LAPORAN PEMBUATAN EMULSI BERBASIS MINYAK NIMBA SEBAGAI BIOPESTISIDA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Vektor demam berdarah adalah Aedes aegypti dan Aedes Albopictus.

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

Teknologi Arang Aktif untuk Pengendali Residu Pestisida di Lingkungan Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengendalian hama dan penyakit melalui insektisida

I. PENDAHULUAN. Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung.

BAB I PENDAHULUAN. menyerang produk biji-bijian salah satunya adalah ulat biji Tenebrio molitor.

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU

BABI PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. faktor struktur tanah, pencemaran, keadaan udara, cuaca dan iklim, kesalahan cara

K I M I A P E R T A N I A N

I. PENDAHULUAN. ketersediaan beras di suatu daerah. Salah satu hal yang mempengaruhi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Besarnya permintaan terhadap produk perikanan ini disebabkan oleh pergeseran

SUSPENSI DAN EMULSI Mata Kuliah : Preskripsi (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B., S.Farm., M.Farm., Apt.

Peta Konsep. Tujuan Pembelajaran. gulma biologi hama predator. 148 IPA SMP/MTs Kelas VIII. Tikus. Hama. Ulat. Kutu loncat. Lalat. Cacing.

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan tanaman secara preventif dan kuratif merupakan bagian yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman cabai (Capsicum annum L.) merupakan tanaman semusim yang

BAB I PENDAHULUAN. disadari. Bahkan telah lama pula disinyalir, bahwa peran lingkungan dalam

KERACUNAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH BAHAN PENGAWET KAYU

USULAN PROGRAM PPM. Judul: WORKSHOP PEMBUATAN PESTISIDA NABATI YANG RAMAH LINGKUNGAN BAGI PETANI-PETANI DI KECAMATAN BERBAH KABUPATEN SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Fitriani Suherman, 2013

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. yang secara ekonomis sangat merugikan petani. Organisme Pengganggu

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia dan dunia kesehatan. Dimana Nyamuk adalah ektoparasit

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

PESTISIDA 1. Pengertian 2. Dinamika Pestisida di lingkungan Permasalahan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SMP kelas 8 - KIMIA BAB 2. BAHAN KIMIA DALAM RUMAH TANGGALatihan soal 2.4. Jamur. Cacing. Serangga. Tikus

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan produksi sayuran meningkat setiap tahunnya.

Suplemen Majalah SAINS Indonesia. Edisi September Suplemen Pertanian (MSI 57).indd1 1 25/08/ :53:12

PENGARUH EKSTRAK DAUN MIMBA (Azedirachta indica) TERHADAP MORTALITAS ULAT DAUN (Plutella xylostella) PADA TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L)

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon

VI. PEMBUATAN PESTISIDA NABATI. Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 10. HAMA DAN PENYAKIT TANAMANlatihan soal 10.1

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi penduduk Indonesia yang diperlukan setiap hari. Salah satunya

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

KAJIAN PENGGUNAAN PESTISIDA ENDOSULFAN PADA TAMBAK UDANG DI KELURAHAN KEPUTIH SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip ekologi telah diabaikan secara terus menerus dalam pertanian modern,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dhora Dwifianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan. Tumbuhan yang digunakan meliputi untuk bahan pangan,

F. Pengendalian Kimiawi

BAB I PENDAHULUAN. tahun ke tahun memerlukan bahan pangan yang semakin meningkat pula.

PESTISIDA ALAMI ALKALOID DENGAN EKSTRAK KECUBUNG PASTI MANJUR DAN AMAN

ALTERNATIF PENGGUNAAN BIOPESTISIDA UNTUK PENGENDALIAN HAMA TANAMAN. Abdullah Sarijan *)

BAB I PENDAHULUAN. dan dampak negatif terhadap kesehatan manusia (Wudianto, 1999).

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Air hujan yang turun ke permukaan bumi merupakan hasil proses. dari laut, danau, maupun sungai, lalu mengalami kondensasi di

I. PENDAHULUAN. khususnya di area persawahan hingga saat ini semakin meningkat, dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. satu hama daun yang penting karena hama ini bersifat polifag atau mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan menempati urutan pertama di Asia. Pada

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang perlu dikembangkan adalah produk alam hayati (Sastrodiharjo et al.,

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN ATAS PEREDARAN, PENYIMPANAN DAN PENGGUNAAN PESTISIDA.

PENGARUH EKSTRAK BIJI MIMBA TERHADAP PENEKANAN SERANGAN WERENG BATANG PADI COKLAT

I. PENDAHULUAN. yang cocok untuk kegiatan pertanian. Disamping itu pertanian merupakan mata

PENGARUH JARAK TANAM PADA BUDIDAYA TERUNG UNGU (Solanum melongena L.) SECARA ORGANIK (MAKALAH) Oleh : Fuji Astuti NPM

BAB I PENDAHULUAN. yang multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun ke tahun memerlukan bahan pangan yang semakin meningkat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Daun dan Biji Sirsak: Pestisida Alami Untuk Mengendalikan Wereng

BAB I PENDAHULUAN. masih tergantung pada penggunaan pestisida sintetis yang dianggap

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi.

UJI AKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN KELADI BIRAH (Alocasia indica Schott) TERHADAP LARVA NYAMUK Culex sp. ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. banyak ditemukan didaerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I PENDAHULUAN. Masyarakat mulai menyadari bahaya memakan makanan yang. mengandung bahan-bahan kimia sintetis terutama sayur-sayuran yang dapat

TELAAH RESIDU ORGANOKLOR PADA WORTEL Daucus Carota L. DI KAWASAN SENTRA KAB. KARO SUMUT

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk membunuh hamahama

tersebut mencapai miliaran rupiah setiap tahun (Setiawati et al., 2008).

I. PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakann penyakit yang. berkaitan erat dengan kenaikan populasi vektor Aedes aegypty.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAPORAN KEMAJUAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM

Insektisida sintetik dianggap sebagai cara yang paling praktis untuk

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai bahan pangan utama (Purwono dan Hartono, 2011). Selain

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L.Mer) merupakan salah satu komoditi pangan

I. PENDAHULUAN. kubis (Brassica Olearecea Var Capitata). Kubis memiliki kandungan gizi yang

RENDAMAN DAUN PEPAYA (Carica papaya) SEBAGAI PESTISIDA NABATI UNTUK PENGENDALIAN HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura) PADA TANAMAN CABAI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

STUDI KARAKTERISTIK DAN KESTABILAN EMULSI MINYAK MENTAH INDONESIA

PAPARAN PESTISIDA DI LINGKUNGAN KITA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

Annual Report 2013 Program Pengkajian dan Penerapan TeknologiLingkungan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut padi atau beras mengalami proses penurunan kualitas dan kuantitas.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

BAB I PENDAHULUAN. (OPT). Pestisida nabati bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam. dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang.

Transkripsi:

Penelitian Hibah Dosen Muda Program Studi: Teknik Kimia LAPORAN PEMBUATAN EMULSI BERBASIS MINYAK NIMBA SEBAGAI BIOPESTISIDA Disusun Oleh: Putri Ramadhany, S.T., M.Sc., PDEng Dr. Ir. Judy Retti B. Witono, M.App.Sc. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan 20

ABSTRAK Penggunaan pestisida kimia di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, terutama dengan digalakannya paket teknologi modern untuk menaikkan produktivitas di sektor pertanian dan perikanan. Namun sayangnya, penggunaan pestisida kimia membawa pengaruh negatif dan menjadi kendala baru dalam peningkatan produksi. Penggunaan pestisida kimia (seperti DDT dan Eldrin) menyebabkan kerusakan ekosistem, pencemaran lingkungan, resurjensi dan resistansi hama serta peninggalan residu kimia pada bahan pangan. Untuk itu, diperlukan produk alternatif yang dapat mengurangi bahkan mengeliminasi dampak negatif penggunaan pestisida kimia. Minyak nimba adalah salah satu produk yag berpotensi untuk menggantikan pestisida kimia. Minyak nimba berasal dari biji pohon nimba yang merupakan tanaman antifeedant. Tanaman anti-feedant adalah tanaman yang memiliki bahan aktif alami yang dapat mempengaruhi siklus hidup serangga. Serangga yang mengkonsumsi bagian dari pohon nimba menjadi tidak dapat berkembang biak, kehilangan nafsu makan, terdapat perubahan fisiologis, dan akhirnya mati. Bahan aktif yang terkandung di dalam pohon nimba bervariasi, diantaranya adalah azadirachtin (AZA), nimbin, dan nimbinidin. Bahan bahan aktif, terutama AZA, paling banyak ditemukan pada minyak nimba. Kandungan azadirachtin dalam minyak nimba sekitar 5000 6000 ppm dan dibutuhkan sekitar 20 50 g minyak nimba untuk memberantas hama pada satu hektar lahan. Oleh karena itu, penggunaan minyak nimba dapat dianggap menguntungkan secara ekonomis. Akan tetapi, minyak nimba memiliki viskositas yang tinggi, sehingga minyak nimba sulit untuk disemprotkan langsung ke tanaman. Penelitian yang dilakukan sebagai kajian awal untuk membuat emulsi biopestisida berbasis minyak nimba. Banyak hal yang dapat mempengaruhi pembentukan emulsi oil-in-water, diantaranya adalah tipe pengadukan, waktu pengadukan, temperatur pengadukan, jenis surfaktan yang digunakan, dan formulasi baha baku. Pada penelitian awal ini, sekitar 10% berat minyak nimba akan dilarutkan ke dalam pelarut air dengan penambahan 5% berat surfaktan. Variasi awal yang dilakukan adalah variasi tipe surfaktan (Lutensol TO 6, TO 7, TO 8, XL 40, dan XL 70) dan kondisi pengadukan (magnetic stirrer dan vortex). Temperatur pengadukan dijaga konstan pada temperatur ruangan. Analisis yang dilakukan adalah uji creaming, uji ukuran droplets, dan larva activity. Dari kajian awal yang dilakukan, kedua tipe pengadukan sederhana magnetic stirrer dan vortex dianggap kurang mampu untuk mendapatkan emulsi yang stabil dikarenakan munculnya fenomena creaming (terbentuknya multifasa). Creaming pada magnetic stirrer muncul 30 menit setelah proses pengadukan selesai, sedangkan creaming pada vortex muncul satu jam setelah pengadukan selesai. Pada pengadukan dengan menggunakan magnetic stirrer, droplets minyak akan terpisah di permukaan larutan dalam kurun waktu dua jam. Hal ini menandakan surfaktan yang belum bekerja secara efektif. Selain itu, ukuran droplets juga menjadi tolak ukur dalam menganalisa kestabilan emulsi. Ukuran droplets rata-rata terletak pada rentang 4 10 μm, dimana hasil terbaik diperoleh dengan menggunakan surfaktan Lutensol TO 7 dengan ukuran rata-rata 4,70 μm. Keefektifan biopestisida sebagai pembunuh serangga juga diuji dengan menyemprotkan biospestisida pada makanan. Terbukti, makanan yang disemprotkan dengan biopestisida tidak terdapat aktivitas pertumbuhan larva lalat, sedangkan yang tidak disemprotkan biopestisida terdapat aktivitas pertumbuhan larva lalat. Kata kunci: minyak nimba, neem oil, biopestisida, pestisida, DDT, azadirachtin. i

DAFTAR ISI ABSTRAK... i DAFTAR ISI... ii BAB I. PENDAHULUAN... 1 I.1 LATAR BELAKANG... 1 I.2 PERUMUSAN MASALAH... 2 I.3 TUJUAN PENELITIAN... 2 I.4 RENCANA HASIL LUARAN... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 II.1 PESTISIDA... 3 II.2 POHON NIMBA... 4 II.3 MINYAK NIMBA SEBAGAI BIOPESTISIDA... 5 II.4 EMULSI OIL IN WATER (O/W)... 6 II.5 STABILITAS EMULSI... 7 BAB III. METODE PENELITIAN... 9 III.1 ANALISIS MINYAK NIMBA... 9 III.2 PEMBUATAN BIOPESTISIDA... 9 III.3 ANALISIS PRODUK... 9 BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN... 11 DAFTAR PUSTAKA... 12 LAMPIRAN... 15 DAFTAR PUSTAKA... Error! Bookmark not defined. ii

BAB I. PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan nilai 5,2% pada kuartal dua tahun 2017 (World Bank, 2017). Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2017), pertumbuhan pendapatan domestik (PDB) tertinggi pada triwulan II masih didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan 8,44%. Melalui data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Gambar 1, dapat terlihat bahwa Indonesia masih memiliki peluang yang tinggi untuk meningkatkan produksi di sektor pertanian. Gambar 1. Pertumbuhan PDB Beberapa Sektor Lapangan Usaha Triwulan II 2017 (q on q) (BPS, 2017) Untuk meningkatkan pertumbuhan di sektor pertanian, pemerintah Indonesia pada tahun 1999 telah menggalakan beberapa program untuk menaikkan produktivitas sektor pertanian melalui paket teknologi modern. Paket ini terdiri dari penggunaan pupuk kimia, pestisida kimia, dan pemberian bibit unggul (Sutanto, 2002). Peningkatan produktivitas ini dinilai berhasil dengan peningkatan produksi hingga 60% (Sutanto, 2002). Akan tetapi, dampak negatif penggunaan paket ini mulai terlihat dan menjadi kendala baru dalam peningkatan produksi. Penggunaan pestisida kimia (seperti DDT dan Eldrin) menyebabkan kerusakan ekosistem, pencemaran lingkungan, resurjensi dan resistansi hama serta peninggalan residu kimia pada bahan pangan (Ratna, 2009). Di bidang perikanan sendiri, pestisida umum digunakan oleh nelayan untuk mengusir lalat dan serangga mengganggu pada hasil tangkapan laut. Namun, seperti yang diketahui, pestisida kimia adalah bahan kimia berbahaya dan beracun yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia dan lingkungan sekitar. Tingkat toksisitas pestisida bergantung pada lamanya pemaparan dan jumlah residu pestisida. Residu yang ditinggalkan pestisida pada bahan pangan dilaporkan terdeteksi pada produk pangan dan ternak (Indraningsih, 2006). Terdeteksinya residu pestisida dapat mengancam keamanan pangan di Indonesia. Dengan latar belakang ini, penelitian akan dilakukan untuk mencari alternatif pestisida dari bahan alami yang aman bagi manusia dan lingkungan sekitar. Pohon nimba (Azadirachta indica) adalah tanaman berpotensi yang dapat digunakan sebagai biopestisida. Pohon nimba mengandung bahan aktif azadirachtin (C35H44O16) yang efektif dalam merusak siklus hama/serangga tanpa merusak ekologi lingkungan. 1

I.2 PERUMUSAN MASALAH Pohon nimba tumbuh secara liar di Indonesia dan banyak ditemukan di daerah Jawa Barat. Namun, saat ini pemanfaatan pohon nimba oleh masyarakat lokal masih belum maksimal. Padahal, pohon nimba mengandung bahan aktif azadirachtin yang berguna sebagai pestisida alami. Petani dan nelayan Indonesia masih bergantung pada penggunaan DDT untuk membunuh hama tanaman dan serangga. Kandungan aktif azadirachtin terbanyak terletak pada minyak nimba yang diekstraksi dari biji buah nimba. Minyak nimba sendiri memiliki LC50 (Lethal Concentration yang menyebabkan 50% mortalitas pada serangga) sebesar 0,249 ppm (Zanuncio, 2016). Minyak nimba ini cukup pekat sehingga sulit untuk disemprotkan secara langsung, petani lokal di India biasanya mengencerkan minyak nimba dengan air sebelum disemprotkan ke tanaman. Namun, karena air dan minyak adalah fasa yang tidak dapat menyatu maka penggunaan minyak nimba setelah pengenceran harus segera dilakukan sebelum terpisah kembali menjadi dua fasa. Selain itu, efektivitas biopestisida berbasis minyak nimba juga dipengaruhi oleh kondisi operasi seperti temperatur (Shannag, 2015). Oleh karena itu, melalui penelitian ini, penentuan formulasi dan kondisi operasi pembuatan biopestisida berbasis minyak nimba akan dilakukan. I.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah mencari kondisi operasi dan formulasi yang tepat untuk mendapatkan biopestisida berbasis minyak nimba. I.4 RENCANA HASIL LUARAN Hasil keluaran dari penelitian ini adalah berupa penerbitan dalam satu jurnal nasional tidak terakreditasi. 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 PESTISIDA Menurut PP No.7 Tahun 1973 Pasal 1, yang dimaksud dengan pestisida adalah Semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama atau penyakit-penyakit yang merusak tanaman, memberantas rerumputan, mematikan daun, dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas atau mencegah hama-hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, dan air. Pestisida pada dasarnya adalah racun yang dirancang khusus (toxic by design) untuk memberantas segala jenis hama. Pestisida dibagi menjadi beberapa golongan bergantung pada penggunaannya (Indraningsih, 2006), yaitu: Insektisida Herbisida Fungisida Rodentisida Pestisida berdasarkan komponen kimia yang membentuk dibagi menjadi karbamat, organofosfat (OP), dan organoklorin (OC). Penggunaan OC cukup menyebar di sektor pertanian Indonesia karena efektivitas dan harganya yang relatif murah. Namun, pestisida jenis OC memiliki residu yang persisten, terbukti pestisida jenis ini memiliki residu yang cukup tinggi pada produk pertanian atau ternak (Nirwan, 2014). Pestisida jenis OP memiliki toksisitas yang sangat tinggi pada manusia. Pemaparan pestisida OP dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan syaraf (Nirwan, 2014). Gambar 2. Struktur Kimia Insektisida OC (DDT) dan OP (Klorpirifos) Pestisida kimia memiliki laju metabolisme dan disposisi yang rendah, tergantung pada temperatur ambient. Pestisida kimia yang banyak digunakan di Indonesia adalah DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane). DDT akan terdegradasi secara lambat menjadi DDD (dichlorodiphenyldichloroethane) dan DDE (dichlorodiphenylchloroethane). Kedua turunan DDT tersebut memiliki properti kimia dan fisik yang sama dengan DDT, kecuali aktivitas biologisnya. Pada negara-negara tropis, DDT akan menguap lebih cepat, sehingga pada kurun waktu yang lama DDT akan terakumulasi di atmosfer (van den Berg, 2009). DDT juga tidak 3

larut dalam air dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap bahan-bahan organik di tanah. Halflife DDT pada tanah di negara tropis sekitar 3-7 bulan dan 15 tahun untuk temperatur dingin (van den Berg, 2009). Akumulasi residu DDT pada air, tanah, dan udara dapat mengkontaminasi hasil pertanian, perikanan, dan peternakan. Di Indonesia sendiri, residu pestisida pada bahan pangan dan ternak terbilang cukup tinggi. Residu pestisida tidak hanya berasal dari pengontakan pestisida langsung ke tanaman, melainkan berasal dari kontaminasi melalui hembusan angin, hujan, ataupun dari tanah (Sulistiyono, 2004). Dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 bahwa residu pestisida kimia pada tanaman pangan dan hasil ternak masih memiliki nilai yang lebih tinggi dari batas konsentrasi maksimal yang ditentukan Depkes. Pemaparan residu pestisida yang terus menerus akan membahayakan kesehatan manusia karena sifatnya yang karsinogenik. Half-life DDT pada manusia adalah > 4 tahun, sedangkan turunan DDT, yaitu DDE, membutuhkan waktu lebih dari 4 tahun untuk terurai (van den Berg, 2009). Selain bersifat karsinogenik, pestisida kimia juga dapat merusak keseimbangan ekologi. Penggunaan pestisida kimia secara terus menerus dapat mencemarkan air dan tanah, dan secara tidak langsung menurunkan populasi hewan tanah dan air (Sulistiyono, 2004). Tabel 1. Residu Pestisida pada Sayuran (Sulistiyono, 2004) No Pestisida Residu (ppb) Jenis Sayuran Asal Sampel Batas Maksimal (Depkes) (ppb) 1 DDT 4,422 Wortel Magelang 1,0 2 Endosulfan 625 Wortel Kuncen --- 3 Lindana 265 Wortel Cipanas 3,0 4 Diazinon 227 Sawi Salatiga 0,75 5 Aldrin 170 Wortel Magelang 0,1 Tabel 2. Residu Pestisida pada Susu di Jawa Barat (Indraningsih, 2006) No Pestisida Residu (ppb) 1 Lindan 2,26 2 Heptaklor 5,28 3 Diazinon 7,96 4 CPM 0,36 5 Endosulfan 0,09 II.2 POHON NIMBA Pohon nimba (Azadirachta indica) adalah salah satu tanaman yang memiliki sifat alami sebagai pestisida. Pohon nimba disebut-sebut sebagai tanaman serba guna yang efektif dalam mengatasi hama, mencegah erosi, dan mendinginkan temperatur udara karena pohonnya yang rindang (National Research Council, 1992). Selain itu, tanaman ini juga memainkan peran penting dalam pengobatan tradisional di India (National Research Council, 1992). Pohon nimba diklasifikasikan sebagai antifeedant, dimana kandungan aktif dalam pohon nimba dapat merusak siklus hidup serangga yang memakan bagian dari tanaman ini. 4

Gambar 3. Pohon dan Buah Nimba Pohon nimba mengandung berbagai macam bahan aktif. Lebih dari 135 komponen berhasil diisolasi dari berbagai bagian pohon nimba. Komponen ini pada dasarnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu isoprenoids dan non-isoprenoids (Devi, 2015). Isoprenoids terdiri dari diterpenoids dan triterpenoids yang mengandung protomeliacins, limonoids, azadirone, vilasinin, dan csecomeliacins (nimbin, salannin, dan azadirachtin). Non-isoprenoids terdiri dari protein, karbohidrat, sulfur, dan polyphenol (Devi, 2015). Bahan-bahan aktif ini dipercaya sebagai racun bagi hama tanaman. II.3 MINYAK NIMBA SEBAGAI BIOPESTISIDA Minyak nimba adalah minyak yang diekstraksi dari biji buah nimba yang dapat digunakan sebagai biopestisida (insektisida, mitisida, dan fungisida). Biji buah nimba mengandung 40% minyak dan memiliki kandungan aktif azadirachtin yang tinggi dibandingkan produk pohon nimba yang lain (Kothekar, 2008). Minyak nimba mengandung lebih dari 50% asam lemak (fatty acids), termasuk oleic acids (58%), stearic acids (21,4%), palmitic acids (12,6%), dan linoleic acids (2,1%) (Devi, 2011). Minyak nimba memiliki warna kekuningan, memiliki bau sulfur/bawang putih, dan rasa yang sangat pahit yang tidak disukai oleh serangga (Waghmare, 2007). Menurut Kothekar (2008), serangga yang memakan daun yang disemprotkan oleh minyak nimba akan mengalami perubahan hormonal. Menyebabkan serangga kehilangan nafsu makan dan mengganggu reproduksi dan maturasi serangga. Akibatnya, serangga akan cepat mati dan tidak meninggalkan generasi baru. Minyak nimba sendiri tidak beracun bagi manusia, burung, cacing tanah, dan hewan mamalia lain (Kothekar, 2008). Menurut Patel (1998), dibutuhkan sekitar 20 50 g bahan aktif minyak nimba untuk memberantas hama pada satu hektar lahan. Oleh karena itu, penggunaan minyak nimba dapat dianggap menguntungkan secara ekonomis. Namun, minyak nimba memiliki viskositas yang tinggi sehingga sulit untuk disemprotkan langsung ke tanaman (Waghmare, 2007). Seperti dijelaskan sebelumnya, pohon nimba mengandung banyak bahan aktif, salah satunya adalah azadirachtin. Buah nimba mengandung 0,2-0,6 % berat azadirachtin. Selain azadirachtin, komponen aktif yang bermanfaat sebagai pestisida adalah salannin, nimbin, 5

nimbinin, dan nimbinidin (Devi, 2011). Karakteristik azadirachtin dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Gambar 4. Struktur Kimia Azadirachtin (Campos, dkk., 2016) Tabel 3. Karakteristik Azadirachtin (National Research Council, 1992) Bentuk Molekul C 35H 44O 16 Klasifikasi Triterpenoids Berat Molekul (g/mol) 720 Titik Leleh ( C) 155-5 Penampakan Microcrystalline (kuning pucat) Dosis minimum azadirachtin yang digunakan untuk biopestisida berbeda-beda tergantung pada tipe hama yang diteliti. Penelitian yang dilakukan oleh Zanunchio (2016) menyatakan LD50 pada serangga Podisius nigrispinus adalah 0, 249 ppm, sedangkan menurut Bendzadjia (2015) LD50 pada Drosophila melanogaster adalaha 0,67 μg/serangga. Menentukan kadar azadirachtin pada minyak nimba tidaklah mudah karena minyak nimba memiliki banyak kandungan bahan aktif. Ekstraksi azadirachtin harus dilakukan terlebih dahulu untuk mengetahui kadar azadirachtin dalam minyak nimba. Analisis azadirachtin sendiri sebenarnya bisa menjadi suatu judul penelitian tersendiri karena membutuhkan proses, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Jika memungkinkan, analisis kadar azadirachtin dalam minyak nimba akan dilakukan sebagai tahap pendahuluan. Namun, jika terdapat keterbatasan, akan dicari bahan minyak nimba yang sudah diketahui kadar azadirachtin dalam label produknya. Penelitian yang dilakukan Waghmare (2007) dan Kothekar (2008), tidak mengukur kadar azadirachtin akan tetapi persentase berat minyak nimba. Kothekar (2008) menemukan dengan konsentrasi emulsi 2% (persentase minyak nimba 30%), dapat membunuh larva hingga 100%. II.4 EMULSI OIL IN WATER (O/W) Permasalahan utama minyak nimba yang digunakan sebagai pestisida adalah nilai viskositas yang tinggi, sehingga sulit untuk disemprotkan ke tanaman. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka minyak nimba akan dilarutkan ke dalam air atau disebut emulsi oil in water (o/w). Emulsi adalah campuran dua komponen yang tidak saling melarutkan. Pembuatan emulsi o/w dapat dilakukan dengan mencampurkan air, minyak, dan surfaktan. Berdasarkan klasifikasinya, surfaktan dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu anionik, kationik, non-ionik, dan amfoterik. Pemilihan jenis surfaktan harus sesuai dengan emulsi yang akan dibuat. Namun 6

untuk pembuatan emulsi o/w, surfaktan non-ionik paling sering digunakan karena dapat menjaga kestabilan emulsi. Tabel 4. HLB dan jenis emulsi yang terbentuk (Williams, 2007) Deskripsi Nilai HLB Emulsi Tidak ada emulsi 1 4 Tidak ada Poor emulsion 3 6 Emulsi w/o Milky emulsion setelah pengadukan 6 8 Emulsi w/o dengan kecepatan tinggi Stable milky emulsion 8 10 Emulsi o/w Translucent to clear emulsion 10 13 Emulsi o/w Clear emulsion 13+ Emulsi o/w Hydrophile Lipophile Balance (HLB) adalah sistem numerik yang digunakan untuk menentukan rasio surfaktan yang dapat larut dalam air dan minyak (Williams, 2007). Semakin rendah nilai HLB, menunjukkan kemudahan surfaktan untuk larut dalam fasa minyak. Hubungan HLB dan jenis emulsi yang dibentuk dapat dilihat pada Tabel 4. II.5 STABILITAS EMULSI Emulsi pada dasarnya adalah dispersi dua larutan yang tidak saling melarutkan. Penambahan surfaktan dapat melarutkan dua campuran ini menjadi satu fasa. Pemilihan surfaktan merupakan hal yang menentukan pembentukan dan kestabilan emulsi. Namun, tidak jarang pula seiring dengan berjalannya waktu terjadi pemecahan emulsi. Proses pemecahan emulsi dapat terjadi karena proses fisik dan kimia. Pemecahan emulsi juga dapat terjadi dalam tahap penyimpanan karena distribusi partikel yang tidak merata dan perbedaan densitas antara droplet dan media pelarut. Proses pemecahan emulsi digambarkan pada Gambar 5. Fenomena pemecahan emulsi tidaklah sederhana dan membutuhkan analisis lebih lanjut mengenai berbagai gaya yang terlibat. Gambar 5. Skema pemecahan emulsi (Thadros, 2012) Proses pemecahan yang umum terjadi pada emulsi adalah sedimentasi, creaming, flokulasi, penggabungan (coalescence), disproporsionasi (Ostwald ripening), dan inversi fasa (Thadros, 7

2012). Jika gaya dari luar seperti gaya gravitasi dan sentrifugasi melebihi gerak Brownian pada droplet, maka emulsi memiliki kecenderungan untuk terpisah menjadi dua fasa (creaming dan sedimentasi). Sedimentasi terjadi jika droplet memiliki densitas lebih berat dari media pelarut, sedangkan creaming sebaliknya. Gaya tarik menarik van der Waals yang kuat dalam emulsi dapat membentuk flokulan. Disproporsionasi terjadi saat droplet-droplet minyak dengan ukuran kecil berdifusi satu sama lain membentuk droplet dengan ukuran besar. Penggabungan (coalescence) hampir mirip dengan fenomena flokulasi, hanya saja proses penggabungan disebabkan oleh fluktuasi di interface atau permukaan dua larutan. Inversi fasa terjadi jika terdapat perubahan antara fasa terdispersi dan medium pelarut. 8

BAB III. METODE PENELITIAN Penelitian ini pada dasarnya dilakukan dalam tiga tahap, yaitu analisis minyak nimba, pembuatan biopestisida, dan analisis produk biopestisida. III.1 ANALISIS MINYAK NIMBA Minyak nimba yang digunakan akan dianalisis terlebih dahulu untuk dilihat kandungan bahan aktif (azadirachtin) dan karakteristik fisiknya. Analisis bahan aktif dilakukan dengan menggunakan FTIR dan Gas Chromatography. III.2 PEMBUATAN BIOPESTISIDA Pembuatan biopestida dilakukan dengan cara pembuatan emulsi oil in water. Bahan yang dibutuhkan adalah minyak nimba, air, dan surfaktan (Lutensol TO6, TO7, TO8, XL 40, dan XL70). Prosedur pembuatan emulsi mencakup pengadukan air, minyak, dan surfaktan pada berbagai variasi surfaktan dan jenis pengadukan. Temperatur pengadukan dijaga konstan pada 25 C. Formulasi nimba dijaga konstan terlebih dahulu mengikuti referensi dari Waghmare, 2007. Formulasi awal memiliki kandungan minyak nimba 10 %-berat dan surfaktan 5 %-berat. Tempuhan percobaan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Variasi Pembuatan Biopestisida Berbasis Minyak Nimba No 1 TO6 2 TO7 3 TO9 4 XL40 5 XL70 6 TO6 7 TO7 8 TO9 9 XL40 10 XL70 Surfaktan Tipe Pengadukan Magnetic Stirrer Vortex III.3 ANALISIS PRODUK Kadar AZA dalam ninyak nimba diukur dengan menggunakan Gas Chromatography di UPI, Bandung. Tes yang dilakukan adalah tes stabilitas emulsi (creaming test), ukuran partikel droplets, dan tes dosis mortalitas serangga. Creaming test dilakukan untuk mengetahui kestabilan emulsi melalui observasi mata. Pembentukan dua fasa akan dicatat waktunya. Ukuran partikel droplet rata-rata diukur dengan menggunakan miksroskop dan software imagej. Tes dosis mortalitas diukur dengan 9

meneteskan emulsi minyak nimba pada daging mentah dan dilihat apakah terdapat pertumbuhan larva lalat seiring dengan waktu. Tabel 6. Uji stabilitas emulsi Uji stabilitas Metode Tempat Ukuran droplet Mikroskop UNPAR Creaming Penyimpanan UNPAR Psychochemical Tegangan permukaan UNPAR 10

BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN Pada dasarnya peta penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6. Berhubung penelitian ini adalah penelitian langkah awal, oleh sebab itu penelitian ini akan dititikberatkan pada tahap tinjauan pustaka, pengembangan hipotesis, penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan uji analisis produk. Salah satu tujuan utama penelitian ini adalah untuk mencari formulasi dan kondisi proses yang tepat dalam pembuatan emulsi biopestisida. Jadwal perencanaan penelitian dalam waktu satu tahun ke depan dapat dilihat dalam Tabel 7. Rencana hasil luaran berupa penerbitan jurnal nasional tidak terakreditasi. Tabel 7. Jadwal Penelitian untuk Satu Tahun Kegiatan Des 17 Jan 17 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des 1. Membuat proposal 2. Analisis minyak nimba 3. Studi pustaka 4. Penelitian Utama 5. Analisis produk 6. Membuat laporan 7. Mempersiapkan hasil luaran Gambar 6. Peta Penelitian 11

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Stabilitas Emulsi Pada dasarnya emulsi adalah pencampuran dua atau lebih komponen yang tidak saling melarutkan. Untuk itu, dibutuhkan komponan yang disebut surfaktan atau emulsifier untuk mendispersikan dua komponen yang tidak melarutkan. Pemilihan surfaktan menjadi bagian penting dalam stabilitas emulsi. Di dalam penelitian ini, terdapat lima variasi surfaktan jenis Lutensol, yaitu TO6.TO7.TO8, XL40, dan XL70. Untuk proses emulsifikasi, dibutuhkan energi dari luar untuk mengekspansi tegangan antar permukaan. Dalam penelitian ini digunakan dua metode pengadukan, yaitu: magnetic stirrer dan vortex.s Gambar 1. Fenomena creaming pada variasi surfaktan (magnetic stirrer) 12

Gambar 2. Fenomena creaming pada variasi surfaktan (vortex) Table 1. Diameter Partikel Rata-Rata Jenis Surfaktan Diameter Droplets Rata-Rata (μm) Magnetic Stirrer Vortex TO6 5,3 5,1 TO7 4,7 4,7 TO8 9,5 6,9 XL40 8,0 7,4 XL70 10 7,9 Gambar 3. Droplets dengan surfaktan XL40 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari DAFTAR PUSTAKA Bendjazia, Morakchi, Aribi, 2015, Growth and molting disruptions effects of Azadirachtin against Drosophila melanogaster, Journal of Entomology and Zoology Studies, 363 368. Bond, C., Buhl, K., Stone, D. 2012. Neem Oil General Fact Sheet, National Pesticide Information Center, Oregon State University Extension Services. Campos, E.V.R., de Oliveira, J.L., dkk., 2016, Neem Oil and Crop Protection: From Now to The Future, Frontier in Plant Science, 7: 1 8. Devi,N., Maji, T.K., 2011, Neem Seed Oil: Encapsulation and Controlled Release, In-Tech. 191 231. Ghotbi, Khatibzadeh, Kordbacheh, 2014, Preparation of Neem Seed Oil Nanoemulsion, Proceedings of The 5th International Conference of Nanotechnology, p. 150. 13

Indraningsih, 2006, Sumber Kontaminan dan Penanggulangan Residu Pestisida Pada Pangan Produk Peternakan; Suatu Tinjauan, Media Publikasi Litbang Pertanian, 92 108. Kothekar, S.C., Momin, S.A., Formulating Neem Oil Emulsion as Potent Agrochemicals Using a Binary Emulsifier System, 2008, Journal of Dispersion Science and Technology, 29: 919 929. National Research Council, H., 1992, Neem: A Tree for Solving Global Problems, National Academy Press. Nirwan,L.M., 2014, Uji Cepat Residu Insektisida Organofosfat dan Organoklorin dengan Alat Multimeter Digital, Repositori Institut Pertanian Bogor (IPB). Patel, A., Devi, S., 1998, Dispersion of Neem Oil, J.Surf.Sci. Tech, 14: 169 175. Ratna, Y., Trisyono, Y,A.,Untung, K, dkk, 2009, Resurjensi Serangga Hama Karena Perubahan Fisiologi Tanaman dan Serangga Sasaran Setelah Aplikasi Insektisida, Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 15: 55 64. Saliem, H.P., Kariyasa, K., dkk., 2015, Prospek Pengembangan Pertanian Modern Melalui Penggunaan Teknologi Mekanisasi Pertanian Lahan Padi Sawah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian. Sulistiyono, L., 2004, Dilema Penggunaan Pestisida dalam Sistem Pertanian Tanaman Hortikultura di Indonesia, Makalah Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sutanto, R., 2002, Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelnajutan, Kanisius. Shannag, H.K, Capinera, J.L., Freihat, N.M., 2015, Effects on Neem-Based Insesticides on Consumption and Utilization of Food in Larvae Spodoptera eridania (Lepidoptera: Noctuidae). Journal of Insect Science, Volume 15: 1 6. Tadros, Tharwat., 2012, Emultion Formation and Stability, Wiley-VCH. Van den Berg, 2009, Global Status of DDT and Its Alternatives for Use in Vector Control to Prevent Disease, Environment Health Perspectives, 117: 1656 1663. Waghmare, J.T., Ware, A.M., Momin, S.A., 2007, Neem Oil as Pesticides, Journal of Dispersion Science and Technology, 28: 323 328. Williams, J., 2007, Handbook for Cleaning/Decontaminations of Surface, Science Direct. World Agroforestry Centre, Handbook on Pesticidal Plants, University of Greenwich. Zanuncio, J.C., dkk., 2016, Toxic Effects of The Neem Oil (Azadirachta Indica) Formulation on The Stink Bug Predator Podisus nigrispinus (Heteroptera: Pentatomidae), Scientific Reports, 1 8. 14

LAMPIRAN REKAPITULASI DANA Perincian Dana Bahan Baku - Minyak nimba Rp 1.000.000,00 - Surfaktan Rp 2.000.000,00 Honor di Luar Team Rp 1.500.000,00 Analisis Rp 5.000.000,00 Makan Rp 500.000,00 Total Rp 10.000.000,00 15

16