut diatas, hal baru yang diatur dalam Undang-Undang SPPA adalah tentang Diversi. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasuskasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal kepenyelesaian damai antara tersangka / terdakwa / pelaku tindak pidana / dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan / atau masyarakat, pembimbingan kemasyarakatan anak, polisi, jaksa, atau hakim. Adapun perlindungan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah: Proses penyidikan Perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum dalam proses penyidikan antara lain: a. Penyidik Khusus Anak; b. Penyidikan Dengan Suasana Kekeluargaan; c. Penyidik Tidak Menggunakan Atribut Kedinasan Saat Penyidikan Berlangsung; d. Kewajiban pelaksanaan diversi; e. Kewajiban meminta laporan penelitian kemasyarakatan; f. Kerahasiaan identitas anak.
vii Proses penuntutan Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Perlindungan Anak dalam Pasal 42 menyebutkan: 1) Penuntut umum mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima perkara dari penyidik. 2) Diversi sebagaimana disebut dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. 3) Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penuntut umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. 4) Dalam hal diversi gagal, penuntut umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. Proses persidangan Terkait penerapannya dalam pemeriksaan dipersidangan diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Perlindungan Anak yang menyebutkan: a. Ketua pengadilan wajib menetapkan hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari penuntut umum. b. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai hakim. c. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. d. Proses diversi dapat dilaksanakan diruang mediasi pengadilan negeri. e. Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, hakim menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. f. Dalam hal diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ketahap persidangan. Dari uraian di atas, perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur sejak awal masuknya perkara sampai dengan putusan akhir
viii dipersidangan. Hal yang penting dalam undang-undang ini adalah adanya Diversi yang memberikan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam proses penahanan sampai dengan proses persidangan. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Kekerasan Terhadap Anak Dalam Putusan Hakim No. 40/pid/2012/Pt.Jbi. Amar Putusan Mengadili : 1. Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum tersebut; 2. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jambi No.40/Pid.B/AN/2012/PN.JBI tanggal 23 Pebruari 2012 yang dimintakan banding tersebut. Mengadili sendiri: 1. Menyatakan terdakwa Peri Pernando Bin Raden Roni tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana :"Penganiayaan Terhadap Anak Yang Mengakibatkan Mati;2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama4 (empat) tahun, dan pidana denda sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;3. Menetapkan masa penagkapan dan Menetapkan masa penagkapan dan penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan menetapkan terdakwa tetap ditahan didalam rumah tahanan Negara; 5. Menetapkan mengembalikan barang bukti berupa: a. (satu) lembar baju kaos oblong warna orange; b. 1 (satu) lembar baju batik sekolah SMA 2 Jambi; Dikembalikan kepada orang yang paling berhak yaitu saksi Ermawati Binti Hasan/kakak korban; sedangkan barang bukti berupa sebilah keris bergagang kayu dan bersarung kayu dirampas untuk dimusnahkan;6. Membebani terdakwa membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang untuk di tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah). Berikut analisis penyusun terhadap amar Putusan di atas: Tindak pidana kekerasan terhadap anak didalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak ini diatur pada:
ix Pasal 76 (c) yang berbunyi setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan Terhadap Anak. Pasal 80 yang berbunyi: a. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 (c), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). b. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka perlu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). c. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). d. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiyaan tersebut Orang Tuanya. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana denda yaitu dari tuntutan jaksa penuntut umum, yang tuntutannya terdapat dalam Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut pasal ini dapat dihukum setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Dari rumusan Pasal ini dikatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja, ini berarti bahwa tidak ada batasan pelaku di dalam pasal ini. Dimana bisa saja yang melakukan perbuatan tersebut orang dewasa bahkan anak-anak sekalipun, kedua-duanya dapat dikenakan terhadap pasal ini apabila terbukti melakukan perbuatan kekerasan terhadap anak. Dalam perkara anak didalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem
x peradilan pidana anak telah mengatur batas maksimal ancaman pidana penjara yang dibedakan dengan orang dewasa. Pidana yang diberlakukan terhadap anak terdapat dalam Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak: 1. Pidana pokok bagi Anak terdiri atas; a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat; 1) Pembinaan diluar lembaga; 2) Pelayanan masyarakat 3) Pengawasan; c. Pelatihan kerja; d. Pembinaan dalam lembaga; dan e. Penjara 2. Pidana tambahan terdiri atas: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat. Apabila anak melakukan tindak kekerasan atau penganiayaan pada saat usianya 12 tahun namun belum 14 tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 69 ayat 2 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 terhadapnya akan dikenai sanksi tindakan semata. Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 memuat ketentuan apabila dalam hukum materiil diancam pidana komulatif berupa penjara dan denda maka pidana denda diganti pelatihan kerja. Bagi anak pelaku tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap anak yang mengakibatkan mati yang melanggar Pasal 76C dan 80 ayat (3) Undang-Undang No. 35 tahun 2014 dan pelaku telah berusia 14 tahun maka diversi tidak dapat dilakukan, karena syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tidak terpenuhi. Syarat pertama dari dilakukan diversi adalah tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun, sedangkan pelanggaran terhadap Pasal 76C dan Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang No. 35 tahun 2014 pelaku diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun dan apabila pelakunya
xi anak sesuai dengan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Oleh karena itu anak yang telah berusia 14 tahun tetapi belum berusia 18 tahun sebagai pelaku tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dapat dijatuhi pidana penjara maksimum 7,5 tahun. Hal ini sudah melampaui ambang batas dapat diterapkannya diversi kepadanya. Maka perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan mati tidak terdapat dalam Putusan hakim No.40/PID/2012/PT.JBI dengan demikian anak sebagai pelaku tindak pidana ini tetap dilanjutkan ke proses peradilan. Berdasarkan uraian diatas dalam putusan hakim No.40/PID/2012/PT.JBI penjatuhan pidana denda tidak terdapat dalam Pasal 71 Undang-Undang No. 11 tahun 2012, apabila dalam hukum materiil diancam pidana komulatif berupa penjara dan denda diganti dengan pelatihan kerja, namun didalam putusan tersebut pidana denda diganti dengan pidana kurungan, sehingga menurut penyusun putusan Pengadilan Negeri tingkat banding dengan tuntutan 4 (empat) tahun, dan pidana denda sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan adalah tidak tepat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jadi putusan hakim dalam putusan No. 40/Pid/2012/PT.JBI tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, bahwa undang-undang ini
xii ditujukan kepada pelaku tindak pidananya adalah orang dewasa, bukan terhadap pelakunya adalah seorang anak. Putusan No. 40/Pid/2012/PT.JBI juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena penjatuhan pidana denda tidak terdapat dalam Pasal 71 Undang- Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
xiii III. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; 1. Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak menurut UU No. 11 tahun 2012 adalah secara khusus diatur dalam Pasal 3 dan 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; diberlakukannya diversi. Adapun perlindungan hukum yang diatur didalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam proses peradilan adalah; Proses Penyidikan; Proses Penuntutan; Proses Persidangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang sedang menghadapi proses peradilan; 2. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan mati tidak terdapat dalam Putusan hakim No.40/PID/2012/PT.JBI dengan demikian anak sebagai pelaku tindak pidana ini tetap dilanjutkan ke proses peradilan. Syarat pertama dari dilakukan diversi adalah tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun. Dalam putusan Hakim No. 40/PID/2012/PT.JBI, putusan ini tidak sesuai UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Karena penjatuhan pidana denda tidak terdapat dalam Pasal 71 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Saran Saran penyusun dalam penelitian ini adalah; 1. seharusnya hakim lebih cermat dalam menjatuhkan hukuman, karena pidana denda tidak dikenal dalam UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
xiv sehingga denda yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa keliru tanpa memperhatikan hak-hak anak, khususnya dalam Putusan Hakim No. 40/PID/2012/PT.JBI; 2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini diharapkan keadilan dan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak dapat berjalan secara beriringan tanpa merusak masa depan anak. Demikian pula aparat penegak hukum diharapkan mengerti dan melaksanakan secara benar ketentuan dalam undangundang ini dikarenakan telah ada kasus penegakan hukum yang pelaksanaannya tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak, khususnya dalam Putusan Hakim No. 40/PID/2012/PT.JBI telah terjadi penyimpangan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pelindungan terhadap hak-hak anak merupakan tonggak utama dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dalam negara hukum.
xv DAFTAR PUSTAKA Buku Nashriana, 2011. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Perundang-Undangan Indonesia, Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 TentangSistemPeradilanPidanaAnak Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.