HUBUNGAN TEBAL LIPATAN LEMAK BAWAH KULIT (SKINFOLD) DENGAN KADAR ASAM URAT DARAH PADA USIA DEWASA



dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. umum lipid ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam pelarut non. dan paha seiiring dengan bertambahnya usia 4.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pada tubuh dapat menimbulkan penyakit yang dikenal dengan. retina mata, ginjal, jantung, serta persendian (Shetty et al., 2011).

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit asam urat atau biasa dikenal sebagai gout arthritis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gout (penyakit akibat pengendapan kristal Mono Sodium Urat/MSU)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia di ba

UPT Balai Informasi Teknologi LIPI Pangan & Kesehatan Copyright 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Pemeliharaan Kesehatan terhadap Penyakit

ABSTRAK GAMBARAN KADAR ASAM URAT SERUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu studi telah menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan merupakan masalah yang ada di setiap negara, baik di

HUBUNGAN PERSENTASE LEMAK TUBUH DENGAN TOTAL BODY WATER MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

salah satunya disebabkan oleh pengetahuan yang kurang tepat tentang pola makan yang menyebabkan terjadinya penumpukan asam urat.

BAB I PENDAHULUAN. fibrosa yang longgar. Skin tag dapat berupa tonjolan kecil, lunak dan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami. penurunan akibat proses degeneratif (penuaan) sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah, lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lebih dari 6,0 mg/dl terdapat pada wanita (Ferri, 2017).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian tenggara. RSUD Dr. Moewardi memiliki beberapa program

ABSTRAK GAMBARAN RERATA KADAR KOLESTEROL HDL PADA PRIA DEWASA MUDA OBES DAN NON OBES

FREDYANA SETYA ATMAJA J.

MANIFESTASI ASAM URAT PADA LANSIA DI PUSKESMAS KOTA WILAYAH SELATAN KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung koroner (PJK) penyebab kematian nomor satu di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB 1 PENDAHULUAN. Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu, namun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. 2 Hal ini diperkuat oleh hasil

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit

ABSTRAK HUBUNGAN OBESITAS YANG DINILAI BERDASARKAN BMI DAN WHR DENGAN KADAR KOLESTEROL TOTAL PADA PRIA DEWASA

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat adanya penimbunan

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik responden yang mempengaruhi tekanan darah. rentang tahun dan lansia akhir pada rentang tahun.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. epidemiologi di Indonesia. Kecendrungan peningkatan kasus penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. lemak oleh manusia, akhir-akhir ini tidak dapat dikendalikan. Hal ini bisa

BAB I PENDAHULUAN. dan metabolisme dalam tubuh. Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular yang diakibatkan karena penyempitan pembuluh darah

ABSTRAK GAMBARAN RERATA KADAR TRIGLISERIDA PADA PRIA DEWASA MUDA OBES DAN NON OBES

BAB I PENDAHULUAN.

Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah

EFEK PEMBERIAN KOMBUCHA COFFEE TERHADAP KADAR ASAM URAT DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BIOKIMIA NUTRISI. : PENDAHULUAN (Haryati)

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan cairan empedu, dinding sel, vitamin dan hormon-hormon tertentu, seperti hormon seks dan lainnya (Gondosari, 2010).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia termasuk salah satu abnormalitas fraksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jaringan di dalam tubuh untuk memperbaiki diri secara perlahan-lahan dan

PERBEDAAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN TANPA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR

PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. volume darah dan elastisitas pembuluh darah (Gunawan,Lany, 2007).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian berasal dari PTM dengan perbandingan satu dari dua orang. dewasa mempunyai satu jenis PTM, sedangkan di Indonesia PTM

Mitos dan Fakta Kolesterol

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA DEWASA MUDA OBESITAS DI STIKES INDONESIA PADANG

EFEK PEMBERIAN KOMBUCHA COFFEE TERHADAP KANDUNGAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L) JANTAN YANG DIINDUKSI URIC ACID

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN PROFIL LIPID PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

BAB I PENDAHULUAN. menyukai makanan siap saji yang memiliki kandungan gizi yang tidak seimbang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK PENGARUH DAN HUBUNGAN ANTARA BMI (BODY MASS INDEX) DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DAN KADAR GLUKOSA DARAH 2 JAM POST PRANDIAL

Transkripsi:

HUBUNGAN TEBAL LIPATAN LEMAK BAWAH KULIT (SKINFOLD) DENGAN KADAR ASAM URAT DARAH PADA USIA DEWASA SKRIPSI Oleh: ISNANY PURWANTO PUTRIE G1D010038 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN PURWOKERTO 2014

HALAMAN PENGESAHAN HUBUNGAN TEBAL LIPATAN LEMAK BAWAH KULIT (SKINFOLD) DENGAN KADAR ASAM URAT DARAH PADA USIA DEWASA Oleh : ISNANY PURWANTO PUTRIE G1D010038 Untuk memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan pendidikan Sarjana Keperawatan pada Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto SKRIPSI Telah disetujui dan disidangkan dihadapan Panitia Penguji Skripsi pada tanggal 15 Januari 2014 Penguji Dr. Saryono.,S.Kp.,M.Kes NIP 197612102002121001 Pembimbing I Desiyani Nani, S. Kep., Ns., M. Sc. NIP 197912312003122001 Pembimbing II Deny Achiriyati, S. Kep., Ns NIP 197712281997032003 ( ) ( ) ( ) Mengetahui, Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Dr. Warsinah, M.Si.,Apt. NIP 195810011987022001 ii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN Dengan ini, saya menyatakan bahwa dalam karya tulis ilmiah ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan atau kesarjanaan lain di suatu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Purwokerto, 15 Januari 2014 Isnany Purwanto Putrie NIM. G1D010038 iii

PERSEMBAHAN Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Lukman: 27) Puji syukur alhamdulillahirabbil alamin pada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan Setulus hatimu ibu, searif nasehatmu bapak Doamu hadirkan keridhaan untukku, nasehatmu tuntunkan jalanku Kasih sayangmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-mu ya Allah, kupersembahkan karya ini untukmu... orang tuaku tercinta Ibu Supanti dan Bapak Eko Purwanto yang selalu memberiku motivasi untuk berprestasi Untuk kakakku, Nurul Huda Oktriana, terimakasih atas semangat dan motivasi serta doa yang telah diberikan kepadaku. Kau adalah kakak terbaik di dunia ini bagiku.. Dan untuk seluruh keluarga besarku (nenek, kakek dan seluruh keluarga besarku), yang selalu memberiku bantuan setiap saat. Terima kasih atas kasih sayang kalian Untuk Bu Desi dan BuDeni, terima kasih atas bimbingan,doa, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini. Untuk Pak Saryono selaku penguji terima kasih atas saran dan masukan yang telah diberikan untuk menyempurnakan penyusunan skripsi ini. Untuk Bu Atyanti, yang bersedia untuk menjadi wakil komisi skripsiku. Terima kasih untuk semuanya,... Untuk Bu Eva, terima kasih atas semua kebaikan yang ibu berikan kepadaku karena sungguh berarti untukku. Untuk teman-temanku 2010 yang selalu memberikan kecerian, semangat, dan dukungan selama kuliah. Untuk sahabat-sahabat terbaikku (Dewi, Maya, Nita, Nana, Fransisca), terima kasih atas doa dan semangat untukku. Dan Untuk seluruh warga kosan Queeny terimakasih atas kebersamaannya selama ini Terima kasih juga untuk keluarga besar keperawatan UNSOED, dosen-dosen keperawatan, bapendik, asisten penelitianku, kakak-kakak, dan adik-adik kelasku yang telah mengisi harihariku. Serta keluarga besar MEDIS Keperawatan, NRC, dan Asisten Biokimia.tempatku berproses. ALMAMATERKU UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Isnany Purwanto Putrie Alamat : Jiwan Rt 02/01, Ngrombo, Plupuh, Sragen 57283 Tempat, tanggal lahir : Sragen, 28 September 1992 Email Riwayat Pendidikan : isnanypurwantoputrie@gmail.com : 1. SD N 1 Ngrombo 2. SMP N 1 Gemolong 3. SMA Al Islam 1 Surakarta 4. Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Tahun Angkatan 2010 Riwayat Pengabdian : Asisten Biokimia Tahun Ajaran 2012/2013 v

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Kadar Asam Urat Darah Pada Usia Dewasa. Terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Warsinah, M.Si., Apt., selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman. 2. Dr. Saryono, S.Kp., M. Kes, selaku Ketua Jurusan Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman. 3. Desiyani Nani, S. Kep. Ns., M. Sc., selaku dosen pembimbing I yang selalu memberi arahan, pencerahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Deni Achiriyati, S.Kep.,Ns., selaku dosen pembimbing II, terima kasih atas kesediaan waktunya yang selalu memberikan arahan, pencerahan, dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dr. Saryono, S.Kp., M. Kes., selaku dosen penguji I yang telah berkenan memberikan pengarahan demi kesempurnaan penelitian ini. 6. Atyanti Isworo, S. Kep., Ns., M. Kep., Sp. KMB., dan Iwan Purnawan M. Kep selaku wakil komisi tugas akhir yang telah berkenan memberikan pengarahan demi kesempurnaan penelitian ini. 7. Kedua orang tua dan kakakku tercinta, atas motivasi dan doa dalam penyusunan skripsi ini. vi

8. Sahabat dan teman seperjuangan angkatan 2010, terima kasih atas kerjasama dan bantuannya selama penyusunan skripsi ini. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bantuan moral maupun material dalam penulisan skripsi ini. 10. Almamaterku, Universitas Jenderal Soedirman Penulis menyadari masih banyak ketidaksempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi hasil yang lebih baik. Semoga hasil penelitian ini mendapat ridho dari Allah SWT dan bermanfaat bagi semua. Amin. Purwokerto, 15 Januari 2014 Penulis vii

HUBUNGAN TEBAL LIPATAN LEMAK BAWAH KULIT (SKINFOLD) DENGAN KADAR ASAM URAT DARAH PADA USIA DEWASA Isnany Purwanto Putrie 1 Desiyani Nani 2 Deny Achiriyati 3 1 Mahasiswa Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman 2 Departemen Keperawatan Dasar, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman 3 Unit Gawat Darurat, Rumah Sakit Umum Daerah Ajibarang ABSTRAK Latar Belakang: Hiperurisemia tidak hanya dialami oleh lansia akan tetapi usia dewasa juga berisiko menderita hiperurisemia. Hiperurisemia disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah adanya akumulasi lemak berlebih yang diindikasikan dengan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold). Dampak hiperurisemia ini sangat besar pada tingkat morbiditas dan mortalitas. Tujuan: Mengetahui hubungan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat darah pada usia dewasa. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 80 responden. Responden penelitian mengisi lembar skrining kemudian responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diukur tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan skinfold caliper dan kadar asam urat dengan alat ukur asam urat digital. Analisa data yang digunakan adalah uji statistik parametrik pearson. Hasil: Rerata skinfold pada pria 88,46 mm dan wanita 117,15 mm sedangkan rerata kadar asam urat darah pria 6,32 mg/dl dan wanita 5,01 mg/dl. Uji statistik pearson menunjukkan p value > 0,05 (p value = 0,854 pada pria dan 0,999 pada wanita). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat darah pada usia dewasa baik pada pria maupun wanita. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat darah pada usia dewasa. Kata kunci: skinfold, asam urat, usia dewasa Referensi: 78 (1995-2013) viii

THE RELATION BETWEEN THICK OF UNDER FAT FOLD LAYER (SKINFOLD) WITH THE BLOOD URIC ACID LEVEL IN ADULT Isnany Purwanto Putrie 1 Desiyani Nani 2 Deny Achiriyati 3 1 Student of Nursing Program, Faculty of Medical and Health Sciences, Jenderal Soedirman University 2 Basic Science in Nursing Department, Nursing Program, Faculty of Medical and Health Sciences, Jenderal Soedirman University 3 Emergency Unit, Ajibarang State Hospital ABSTRACT Background: Hyperuricemia is not only experienced by the elderly person but also on adult. Hyperuricemia were caused by various factors. One is the presence of excess fat accumulation, indicated skinfold. Impact of hyperuricemia were significant increasing level of morbidity and mortality. Purpose: This research aims to determine the relation between skinfold layer with the blood uric acid level in adult. Method: This research used a cross sectional design. Sampling used purposive sampling. Samples that used in this research were 80 respondents. The respondents fulfill the screening chart. Respondents are persons who included in the inclusion and exclusion criteria. Skinfold layer was measured by skinfold caliper and blood uric acid levels was measured by digital measuring instrument. Analysis of the data used parametric statistical test was Pearson Product Moment. Result: Mean skinfold in men 88,46 mm and woman 117,15 mm while mean blood uric acid levels in men 6,32 mg/dl and woman 5,01 mg/dl. Pearson test showed p value> 0.05 (p value = 0.854 in men and 0.999 in woman). Results showed that there was no significant relation between skinfold layer with blood uric acid levels in adult both men and women. Conclusion: There was no significant relation between skinfold with blood uric acid levels in adult. Keywords: skinfold layer, blood uric acid levels, adult Reference : 78 (1995-2013) ix

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iii PERSEMBAHAN... iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP... v PRAKATA... vi ABSTRAK... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 5 C. Tujuan Penelitian... 6 D. Manfaat Penelitian... 7 E. Keaslian Penelitian... 7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori... 12 1. Lipid... 12 2. Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold)... 16 x

3. Asam Urat... 21 4. Hubungan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Kadar Asam Urat... 37 B. Kerangka Teori... 40 C. Kerangka Konsep... 41 D. Hipotesis Penelitian... 42 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian... 43 B. Waktu dan Tempat Penelitian... 43 C. Populasi dan Sampel... 43 D. Variabel Penelitian... 45 E. Definisi Operasional... 46 F. Instrumen Penelitian... 47 G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 47 H. Tenik Pengumpulan Data... 48 I. Langkah dan Teknik Penelitian... 49 J. Analisis Data... 51 K. Etika Penelitian...... 52 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 54 B. Pembahasan... 59 C. Keterbatasan Penelitian... 78 xi

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 79 B. Saran... 80 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

DAFTAR TABEL Tabel Halaman 3.1 Definisi operasional... 46 4.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin... 54 4.2 Rerata usia responden berdasarkan jenis kelamin... 55 4.3 Rerata tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) berdasarkan jenis Kelamin... 55 4.4 Perbedaan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) berdasarkan jenis kelamin... 56 4.5 Rerata kadar asam urat darah berdasarkan jenis kelamin... 57 4.6 Perbedaan kadar asam urat darah berdasarkan jenis kelamin... 57 4.7 Hubungan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat darah berdasarkan jenis kelamin... 58 xiii

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2.1 Metabolisme asam urat... 22 2.2 Komplikasi hiperurisemia... 34 2.3 Bagan Kerangka Teori... 40 2.8 Bagan Kerangka Konsep... 41 xiv

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED. Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Banyumas. Lampiran 3. Surat Izin Penelitian dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banyumas. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Jadwal Kegiatan Penelitian Lembar Permohonan Menjadi Responden. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lembar Skrining Responden Data Hasil Penelitian Responden Pria Data Hasil Penelitian Responden Wanita Lampiran 10. Hasil Analisa Data Lampiran 11. Hasil Uji Normalitas Data Lampiran 12. Hasil Analisa Data Pearson Product Moment Lampiran 13. Hasil Analisa Data Uji t Independent Lampiran 14. Lembar Bimbingan Konsultasi Skripsi xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asam urat merupakan produk akhir dari katabolisme adenin dan guanin yang berasal dari pemecahan nukleotida purin. Asam urat ini dikeluarkan melalui ginjal dalam bentuk urin (Nasrul & Sofitri, 2012). Kelebihan Asam urat (hiperurisemia) sering disebut dengan istilah gout yaitu merupakan gangguan inflamasi akut yang ditandai dengan adanya nyeri akibat penimbunan kristal monosodium urat pada persendian maupun jaringan lunak di dalam tubuh (Shetty et al., 2011). Hiperurisemia ditandai dengan peningkatan kadar asam urat > 6,8 mg/dl. Menurut Sudoyo et al., (2010) hiperurisemia ditandai dengan peningkatan kadar asam urat > 7 mg/dl pada laki-laki dan > 6 mg/dl pada perempuan. Kejadian hiperurisemia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Data yang diterbitkan di USA pada tahun 1998 secara keseluruhan diketahui bahwa prevalensi asam urat yaitu 8,4/1000 orang untuk semua umur, ras dan jenis kelamin dan diperkirakan jumlah kasus di Amerika Serikat 1,56 juta laki-laki dan 550.000 perempuan (Doherty, 2009; Festy, & Aris, 2010). Penelitian yang dilakukan di Minahasa diperoleh prevalensi hiperurisemia pria sebanyak 34,30% dan wanita 23,31% pada usia dewasa muda (Budianti, 2008). 1

2 Hiperurisemia dapat disebabkan oleh banyak faktor meliputi usia, jenis kelamin, diet (tinggi alkohol, jerohan dan makanan tinggi fruktosa), obat-obatan tertentu (diuretik, aspirin dosis rendah), keturunan, gangguan kesehatan seperti sindrom metabolik, hipertensi, hipertrigliserida, obesitas sentral, maupun gagal ginjal kronik (Weaver et al., 2010). Faktor risiko tersebut dapat mengganggu proses produksi, ekskresi maupun kedua proses sehingga kadar asam urat dalam tubuh tidak bisa dikendalikan dengan baik. Kadar asam urat pada laki-laki mulai meningkat setelah masa pubertas berbeda dengan wanita, karena pada masa pubertas wanita memiliki banyak hormon estrogen yang salah satu fungsinya adalah untuk mengekskresi asam urat dari dalam tubuh sedangkan pada laki-laki tidak terdapat hormon estrogen untuk itu pada usia pubertas lebih banyak laki-laki yang mengalami hiperurisemia dibanding perempuan. Menurut Doherty (2009) hiperurisemia lebih banyak diderita oleh laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1 dibawah usia 65 tahun sedangkan usia lebih dari 65 tahun perbandingan prevalensi hiperurisemia 3:1 pada laki-laki dan perempuan. Penelitian meta-analisis yang dilakukan pada tahun 2011 di Cina didapatkan hasil bahwa prevalensi penderita hiperurisemia pada laki-laki 21,6% dan pada perempuan 8,6%. Setelah wanita mengalami menopause baru terjadi peningkatan asam urat karena jumlah hormon estrogen mulai mengalami penurunan (Festy et al., 2010). Menopause rata rata terjadi pada usia 51,4 tahun, akan tetapi pada 10% wanita mengalami menopause

3 pada usia 40 tahun dan 5% wanita mengalami menopause pada usia 60 tahun (Bobak et al., 2005). Penelitian yang dilakukan Shetty et al., (2011) didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan positif antara kadar asam urat dengan usia yaitu pada kelompok usia 30 40 tahun baik pada laki-laki maupun perempuan. Menurut Carlioglu et al., (2011) bahwa rata rata penderita hiperurisemia pada perempuan yaitu usia 51 tahun. Penderita hiperurisemia pada laki laki banyak terjadi pada usia 30-59 tahun (Ryu et al., 2011). Hiperurisemia berdampak pada banyak hal meliputi adanya gangguan pada retina mata, gangguan pada ginjal, jantung serta adanya kerusakan pada persendian. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al., (2011) menunjukkan bahwa kejadian mortalitas akibat hiperurikemia adalah 68,4% dan pada kelompok non hiperurikemia sebanyak 38,3%. Selain itu dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa hiperurisemia meningkatkan resiko terjadinya gagal ginjal akut dan kematian. Obesitas merupakan timbunan lemak berlebih di dalam tubuh sehingga menimbulkan berat badan melebihi ukuran normal (Sandjaja & Sudikno, 2005). Hasil survei nasional mengenai IMT pada tahun 1996/1997 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas (IMT > 25) pada laki-laki sebesar 14,9% sedangkan pada perempuan adalah 24% (Sargowo & Andarini, 2011). Hasil survei IMT pada tahun 2007 diperoleh bahwa prevalensi obesitas di Indonesia mencapai 19,1% (Retnaningsih, 2010). Menurut Shetty et al., (2011) bahwa terdapat hubungan

4 positif antara kadar asam urat dengan body massa index (BMI) pada kelompok usia 20-30 tahun dan 30-40 tahun. Lemak yang disimpan pada jaringan bawah kulit yaitu trigliserida yang diindikasikan dengan obesitas. Hipertrigliserida sering dikaitkan dengan kejadian hiperurisemia. Menurut Berkowitz dan Frank sebanyak 52 82 % pria dengan hiperurisemia mempunyai kadar trigliserida tinggi (Budianti, 2008). Seseorang yang obesitas, lipatan lemak bawah kulit (skinfold) cenderung lebih tebal dan persentase lemak di dalam tubuh semakin meningkat. Bahkan besarnya tebal lipatan lemak tersebut tidak hanya dialami oleh orang obesitas tetapi pada orang yang IMT normal juga bisa memiliki tebal lipatan lemak yang besar. Distribusi pola penyebaran lemak berbeda antara pria dan wanita. Hal tersebut dipengaruhi oleh fungsi hormonal. Pada wanita dimulai sejak masa pubertas, penyebaran lemak berada di sekitar payudara, abdomen bawah, panggul, paha, pantat dan sekitar genital. Penyebaran lemak pada laki-laki cenderung berada di bagian abdomen, tengkuk leher, punggung (Hazleman, Riley & Speed, 2004). Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas II Baturaden terdapat 8 orang perempuan yang memiliki kadar asam urat tinggi di tiga bulan terakhir dengan usia rata-rata 40 tahun. Selain itu dari 4 orang Penduduk Desa Rempoah usia rentang 40-60 tahun memiliki kadar asam urat mulai dari 4,8-10,3 mg/dl dengan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) antara 80-180 mm. Jumlah penduduk Desa Rempoah dengan usia 40-60 tahun sebanyak 1944 orang. Penduduk tersebut mengkonsumsi makanan yang

5 bermacam-macam seperti tahu, tempe, daging ayam, jerohan, sayuran. Selain itu Desa Rempoah Baturaden belum pernah dilakukan penelitian tentang tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) untuk mendeteksi kadar asam urat. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Hubungan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Kadar Asam Urat Darah Pada Usia Dewasa (40-60 tahun). B. Rumusan masalah Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kejadian hiperurisemia pada laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 4:1. Penelitian yang dilakukan di Minahasa menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia pada laki-laki 34,30% dan pada perempuan 23,31% di usia dewasa muda. Salah satu faktor risikonya adalah obesitas (penimbunan lemak berlebih) yang diindikasikan dengan tebal lipatan lemak bawah kulit. Dampak hiperurisemia ini cukup besar pada tingkat morbiditas seperti gagal ginjal akut hingga terjadi kematian sehingga penting untuk dilakukan deteksi dini. Berdasarkan latar belakang di atas, didapat rumusan masalah sebagai berikut: Adakah hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat pada usia dewasa di Desa Rempoah Baturaden?

6 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus: 1) Tujuan Umum Untuk mengidentifikasi Hubungan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Kadar Asam Urat Pada Usia Dewasa di Desa Rempoah Baturaden. 2) Tujuan khusus a. Mengetahui karakteristik responden (usia dan jenis kelamin). b. Menilai tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) pada usia dewasa di Desa Rempoah Baturaden c. Mengetahui perbedaan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) antara pria dan wanita usia dewasa di Desa Rempoah Baturaden d. Menilai kadar asam urat pada usia dewasa di Desa Rempoah Baturaden e. Mengetahui perbedaan kadar asam urat darah antara pria dan wanita pada usia dewasa di Desa Rempoah Baturaden f. Menganalisis hubungan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat pada usia dewasa di Desa Rempoah Baturaden.

7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi peneliti Hasil penelitian dapat dijadikan bahan informasi untuk penelitian selanjutnya sehingga dapat mengembangkan intelektual tentang hubungan tebal lipatan lemak bawah kulit dengan kadar asam urat. 2. Manfaat Bagi Pengetahuan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur tambahan dan juga sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut khususnya dalam bidang kesehatan. 3. Manfaat Bagi Praktisi Menjadi acuan bagi petugas kesehatan khususnya perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. 4. Manfaat Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai pengetahuan dan wawasan ilmiah bagi masyarakat. E. Keaslian penelitian Penelitian yang berjudul Hubungan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Kadar Asam Urat Pada Usia Dewasa di Desa Rempoah Baturaden belum pernah ada yang melakukan. Penelitian ini diajukan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang hampir sama yaitu:

8 1. Penelitian yang telah dilakukan oleh Suchetha Kumari N, Atul Kamath M, Sukanya Shetty, Roopa Rani Bhandary, Kathyayini pada tahun 2011 dengan judul Serum uric acid as obesity related indicator in young obese adults. Responden dalam penelitian ini dikategorikan dalam dua kelompok yaitu kelompok usia 20-30 tahun dan usia 30-40 tahun. Setelah ada persetujuan untuk menjadi responden, masing-masing responden diambil sampel darah sebanyak 2 ml. Kemudian dihitung indeks massa tubuh tiap responden serta dikelompokkan menjadi kategori berat badan normal, berat badan berlebih dan obesitas. Data dianalisa menggunakan uji one way ANOVA. Didapatkan hasil bahwa pada kelompok usia 20-30 tahun dan 30-40 tahun menunjukkan terdapat hubungan positif antara kadar asam urat dan BMI. Selain itu juga ada hubungan positif antara kadar asam urat dengan usia pada kelompok usia 30-40 tahun. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat darah pada usia dewasa di Desa Rempoah Baturaden adalah pada penentuan variabel bebas dan variabel terikatnya, uji analisis, tempat penelitian, jumlah populasi dan sampel serta instrumen penelitiannya. Variabel terikat penelitian tersebut adalah obesitas pada remaja dan variabel bebasnya adalah kadar asam urat serum. Sedangkan variabel terikat penelitian ini adalah kadar asam urat dan variabel bebasnya yaitu tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold).

9 Persamaannya adalah pada permasalahan yang diteliti yaitu kadar asam urat darah. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Pipit Festy, Anis Posyiatul H, Afnan Aris pada tahun dengan judul Hubungan Antara Pola Makan Dengan Kadar Asam Urat Darah Pada Wanita Postmenopause. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik cross sectional dengan uji korelasi. Pada wanita postmenopause usia 50 tahun. Diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara pola makan dengan kadar asam urat darah pada wanita postmenopause. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada variabel bebasnya. Variabel bebas pada penelitian tersebut yaitu pola makan sementara penelitian ini adalah tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold). Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel terikat yaitu kadar asam urat. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Tyas Sitaresmi K, Saryono, Iwan P, pada tahun 2009 dengan judul Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Asam Urat Darah. Penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan kadar asam urat darah pada laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional dengan desain korelasi pada populasi berusia 21-60 tahun.

10 Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada variabel bebas, variabel terikat dan responden. Variabel bebas dan terikat pada penelitian tersebut adalah indeks massa tubuh dan kadar asam urat. Sedangkan variabel bebas dan variabel terikat pada penelitian ini adalah tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dan variabel terikatnya kadar asam urat darah. Persamaannya yaitu terletak pada metode penelitian. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Ayse Carlioglu, Feridun Karakurt, Senem Maral, Benan Kasapoglu, Tahir Darcin pada tahun 2011 berjudul Serum Uric Acid Level in Obese Woman Penelitian tersebut merupakan penelitian prospektif yang dilakukan pada 644 wanita dengan usia rata-rata 51±9,7 tahun di Fatih University Hospital. Inform consent telah diisi oleh responden yang telah dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan indeks massa tubuh (IMT). Hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa kadar asam urat dan kreatinin lebih tinggi pada obesitas dari pada kelompok berat badan normal dan berlebih (p: 0,00). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan yaitu variabel bebas, terikat dan desain penelitian. Pada penelitian ini variabel bebasnya adalah kadar asam urat sedangkan penelitian yang dilakukan adalah skinfold. Variabel terikat pada penelitian ini adalah obesitas sedangkan pada penelitian yang dilakukan yaitu kadar asam urat. Desain penelitian ini menggunakan desain prospektif sedangkan penelitian yang dilakukan adalah

11 desain cross sectional. Persamaannya yaitu membahas permasalahan tentang asam urat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Lipid a. Pengertian Lipid adalah sekelompok senyawa non heterogen yang meliputi asam lemak dan turunannya, lemak netral (trigliserida), fosfolipid serta sterol. Sifat umum lipid ada yang tidak larut dalam air dan ada yang larut dalam pelarut non polar (Murray, Granner, & Rodwell, 2009). Persentase lemak cenderung bertambah pada bagian pinggul, abdomen dan paha seiring dengan bertambahnya usia. b. Proses Metabolisme dan Transportasi Lipid Makanan yang tidak larut dalam air di dalamnya mengandung triasilgliserol. Triasilgliserol tersebut akan dirubah menjadi misel oleh garam empedu. Enzim lipase pankreas akan merubah trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol sehingga dapat diserap oleh mukosa usus. Kemudian di dalam mukosa usus, asam lemak dan gliserol tersebut akan disintesis kembali menjadi trigliserida. Kolesterol dari diet makanan akan digabungkan dengan triasilgliserol sehingga membentuk senyawa yang lebih kecil yaitu kilomikron yang akan ditransport ke jaringan-jaringan. Triasilgliserol diputus pada dinding pembuluh darah 12

13 oleh lipoprotein lipase menjadi asam lemak dan gliserol. Kedua senyawa ini akan diangkut menuju ke sel target (Ganong, 2008). Pada sel otot, asam lemak akan dirubah menjadi energi sedangkan pada sel adiposa asam lemak akan disimpan dalam bentuk triasilgliserol. Pembentukan asam lemak menjadi triasilgliserol ini disebut dengan esterifikasi. Sewaktu-waktu jika tubuh mengalami kekurangan energi maka triasilgliserol ini akan dipecah menjadi asam lemak dan gliserol untuk ditransport ke sel-sel yang kemudian dioksidasi membentuk energi. Hasil sampingan dari metabolisme trigliserida ini adalah benda keton. Oleh karena itu apabila pemecahan lemak ini meningkat maka benda keton yang dihasilkan juga akan meningkat. Proses pemecahan triasilgliserol menjadi asam lemak dan gliserol disebut lipolisis (Murray et al., 2009) c. Jenis jenis Lipid Berdasarkan hasil hidrolisisnya lipid digolongkan menjadi lipid sederhana, lipid majemuk dan sterol (Murray et al., 2009). 1) Lipid Sederhana Lemak dan minyak merupakan lipid sederhana yang terdiri atas trigliserida campuran dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Lemak tersimpan diseluruh tubuh tetapi jumlahnya paling banyak terdapat pada jaringan adiposa. Secara kimiawi lemak disebut

14 sebagai trigliserida, yaitu senyawa yang terbentuk dari gliserol dan asam lemak. 2) Lipid Majemuk Hasil hidrolisis dari lipid majemuk adalah gliserol, asam lemak dan zat lain. Lipid kompleks dikelompokkan menjadi dua, yaitu fosfolipida dan glikolipida. Fosfolipid merupakan senyawa yang akan menghasilkan gliserol, asam lemak, asam fosfat dan senyawa nitrogen apabila dihidrolisis. Sedangkan glikolipida merupakan senyawa lipid yang mengandung karbohidrat. 3) Sterol Sterol merupakan senyawa yang dapat dipisahkan dari lemak setelah dilakukan penyabunan. Sterol yang terdapat dalam minyak terdiri dari kolesterol dan fitosterol. Kolesterol merupakan komponen utama untuk menyusun batu empedu. Kolesterol ini berfungsi untuk pembentukan hormone seks steroid, vitamin D serta membantu proses absorbsi asam lemak pada usus. Kelebihan kolesterol dalam tubuh dapat berisiko menderita penyakit jantung koroner. Kolesterol dalam tubuh diedarkan dalam bentuk partikel lipoprotein. Lipoprotein dibagi menjadi empat golongan yaitu kilomikron, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL) dan high density lipoprotein (HDL). Kilomikron

15 berfungsi mengangkut lemak ke jaringan yang membutuhkan. VLDL berfungsi untuk mengangkut triasilgliserol dari hati ke jaringan ekstrahepatik. LDL berperan untuk mengangkut kolesterol dari sel ke sel lain yang digunakan untuk sintesis hormone seks steroid. Sedangkan HDL berfungsi mengangkut kolesterol ke hati untuk diekskresikan melalui empedu baik dalam bentuk kolesterol ataupun asam empedu. d. Trigliserida Trigliserida merupakan salah satu lemak yang dapat diserap oleh tubuh setelah mengalami hidrolisis. Pada jaringan lemak, otot dan darah trigliserida akan dihidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase dan sisa dari hidrolisis tersebut kemudian dimetabolisme menjadi LDL. Kolesterol yang terkandung dalam LDL akan ditangkap oleh reseptor yang berada di jaringan perifer sehingga LDL ini sering disebut kolesterol jahat. Tertimbunnya kolesterol jahat di perifer tersebut akan diangkut oleh HDL keluar melalui saluran empedu sehingga sering disebut dengan HDL (Marks, Marks, & Smith, 2000). e. Dampak Kelebihan Lemak Trigliserida yang berlebih di dalam tubuh dapat menyebabkan trombus dan plak dalam pembuluh darah sehingga aliran darah terhambat. Adanya plak ini terjadi karena penumpukan makrofag untuk memakan benda asing yang dirasa berbahaya bagi tubuh. Hal ini

16 menyebabkan jantung melakukan kompensasi yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (Agustini, Wahyuni, & Nila, 2013). Menurut Ballard dalam R, A, & I (2013) timbunan lemak dan trigliserida di dalam tubuh terjadi akibat pertumbuhan sel secara hipertrofi dan hiperplasia sehingga menimbulkan obesitas dan muncul penyakit lain seperti aterosklerosis, diabetes mellitus dan gangguan kardiovaskular. Lemak tidak semuanya digunakan oleh tubuh sebagai energi. Ada yang sebagian disimpan dalam jaringan adiposa sebagai cadangan energi. Pembakaran lemak menjadi kalori dalam darah akan menyebabkan meningkatnya benda keton di darah (ketosis). Salah satu dampak ketosis ini menghambat pembuangan asam urat melalui urin (Ganong, 2008). 2. Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) a. Definisi Tebal lipatan lemak kulit menggambarkan perkembangan jaringan lemak bawah kulit. Pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit ini bisa juga digunakan untuk memperkirakan jumlah lemak (persentase lemak) yang ada di dalam tubuh serta tebal lipatan lemak bawah kulit yang digunakan sebagai parameter kegemukan maupun obesitas. Pengukuran tebal kulit ini dapat dilakukan pada empat bagian yaitu pada bagian bisep, trisep, subkapsular dan suprailiaka (Shakeryan, Nikbakht, &

17 Kashkoli, 2013). Pengukuran yang dilakukan pada bagian trisep salah satunya dapat digunakan untuk mengukur massa otot. Metode yang digunakan untuk mengukur tebal lipatan lemak dan persentase lemak ini adalah metode anthropometri dengan teknik skinfold. Metode ini banyak kelebihannya selain murah juga tidak merugikan kesehatan. b. Cara Pengukuran Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) Pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dan persentase lemak dapat dilakukan dengan menggunakan alat skinfold caliper dengan satuan millimeter. Pengukuran dapat dilakukan sebanyak dua sampai tiga kali pada masing-masing pengukuran. Hasil yang diperoleh adalah hasil rata-rata dari pengukuran jika dilakukan sebanyak dua kali dan nilai median jika dilakukan sebanyak tiga kali. Subjek yang diukur harus dalam keadaan relaksasi dan tegak. Untuk memperoleh hasil yang akurat pada pengukuran tebal kulit dibutuhkan keterampilan yang baik agar dalam pengukuran tidak terdapat kesalahan yang signifikan. Menurut Lohman et al., dalam Shakeryan et al., (2013) untuk mendapatkan keakuratan tersebut perlu diperhatikan langkah-langkah pengukuran sebagai berikut : 1). Pakaian tidak perlu dibuka (cukup menyingsingkan pakaian pada bagian yang akan diukur)

18 2). Mengangkat dan memegang lipatan bawah kulit dengan ibu jari dan jari telunjuk. Kemudian kemudian menempatkan skinfold caliper diantara lipatan lemak bawah kulit sekitar 1 sampai 1 inchi dari jari 4 2 yang memegang lipatan. 3). Ketika dilakukan pengukuran, jari tetap memegang lipatan lemak. Jadi skinfold caliper tidak digunakan untuk menahan sekaligus mengukur tebal kulit melainkan hanya untuk mengukur tebal lipat kulit. 4). Untuk memperoleh hasil yang akurat, dapat dilakukan pada dua atau tiga tempat yang kemudian diambil hasil rata-rata dari pengukuran. Cara pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold ) pada tiap tiap bagian adalah sebagai berikut (Indriati, 2010): 1). Bagian trisep a). Memberikan tanda pada bagian trisep antara siku sampai dengan bagian ujung bahu. b). Mengangkat lipatan lemak dengan ibu jari dan jari telunjuk kiri. c). Memasukkan lipatan lemak kulit pada rahang caliper,kemudian menandai lemak antara rahang caliper. d). Melepaskan ibu jari dari caliper sehingga ujung caliper memiliki tenaga penuh pada lipatan lemak kulit. Membaca segera setelah alat pertama kali dilepaskan.

19 e). Untuk memperoleh data yang akurat dapat dilakukan pengukuran pada dua sampai tiga bagian kemudian dihitung hasil pengukuran rata-rata. 2). Bagian Bisep a). Memberikan tanda pada otot bisep ketika fleksi. Lengan yang akan dilakukan pengukuran harus relaksasi dan berada dalam posisi tegak lurus. b). Mengambil tebal lipatan lemak kulit dengan ibu jari dan jari telunjuk. c). Kemudian melanjutkan langkah 3,4 dan 5 pada langkah pengukuran bagian trisep. 3). Bagian subkapsula Letaknya sekitar 45 derajat di bawah ujung tulang belikat. a). Mengambil tebal lipatan lemak kulit di bawah tulang belikat b). Memberikan tanda pada tengah-tengah lipatan sambil memegang lipatan lemak sekitar 1 inchi dari tanda yang sudah diberikan. Kemudian melanjutkan langkah 3,4 dan 5 pada langkah pengukuran trisep. 4). Bagian suprailiaka Terletak di atas puncak iliaka pada garis mid axila (sekitar 2,5 cm di atas pinggul) a). Mengambil skinfold mengikuti lipatan dari kulit.

20 b). Memberikan tanda pada tengah-tengah lipatan. Memegang lipatan sekitar 1 sampai 1 inchi dari tanda yang sudah diberkan. Kemudian 4 2 langkah 3,4 dan 5 sama dengan langkah pada pengukuran trisep. 5). Abdomen (Abdominal skinfold) Arah cubitan vertikal dengan jarak 5 cm dari umbilikus. (setinggi umbilikus). 6). Krista iliaka (Iliac crest skinfold) Cubitan dilakukan pada crista iliaca. Subjek berdiri dengan salah satu lengan kanan abduksi 90 o. Kemudian jari pemeriksa meraba bagian crista iliaca serta meraba seluruh permukaan crista iliaca. Lipatan dilakukan pada pososi miring ke depan dengan sudut kurang lebih 45 terhadap garis horisontal. 7). Midaxillary Cubitan dilakukan dengan arah vertikal setinggi sendi xiphosternal (dibawah sternum) sepanjang garis ilio-axilla. Pada saat dilakukan pengukuran, salah satu lengan mengambil posisi abduksi 90 o. 8). Betis (Medial calf skinfold) Cubitan dilakukan dengan arah vertical pada medial betis (tengah). Posisi subjek duduk di kursi dengan posisi kaki fleksi 90 o.

21 9). Paha Bagian Depan (Front thigh skinfold) Pengukur berdiri menghadap sisi kanan subyek. Subyek dalam posisi duduk di kursi dengan lutut fleksi 90 o. Cubitan dilakukan dengan arah vertikal pada garis tengah aspek anterior paha di pertengahan antara lipat paha dengan tepi atas patella. 10. Dada (chest) Cubitan dilakukan sedikit miring sesuai dengan lipatan ketiak depan sepanjang linea axillaris anterior. 3. Asam Urat a. Definisi Asam urat adalah produk dari metabolisme nukleotida purin (Murray et al., 2009). Asam urat merupakan senyawa yang memiliki sifat sangat sulit larut di dalam air. Asam urat disebut juga senyawa semi solid. b. Metabolisme Purin Purin dihasilkan melalui tiga mekanisme yaitu degradasi DNA (Deoxyribonucleic Acid), degradasi asam nukleat serta berkurangnya sintesis ATP (adenosine triphosphate). Pada deplesi DNA akan terjadi mekanisme sintesis inosin dari adenosin dengan adenosin deaminase sebagai katalisatornya. Selanjutnya inosin akan dirubah menjadi hipoxantin yang kemudian akan dioksidasi lagi menjadi xantin. Sedangkan pada degradasi asam nukleat mekanisme pembentukan xantin

22 berasal dari basa guanin. Xantin tersebut yang kemudian akan dioksidasi menjadi asam urat (Weaver et al., 2010). Degradasi sel DNA Asam amino Glutamat NH 3 Deplesi ATP AMP menjadi Adenin IMP (Inosin monofosfat) Degradasi asam nukleat GMP manjadi guanosin Glutamin Inosin Hipoxantin Xantin Asam urat Gambar 2.1 Metabolisme Asam Urat (Weaver et al.,2010) c. Hiperurisemia Penyakit kelebihan asam urat disebut dengan hiperurisemia. Hiperurisemia dikarakteristikkan dengan adanya nyeri karena terdapat timbunan monosodium kristal urat pada persendian. Hiperurisemia merupakan gangguan arthritis inflamatori akut yang juga ditandai oleh adanya peningkatan kadar asam urat darah > 6,8 mg/dl (Weaver et al., 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andry, Saryono & Upoyo (2009) bahwa prevalensi hiperurisemia pada usia < 50 tahun dan > 50 tahun terjadi sebanyak 30%. Dari lima puluh sembilan studi yang

23 dikumpulkan untuk dilakukan analisis secara sistematik diperoleh hasil bahwa prevalensi hiperurisemia pada laki-laki adalah 21,6% sedangkan pada wanita adalah 8,6%. Usia risiko untuk menderita hiperurisemia pada laki-laki yaitu usia 30 tahun sedangkan 50 tahun untuk usia wanita (Liu, 2011). a. Klasifikasi Hiperurisemia atau yang sering disebut dengan istilah gout dibagi menjadi 2 macam yaitu gout primer dan gout sekunder (Weaver et al., 2010). Gout primer disebabkan karena dampak langsung dari peningkatan produksi ataupun penurunan ekskresi asam urat dalam tubuh. Sedangkan gout sekunder merupakan gangguan produksi (berlebih) dan gangguan penurunan ekskresi asam urat dalam tubuh yang disebabkan oleh faktor lain seperti gangguan metabolik maupun konsumsi obat-obatan tertentu (Price & Wilson, 2006). b. Tahapan perjalanan Klinis Gout atau yang sering disebut dengan asam urat dibagi menjadi empat tahap. Tahap pertama yaitu tahap hiperurisemia asimptomatik. Pada tahap ini dikarakteristikkan oleh adanya peningkatan kadar asam urat darah tetapi belum muncul tanda dan gejala lain seperti nyeri ataupun pembengkakan. Kadar asam urat darah normal pada laki-laki adalah 5,1 mg/dl sedangkan pada perempuan 4,0 mg/dl. Pada keadaan

24 hiperurisemia asimptomatik kadar asam urat ini dapat meningkat hingga 9-10 mg/dl (Price & Wilson, 2006). Tahapan yang kedua yaitu terjadi serangan gout akut. Menurut Syukri (2007), pada tahap ini mulai muncul tanda gejala seperti adanya pembengkakan pada daerah sendi jari-jari tangan, pergelangan tangan, lutut dan siku. Selain itu penderita juga mulai merasa nyeri yang sangat hebat. Serangan akut ini terjadi karena ada penimbunan natrium urat sehingga konsentrasi asam urat darah meningkat. Oleh karena tubuh tidak mampu mengatasi peningkatan tersebut sehingga terjadilah kristalisasi dan penimbunan asam urat darah. Timbunan kristal urat ini memicu leukosit untuk melakukan salah satu fungsinya yaitu memfagosit (memakan) zat yang dianggap asing dan mengganggu fungsi normal tubuh. Salah satu respon yang ditimbulkan dari proses ini adalah terjadinya peradangan sehingga timbul nyeri (Price & Wilson, 2006). Tahap selanjutnya yaitu tahap interkritis. Pada tahap ini gejalagejalanya sudah tidak muncul lagi selama kurun waktu yang lama hingga mencapai tahun (Price & Wilson, 2006). Kemudian tahap yang terakhir yaitu tahap kronik. Hiperurisemia yang semakin banyak akan menyebabkan gout kronik ini. Timbunan asam urat akan semakin banyak sehingga gejala akut yang akan muncul lagi pada tahapan ini dan bahkan semakin parah hingga muncul tofi (Weaver et al., 2010).

25 c. Patofisiologi Hiperurisemia Produksi asam urat pada keadaan normal dipengaruhi oleh faktor diet dan asam ribonukleat yang berasal dari sel. Konsumsi makanan yang mengandung purin akan dimetabolisme di dalam tubuh menjadi asam urat. Purin juga dapat dihasilkan dari proses sintesis DNA (Deoxyribonucleic Acid ) dan RNA (Ribonucleic Acid). Purin yang telah terbentuk akan diubah menjadi hipoxanthin. Dengan bantuan xanthin oksidase, hipoxanthin akan dioksidasi menjadi xanthin yang kemudian terbentuklah asam urat melalui proses oksidasi. Terjadinya hiperurisemia dapat dipicu oleh banyak faktor yaitu pola makan yang kurang baik (diet tinggi purin), konsumsi alkohol, obesitas, gangguan metabolik, obat-obatan tertentu serta degradasi sel DNA yang abnormal (Ganong, 2008). Proses selanjutnya yaitu terjadi penimbunan asam urat pada persendian akibat ketidakmampuan tubuh dalam melakukan kompensasi terhadap keadaan hiperurisemia. Asam urat yang mengendap semakin lama akan mengkristal dalam jaringan seperti pada sendi jari-jari tangan, siku, lutut dan pergelangan tangan, sehingga terjadi perubahan jaringan pada daerah yang terdapat timbunan asam urat. Terbentuknya kristal urat ini akan menstimulasi sistem pertahanan tubuh dengan cara mengaktifkan mekanisme fagositosis dari leukosit. Leukosit akan memfagosit timbunan kristal urat sebagai salah satu cara untuk

26 menurunkan kadar asam urat darah. Respon yang diakibatkan dari mekanisme fagositosis kristal tersebut adalah terjadinya peradangan dan kerusakan jaringan (Syukri, 2007). d. Faktor Resiko Terjadinya Peningkatan Asam Urat Asam urat ini merupakan hasil dari pemecahan purin yang secara normal dikeluarkan melalui ginjal dalam bentuk urin. Peningkatan kadar asam urat (hiperurisemia) pada ginjal dapat menyebabkan batu ginjal yang berakibat pada terjadinya nefropati urat (Weaver et al., 2010) Hiperurisemia bisa terjadi karena produksinya yang berlebih (over production) atau karena ekskresinya yang berkurang atau terhambat (under excretion) maupun keduanya (Sudoyo et al., 2010) 1. Peningkatan produksi asam urat Peningkatan produksi asam urat dalam tubuh disebabkan oleh beberapa hal antara lain: a) Gangguan metabolisme purin merupakan penyebab meningkatnya produksi asam urat dalam tubuh. Gangguan ini biasanya terjadi karena pengaruh gen pembawa. Gejala yang ditimbulkan tidak jelas (asimptomatis). Selain itu hiperurisemia terjadi karena peningkatan kerja enzim fosforbisol sintetase (Misnadiarly, 2007). b) Konsumsi makanan yang mengandung purin seperti jerohan, kacang tanah, bayam, buncis, kembang kol, kepiting memicu

27 terjadinya hiperurisemia. Asam urat dalam tubuh akan diproduksi lagi dari hasil metabolisme diet tersebut (Weaver et al., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Hayani & Widyaningsih (2011) bahwa diet tinggi purin dengan pemberian jus hati ayam 3 kali sehari selama 7 hari pada mencit terbukti signifikan terdapat peningkatan kadar asam urat darah. Diet jenis daging dan seafood dapat meningkatkan kadar asam urat, kemudian untuk protein nabati yaitu protein yang berasal dari tumbuhan tidak cukup berpengaruh terhadap peningkatan kadar asam urat darah (Choi et al, dalam Andry, 2009). c) Penyakit seperti kanker juga dapat meningkatkan kadar asam urat, karena terjadi percepatan kematian sel sehingga perlu adanya sintesis sel yang baru. Untuk itu sel yang sudah mengalami kerusakan akan degradasi membentuk sel baru dan menghasilkan produk asam urat (Murray et al., 2009). 2. Penurunan Ekskresi Asam Urat a). Gangguan metabolik Gangguan metabolik seperti diabetes mellitus berisiko terjadi hiperurisemia. Hal ini erat kaitannya dengan hormon insulin. Penelitian yang telah dilakukan sebelumya oleh Meera et al., dalam Nasrul & Sofitri (2012) menyatakan hubungan antara hiperurisemia

28 dengan toleransi glukosa terganggu (TGT). Pada penderita diabetes mellitus terjadi resistensi insulin sehingga dengan bantuan air dan oksigen, xanthin akan dirubah menjadi asam urat. Hiperinsulinemia yang terjadi pada pra diabetes berpengaruh pada peningkatan absorbsi asam urat pada ginjal, sehingga kadar asam urat cenderung meningkat (Nasrul & Sofitri, 2012). b). Usia Hiperurisemia sering dijumpai pada orang dengan usia lanjut. Akan tetapi tidak semua lansia dapat mengalami hiperurisemia. Hal ini disebabkan karena pada sebagian lansia masih diproduksi steroid seks dalam jumlah yang cukup. Steroid seks ini akan memproduksi androgen, estrogen dan progesteron. Adanya hormon estrogen ini yang akan membantu pengeluaran asam urat melalui urin (Ali dalam Festy & Aris, 2010). Menurut Sustrani dalam Andry et al., (2009) lansia yang mengalami hiperurisemia disebabkan karena terjadi penurunan produksi beberapa enzim dan hormon di dalam tubuh yang berperan dalam proses ekskresi asam urat. Enzim urikinase merupakan enzim yang berfungsi untuk merubah asam urat menjadi bentuk alatonin yang akan diekskresikan melalui urin. Sehingga terganggunya produksi enzim urikinase mempengaruhi proses pengeluaran asam urat yang menimbulkan hiperurisemia. Pada perempuan memiliki hormon

29 estrogen. Produksi hormon ini akan meningkat ketika berada pada usia pubertas, sehingga perempuan usia pubertas sangat jarang mengalami hiperurisemia. Hormon estrogen ini berfungsi untuk membantu ekskresi asam urat. Pada wanita menopause cenderung lebih sering mengalami hiperurisemia salah satunya disebabkan karena adanya penurunan hormon estrogen tersebut (Price & Wilson, 2006) c). Konsumsi Alkohol Konsumsi alkohol berpengaruh pada kejadian hiperurisemia. Alkohol memicu peningkatan produksi asam urat karena kandungan etanol dan purin yang terdapat dalam alkohol (Doherty, 2009). Selain itu produk sampingan dari alkohol adalah asam laktat. Produk asam laktat ini juga akan menghambat pengeluaran asam urat melalui urin sehingga terjadi hiperurisemia (Price & Wilson, 2006). Menurut Murray et al., (2009) dijelaskan bahwa mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan perlemakan di dalam hati sehingga terjadi hiperlipidemia yang berdampak pada sirosis. Hati berfungsi sebagai metabolisme lipid sekaligus sebagai transport lipid ke jaringan. Terjadinya hiperlipidemia tersebut dapat menyebabkan hiperurisemia. d). Obat-obatan Penggunaan obat-obatan tertentu juga bisa memicu peningkatan kadar asam urat atau membantu dalam mengekskresikan asam urat. Salah satu jenis obat yang membantu proses ekskresi asam urat yaitu

30 jenis urikosturik, contoh obat tersebut adalah probenesid dan sulfinpirazon (Price & Wilson, 2006). Untuk memperoleh hasil yang diinginkan maka ketika mengkonsumsi obat tersebut memerlukan konsumsi air putih yang banyak yang salah satu fungsinya adalah untuk menurukan tingkat saturasi asam urat sehingga asam urat dapat diekskresikan dengan mudah. Sebaliknya, obat jenis aspirin dapat menghambat proses ekskresi asam urat sehingga memperparah keadaan pada hiperurisemia (Weaver et al., 2010). Begitu juga dengan obat antihipertensi yang memiliki dampak hampir sama dengan jenis aspirin. Obat hipertensi memiliki efek samping yaitu menghambat metabolisme lipid dalam tubuh. Timbunan lipid di dalam tubuh itulah yang mengganggu proses ekskresi asam urat melalui urin. Menurut Krisnamurti dalam Festy et al., (2010) salah satu jenis obat antihipertensi yang memiliki efek peningkatan kadar asam urat tersebut adalah tiazid. e). Faktor Obesitas Pada obesitas terjadi penumpukan lemak berlebih dalam tubuh, selain itu orang yang obesitas lebih banyak memiliki sel lemak dibandingkan yang normal (Murray et al., 2009). Pada orang obesitas, lemak banyak disimpan di jaringan adiposa dalam bentuk trigliserida. Selain itu timbunan kolesterol pada orang obesitas juga banyak.

31 Pada kadar normal, kolesterol baik bagi tubuh karena merupakan salah satu bahan untuk membentuk hormone seks steroid (estrogen, progesteron, androgen) akan tetapi jika produksinya berlebih kolesterol tersebut akan menumpuk di pembuluh darah dan terjadi plak sehingga menghalangi darah maupun senyawa lain untuk bersirkulasi. Salah satu senyawa yang terhambat adalah asam urat darah. Asam urat yang normalnya keluar melalui ginjal menjadi terhambat proses ekskresinya karena terdapat plak pada vaskuler (Agustini et al., 2013). Pada keadaan kelaparan trigliserida akan dirubah menjadi energi dengan produk sampingan zat keton. Zat ini akan berakumulasi di vaskuler yang sering disebut dengan ketosis. Penumpukan zat keton dalam pembuluh darah ini akan menghambat ekskresi asam urat (Misnadiarly, 2007). Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, hiperlipidemia, hiperglikemia serta disfungsi endokrin (Murray et al., 2009). Obesitas merupakan salah satu faktor yang dapat memperburuk keadaan sindrom metabolik dan cenderung lebih resisten terhadap insulin. Xanthin yang ada di dalam tubuh akan dirubah menjadi asam urat akibat dari resistensi insulin tersebut sehingga kadar asam urat darah dalam tubuh meningkat.

32 f). Hipertensi Gangguan tekanan darah tinggi (hipertensi) akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi penurunan aliran darah glomerulus. Hal ini memicu ekskresi renin angiotensin yang menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium (Purwaningsih, 2009). Pada prinsipnya, air selalu mengikuti gerak dari natrium tersebut sehingga pada saat terjadi reabsorbsi natrium maka air (H 2 O) akan mengalami peningkatan reabsorbsi pula. Berkurangnya kadar cairan dalam ginjal inilah yang menghambat ekskresi asam urat. Selain menyebabkan penurunan aliran darah glomerulus, hipertensi juga berdampak pada terjadinya cedera peritubular (Manampiring & Bodhy, 2011). Kerusakan pembuluh darah dapat berakibat pada iskemia jaringan yang akan meningkatakan sintesis asam urat melalui proses degradasi DNA maupun deplesi ATP. g). Aktivitas pada saat melakukan aktivitas fisik maka kebutuhan energi akan bertambah, karena selain untuk mempertahankan fungsi fungsi tubuh juga digunakan untuk melakukan aktivitas tersebut. Energi ini diperoleh dari proses metabolisme aerob maupun anaerob. Metabolisme anaerob digunakan ketika simpanan oksigen dalam tubuh rendah. Metabolisme anaerob ini akan menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat, sehingga semakin berat aktivitas yang

33 dilakukan maka asam laktat akan banyak diproduksi. Penumpukan asam laktat dalam tubuh dapat menghambat ekskresi asam urat melalui urin. Selain menggunakan metabolisme anaerob, tubuh juga bisa melakukan metabolisme aerob dengan menggunakan simpanan lemak untuk dikatabolisme menjadi energi. Akan tetapi produk yang dihasilkan dari katabolisme lemak ini tidak hanya ATP saja melainkan disertai dengan benda keton. Semakin banyak lemak yang dikatabolisme maka benda keton akan semakin banyak dihasilkan sehingga menghambat ekskresi asam urat. e. Komplikasi hiperurisemia Hiperurisemia dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya bagi tubuh seperti rusaknya persendian akibat peradangan, kerusakan ligamen dan tendon (otot). Bagian tubuh yang diserang biasanya adalah ibu jari kaki, tumit, lutut, pergelangan tangan dan kaki, siku dan jari tangan. Selain itu asam urat juga dapat menyebabkan gangguan retina mata, saluran cerna, ginjal dan jantung (Sustrani, Alam, & Broto, 2006). Komplikasi tersebut disebabkan karena adanya akumulasi batu urat pada ginjal sehingga terjadi penebalan pada arteriol aferen ginjal dan akumulasi makrofag pada dinding pembuluh darah pra glomerulus (Avram & Krishnan, 2008). Hal ini menyebabkan sirkulasi darah pada ginjal terhambat sehingga terjadi iskemia pada post glomerulus.

34 Terhambatnya sirkulasi darah ginjal memicu aktivitas renin angiotensin untuk menstimulasi peningkatan aliran darah ginjal dengan melakukan vasokonstriksi vaskuler yang berakibat pada terjadinya hipertensi. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai akibat dari hipertensi. Adanya hipertensi tersebut menyebabkan peningkatan kerja jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Sebagai kompensasinya maka jantung akan mengalami hipertrofi otot. Apabila keadaan ini terjadi secara terus menerus maka akan mengakibatkan payah jantung ( Price & Wilson, 2006). Gambar 2.2 Komplikasi hiperurisemia (Avram & Krishnan, 2008) f. Diet Penderita Hiperurisemia Diet pada penderita hiperurisemia harus disesuaikan dengan tingkat keparahan kelebihan asam urat yang diderita. Syarat diet yang baik pada penderita hiperurisemia akut maupun kronis yaitu dengan membatasi makanan dengan kadar purin lebih dari 500 mg/100 gr,

35 jumlah energi sesuai dengan kebutuhan tubuh, dianjurkan untuk mengkonsumsi jenis karbohidrat kompleks sebanyak 65 75 % dari kebutuhan energi total, protein sebesar 10-20% dari kebutuhan energi total, vitamin dan mineral yang cukup dan cairan sesuai dengan urin yang dikeluarkan (Almatsier dalam Budianti, 2008). 1) Energi Kebutuhan energi seseorang dipengaruhi oleh komposisi badan, usia dan jenis kelamin, kegiatan fisik serta iklim. Penderita hiperurisemia harus memperhatikan jumlah kalori yang dibutuhkan dalam sehari sesuai dengan berat badan dan tinggi badan individu. Berat badan yang berlebih pada penderita hiperurisemia harus diturunkan dengan memperhatikan jumlah asupan kalori. Selain itu kalori yang kurang juga harus dijaga agar tidak menyebabkan kekurangan gizi. Kekurangan kalori dapat menyebabkan kadar asam urat meningkat karena adanya benda keton yang menghambat proses ekskresi asam urat dalam tubuh (Budianti, 2008). 2) Protein dan Purin Protein merupakan nutrien yang penting untuk pembentukan energi serta sintesis zat-zat organik yang mengandung hidrogen. Protein dapat meningkatkan produksi asam urat dalam tubuh. Oleh karena itu, pada penderita hiperurisemia dianjurkan untuk diet rendah protein. Konsumsi protein per hari sebesar 50-70 g atau 0,8-1,0

36 g/kgbb. Protein yang baik bagi penderita hiperurisemia adalah protein nabati serta protein yang berasal dari susu, keju dan telur (Budianti, 2008). 3) Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi tubuh. Secara normal, karbohidrat dikonsumsi dalam dengan jumlah 60-70% dari kebutuhan energi tubuh. Karbohidrat dibagi menjadi dua golongan yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks. Karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong dapat membantu ekskresi asam urat dari dalam tubuh. Sedangkan karbohidrat sederhana seperti fruktosa, permen, arum manis dapat memicu peningkatan produksi asam urat (Budianti, 2008). 4) Lemak Konsumsi makanan dengan kadar lemak tinggi harus dikurangi pada penderita hiperurisemia, karena lemak dapat mengganggu proses ekskresi asam urat melalui urin. Konsumsi lemak yang dianjurkan sebesar 15% dari total kalori yang dibutuhkan (Budianti, 2008). 5) Vitamin C Konsumsi vitamin C yang cukup dapat mengurangi risiko hiperurisemia, karena vitamin C salah satunya berfungsi untuk mengangkat lemak yang menempel pada vaskuler sehingga

37 aterosklerosis dapat dicegah. Aterosklerosis merupakan salah satu penyebab terjadinya hiperurisemia sekunder (Budianti, 2008). g. Cara pengukuran Kadar asam urat dapat dilakukan pemeriksaan dengan dua metode yaitu metode enzimatik dan menggunakan stik. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan asam urat darah metode stik yaitu dengan alat check asam urat digital. Alat ini menggunakan prinsip UASure Blood Uric Acid test strips dengan teknologi biosensor yang digabung dengan katalis. Ketika darah diteteskan pada daerah strip maka akan terjadi oksidasi asam urat pada darah dengan bantuan katalisator asam urat (Kuo et al., 2002). 4. Hubungan Tebal Lipatan Lemak (Skinfold) Dengan Kadar Asam Urat Darah Asam urat diproduksi secara normal di dalam tubuh melalui diet (makanan yang mengandung purin) dan degradasi sel. Peningkatan kadar asam urat (hiperurisemia) disebabkan over production, penurunan ekskresi maupun dari masukan purin. Penurunan ekskresi asam urat salah satunya disebabkan karena kelebihan lemak dalam tubuh. Lemak disimpan dalam jaringan adiposa dalam bentuk trigliserida. Semakin banyak simpanan trigliserida dalam jaringan adiposa menyebabkan lipatan lemak bawah kulit semakin tebal. Kelebihan kadar trigliserida dalam tubuh dapat menyebabkan pembentukan endapan trigliserida sehingga terjadi fibrosis jaringan (Agustini,

38 Wahyuni & Nila, 2013). Terbentuk scar pada pembuluh darah sehingga darah dan zat lain dalam tubuh dihambat untuk bersirkulasi ke sel dan jaringan. Dampaknya akan terjadi hipoksia jaringan yang ditandai dengan adanya kelaparan sel. Dari kelaparan sel inilah terjadi peningkatan kadar asam urat darah yang melalui berbagai mekanisme sebagai berikut: a. Terjadi metabolisme anaerob; selain menghasilkan energi, metabolisme anaerob juga menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat. Asam laktat ini akan tertimbun di otot sehingga menghambat ekskresi asam urat (Purwaningsih, 2009). b. Penumpukan keton pada pembuluh darah; trigliserida merupakan simpanan lemak dalam jaringan adiposa yang salah satu fungsinya adalah sebagai cadangan energi. Ketika terjadi kelaparan sel tubuh maka trigliserid tersebut akan dikonversi menjadi energi dengan menghasilkan produk sampingan berupa benda keton. Keton akan beredar dalam darah sehingga pada keadaan kelaparan tersebut kadar keton dalam darah meningkat atau yang sering disebut ketosis. Penumpukan keton di dalam darah juga menghambat ekskresi asam urat darah sehingga terjadi hiperurisemia (Purwaningsih, 2009). c. Degradasi protein DNA dalam tubuh meningkat; adanya hipoksia jaringan dalam jangka waktu lama menyebabkan kematian sel. Akibatnya tubuh melakukan kompensasi dengan melakukan mekanisme degradasi sel DNA sehingga terbentuk sel DNA yang baru. Degradsi sel DNA ini

39 menghasilkan asam amino. Pada siklus gama glutamil, asam amino akan dibentuk menjadi glutamin yang kemudian dirubah menjadi bentuk inosin mofosfat hingga memperoleh hasil akhir berupa asam urat (Weaver et al., 2010). d. Penurunan pembentukan energi (deplesi ATP); pada keadaan sel tubuh mengalami hipoksia, tubuh akan menggunakan metabolisme anaerob agar energi tubuh tetap dihasilakan. Hasil akhir dari metabolisme anaerob ini adalah adenosin monofosfat (AMP), energi dan otot menjadi rekasasi. Adenosin ini akan dirubah menjadi bentuk asam urat (Weaver et al., 2010). Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, orang yang lipatan lemak bawah kulitnya tebal cenderung lebih berisiko untuk mengalami hiperurisemia karena jumlah lemak trigliseridnya banyak. Hal tersebut berdampak pada terjadinya penurunan ekskresi maupun peningkatan produksi asam urat dalam tubuh sehingga terjadi hiperurisemia.

40 B. Kerangka Teori Kerangka teori dalam penelitian disusun dari berbagai sumber sumber yang sudah ada sebelumnya. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Makanan mengandung purin ( Fam, 2002): Daging merah, jerohan, melinjo,bayam, ayam, daging bebek,ginjal,otak Diet mengandung Purin Akumulasi purin pada sel tubuh Asam urat dihasilkan As. Urat disimpan : Tendon sendi, ginjal Degradasi sel DNA Faktor-faktor yang menyebabkan degradasi DNA (Murray, 2009): neoplasma, penuaan, hipoksia sel Faktor faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar asam urat (Sudoyo et al (2010). Weaver et al. (2010). Manampiring, (2011). Purwaningsih, (2009). Kono et al., (2000). Fam, (2002). Murray, (2009)): a. Peningkatan Produksi as.urat a.1. Genetik a.2. Diet tinggi purin a.3. Neoplasma b. Penurunan Ekskresi as.urat b.1. Gangguan metabolik (Diabetes mellitus) b.2. Usia b.3.konsumsi b.7. lemak berlebih alkohol b.4. obat-obatan (aspirin, Tebal lipatan lemak bawah kulit Gambar 2.3 Kerangka Teori antihipertensi) b.5. Aktivitas (asam laktat) b.6. Hormon (estrogen)

41 C. Kerangka konsep Kerangka konsep penelitian disusun sebagai kerangka kerja dalam melakukan penelitian. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) Kadar asam urat Variabel confounding : a. Diabetes Mellitus b. Usia c. Obat-obatan tertentu (antihipertensi d. Konsumsi alkohol e. Menopause f. Genetik g. Diet/nutrisi h. Aktivitas i. Kanker/neoplasma Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian Keterangan: Terapi non farmako logi : tidak diteliti : diteliti

42 D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka teori dan kerangaka konsep tersebut, maka peneliti menggunakan rumusan hipotesis (H1) dalam penelitian yaitu : Ada hubungan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat pada wanita usia dewasa di Desa Rempoah Baturaden.

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang telah dilakukan ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain korelasi yaitu dengan meneliti hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat pada usia dewasa di Desa Rempoah Baturaden. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional, yaitu peneliti melakukan pengukuran variabel bebas dan variabel terikat pada waktu yang bersamaan (Saryono, 2009). Kelompok yang menjadi sample penilitian dilakukan pengukuran tebal lipatan lemak (skinfold) dengan skinfold caliper kemudian dilakukan pemeriksaan kadar asam urat darah. Data yang diperoleh dianalisis untuk membuktikan hipotesis kerja. B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November sampai Desember 2013 di Dusun 3 Desa Rempoah Baturaden. C. Populasi dan Sampel Menurut Saryono (2009) populasi merupakan keseluruhan dari sumber data yang terdiri dari obyek dan subyek yang memiliki kualitas dan karakteristik 43

44 tertentu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti yang diperlukan dalam penelitian. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1944 orang dengan usia 40-60 tahun. Sampel merupakan bagian dari karakteristik dan jumlah yang dimiliki oleh populasi yang digunakan sebagai subjek penelitian dengan menggunakan teknik sampling. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Banyaknya sampel diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan rumus sebagai berikut: n = Z α : Kesalahan tipe I Z β : Kesalahan tipe II n : sampel r : kekuatan korelasi 0,37 n = Zα + Zβ 0,5 ln 1 + r 1 r 2 1,96 + 1,28 0,5 ln 1 + 0,37 1 0,37 + 3 2 + 3 = 72,579 + 10% = 79,83 = 80

45 Jumlah sampel yang diteliti adalah 80 orang usia dewasa (40-60 tahun) yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut: 1. Kriteria inklusi a) Usia 40-60 tahun b) Belum menopause (Bagi perempuan) c) Bersedia menjadi responden 2. Kriteria Eksklusi a) Responden dengan riwayat Diabetes Mellitus b) Mengkonsumsi obat-obatan aspirin ataupun antihipertensi. c) Edema dan ascites d) Riwayat Hipertensi D. Variabel Penelitian Variabel penelitian merupakan sesuatu yang bervariasi baik berupa atribut, nilai ataupun sfat dari orang, objek atau kegiatan yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan dianalisis sehingga diperoleh kesimpulan (Sugiyono, 2010). Terdapat dua variabel dalam penelitian, yaitu: 1. Variabel Bebas atau variabel independent merupakan variabel stimulus yang menentukan variabel lain. Variabel ini yang mempengaruhi dan menjadi penyebab timbulnya variabel dependent (Sugiyono, 2010). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold).

46 2. Variabel terikat atau variabel dependent merupakan variabel output. Variabel terikat ini merupakan variabel yang dipengaruhi sebagai akibat dari variabel bebas (Saryono, 2009). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar asam urat darah. E. Definisi Operasional Definisi operasional ini dibuat untuk mempermudah dalam pengumpulan data serta untuk mencegah adanya interpretasi ganda dan untuk membatasi ruang lingkup variabel (Saryono, 2009). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Definisi Operasional No Variabel Definisi Variabel Cara Ukur Hasil Ukur Skala Data 1. Variabel Hasil akhir dari Diukur Hasil Rasio terikat: katabolisme dengan alat pengukuran Asam urat adenin dan guanin pemeriksaan dinyatakan darah pada pemecahan kadar asam dalam satuan nukleotida urat milligram per desiliter (mg/dl) 2. Variabel bebas : tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) Jumlah lemak tubuh yang diperoleh dari hasil pengukuran ketebalan lemak pada tiga area Diukur dengan skinfold caliper (abdomen, trisep, subskapula) Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan milimeter (mm) Rasio

47 F. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian merupakan fasilitas atau alat yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data (Saryono, 2009). Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengukuran, skinfold caliper, dan alat pemeriksaan kadar asam urat. Lembar pengukuran digunakan untuk mencatat data hasil pengukuran responden. Skinfold caliper digunakan untuk mengukur tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) pada responden yang dinyatakan dalam satuan millimeter (mm). Alat pemeriksaan kadar asam urat digunakan untuk mengukur kadar asam urat darah responden yang dinyatakan dalam satuan milligram per desiliter (mg/dl). G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Validitas merupakan ukuran yang menunjukkan sejauh mana instrument pengukur mampu mengukur apa yang ingin diukur (Saryono, 2009). Reliabilitas merupakan kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan tersebut diukur dan diamati berkali-kali dalam waktu yang berbeda. Metode anthropometris dengan teknik skinfold telah dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya secara silang dengan teknik under water weighing (UWW) yang dianggap sebagai standar untuk menghitung tebal lipatan lemak maupun persentase lemak. Eston, Fu, & Fung (1995) telah melakukan uji validasi terhadap teknik skinfold dan menyimpulkan bahwa teknik skinfold mempunyai

48 validitas yang cukup baik dalam memprediksi persentase lemak badan. Uji reliabilitas skinfol caliper dilakukan dengan mengatur tekanan jepit pada alat. Sebelum alat dipakai, jarum harus menunjuk pada angka 0. Cara untuk menyetel alat yaitu dengan memberikan beban sebesar 200 gr pada permukaan bawah alat dengan posisi horizontal. Indikator tekanan sebesar 10 gr/mm 2 ditandai dengan posisi jarum menunjukkan angka 15 25 mm. jika angka tidak menunjukkan angka 15-25 maka bisa diatur bagian regulator. Alat ukur asam urat sudah teruji validitasnya sehingga tidak perlu dilakukan uji validitas. Uji reliabilitas pada alat ukur kadar asam urat dilakukan dengan tera ulang. Sampel darah yang telah dikumpulkan dari responden dinilai menggunakan alat check asam urat sebanyak dua kali. Kemudian dibandingkan hasil pengukuran kadar asam urat. Alat ukur disebut reliabel apabila hasil pemeriksaan kadar asam urat pada kedua waktu tersebut sama. H. Teknik Pengumpulan Data 1. Pemeriksaan kadar asam urat darah a) Identifikasi klien b) Memberitahu klien tentang penusukan yang akan dilakukan c) Mencuci tangan sebelum bertugas dan memakai sarung tangan d) Menyiapkan alat (lanset dan alat check kadar asam urat) dan bahan (alkohol, stik dan kapas)

49 e) Memasang stik pada alat check kadar asam urat f) Menentukan lokasi penusukan (pada ujung jari) g) Melakukan disinfeksi pada lokasi penusukan dengan alkohol h) Melakukan penusukan pada tempat yang sudah ditentukan, tunggu hingga darah keluar. i) Memasukkan darah pada stik yang telah terpasang pada alat melalui ujung tepi stik. j) Menununggu hingga hasil keluar k) Mencatatat dalam lembar pengukuran. 2. Pengukuran Skinfold a) Menyiapkan lembar pengumpulan data dan alat ukur skinfold b) Mengidentifikasi klien (nama,usia) c) Memberitahu klien tentang tempat pengukuran yang akan dilakukan d) Mencubit bagian yang akan diukur (abdomen, trisep, subskapula) e) Mencatat hasil pengukuran pada lembar pengukuran. I. Langkah dan Teknik Penelitian 1. Jalannya penelitian 2. Penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Persiapan materi dan konsep yang mendukung jalannya penelitian. b. Studi pendahuluan mencari data yang diperlukan dalam penelitian c. Mencari sumber-sumber pustaka

50 d. Konsultasi dengan pembimbing e. Pembuatan proposal penelitian dan dilanjutkan dengan pengujian proposal penelitian f. Revisi Proposal g. Permohonan izin dari Ketua Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman kepada Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang Pol dan Linmas) Kabupaten Banyumas, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah ( Bappeda) dan Kelurahan Rempoah Baturaden. h. Koordinasi dengan kepala desa atau kader desa i. Pengumpulan data dengan lembar observasi. j. Responden yang memenuhi kriteria inklusi seperti data usia, tidak memiliki riwayat hipertensi, tidak memiliki riwayat diabetes mellitus dan belum menopause (bagi perempuan) yang akan diteliti k. Responden dilakukan pengukuran kadar asam urat dan skinfold serta dicatat dalam lembar observasi. l. Penelitian selesai m. Semua data diolah, dihitung dan dianalisis secara statistik. n. Membuat pembahasan setelah data analisa selesai kemudian dibuat kesimpulan yang disusun dalam laporan hasil penelitian.

51 J. Analisa Data 1). Cara analisis Setelah dilakukan pengumpulan data maka komponen variabel penelitian yang dapat dilakukan analisis adalah : a. Analisis Univariat Variabel yang berupa data karakteristik responden (usia dan jenis kelamin). Untuk variabel jenis kelamin dianalisis secara deskriptif menghitung persentase keadaan demografi pasien yang akan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi persentase. Sedangkan untuk variabel usia, skinfold dan kadar asam urat disajikan dalam bentuk distribusi mean dan standar deviasi karena data berdistribusi normal. b. Analisis Bivariat Pada tahap ini diteliti hubungan antara dua variabel yang meliputi variabel bebas dan terikat, untuk membuktikan adanya hubungan antara tebal lipatan lemak (skinfold) dengan kadar asam urat darah digunakan Uji pearson yaitu uji parametrik yang digunakan untuk melihat hubungan dua variabel. Selain itu juga menggunakan uji t independent untuk melihat adanya perbedaan skinfold dan kadar asam urat antara pria dan wanita. Data yang telah terkumpul akan diolah dengan proses pengolahan data sebagai berikut:

52 1. Editing Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh. Peneliti melakukan pengecekan terhadap kelengkapan data, jika ada data yang salah, maka data tersebut tidak dipakai. 2. Coding Coding adalah pengklasifikasian hasil observasi/pemeriksaan yang sudah ada menurut jenisnya, dengan cara memberi tanda pada masing-masing kolom dengan kode berupa angka/huruf/simbol lainnya. 3. Tabulasi/Entry data Adalah suatu kegiatan memasukkan data dari hasil penelitian ke dalam tabel/database komputer berdasarkan kriteria yang telah ada. 4. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data menggunakan program statistik komputer dan dianalisis dengan uji statistik yaitu Uji pearson product moment untuk mengetahui hubungan dan uji t independent untuk mengetahui perbedaan. K. Etika penelitian Penelitian ini memperhatikan beberapa hal yang menyangkut etika penelitian sebagai berikut :

53 1. Informed consent, yaitu peneliti memberikan lembar permohonan menjadi responden dan persetujuan menjadi responden pada pengukuran skinfold caliper di Desa Rempoah Baturraden. Responden diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti penelitian. 2. Anonymity adalah merahasiakan serta tidak mencantumkan nama responden akan tetapi ditulis dengan kode. 3. Safety, yaitu mewujudkan kedaan aman bagi partisipan baik aman secara fisik, sosial, psikologis atau berbagai akibat dari sebuah kegagalan maupun keadaan yang tidak diinginkan. 4. privacy, yaitu menjaga kerahasiaan partisipan dengan tidak memberikan informasi tentang partisipan kita kepada orang lain.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah warga Desa Rempoah Baturaden sebanyak 80 orang. Pengambilan data dilakukan mulai dari bulan November sampai dengan Desember 2013. Karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu jenis kelamin dan usia. Gambaran umum responden dapat dilihat berdasarkan karakteristik sebagai berikut: a. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik jenis kelamin yaitu pria dan wanita penduduk Desa Rempoah Baturaden. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat secara rinci pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Frekuensi (n) Persentase (%) Wanita Pria 39 41 48,8 51,2 Total 80 100 Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin yaitu terdapat 39 wanita dengan persentase 48,8% dan 41 pria dengan persentase 51,2%. 54

55 b. Rerata Usia Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden dalam penelitian ini berusia 40 sampai 60 tahun. Data rerata usia responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Rerata usia responden berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Mean (tahun) ± SD Wanita 43,59 ± 2,863 Pria 48,41 ± 5,467 Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa rata-rata usia responden adalah 43,59±2,863 untuk wanita dan 48,41±5,467 untuk pria. Usia tertua pada wanita yaitu 49 tahun sedangkan pada pria yaitu 60 tahun. Hasil skrining yang telah dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata wanita usia di atas 49 tahun sudah mengalami menopause. 2. Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) Tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan skinfold caliper. Rerata tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Rerata tebal lipatan lemak bawah kulit berdasarkan jenis kelamin (skinfold) (n=80) Jenis kelamin Mean (mm) ± SD Wanita 117,15 ± 27,704 Pria 88,46 ± 19,192

56 Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) wanita lebih tinggi daripada pria. Hasil skinfold tertinggi pada wanita yaitu sebesar 159 mm. 3. Perbedaan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit Berdasarkan Jenis Kelamin Perbedaan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) pada pria dan wanita diuji dengan menggunakan uji t independent, dapat dilihat dalam tabel 4.4 Tabel 4.4. Perbedaan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) berdasarkan jenis kelamin Variabel Mean (mm) ±SD Min-max (mm) CI 95% p value (α = 0,05) Skinfold Wanita Skinfold Pria 117,15±19,192 88,463±27,704 66-159 45-161 0,05 0,000 Berdasarkan tabel 4.4. diketahui bahwa hasil analisis tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) antara pria dan wanita menggunakan uji t independent dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menghasilkan nilai p value untuk skinfold sebesar 0,000. Berarti Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) pada pria dan wanita.

57 4. Kadar Asam Urat Darah Kadar asam urat darah pada responden diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan alat pengukur kadar asam urat. Rerata kadar asam urat darah pada pria maupun wanita dapat dilihat pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Rerata kadar asam urat darah berdasarkan jenis kelamin (n=80) Jenis kelamin Mean (mg/dl) ± SD Wanita Pria 5,01 ± 1,852 6,32 ± 2,278 Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa rata-rata kadar asam urat darah pada responden pria dan wanita dalam batas normal. Kadar asam urat tertinggi pada pria yaitu 11,9 mg/dl dan untuk nilai terendah 2,8 mg/dl. Sedangkan pada wanita darah kadar asam urat tertinggi yaitu 11,5 mg/dl dan terendah 2,4 mg/dl. 5. Perbedaan Kadar Asam Urat Darah Berdasarkan Jenis Kelamin Perbedaan kadar asam urat darah antara pria dan wanita diuji dengan menggunakan uji t independent, dapat dilihat dalam tabel 4.6 Tabel 4.6. Perbedaan kadar asam urat darah berdasarkan jenis kelamin Variabel Mean (mg/dl) ±SD Min-max (mg/dl) CI 95% p value (α = 0,05) Asam urat Wanita Asam urat Pria 5,01 ± 1,852 6,32 ± 2,278 2,4-11,5 2,8-11,9 0,05 0,007

58 Berdasarkan tabel 4.6. diketahui bahwa hasil analisis kadar asam urat darah antara pria dan wanita menggunakan uji t independent dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menghasilkan nilai p value untuk skinfold sebesar 0,007. Berarti Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kadar asam urat darah antara pria dan wanita. 6. Hubungan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Kadar Asam Urat Darah Tabel 4.7. Hubungan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat darah berdasarkan jenis kelamin (n=80) Jenis kelamin Sig. Pria Wanita 0,854 0,999 Berdasarkan hasil uji pearson, diperoleh hasil bahwa nilai signifikansi pada tabel correlations menunjukkan angka 0,854 pada pria dan 0,999 pada wanita. Artinya nilai p > 0,05 berarti Ha ditolak yaitu tidak terdapat hubungan signifikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit dengan kadar asam urat darah baik pada pria maupun wanita di Desa Rempoah Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas.

59 B. Pembahasan 1. Karakteristik Responden a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan data hasil penelitian, diperoleh bahwa jenis kelamin warga Desa Rempoah yang berusia 40-60 tahun terdiri dari wanita 39 orang (48,8%) dan pria sebanyak 41 orang (51,2%). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Annemans, Spaepen, Bonnemaire et al., (2008) tentang hiperurisemia yang menunjukkan bahwa lebih dari 80% dari populasi penelitian adalah laki-laki. Penelitian meta analisis yang dilakukan pada tahun 2011 di Cina diperoleh prevalensi hiperurisemia pada laki-laki berkisar 21,6% sedangkan pada perempuan yaitu 8,6%. Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan responden didominasi oleh pria sebanyak 41 orang. Kejadian hiperurisemia lebih banyak pada pria dibanding wanita karena pada wanita yang belum menopause masih memiliki hormon estrogen yang dapat membantu ekskresi asam urat. b. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Rata-rata usia responden pada penelitian ini yaitu 43,59±2,863 tahun pada wanita, sedangkan untuk pria berusia 48,17±5,617 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Shetty et al., (2011) bahwa usia berpengaruh terhadap kejadian hiperurisemia yaitu pada rentang

60 usia 30 sampai 40 tahun baik pada pria maupun wanita. Hal tersebut tidak sesuai dengan data hasil penelitian yang dilakukan oleh Emery, Salmon & Gool (1996) yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata usia penderita hiperurisemia yaitu 55,56 tahun pada pria dan 53,24 tahun pada wanita. Menurut Carlioglu et al., (2011) bahwa usia rata-rata penderita hiperurisemia pada perempuan yaitu usia 51 tahun. Kadar asam urat akan mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia pada pria sedangkan pada wanita, asam urat akan meningkat ketika usia menopause. Prevalensi asam urat pada wanita yaitu < 5% dari semua kasus gout diderita oleh usia 30-39 tahun sedangkan 25-50% berusia > 60 tahun (Lawrence, Felson, Helmick et al., 2008). Pada penelitian ini semua responden wanita dibuat homogen yaitu belum mengalami menopause. Usia tertua responden wanita dalam penelitian ini yaitu 49 tahun. Data hasil skrining diperoleh bahwa wanita usia di atas 49 tahun sudah mengalami menopause. Hal ini diperkuat oleh Bobak et al., (2005) bahwa usia menopause dimulai pada rata rata usia 51,4 tahun. Berdasarkan pembahasan tersebut, bahwa usia responden ratarata yaitu 43,59±2,863 pada wanita dan 48,41±5,468 pada pria. Hiperurisemia lebih banyak diderita pada usia lanjut baik itu pada lakilaki maupun pada perempuan. Pada perempuan yang telah menopause lebih cenderung berisiko mengalami hiperurisemia karena terjadi

61 penurunan produksi hormon estrogen dalam tubuh sehingga ekskresi asam urat mengalami penurunan. 2. Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) Responden dalam penelitian ini memiliki tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) yang bervariasi. Rata-rata tebal lipatan lemak responden wanita dalam penelitian ini yaitu 117,15±19,192 mm. Tebal lipatan lemak yang cukup besar tersebut dipengaruhi oleh faktor hormonal dikarenakan pada penelitian ini responden wanita belum menopause sehingga masih dihasilkan hormon leptin dalam jumlah yang cukup. Leptin merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh jaringan adiposa yang mempengaruhi homeostasis energi, fungsi kekebalan tubuh dan neuroendokrin (Harithy (2004) dalam Bahathiq, 2010). Ruhl & Everhart (2001) menjelaskan bahwa konsentrasi leptin meningkat pada kelompok dengan ketebalan lemak yang tinggi. Studi yang dilakukan oleh Paracchini, Pedotti & Taioli (2005) menunjukkan bahwa obesitas tidak dikaitkan dengan defisiensi leptin melainkan dengan hiperleptinemia, hal ini disebabkan karena adanya resistensi leptin sehingga leptin tersebut tidak mampu merangsang hipotalamus untuk mengatur asupan energi maupun pengeluaran energi dengan baik yang mengakibatkan terjadinya akumulasi lemak berlebih. Data hasil wawancara pada responden diperoleh bahwa sebagian besar responden wanita dalam penelitian ini menggunakan alat

62 kontrasepsi hormonal meliputi suntik, pil maupun implan yang salah satu dampaknya yaitu dapat mempengaruhi peningkatan berat badan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Grueso, Rocha & Puerta (2001) bahwa pemberian progesteron kronis lebih dari 30 hari secara implan subkutan pada tikus wistar betina dapat meningkatkan berat badan. Pernyataan di atas didukung oleh Le, Rahman & Berenson (2009) bahwa penggunaan kontrasepsi depot medroxy progesterone asetat (DMPA) sebanyak 51 responden dari 195 mengalami kenaikan berat badan sebesar >5% setelah 6 bulan. Mekanisme peningkatan berat badan pada penggunaan kontrasepsi ini terjadi karena adanya peningkatan asupan makanan serta terhambatnya sintesis leptin disamping itu proses akumulasi lemak tetap terjadi. Selain itu juga terjadi peningkatan aktivitas dari hormon glukokortikoid sehingga menyebabkan gangguan pada distribusi jaringan adiposa (Le, Rahman & Berenson, 2009). Selain data tebal lipatan lemak wanita, dari tabel 4.3 tersebut juga dapat diketahui tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) pria. Pada pria rerata tebal lipatan lemak (skinfold) sebesar 88,46±27,704 mm. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor aktivitas. Data hasil wawancara yang dilakukan kepada responden pria diperoleh bahwa aktivitas yang dilakukan responden pria rata- rata adalah aktivitas berat. Sebagian besar pria bekerja sebagai petani, buruh kuli, sopir maupun dagang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sawello & Malonda (2012)

63 bahwa obesitas sebagian besar dialami oleh kelompok yang memiliki aktivitas ringan sedangkan untuk kelompok yang memiliki aktivitas fisik sedang cenderung tidak mengalami obesitas. Pada teori obesitas dijelaskan bahwa kurangnya aktivitas fisik menyebabkan terpakainya energi yang sedikit dan sisanya akan disimpan dalam bentuk lemak sebagai cadangan energi (Proverawati, 2010). Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, lipatan lemak bawah kulit (skinfold) responden wanita cukup tebal karena dipengaruhi oleh faktor hormonal serta penggunaan kontrasepsi. Pria memiliki tebal lipatan lemak yeng cenderung rendah karena dipengaruhi oleh faktor aktivitas yang tinggi. 3. Perbedaan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) pria dan wanita (p value= 0,000). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Peterson, Czerwinski & Siervogel (2003) bahwa pria dan wanita secara signifikan berbeda dari segi tinggi badan, berat badan dan body massa index (BMI). Data hasil perhitungan persentase lemak pada penelitian ini menunjukkann bahwa terdapat perbedaan signifikan (p value = 0,000). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil pengukuran skinfold pada

64 penelitian yaitu terdapat perbedaan signifikan antara skinfold pria dan wanita. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Chan, Li, So et al., (2009) bahwa secara signifikan skinfold dikaitkan dengan persentase lemak. Perbedaan skinfold antara pria dan wanita juga dapat dilihat secara deskriptif yaitu dari nilai rata-rata skinfold. Pada responden wanita rerata skinfold sebesar 117,15 mm sedangkan pria sebesar 88,46 mm. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa skinfold pada wanita lebih tebal dibandingkan pria. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono, Putra & Hakim (2012) bahwa lipatan lemak bawah kulit bagian trisep dan abdomen lebih tebal pada responden wanita dari pada pria. Seperti yang sudah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa tebal lipatan lemak bawah kulit responden pria dan wanita tersebut dipengaruhi oleh faktor hormonal dan aktivitas sehingga terdapat perbedaan diantara keduanya. Responden wanita dalam penelitian ini belum mengalami menopause sehingga hormon leptin masih diproduksi dalam jumlah yang cukup oleh tubuh dan mempengaruhi berat badan wanita. Penelitian Al Shoumer, Vasanthy & Makhlouf et al., (2000) menjelaskan bahwa hormon leptin lebih banyak diproduksi pada wanita daripada pria 15.8±2.9 vs. 4.9±0.9μg/L (p=0.009). Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian

65 Ruhl & Everhart (2001) bahwa konsentrasi serum leptin lebih tinggi pada wanita (12,7µg/L) daripada pria (4,6µg/L). Menurut Friedman (2002) bahwa tingginya kadar leptin dalam plasma sangat berkorelasi dengan massa jaringan adiposit dan penurunan berat badan. Considine et al., (1996) dalam Bravo, Morse, Borne et al., (2006) bahwa leptin merupakan hormon anti obesitas, tingginya kadar leptin akan mencegah terjadinya obesitas. Pernyataan tersebut bertentangan dengan hasil penelitian Ruhl & Everhart (2001) tingginya konsentrasi leptin dikaitkan dengan peningkatan lingkar pinggang dan pinggul serta ketebalan lemak. Hal ini didukung oleh Bahatiq (2010) kadar leptin pada kelompok berat badan normal (8,4±1,4) sedangkan pada kelompok obesitas (56,3±18,8). Peningkatan ketebalan lemak dan obesitas terjadi karena adanya resistensi leptin (Sorensen, Echwald & Holm, 1996). Aktivitas juga turut berkontribusi terhadap adanya perbedaan skinfold pria dan wanita. Responden wanita mayoritas memiliki aktivitas fisik yang lebih ringan dibanding pria yaitu sebagai ibu rumah tangga. Menurut Setyohadi (2013) bahwa 84% responden dalam penelitiannya adalah ibu rumah tangga, sehingga aktivitas yang dilakukan tergolong ringan seperti mencuci, memasak, bersih-bersih rumah dan menyetrika. Hasil penelitian yang dilakukan Mujur (2011) bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan berat badan. Kejadian obesitas pada orang dengan aktivitas kurang sebesar 13,36% lebih tinggi dibandingkan orang dengan

66 aktivitas cukup (Sudikno, Herdayati & Besral, 2010). Pekerjaan yang menggunakan otot atau banyak melakukan aktivitas fisik akan meningkatkan pembakaran energi dalam tubuh, dengan demikian jika asupan kalori yang masuk dalam tubuh meningkat tetapi tidak diimbangi dengan aktivitas fisik akan menyebabkan kegemukan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) pria dan wanita. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan kadar hormon dan tingkat aktivitas antara pria dan wanita. 4. Asam Urat Darah Rata-rata kadar asam urat pada responden wanita yaitu 5,01±1,852 mg/dl. Responden wanita yang mengalami hiperurisemia sebanyak 7 orang (18,2%) dari rentang kadar asam urat 6,9-11,5mg/dl. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa persentase hiperurisemia pada wanita cukup rendah karena sebagian besar responden wanita memiliki kadar asam urat normal. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Festy et al., (2010) bahwa dari 50 responden wanita hanya terdapat 11 orang yang mengalami hiperurisemia. Salah satu faktor yang menyebabkan sebagian besar wanita dalam penelitian ini memiliki kadar asam urat normal karena adanya homogenitas responden yaitu semua responden wanita pada penelitian ini belum mengalami menopause.

67 Hak & Choi (2008) menjelaskan bahwa wanita menopause yang menggunakan terapi hormonal memiliki kadar asam urat lebih rendah sebesar 0,44 mg/dl (CI;95%, 0.30-0.58) dibandingkan wanita yang tidak menggunakan terapi hormonal. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hormon estrogen sangat berpengaruh terhadap penurunan kadar asam urat. Kadar asam urat responden pria dalam penelitian ini yaitu 6,32±2,278 mg/dl. Jumlah responden pria yang mengalami hiperurisemia yaitu sebanyak 14 orang (33,6%) dengan kadar asam urat tertinggi sebesar 11,9 mg/dl. Persentase ini cukup besar pada kejadian hiperurisemia pria. Banyaknya pria yang mengalami hiperurisemia dalam penelitian ini disebabkan karena kebiasaan pola hidup yang tidak sehat pada responden pria yaitu merokok dan alkohol. Data yang diperoleh dari responden pria dalam penelitian ini sebanyak 34 orang dengan persentase 82,9% mengkonsumsi rokok dan 11 orang diantaranya mengalami hiperurisemia. Hal ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mouhamed, Ezzaher, Neffati et al., (2010) bahwa kadar asam urat secara signifikan lebih rendah pada perokok daripada bukan perokok (p=0,0003). Akan tetapi Vaart, Postma, Timens et al., (2004) menjelaskan bahwa dari 25 studi mengenai efek merokok, 16 diantaranya mengalami peradangan dan 9 lainnya mengalami stress oksidatif. Menurut Hanna, Hamed & Tauhala (2008) rokok dapat

68 menyebabkan stress oksidatif pada sel endotel yang berakibat pada menurunnya produksi nitrit oxide (NO). Nitrit oxide (NO) berperan sebagai vasodilator, sehingga sangat penting untuk mempertahankan tekanan darah dan efek penting lain pada kardiovaskuler adalah menghambat agregasi trombosit dalam vaskuler (Murray, Granner & Rodwell, 2009). Menurut Agustini, Wahyuni & Nila (2013) bahwa adanya endapan dalam vaskular akan berujung pada hipoksia jaringan dan berdampak pada terjadinya hiperurisemia. Selain merokok terdapat pula kebiasaan tidak sehat yang dilakukan oleh responden pria yaitu mengkonsumsi alkohol. Menurut Choi & Curhan (2004) kadar asam urat akan meningkat seiring dengan meningkatnya asupan alkohol dibandingkan dengan tanpa adanya peningkatan asupan alkohol. Zhang, Woods, Chaisson et al., (2006) menjelaskan bahwa konsumsi alkohol dapat memicu adanya serangan gout berulang. Kandungan etanol dalam minuman beralkohol telah terbukti meningkatkan kadar asam urat melalui mekanisme penurunan ekskresi dan peningkatan produksi asam urat (Faller 1982 dalam Choi & Curhan, 2004). Bir merupakan minuman beralkohol yang diakui memiliki kadar purin yang tinggi yaitu jenis guanosin (Gibson et al., 1984 dalam Choi & Curhan, 2004). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar asam urat pada responden wanita dalam penelitian ini dipengaruhi oleh

69 hormon estrogen sehingga persentase terjadinya hiperurisemia rendah. Pada pria persentase hiperurisemia cukup tinggi karena dipengaruhi oleh faktor kebiasaan pola hidup yaitu konsumsi rokok dan alkohol yang berdampak pada peningkatan produksi maupun penurunan ekskresi asam urat. 5. Perbedaan Kadar Asam Urat Darah Antara Pria dan Wanita Pada tabel 4.6 diketahui bahwa kadar asam urat darah antara pria dan wanita bahwa secara signifikan berbeda (p = 0,007). Rata-rata kadar asam urat darah pria 6,32 mg/dl sedangkan wanita 5,01 mg/dl dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar asam urat wanita lebih rendah daripada pria. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Doherty (2009) bahwa hiperurisemia lebih banyak diderita oleh pria dari pada wanita dengan perbandingan 4:1 di bawah usia 65 tahun sedangkan usia lebih dari 65 tahun perbandingan hiperurisemia menjadi 3:1. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Tang, Kubota, Nagai et al., (2010) bahwa prevalensi hiperurisemia secara signifikan lebih tinggi (p<0,01) pada laki-laki (24,4%) daripada perempuan (15,2%). Persentase akan meningkat seiring bertambahnya usia pada kedua jenis kelamin. Adanya perbedaan kadar asam urat antara pria dan wanita tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu hormonal, kebiasaan pola hidup tidak sehat. Hormon yang paling berpengaruh pada terjadinya hiperurisemia adalah estrogen. Hormon ini lebih banyak diproduksi pada

70 wanita dibandingkan pria. Akan tetapi seiring bertambahnya usia wanita kadar hormon estrogen juga mengalami penurunan produksi. Salah satu perbedaan kejadian gout antara pria dan wanita yaitu adanya perubahan kadar asam urat yang terjadi pada wanita setelah menopause. Menurut McClory &Said (2009) konsentrasi asam urat pada pria 1mg/dl lebih tinggi dibandingkan wanita dewasa, setelah menopause kadar asam urat wanita mendekati atau sama dengan kadar asam urat pria. Pada usia 65 tahun ke atas wanita sudah menopause sehingga asam urat cenderung mengalami peningkatan (Doherty, 2009). Sedangkan pada pria, kadar asam urat akan meningkat seiring bertambahnya usia, karena pria tidak memiliki hormon estrogen yang membantu ekskresi asam urat. Kadar asam urat pada pria juga diperparah dengan adanya kebiasaan yang tidak sehat yaitu mengkonsumsi rokok dan alkohol sedangkan pada wanita tidak ada responden yang memiliki kebiasaan tersebut, sehingga kadar asam urat wanita cenderung lebih rendah dibandingkan pria. Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa terdapat perbedaan kadar asam urat yang signifikan antara pria dan wanita yang dipengaruhi oleh faktor hormonal, pola hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi rokok dan alkohol. Faktor tersebut dapat mempengaruhi kadar asam urat dalam tubuh.

71 6. Hubungan Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Kadar Asam Urat Darah Berdasarkan data hasil penelitian yang terdapat pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat darah pada usia 40 sampai 60 tahun baik pada pria maupun wanita penduduk Desa Rempoah Baturaden yang ditunjukkan dengan nilai p pada responden wanita sebesar 0,999 dan pria 0,854. Dengan Demikian nilai p value > 0,05, maka Ha ditolak. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kumalasari, Saryono & Purnawan (2009) bahwa tidak terdapat hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kadar asam urat darah. Namun demikian, menurut Shetty et al., (2011) pada hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara body massa index (BMI), persentase lemak dengan kadar asam urat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kim, Lee, Yoo et al., (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara lemak viseral dengan kadar asam urat (β coefficient = 0,117, p<0,001). Selain itu pada penelitian Kim, Lee,Yoo et al., (2012) juga diperoleh hubungan signifikan antara BMI dengan kadar asam urat (β coefficient = 0, 184, p<0,001). Mekanisme terjadinya hiperurisemia pada akumulasi lemak viseral dan BMI disebabkan karena adanya akumulasi asam lemak bebas

72 yang menyebabkan hipertrigliseridemia (Kim, Lee, Yoo et al., 2012). Kelebihan trigliserid dalam tubuh dapat menyebabkan fibrosis jaringan sehingga terjadi hambatan dalam darah bersirkulasi (Agustin, Wahyuni & Nila, 2013). Dampaknya akan terjadi hipoksia jaringan yang ditandai dengan kematian sel, hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi serta penurunan ekskresi asam urat sehingga terjadi hiperurisemia. Akan tetapi menurut Lumongga (2007) menyebutkan bahwa penurunan aliran darah ini terjadi apabila penyempitan pembuluh darah sudah terjadi > 70% yang dimanifestasikan dengan keadaan hiperkolesterolemia, hipertensi maupun diabetes mellitus. Sedangkan dalam penelitian ini semua responden sudah dihomogenkan, responden tidak mengalami hipertensi maupun diabetes mellitus. Walaupun sebagian besar responden memiliki kadar asam urat normal, namun masih terdapat beberapa responden yang memiliki kadar asam urat tinggi meskipun lipatan lemaknya tidak tebal. Faktor risiko terjadinya asam urat tidak hanya dari tebal lipatan lemak (skinfold), akan tetapi banyak hal yang dapat menyebabkan peningkatan kadar asam urat meliputi nutrisi, aktivitas istirahat dan obat-obatan. Menurut Emmerson (1996) Yu (1974) dalam Fam (2002) gangguan metabolisme asam urat secara signifikan dipengaruhi oleh konsumsi makanan seperti makanan yang banyak mengandung purin. Diet tinggi

73 purin akan menyebabkan kenaikan sementara serum urat sekitar 60-120 µmol/l (1-2 mg/dl). Sebaliknya apabila seseorang mengkonsumsi makanan dengan kadar purin rendah selama 7 sampai dengan 10 hari maka dapat menurunkan serum urat sebanyak 60-120 µmol/l (1-2 mg/dl). Hasil penelitian ini diperoleh data bahwa terdapat 7 responden pria (8,6%) yang mengkonsumsi alkohol baik itu riwayat maupun masih mengkonsumsi sampai saat ini. Pada penelitian case control yang telah dilakukan terhadap 24 orang responden dengan kebiasaan yang sama yaitu mengkonsumsi alkohol diperoleh hasil bahwa penderita gout memiliki kebiasaan rata-rata tiap minggu menkonsumsi alkohol dua kali lipat lebih banyak dari pada responden yang tidak mengalami gout (p<0,02) (Sharpe 1984 dalam Fam, 2002). Konsumsi alkohol juga dikaitkan dengan kejadian hiperurisemia. Pada tahun 1876, Alfred Garrod menulis: "penggunaan cairan fermentasi merupakan faktor predisposisi paling kuat dari faktor lain pada kejadian gout (Fam, 2002). Hasil wawancara yang dilakukan pada lebih dari 10 responden diperoleh bahwa sebagian besar makanan yang sering dikonsumsi oleh responden tersebut yaitu sayur bayam, kangkung, kacang panjang maupun kacang tanah, jerohan, telor, air putih, kopi, teh, minuman berkarbonasi dan alkohol. Fam (2002) menjelaskan bahwa makanan dan minuman dengan kadar purin yang tinggi antara lain jerohan, Seafood, kacang polong, kacang-kacangan, asparagus, bayam, jamur, bir dan

74 minuman beralkohol sedangkan makanan dan minuman kadar purin rendah yaitu susu, keju, mentega, telur, roti, pasta, kue sayuran, buahbuahan, kacang-kacangan: kecuali kacang polong, kacang-kacangan, gula, permen, dan gelatin, air, jus, minuman berkarbonasi, teh, kopi. Hensen & Putra (2007) menjelaskan bahwa faktor risiko hiperurisemia tertinggi adalah konsumsi makanan tinggi purin dengan nilai p<0,001. Adanya konsumsi makanan yang mengandung purin menyebabkan pembentukan asam urat dalam tubuh meningkat melalui hasil metabolisme asam amino yang kemudian dioksidasi menjadi glutamin. Seterusnya glutamin akan disintesis dan terbentuk inosin yang dioksidasi menjadi xantin (Weaver et al., 2010). Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa makanan yang mengandung kadar purin rendah dapat meningkatkan kadar asam urat. Menurut penelitian Keijzers, Galan, Tack et al., (2002) bahwa kopi dapat meningkatkan kadar asam urat. Kafein yang terkandung dalam kopi dapat mengurangi sensitivitas insulin yang dapat menyebabkan gangguan pada toleransi glukosa akibatnya terjadi peningkatan risiko hiperurisemia. Pernyataan tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Choi & Curhan (2007) bahwa konsumsi kopi dapat menurunkan kadar asam urat. Kafein merupakan metil xanthin yang dapat menghambat kerja dari xanthin oksidase (Kela et al., (1980) dalam Choi, Willet &Curhan, 2007). Selain itu kafein juga berperan untuk merangsang termogenesis

75 dan meningkatkan pengeluaran energi yang dapat memfasilitasi manajemen berat badan sehingga risiko hiperurisemia rendah. Berdasarkan penjelasan tersebut, nutrisi dengan kadar purin tinggi memiliki kontribusi yang besar dalam peningkatan kadar asam urat darah. Akan tetapi tidak semua makanan dengan kadar purin rendah dapat menurunkan kadar asam urat salah satunya adalah kopi, untuk itu konsumsi makanan dengan kadar purin rendah juga harus diperhatikan. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi kadar asam urat darah yaitu aktivitas. Aktivitas yang dilakukan oleh responden dalam penelitian ini bermacam-macam, mulai dari ibu rumah tangga, pedagang, buruh tani, wiraswasta hingga kuli. Sebagian besar dari responden tersebut mengeluhkan rasa nyeri seperti pegal-pegal. Macedo, Lazarim, Silva et al., (2009) mengemukakan bahwa aktivitas harus dilakukan sesuai dengan kemampuan dan kondisi tubuh. Apabila tubuh dibiarkan untuk melakukan aktivitas yang terlalu ringan maka tubuh tidak akan mampu beradaptasi. Akan tetapi apabila tubuh melakukan aktivitas yang terlalu berat hingga tubuh tidak bisa mentoleransi maka akan terjadi gangguan pada proses homeostasis. Aktivitas fisik dengan dosis tinggi akan menggunakan energi dari hasil metabolisme anaerob yang dipakai untuk kontraksi otot yang juga meningkatkan produksi asam laktat baik dalam otot maupun dalam darah. Menumpuknya asam laktat ini dicirikan dengan adanya rasa nyeri. Hal

76 ini disebabkan karena penumpukan asam laktat dapat mempengaruhi PH sel (penurunan PH) sehingga tingkat keasaman di dalam sel lebih besar dibanding di luar sel. Dampak dari penurunan PH dalam sel ini adalah terjadi penurunan reaksi dari enzim-enzim dalam sel, sehingga metabolisme pembentukan energi tubuh juga menurun (Macedo, Lazarim, Silva, 2009). Weaver et al., (2010) menyebutkan bahwa adanya aktivitas yang berlebih berakibat pada terjadinya metabolisme anaerob sehingga menghasilkan energi yang sedikit dan produk sampingan asam laktat yang berdampak pada peningkatan kadar asam urat. Selain mengurangi tingginya aktivitas, pola istirahat juga harus diperhatikan agar kebutuhan energi dapat tercukupi dengan baik. Hasil wawancara yang dilakukan pada responden diperoleh bahwa, terdapat beberapa responden yang pola tidurnya tidak sesuai dengan orang biasanya, karena harus bangun di tengah malam untuk memulai masak dagangan di dapur untuk dijual di pagi harinya. Menurut Cirelli & Tononi (2008) istirahat yang cukup diperlukan untuk perbaikan energi, pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak. Adanya deplesi ATP tersebut berpengaruh pada peningkatan produksi serta penurunan ekskresi asam urat darah (Weaver et al., 2010). Berdasarkan uraian tersebut bahwa aktivitas juga ikut berperan dalam meningkatkan kadar asam urat darah baik pada pria maupun

77 wanita. Untuk itu adanya aktivitas fisik yang tinggi harus diimbangi dengan istirahat yang cukup agar risiko hiperurisemia dapat ditekan. Selain beberapa faktor di atas, kadar asam urat juga dipengaruhi oleh penggunaan obat-obatan. Konsumsi obat dalam dosis rendah akan meretensi sedangkan pada dosis tinggi berperan sebagai urikosuik bagi asam urat. Obat asam urat dapat dibagi menjadi dua macam yaitu jenis anti radang non steroid, untuk menghilangkan rasa nyeri dan peradangan dan juga obat yang dapat menurunkan kadar asam urat darah (Adnan dalam Prihatiningsih, 2008). Pada penelitian tersebut juga diperoleh data bahwa sebanyak 11 orang (26,8%) pada pria dan 14 orang (35,9%) responden wanita mengkonsumsi obat, rata-rata obat yang dikonsumsi adalah jenis ibuprofen. Beberapa responden yang mengkonsumsi obat tersebut masih memiliki kadar asam urat normal. Ibuprofen merupakan obat jenis NSAID, obat ini berfungsi untuk meredakan rasa nyeri akibat dari peradangan atau bersifat analgesik (Bushra & Aslam, 2010). Zhang, Doherty, Bardin et al., (2006) menjelaskan bahwa jenis obat yang dapat menurunkan kadar asam urat adalah jenis allopurinol. Allopurinol merupakan obat jangka panjang untuk menurunkan kadar asam urat yang harus dimulai dengan dosis rendah (100 mg setiap hari) dan meningkat sebesar 100 mg setiap dua sampai empat minggu jika diperlukan (Zhang, Doherty, Bardin et al., 2006). Obat ini memiliki mekanisme sebagai

78 inhibitor xantin oxidase dengan menghambat produksi asam urat melalui pengurangan katabolisme purin. Obat yang dikonsumsi responden dalam penelitian ini hanya mampu mengurangi gelaja nyeri yang dirasakan sehingga kadar asam urat darah responden tidak mengalami penurunan. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas bahwa penelitian ini tidak terdapat hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat karena dipengaruhi oleh berbagai variabel pengganggu dalam penelitian ini seperti pola makan dan nutrisi, aktivitas dan istirahat, serta konsumsi obat-obatan yang mempengaruhi tanda gejala hiperurisemia maupun kadar asam urat tersebut. C. Keterbatasan Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh peneliti masih memiliki keterbatasan. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel pengganggu dalam penelitian ini tidak dikendalikan sepenuhnya, meliputi faktor nutrisi, aktivitas serta penyakit neoplasma sehingga banyak faktor yang turut mempengaruhi kadar asam urat. 2. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional, yaitu pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dan asam urat dilakukan dalam satu waktu. Sehingga hasil yang diperoleh berdasarkan kondisi responden pada saat dilakukan pengukuran.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan mengenai hubungan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat pada usia dewasa tengah (40-60) tahun di Desa Rempoah Baturraden, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan jenis kelamin responden terdapat 39 wanita dengan persentase 48,8% dan 41 pria dengan persentase 51,2%. Rata-rata usia pria 48,41 tahun dan rata-rata usia wanita 43,59 tahun. Usia tertua wanita yaitu 49 tahun. 2. Rerata tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) pada wanita yaitu 117,15±27,704 mm. Sedangkan pada pria yaitu 88,46±19,192 mm. Hasil skinfold tertinggi yaitu sebesar 159 mm pada perempuan dan 161 mm pada laki-laki. 3. Terdapat perbedaan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) antara pria dan wanita. 4. Rerata kadar asam urat wanita yaitu 5,01±1,852 mg/dl sedangkan pada pria yaitu 6,32±2,278 mg/dl. Kadar asam urat darah tertinggi pada wanita 79

80 yaitu 11,5 mg/dl dan terendah 2,4 mg/dl. Pada pria nilai asam urat tertinggi yaitu 11,9 mg/dl dan 2,8 mg/dl untuk nilai terendah. 5. Terdapat perbedaan kadar asam urat darah antara pria dan wanita. 6. Tidak terdapat hubungan signifikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit dengan kadar asam urat darah baik pada pria maupun wanita di Desa Rempoah Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas. B. Saran Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang sudah dipaparkan, peneliti ingin menyampaikan saran sebagai berikut: 1. Bagi penelitian a. Dapat dilakukan penelitian lanjutan dari penelitian ini dengan menggunakan desain kohort dan lebih memperhatikan variabel pengganggu seperti hormonal, aktivitas dan nutrisi yang dikonsumsi responden. Selain itu tujuan penelitian tidak hanya untuk mengetahui hubungan tebal lipatan lemak dengan kadar asam urat, akan tetapi dapat ditambahkan mengenai hubungan variabel pengganggu dengan kadar asam urat. b. Dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai karakteristik pria (nilai skinfold rendah) terhadap hiperurisemia. Selain itu juga dapat dilakukan penelitian serupa pada pria dan wanita yang sudah lansia untuk mengetahui risiko terjadinya hiperurisemia.

81 2. Bagi pendidikan kesehatan Penelitian ini dapat dipublikasikan secara luas sehingga dapat dijadikan sumber referensi untuk menambah kajian tentang perbedaan skinfold dan kadar asam urat berdasarkan jenis kelamin. 3. Bagi pelayanan kesehatan Bagi petugas kesehatan diharapkan dapat memberikan promosi kesehatan mengenai faktor risiko, cara pencegahan serta pengobatan hiperurisemia kepada masyarakat baik yang sudah mengalami hiperurisemia maupun yang belum agar tetap mengontrol faktor risiko terjadinya asam urat. 4. Bagi masyarakat Diharapkan masyarakat dapat menerima informasi ini secara ilmiah serta dapat mengendalikan faktor risiko terjadinya hiperurisemia seperti nutrisi, aktivitas, akumulasi lemak berlebih, hipertensi, diabetes mellitus dengan lebih memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk melakukan kontrol asam urat dan memeriksakan kesehatannya.

82 DAFTAR PUSTAKA Al-Shoumer, K. A.S., Vasanthy, B. A.K., Makhlouf, H. A. et al. (2000). Leptin levels in Arabs with primary hyperthyroidism. Annals of Saudi Medicine, Vol 20, No 2. Agustini, Z., Wahyuni, E. S., & Nila, F. (2013). Hubungan asupan lemak (lemak jenuh, tak jenuh, kolesterol) dan natrium terhadap tekanan darah pada pasien hipertensi di Poli Penyakit Dalam RSP Batu Universitas Brawijaya. Andry, Saryono & Upoyo, A. S. (2009). Analisis faktor faktor yang mempengaruhi kadar asam urat pada pekerja kantor di Desa Karang Turi, Kecamatan Bumiayu,Kabupaten Brebes. Jurnal Keperawatan Soedirman, 4(1), 24-31. Annemans, L., Spaepen, E., Bonnemaire, M et al., (2008). Gout in the UK and Germany: prevalence, comorbidities and management in general practice 2000-2005. Ann Rheum Dis; 67:960 966. Avram, Z & Krishnan, E. (2008). Hyperuricaemia- where nephrology meets rheumatology. Journal Rheumatology 47: 960-964. Bahathiq, Adil O.S. (2010). Relationship of Leptin Hormones with Body Mass Index and Waist Circumference in Saudi Female Population of the Makkah Community. The Open Obesity JournaL 2, 95-100. Budianti, A. (2008). Status gizi dan riwayat kesehatan sebagai determinan hiperurisemia. Skripsi. Bogor: Institute Pertanian Bogor. Bushra, R & Aslam, N. (2010). An overview of clinical pharmacology of ibuprofen.. Oman Medical Journal Volume 25, Issue 3 Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Bravo, Paco E., Morse, Stephen., Borne, David M., et al. (2006). Leptin and hypertension in obesity. Vascular Health and Risk Management 2(2)163-169. Carlioglu, A., Karakurt, F., Maral,S et al.,. (2011). Serum uric acid level in obese woman. The New Journal Of Medicine 28, 34-37. Cirelli, C & Tononi, G. (2008). Is sleep essential?. Journal plos biology vol 6, issue 6.

83 Chan, D. F. Y., Li, A. M., So, H. K et al., (2009). New skinfold-thickness equation for predicting percentage body fat in Chinese obese children. HK J Paediatr (new series) 14:96-102. Choi, H. K & Curhan, G, (2004). Beer, liquor, and wine consumption and serum uric acid level: the third national health and nutrition examination survey. Arthritis & Rheumatism (Arthritis Care & Research) Vol. 51, No. 6, 1023 1029.. (2007). Coffee, tea, and caffeine consumption and serum uric acid level: the third national health and nutrition examination survey. Arthritis & Rheumatism (Arthritis Care & Research) Vol. 57, No. 5, pp 816 821. Choi, H. K., Willett, W & Curhan, G. (2007). Coffee consumption and risk of incident gout in men a prospective study. Arthritis & Rheumatism Vol. 56, No. 6, pp 2049 2055. Doherty, M. (2009). New insights into the epidemiology of gout. Rheumatology, 48, 2-8. Emery, P., Salmon, M & Gooi, J. (1996). Relation between fractional urate excretion and serum triglyceride concentrations. Ann Rheum Dis 55:934-936. Eston, R. G., Fu, F., & Fung, L. (1995). Validity of conventional anthropometric techniques for predicting body composition in healthy Chinese adults. Br. J. Sp. Med, 29(1), 52-56. Fam, A.G. (2002). Gout, diet, and the insulin resistance syndrome. The Journal of Rheumatology 29:7. Festy, P., H., A. R., & Aris, A. (2010). Hubungan antara pola makan dengan kadar asam urat darah pada wanita postmenopause di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Dr. Soetomo Surabaya. Skripsi. Surabaya: Fakultas Ilmu Kesehatan UM Surabaya. Friedman, Jeffrey M. (2002). The function of leptin in nutrition, weight, and physiology. Nutrition Reviews Vol. 60, No. 10. Ganong, W. F. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran (22 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

84 Grueso, E., Rocha, M & Puerta, M. (2001). Plasma and cerebrospinal fluid leptin levels are maintained despite enhanced food intake in progesterone-treated rats. European Journal of Endocrinology 144 659±665. Hak, A Elisabeth & Choi, Hyon K. (2008). Menopause, postmenopausal hormone use and serum uric acid levels in US women the third national health and nutrition examination survey. Arthritis Research & Therapy Vol 10 No 5. Hanna, Bassam E., Hamed, Jamal M & Touhala, Luma M.(2008). Serum Uric Acid in Smokers. Oman Medical Journal, Volume 23, Issue 4. Hayani M & Widyaningsih W. (2011). Efek ekstrak etanol herba putri malu (Mimosa pudica, l) sebagai penurun kadar asam urat serum mencit jantan galur swiss. Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Hazleman, B., Riley, G., & Speed, C. (2004). Soft tissue rheumatology Oxford: Oxford University Press. Hensen & Putra T. R. (2007). Hubungan konsumsi purin dengan hiperurisemia pada Suku Bali di Daerah Pariwisata Pedesaan. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 1. Indriati, E. (2010). Antropometri untuk kedokteran, keperawatan, gizi dan olahraga. Yogyakarta: PT. Citra Aji Parama. Keijzers, G. B., Galan B. E. D, Tack, C. J., et al. (2002). Caffeine Can Decrease Insulin Sensitivity in Humans. Diabetes Care volume 25, number 2. Kim, J.H.,Gil,H.W., Yang,J.O et al. (2011). Serum uric acid level as a marker for mortality and acute kidney injury in patients with paraquat intoxication. Oxford Journals 26: 1846-1852. Kim, T. H., Lee, Seong. S., Yoo, Ji Han., et al. (2012). The relationship between the regional abdominal adipose tissue distribution and the serum uric acid levels in people with type 2 diabetes mellitus. Diabetology & Metabolic Syndrome 4:3. Kono, H., Rusyn I., Uesugi, T., et al,. (2001). Diphenyleneiodonium sulfate, an NADPH oxidase inhibitor, prevents early alcohol-induced liver injury in the rat. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 280: G1005 G1012. Kumalasari, T. S., Saryono., Purnawan, I. (2009). Hubungan indeks massa tubuh dengan kadar asam urat darah pada penduduk Desa Banjaranyar Kecamatan

85 Sokaraja. Skripsi. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 4, No.3. Kuo, C. S., Hwu, C. M., Lin, Y. H., Huang, Y. H., Kao, W. Y., Weih, M. J.,.How, L. T. (2002). Portable electrochemical blood uric acid meter. Journal of Clinlcal Laboratory Analyaim, 16, 109-114. Lawrence, R.C., Felson, D.T., Helmick, C.G., (2008). Estimates of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States, Part II. Arthritis Rheum; 58(1): 26 35. Le, Yen-Chi L., Rahman, M & Berenson, Abbey B. (2009). Early weight gain predicting later weight gain among depot medroxyprogesterone acetate users. Obstet Gynecol 114(2 Pt 1): 279 284. Liu B, W. T., Zhao HN, Yue WW, Yu HP, Liu CX, Yin J, Jia RY and Nie HW. (2011). The prevalence of hyperuricemia in China: a meta-analysis. BMC Public Health, 11(832). Lumongga, F. (2007). Atherosclerosis. Medan: Universitas Sumatera Utara. Macedo, D. V., Lazarim, F. L., Silva, F. O. C., et al. (2009). Is lactate production related to muscular fatigue? A pedagogical proposition using empirical facts. Advances in Physiology Education vol 33. Manampiring, A.E., (2011). Prevalensi hiperurisemia pada remaja obesitas di Kota Tomohon. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Marks, D. B., Marks, A. D., & Smith, C. M. (2000). Biokimia kedokteran dasar : sebuah pendekatan klinis (1 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC. McClory, J & Said, N. (2009). Gout In Women. Medicine & health vol. 92 No. 11. Misnadiarly. (2007). Rematik: Asam urat hiperurisemia arthritis gout (1 ed.). Jakarta: Pustaka Obor Populer. Mouhamed, D. H., Ezzaher, A., Neffati, F., et al. (2011). Effect of cigarette smoking on plasma uric acid concentrations. Environ Health Prev Med 16:307 312. Mujur, A. (2011). Hubungan antara pola makan dan aktivitas fisik dengan kejadian berat badan lebih pada remaja. Artikel Ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro.

86 Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. (2009). Biokimia harper (27 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Nasrul, E., & Sofitri. (2012). Hiperurisemia pada pra diabetes. Jurnal Kesehatan Andalas, 1(2). Paracchini, V., Pedotti, P., & Taioli, E. (2005). Genetics of Leptin and Obesity: A HuGE Review. American Journal of Epidemiology 162:101 114. Peterson, Matthew. J., Czerwinski, Stefan. A & Siervogel, Roger. M. (2003). Development and validation of skinfold-thickness prediction equations with a 4-compartment model. Am J Clin Nutr 77:1186 91. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses - proses penyakit (6 ed. Vol. 2). Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Prihatiningsih, B. (2008). Mikroenkapsulasi ibuprofen dengan penyalut poli (asam laktat). Skripsi. Bogor: Institute Pertanian Bogor. Proverawati A. 2010. Obesitas dan Gangguan Perilaku Makan pada Remaja. Yogyakarta: Nuha Medika. Purwaningsih, T. (2009). Faktor- faktor risiko hiperurisemia. Semarang: Universitas Diponegoro. R, R., A, R., & I, A. F. M. (2013). Efek pemberian EGCG (Epigallocatechin-3- gallate) dalam menghambat peningkatan trigliserida di tikus rattus norveicus strain wistar jantan dengan pemberian diet tinggi lemak secara in vivo. Universitas Brawijaya. Retnaningsih, E. (2010). Model prediksi prevalensi obesitas pada penduduk umur diatas 15 Tahun di Indonesia. Jurnal Pembangunan Manusia 1(1). Ruhl, Constance. E and Everhart, James. E.(2001). Leptin concentrations in the United States: relations with demographic and anthropometric measures. Am J Clin Nutr 74:295 301. Ryu, S., Chang, Y., Zhang, Y., et al,. (2011). A cohort study of hyperuricemia in middle-aged South Korean men. American Journal of Epidemiology 175(2). Sandjaja, & Sudikno. (2005). Prevalensi gizi lebih dan obesitas penduduk dewasa di Indonesia. Jurnal Gizi Indonesia, 31, 1-7.

87 Sargowo, D., & Andarini, S. (2011). The relationship between food intake and adolescent metabolic syndrome. Jurnal Kardiologi Indonesia, 32(1), 14-23. Saryono. (2009). Metodologi penelitian kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia. Sawello, Meirlyn. A & Malonda, Nancy. S. (2012). Analisis aktivitas ringan sebagai faktor risiko terjadinya obesitas pada remaja di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Manado. Skripsi. Manado: Universitas Sam Ratulangi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Setyohadi, R.,et al. (2013). Hubungan antara diet rendah kalori, aktivitas fisik dan pola makan terhadap penurunan berat badan pada Persit Ranting 2 Denma Divif 2 Kostrad. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya. Shakeryan, S., Nikbakht, M., & Kashkoli, H. B. (2013). Validation of percent body fat using skinfold-thickness, bioelectrical impedance analysis and standard hydrostatic method in male wrestlers. Journal of Public Health and Epidemiology, 5(1), 15-19. Shetty, S., Bhandary, R. R., & Kathyayini. (2011). Serum uric acid as obesity related indicator in young obese adults. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences, 2(2), 1-6. Sorensen, Thorkild. IA., Echwald, Soren. M & Holm, Jens-Christian.(1996). Leptin in obesity. BMJ volume 313. Sudikno., Herdayati, M & Besral. (2010). Hubungan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada orang dewasa di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2007). Gizi Indon 33(1):37-49. Sudoyo, A. W., Setiyoadi, B., Alwi, I., K, M. S., & Setiati, S. (2010). Buku ajar ilmu penyakit dalam (V ed.). Jakarta: EGC Internal Publishing. Sugiyono. (2010). Statistik untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. Sustrani, L., Alam, S., & Broto, I. H. (2006). Asam urat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Syukri, M. (2007). Asam urat dan hiperuresemia. Majalah Kedokteran Nusantara, 40(1).

88 Tang, Li., Kubota, M., Nagai, A., et al. (2010). Hyperuricemia in obese children and adolescents: the relationship with metabolic syndrome. Pediatric Reports volume 2:e12. Vaart, H van der., Postma, D. S., Timens, W., et al. (2004). Acute effects of cigarette smoke on inflammation and oxidative stress: a review. Thorax 59:713 721. Weaver, A. L., Edwards, N. L., & Simon, L. S. (2010). The gout clinical companion:the latest evidence and patient support tools for the primary care physician. The France Foundation: an educational grant fromtakeda Pharmaceuticals North America, Inc. Wicaksono, S., Putra, A.A Putu Santiasa & Hakim, L. (2012). Distribusi lemak pada mahasiswa antropologi Universitas Airlangga antara laki-laki dan perempuan. Preliminary Study. Surabaya Departemen Antropologi, Universitas Airlangga. Zhang, W., Doherty, M., Bardin, T., et al. (2006). EULAR evidence based recommendations for gout. Part II: Management. Report of a task force of the EULAR Standing Committee For International Clinical Studies Including Therapeutics (ESCISIT). Ann Rheum Dis 65:1312 1324. Zhang, Y., Woods, R., Chaisson, Christine E., et al. (2006). Alcohol consumption as a trigger of recurrent gout attacks. The American Journal of Medicine 119, 800.e13-800.e18.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Jurusan Keperawatan FKIK Unsoed

Lampiran 2. Surat Izin Survei Penelitian dari Kesbangpol Kab. Banyumas

Lampiran 3. Surat Izin Survei Penelitian dari Bappeda Kab. Banyumas