STUDI AWAL PERFORMA SAPI PERAH FH X ONGOLE DARA DI DATARAN RENDAH



dokumen-dokumen yang mirip
PERFORMA SAPI PERAH ADAPTIF DAN EFISIEN DATARAN RENDAH

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

POLA ESTRUS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE DIBANDINGKAN DENGAN SILANGAN SIMMENTAL-PERANAKAN ONGOLE. Dosen Fakultas Peternakan UGM

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

PARAMETER GENETIK BOBOT BADAN DAN LINGKAR DADA PADA SAPI PERAH

PERFORMA REPRODUKSI SAPI DARA FRIESIAN-HOLSTEIN PADAPETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT SP CIKOLE DI LEMBANG

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) ABSTRACT

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

Kinerja Reproduksi Induk Sapi Silangan Simmental Peranakan Ongole dan Sapi Peranakan Ongole Periode Postpartum

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

PENGARUH SURGE FEEDING TERHADAP TAMPILAN REPRODUKSI SAPI INDUK SILANGAN PERANAKAN ONGOLE (PO) SIMENTAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

SURAT PERNYATAAN. Y a n h e n d r i NIM. B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

INDEK FERTILITAS SAPI PO DAN PERSILANGANNYA DENGAN LIMOUSIN

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

KORELASI GENETIK DAN FENOTIPIK ANTARA BERAT LAHIR DENGAN BERAT SAPIH PADA SAPI MADURA Karnaen Fakultas peternakan Universitas padjadjaran, Bandung

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA

KAJIAN PERFORMANS REPRODUKSI SAPI ACEH SEBAGAI INFORMASI DASAR DALAM PELESTARIAN PLASMA NUTFAH GENETIK TERNAK LOKAL

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

Muhamad Fatah Wiyatna Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

STUDI UJI PERFORMANS TERNAK SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU, SULAWESI SELATAN (PRELIMINARY STUDY) Abstrak

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

Karakteristik Morfologi Rusa Timor (Rusa timorensis) di Balai Penelitian Ternak Ciawi

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

KINERJA PRODUKSI DAN UMUR PUBERTAS PEDET HASIL KAWIN SILANG SAPI PO, SIMMENTAL DAN LIMOUSIN DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT

PENGARUH STRATIFIKASI FENOTIPE TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN SAPI POTONG PADA KONDISI FOUNDATION STOCK

SELEKSI PEJANTAN BERDASARKAN NILAI PEMULIAAN PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DI LOKA PENELITIAN SAPI POTONG GRATI PASURUAN

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Pengaruh Pembedaan Kualitas Konsentrat pada Tampilan Ukuran-Ukuran Tubuh dan Kosumsi Pakan Pedet FH Betina Lepas Sapih

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

Identifikasi Fenotipik Sapi Hitam- Peranakan Angus di Kabupaten Sragen

Bibit sapi peranakan Ongole (PO)

KOMPARASI ESTIMASI PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI BALI BERDASARKAN SELEKSI DIMENSI TUBUHNYA WARMADEWI, D.A DAN IGN BIDURA

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

KARAKTERISTIK DAN KINERJA INDUK SAPI SILANGAN LIMOUSIN-MADURA DAN MADURA DI KABUPATEN SUMENEP DAN PAMEKASAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Animal Agriculture Journal 4(2): , Juli 2015 On Line at :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN PRODUKSI KAMBING BOER, KACANG DAN PERSILANGANNYA PADA UMUR 0 3 BULAN (PRASAPIH)

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PERTUMBUHAN PEDET HASIL IB DI WILAYAH KECAMATAN BANTUR KABUPATEN MALANG

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

PRODUKTIVITAS KAMBING KACANG PADA KONDISI DI KANDANGKAN: 1. BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH, JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN DAYA HIDUP ANAK PRASAPIH

Study Characteristics and Body Size between Goats Males Boerawa G1 and G2 Body in Adulthoodin the Village Distric Campang Gisting Tanggamus

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

PARAMETER GENETIK: Pengantar heritabilitas dan ripitabilitas

Endang Sulistyowati, Emran Kuswadi, Lobis Sutarno dan Gilbert Tampubolon

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN

PERFORMANS REPRODUKSI INDUK SAPI LOKAL PERANAKAN ONGOLE YANG DIKAWINKAN DENGAN TEKNIK INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA

PENGARUH PENAMBAHAN KACANG KEDELAI ( Glycine max ) DALAM PAKAN TERHADAP POTENSI REPRODUKSI KELINCI BETINA NEW ZEALAND WHITE MENJELANG DIKAWINKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

HUBUNGAN BOBOT HIDUP INDUK SAAT MELAHIRKAN TERHADAP PERTUMBUHAN PEDET SAPI PO DI FOUNDATION STOCK

Transkripsi:

STUDI AWAL PERFORMA SAPI PERAH FH X ONGOLE DARA DI DATARAN RENDAH (A Preliminary Study on the Performance of Friesian Holstein and Ongole Crossbred Heifers Adapted in Lowland Areas) L. PRAHARANI, HASTONO, D.A. KUSUMANINGRUM dan P. SITUMORANG Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT A study was conducted to evaluate efficiency of production for F-1 50% Ongole Grade 50% Friesian Holstein (OH). Observation on 15 females consist of 5 dams, 5 heifers FH and 5 heifers F-1 OH was done at Research Station of IRIAP (Indonesian Research Institute for Animal Production) Cicadas, Bogor. All animals were fed 25 kg of King Grass per head/day and 2.5 kg concentrate per head/day. All animals were estrus synchronized using prostaglandin and inseminated after showing estrus symptoms. Pregnancy detection was two months after insemination. Parameters evaluated were body weight at 2 years old and at breeding, average daily gain between 1 2 years old, body condition score and size (body length, chest girth, and shoulder height), estrus rate, service per conception, pregnancy rate, gestation length and feed consumption. Research results had shown that average body weight at 2 years old for FH heifers and F-1 OH heifers were 315.80 kg and 335.75 kg. Average daily gain for FH and F-1 OH heifers were 0.31 kg/day and 0.39 kg/day, respectively. The average body weights at breeding were 340.20 kg and 342.25 kg for FH heifers and F1 OH heifers. Body condition scores for FH dams, FH heifers and F1 OH heifers were 3, 4 and 4.25. The body size of FH and F-1 OH heifers were body length (125.80 cm vs 122.75 cm), shoulder height (131.20 cm vs 130.25 cm) and chest girth (165.8cm vs 162.75 cm). Estrus rate obtained from estrous synchronization were 80%, 80 and 100% for FH heifers, F1 OH heifers and FH dams, respectively. Pregnancy rate obtained from synchronization and artificial insemination were 66, 50 and 0% for FH heifers, F1 OH heifers and FH dams, however comparing total FH females to F1 OH heifers was lower (33 vs 50%). Service per conception was for FH heifers, F-1 OH heifers were 1.2 and 1.4, respectively. Gestation has not been yet known since all the animals observed were still pregnant. Feed consumption for all animals was given in the same quantities which were 25 kg/head/day for forage and 2.5 kg/head/day for concentrate. Biological efficiency based on productivity and reproductivity of F1 OH heifers was higher than FH females due to adaptability and heterosis effects. Due to few animals used in this study the conclusion was only an exploratory report that may be considered as initial information regarding the crossbreeding program between FH and PO cattle. However, it needs further study to obtained better conclusion with appropriated sample size of animals. Key Words: Dairy Cattle, Production Efficiency, Lowland ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk mengevaluasi efisiensi produksi sapi perah hasil persilangan (F-1) Peranakan Ongole dan Friesian Holstein. Pengamatan terhadap 15 ekor sapi betina yang terdiri dari 5 ekor sapi dara FH, 5 ekor sapi induk, 5 ekor sapi dara F-1 50% Peranakan Ongole 50% Holstein (OH) yang dipelihara pada Stasiun Percobaan Balai Penelitian Ternak Cicadas, Bogor. Pemberian pakan berupa rumput King grass sebanyak rata-rata 25 kg/ekor/hari dan konsentrat dengan kandungan protein 12 16% sebanyak 2,5 kg/ekor/hari kepada semua ternak yang diamati. Semua ternak diberikan perlakuan sinkronisasi estrus menggunakan hormon prostalglandin dan diinseminasi bila menunjukan tanda-tanda estrus. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan setelah 2 bulan inseminasi buatan. Parameter yang diamati adalah berat badan, pertambahan berat badan, kondisi dan ukuran tubuh, service per conception, persentase kebuntingan, lama kebuntingan, dan konsumsi pakan. Hasil pengamatan rataan berat badan umur dua tahun untuk sapi dara FH kg dan sapi dara F-1 OH 315,80 kg dan 335,75 kg. Berat badan pada saat dikawinkan untuk sapi dara FH dan F1 OH, dan sapi induk FH masing-masing sebesar 340,20 kg, 342,25 kg. Pertambahan berat badan antara umur setahun dan dua tahun untuk sapi dara FH dan F-1 OH masing-masing sebesar 0,31 kg/ekor/hari dan 136

0,39 kg/ekor/hari. Kondisi tubuh sapi induk FH, sapi dara FH dan sapi dara F1 OH masing-masing 3, 4 dan 4,25. Ukuran tubuh sapi dara FH dan F1 OH berturut-turut panjang badan 125,80 cm dan 122,75 cm, tinggi badan 131,20 dan 130,25 cm, dan lingkar badan 165,80 cm dan 162,75 cm. Persentase ternak yang menujukan estrus setelah sinkronisasi sapi dara FH dan F1 OH masing-masing sebesar 80 dan 80%, sedangkan sapi induk FH 100%. Persentase kebuntingan setelah sinkronisasi dan inseminasi buatan adalah untuk sapi dara FH dan F-1 OH sebesar 66 dan 50% sedangkan sapi induk FH 0%, tetapi bila total sapi betina FH dibandingkan sapi dara F-1 OH berturut-turut sebesar 33 vs 50%. Service per conception masing-masing sapi dara FH, F-1 OH dan FH induk sebesar 1,2 and 1,4. Lama kebuntingan belum diperoleh datanya karena sapi masih dalam keadaan bunting. Konsumsi pakan untuk semua sapi diberikan dalam jumlah yang sama, standar sebesar 25 kg/ekor/hari (hijauan) dan 2,5 kg/ekor/hari (konsentrat). Efisiensi biologi berdasarkan berat badan dan persentase kebuntingan menujukan sapi F1 OH lebih efisien dibandingkan sapi FH disebabkan daya adaptasi pengaruh heterosis. Oleh karena materi ternak yang digunakan dalam penelitian ini sangat sedikit, maka kesimpulan yang diambil dalam penelitian ini hanya merupakan sebuah studi awal yang memberikan gambaran program persilangan antara sapi FH dan PO. Sebagai saran, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sampel ternak lebih banyak (minimal 30 ekor) untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih akurat. Kata Kunci: Sapi Perah, Efisiensi, Dataran Rendah PENDAHULUAN Sapi perah yang dipelihara di Indonesia adalah jenis Holstein yang pada awalnya diimpor dari Belanda yang memiliki kondisi suhu lingkungan dingin. Oleh karena itu pemeliharaan sapi perah Holstein pada umumnya terkonsentrasi di dataran tinggi, tetapi kemudian berkembang ke daerah dataran rendah. Beberapa lokasi peternakan sapi perah yang berkembang di dataran rendah seperti di DKI Jakarta dan Bogor antara lain disebabkan oleh dekatnya lokasi peternakan dengan pasar (kota besar) sehingga memperpendek jalur tataniaga, dimana peternak dapat menjual susu langsung kepada konsumen dengan harga lebih tinggi. Akan tetapi kondisi dataran rendah seperti temperatur udara yang lebih panas dibandingkan dengan dataran tinggi menyebabkan turunnya produksi susu sapi terutama sapi Holstein. Usahaternak sapi perah di dataran rendah yang semakin berkembang memerlukan dukungan upaya peningkatan dan perbaikan di berbagai aspek termasuk pemuliaan ternak yaitu melalui pembentukan sapi perah yang cocok untuk kondisi dataran rendah. Salah satu strategi program pemuliaan dalam rangka menyediakan bibit unggul sapi perah yang cocok dengan kondisi dataran rendah dapat dilakukan melalui persilangan antara sapi perah FH dengan sapi lokal. Persilangan antara bangsa sapi yang berbeda menghasilkan efek heterosis dimana keturunan persilangan (F-1) memiliki performa lebih baik dibandingkan dengan tetuanya (BOURDON, 2000) sebagai akibat kombinasi gen dari tetuanya serta pengaruh komplementaritas. Penelitian persilangan sapi FH dengan beberapa bangsa Bos indicus telah banyak dilakukan di beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang menghasilkan beberapa genotipa baru dengan proporsi darah FH yang berbeda. Di Indonesia penelitian awal sapi perah persilangan yang pernah dilaporkan oleh SIREGAR et al. (2000) menunjukan bahwa produksi susu persilangan antara sapi FH dan Hissar (Bos indicus) di Sumatera Utara cukup baik. Sapi Peranakan Ongole (Bos indicus) telah lama berkembang di Indonesia dan saat ini populasinya cukup banyak terutama di pulau Jawa. Pemanfaatan sapi PO di Indonesia masih sebagai penghasil daging (ternak potong), tetapi di India, sapi Ongole memiliki peranan penting dalam industri susu dan daging. Melalui pemanfaatan pengaruh heterosis dan gen kombinasi sifat unggul dari sapi FH dan Ongole, maka persilangan sapi FH dan PO diharapkan dapat menghasilkan produksi susu minimal sama dengan sapi FH yang dipelihara di dataran rendah tetapi efisiensi produksinya lebih tinggi dibandingkan sapi FH yang dipelihara di dataran rendah, mengingat sapi PO lebih efisien dalam penggunaan pakan dibandingkan Bos taurus dalam kondisi tropis. Balai Penelitian Ternak telah melakukan persilangan sapi PO dengan FH sejak tahun 2005 bertujuan membentuk sapi perah (Ongole Holstein) yang cocok untuk dikembangkan di 137

daerah dataran rendah atau panas. Dari hasil penelitian sapi F1 OH menunjukan adanya produktivitas anak yang baik akibat pengaruh heterosis dan kemampuan adaptasinya. Informasi produksi dan reproduksi serta efisiensi F1 OH belum lengkap karena ternak F1 baru memasuki masa awal reproduksi (dewasa kelamin) dan jumlahnya belum memenuhi kaidah penelitian, sehingga diperlukan penelitian lanjutannya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi produksi dan reproduksi sapi persilangan (F1) OH dan pembandingnya sapi perah FH di dataran rendah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan masukan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan arah dan strategi pemuliaan sapi perah yang berkaitan dengan pembentukan rumpun sapi perah adaptif dan efisien yang dapat dikembangkan di daerah dataran rendah dan panas khususnya di luar pulau Jawa. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Stasiun Percobaan Balai Penelitian Ternak di Cicadas. Materi yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu 16 ekor sapi betina yang terdiri dari 5 ekor sapi dara FH, 6 ekor sapi induk dan 5 ekor sapi dara turunan pertama (F-1) hasil persilangan PO dan FH (50% FH 50% PO). Semua ternak akan diberikan pakan seragam dengan kandungan protein 12 16% dan TDN 66% sebanyak 2,5 kg/hari/ekor (1,2% dari Bobot badan) dan hijauan pakan berupa rumput unggul sebanyak 20 25 kg (Kingrass/Gajah = 10% dari bobot badan) dan leguminosa, berdasarkan perhitungan berat badan sapi 200 kg dengan pertambahan bobot badan sebesar 0,3 kg/hari. Semua sapi dara dan induk diberikan hormon prostaglandin 2 cc/ekor untuk sinkronisasi estrus. Pengamatan estrus dilakukan setelah 7 hari sesudah penyuntikan hormon. Ternak yang menunjukkan gejala estrus kemudian dikawinkan melalui inseminasi buatan. Sedangkan ternak yang tidak menunjukan gejala estrus diberikan hormon prostaglandin kembali sebanyak 2 kali dengan selang 7 hari dan dilakukan inseminasi tanpa deteksi estrus dengan metode fixed time insemination. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan pada bulan ke-2 dan 3 setelah inseminasi. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah berat badan pada umur 2 tahun; berat badan saat dikawinkan; pertambahan berat badan harian pada umur antara setahun dan dua tahun; kondisi tubuh dan ukuran tubuh (panjang badan, tinggi badan dan lingkar dada; persentase estrus; persentase (tingkat) kebuntingan; service per conception; dan efisiensi (biologi). Skor kondisi tubuh yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan metode HERD dan SPROTT (1986) dengan skala 1 sampai 9 seperti berikut: 1 (amat kurus sekali), 2 (kurus sekali), 3 (kurus), 4 (kurus, perdagingan terlihat), 5 (sedang), 6 (sedang-baik), 7 (baik), 8 (gemuk), dan 9 (terlalu gemuk). Ukuran tubuh sapi dara meliputi panjang badan, tinggi badan, dan lingkar dada yang diukur menggunakan pita ukur dan tongkat pengukur. Persentase estrus merupakan jumlah ternak yang estrus setelah disinkronisasi melalui deteksi estrus. Persentase kebuntingan dihitung berdasarkan jumlah ternak yang disinkronisasi dan diinseminasi buatan menjadi bunting setelah pemeriksaan kebuntingan melalui paspasi rektal saat 2 bulan setelah ternak diinseminasi. Service per conception dihitung dengan cara menjumlahkan berapa kali inseminasi buatan pada ternak yang sama sampai ternak tersebut dinyatakan bunting. Lama kebuntingan diukur dengan cara menghitung jumlah hari antara dikawinkan melalui inseminasi buatan dan kelahiran ternak. Konsumsi pakan dihitung berdasarkan jumlah pemberian hijauan dan konsentrat yang dibatasi jumlahnya yaitu 25 kg King grass segar dan 2,5 kg konsentrat yang mengandung protein 12 16%. Semua ternak mendapat perlakuan pemberian pakan yang sama, sehingga tidak ada perbedaan manajemen lingkungan (faktor non-genetik) Efisiensi biologi dihitung berdasarkan terhadap produktivitas (berat badan, pertumbuhan, ukuran dan kondisi tubuh) dan reproduktivitas (persentase estrus, service per conception, kebuntingan). Konsumsi pakan (feed intake) per individu ternak untuk setiap genotipa tidak dihitung dan dianggap sama. Semua data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisa dengan menggunakan prosedur GLM dari program SAS (2001) dan pengujian rataan 138

paramater yang diukur dilakukan dengan T-test untuk mengetahui derajat signifikasi antar genotipa sapi (sapi FH vs sapi OH). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik sapi OH (F-1) Penampilan eksterior sapi OH (F-1) berbeda yang sangat khas adalah bentuk tanduk dan elambir. Sapi OH baik jantan maupun betinanya memiliki tanduk yang lebih panjang melengkung ke atas seperti sapi PO dengan gelambir sangat jelas dan lebih lebar dibandingkan dengan sapi FH, sedangkan tanduk sapi FH kecil dan melengkung ke arah dalam. Pola warna tubuh mengikuti pola warna tubuh sapi FH (hitam dan putih) baik pada sapi jantan maupun betina. Sifat tanduk dan gelambir merupakan sifat dominan yang diturunkan dari sapi PO, sedangkan pola warna merupakan sifat dominan yang diwariskan dari sapi FH. Sapi OH (F-1) merupakan hasil persilangan antara pejantan PO dan induk FH, sedangkan perkawinan resiproknya tidak dilakukan, sehingga belum diketahui apakah ada perbedaan dengan resiprokalnya. Parameter eksterior lainnya yang membedakan sapi OH dari tetuanya belum dilakukan. Karakteristik pembeda lainnya adalah temperamen sapi, dimana temperamen sapi OH lebih sulit penanganan, agak liar dan galak. Sementara sapi FH lebih jinak dan kalem serta mudah untuk penangannya (handling). Tabel 1 menampilkan karakteristik eksterior sapi FH, PO dan F1 OH. Berat badan Sifat pertumbuhan sapi berhubungan langsung dengan berat badan ternak dan merupakan salah satu sifat ekonomis yang penting dalam mengevaluasi produktifitas dan effisiensi ekonomi suatu usaha peternakan (MARTINS et al., 2003). Tabel 2 memperlihatkan Tabel 1. Karaketeristik eksterior sapi FH, PO dan F1 OH Karakter Sapi FH Sapi PO Sapi F-1 OH Warna tubuh Hitam putih (belang) Putih Hitam putih (belang) Tanduk Pendek melengkung ke depan Panjang melengkung ke atas Panjang melengkung ke atas Gelambir Kurang jelas Ada jelas, lebar Jelas lebar Bentuk moncong Lebih pendek Lebih panjang panjang Temperamen Tenang, jinak, mudah handling Agak liar, agresif, susah handling Liar, agresif, susah handling Tabel 2. Rataan performa sapi perah dataran rendah dan standar deviasi Parameter Genotipa FH induk (3) FH dara (5) OH dara (5) Umur ternak, tahun 6 2 2 Berat badan 2 tahun, kg - 315,80 ± 48,8 335,75 ± 45,1 Berat badan kawin, kg 357,67 ± 14,57 340,20,±,49,6 342,25 ± 39,7 Pertambahan berat badan, kg/hari - 0,31 ± 0,14 0,39 ± 0,16 Score tubuh (1 9) 3 4 4,25 Panjang badan, cm 129,67 ± 0,47 125,80 ± 6,7 122,75 ± 11,9 Lingkar badan, cm 169,33 ± 2,1 165,80 ± 7,1 162,75 ± 9,2 Tinggi badan, cm 133,33 ± 3,1 131,20 ± 4,8 130,25 ± 3,4 Estrus (sikronisasi + deteksi), % 100 80 80 % Kebuntingan (1x sinkronisasi) 0 66 50 Service per conception 0 1,2 1,4 139

rataan produksi dan reproduksi dari sapi FH dara dan induk serta sapi dara OH (F-1). Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa rataan berat badan umur dua tahun sapi dara FH dan F1 OH masing-masing sebesar dan 315,80 kg dan 335,75 kg. Sapi dara F1 OH memiliki berat badan lebih tinggi 6,3% dibandingkan dengan sapi dara FH. Berat badan badan umur 2 tahun sapi PO dalam rangkuman ASTUTI (2004) berkisar antara 223 300 kg dengan rataan 261 kg. Pertambahan berat badan sapi FH dan sapi F1 OH adalah 0,31 kg/hari dan 0,39 kg/hari, dimana sapi F1 OH terlihat lebih cepat bertumbuh dibandingkan dengan sapi FH. Pertambahan berat badan ini diukur pada saat ternak berumur antara umur 1 tahun dan 2 tahun. Menurut ASTUTI (2004) rataan pertambahan berat badan pasca sapih sapi PO 0,31 0,40 kg/hari dengan rataan 0,35. Pertambahan berat badan harian sapi F1 OH diatas rataan sapi PO dan FH. Bila dilihat dari pemberian pakan untuk semua ternak sapi dalam penelitian ini dengan kuantitas dan kualitas yang sama, maka terlihat bahwa efisiensi sapi dara F1 OH lebih baik 25% dibandingkan dengan sapi dara FH. Berat badan kawin diukur saat sebelum ternak sapi dikawinkan. Dalam penelitian ini semua ternak betina dikawinkan melalui inseminasi buatan, sehingga ternak ditimbang saat sebelum diinseminasi. Berat badan kawin sapi dara FH rata-rata sebesar 340,20 kg dan F1 OH sebesar 342,25 kg, dan sapi induk FH 357,67 kg. Berat badan kawin sapi dara F1 OH sama dengan sapi dara FH. Melalui berat badan kawin yang sama diharapkan respon kebuntingannya sapi F1 OH akan sama sapi FH. Umur ternak (sapi dara FH dan F1 OH) saat dikawinkan dalam peneliti ini berumur 29 bulan, dimana sapi FH biasanya dikawinkan pada umur 24 bulan dan sapi PO antara 26 bulan (ASTUTI, 2004). Ukuran tubuh Ukuran tubuh sering digunakan untuk mempelajari karakter fenotipik ternak yang mencerminkan pertumbuhan kerangka tulang dan pertambahan berat badan. Tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada merupakan parameter yang sering digunakan untuk membandingkan performan ternak. Parameter ukuran tubuh dapat digunakan sebagai standar seleksi untuk mendapatkan ternak yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar karena berkaitan dengan bobot badan dan pertumbuhan (ESSIEN dan ADESCOPE, 2003). Ternak yang memiliki ukuran tubuh lebih besar mencerminkan kualitas pertumbuhan yang baik dibanding dengan ternak lain pada umur yang sama. Parameter ukuran tubuh yang biasa dipakai sebagai standar yaitu tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada yang mempunyai korelasi positif dengan berat badan (BLACKMORE et al., 1995). Ukuran tubuh yang diamati dalam penelitian ini adalah panjang badan, tinggi badan dan lingkar badan seperti yang terdapat pada Tabel 2. Panjang badan sapi FH dan F1 OH masing-masing sebesar 125,80 cm dan 122,75 cm; tinggi badan 131,20 cm dan 130,25 cm; lingkar dada 165,80 cm dan 162,75 cm. Berdasarkan ukuran tubuh terlihat bahwa sapi F1 OH memiliki ukuran tubuh yang relatif sebanding dengan sapi dara FH. Bila dilihat dari ukuran tubuhnya, sapi PO memiliki postur tubuh lebih kecil dibandingkan sapi FH, yaitu panjang badan 120,15 cm, tinggi badan 127.46 cm dan lingkar dada 156,44 cm, (KURNIAWAN, 1985). Berdasarkan rataan sapi FH dan PO dari literatur, maka ukuran badan sapi F1 OH diantara sapi FH dan sapi PO, sementara heterosis efek ukuran tubuh sangat kecil sekali, tetapi ukuran tubuh F1 OH lebih besar dibandingkan dengan sapi PO, dan hampir sama dengan sapi FH. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pengaruh heterosis pada sapi F1 OH dimana besar tubuhnya sama dengan tetuanya dan lebih besar dari rataan tetuanya. MADUREIRA et al. (2002) dan MAGDALENA et al. (2003) melaporkan adanya heterosis efek yang besar sifat pertambahan ukuran linear tubuh terutama tinggi badan pada sapi persilangan FH dan Guzera (Bos indicus) yang dilakukan di Brasil. Ukuran tubuh ini sangat berhubungan dengan berat badan dan efisiensi pakan serta energi balance khususnya pada ternak sapi perah (KOENEN, 2001; SONDERGAARD et al., 2002) dan mempunyai heritabilitas tinggi (BERRY et al., 2004). Ukuran tubuh ternak sapi perah mempunyai korelasi positif terhadap produksi susu berkaitan dengan jumlah sel somatic (HAAS et al., 2007). Selain itu 140

dikatakan itu juga ukuran tubuh ini dapat dijadikan indikator daya adaptasi ternak terhadap lingkungan. Berdasarkan parameter ukuran tubuh ini, terlihat bahwa besar tubuh sapi FH dan F1 OH sama. Skor kondisi tubuh Konformasi tubuh sangat berkaitan dengan efisiensi pakan dan dan energy balance yang dipengaruhi oleh manajemen pakannya. Kondisi tubuh sangat berpengaruh terhadap efisiensi reproduksi ternak. Skor tubuh mempengaruhi ketersediaan energi yang diperlukan dalam aktifitas reproduksi ternak (SENGER, 2000; WETTEMANN et al., 2003). Induk-induk dengan skor tubuh rendah lebih panjang jarak beranaknya dibandingkan skor tubuh lebih dari 6 (sedang) karena estrus postpartum lebih panjang akibat dari lambatnya pertumbuhan folikel dalam siklus berahi (LENTS et al., 2000). Skor tubuh sedang menjadi nilai kritis terendah bagi ternak betina memiliki siklus berahi normal. Skor kondisi tubuh sapi dara FH dan F1 OH relatif sama yaitu nilai 4 dan 4,25 dimana kondisi ternak dalam keadaan baik atau sedang. Meskipun sapi F1 OH cenderung lebih baik dibandingkan dengan sapi FH. Skor kondisi tubuh ternak sapi dalam penelitian ini mencerminkan pemberian pakan yang cukup baik secara kuantitas dan kualitasnya. Berdasarkan nilai skor kondisi tubuh diharapkan bahwa efisiensi reproduksi baik yang diukur melalui persentase estrus dan kebuntingan. Dilain pihak sapi induk FH memiliki skor kondisi tubuh 3 atau kurus, kemungkinan disebabkan pada saat penelitian sapi induk sedang diperah, sementara jumlah pakan yang diberikan sama kuantitas dan kualitas dengan sapi dara FH dan F1 OH, sehingga terjadi negatif energy balance. Skor kondisi tubuh yang kurus ini dapat menyebabnya terganggunya efisiensi reproduksi (WETTERMAN et al., 2003). Performa reproduksi Efisiensi reproduksi merupakan sifat ekonomi yang memiliki peranan penting dalam usaha ternak berkaitan dengan pemeliharaan ternak betina. Sifat reproduksi 3,4 10 kali lebih penting dari sifat produksi (MELTON, 1995). Performa reproduksi dapat diukur melalui persentase estrus, kebuntingan dan jumlah anak yang lahir. Efisiensi reproduksi sangat dipengaruhi oleh berat badan saat kawin, skor kondisi tubuh. Respon sinkronisasi estrus terhadap persentase estrus dan kebuntingan sangat dipengaruhi oleh genetik. Persentase estrus ternak yang telah disinkronisasi estrus dan diamati gejala estrusnya (deteksi estrus) sapi dara FH, F1 OH dan sapi induk FH masing-masing sebesar 80, 80 dan 100%. Persentase estrus menggambarkan respon sapi terhadap sinkronisasi estrus dalam hal ini digunakan hormon Prostaglandin. Terlihat bahwa respon sapi dara F1 OH sama dengan sapi FH, sementara respon sapi induk lebih baik dibandingkan dengan sapi dara. Beberapa penelitian melaporkan perbedaan efisiensi reproduksi dari sapi Bos taurus dan Bos indicus, dimana sapi Bos indicus memiliki efisiensi reproduksi lebih rendah (GEARY dan WHITTIER, 1998; STEVENSON et al., 2000). GALINA (1996) dalam reviewnya melaporkan persentase estrus sebagai respon sinkronisasi estrus pada sapi Zebu (Bos indicus) sebesar 60%. Sedangkan PRAHARANI (2004) melaporkan bahwa persentase estrus setelah sinkronisasi estrus dari sapi Angus (Bos taurus), 50% Angus 50% Brahman dan Brahman (Bos indicus) masing-masing 60%, 68% dan 58%, dimana terlihat adanya heterosis efek persentase estrus sebesar 13%. Sedangkan pada penelitian ini persentase estrus F1 OH sama dengan sapi Bos taurus disebabkan oleh heterosis efek. Peningkatan efisiensi reproduksi dapat dilakukan melalui persilangan antara Bos indicus dan Bos taurus. Persentase kebuntingan ternak yang telah disinkronisasi satu kali dan diinseminasi sapi dara FH, F1 OH dan sapi induk FH masingmasing sebesar 60, 50 dan 0%. Sapi dara FH memiliki persentase kebuntingan paling tinggi seperti yang dilaporkan oleh STEVENSON et al. (2000) bahwa respon sinkronisasi estrus terhadap persentase kebuntingan sapi Bos taurus dilaporkan lebih tinggi dibandingkan sapi persilangan Bos taurus x Bos indicus. Bila dibandingkan dengan total sapi FH (dara dan induk) maka persentase kebuntingan sapi F-1 OH lebih tinggi dibandingkan dengan 141

(37,5 vs 50%). Hal ini menunjukkan adanya kemampuan adaptasi dan pengaruh heterosis. PRAHARANI (2004) melaporkan tingkat kebutingan ternak yang disinkronisasi estrus dan inseminasi buatan sapi persilangan Bos taurus x Bos indicus lebih tinggi dibandingkan dengan sapi Bos taurus karena pengaruh hetersosis dan kemampuan adaptasi yang lebih tinggi disebabkan gen Bos indicus, sementara tingkat kebuntingan sapi Bos indicus terendah. Sementara sapi induk FH tidak ada yang bunting, padahal persentase estrusnya 100%, kemungkinan estrus yang terjadi tidak mengakibatkan ovulasi atau embrio gugur. Salah satu penyebab tidak terjadinya kebuntingan pada sapi induk kemungkinan disebabkan skor kondisi tubuh yang kurus sehingga menggangu aktifitas reproduksinya, ditambah lagi saat dikawinkan dalam kondisi diperah. Pengaruh kondisi tubuh terhadap tingkat kebuntingan ternak berkaitan dengan fungsi hormon gonadotropin (FSH dan LH) dimana kurangnya cadangan energi dalam tubuh menyebabkan kurangnya sekresi hormon gonadotropin dari hipothalamus (SENGER, 2000). Service per conception ternak yang disinkornisasi estrus dan inseminasi buatan sapi dara FH dan F1 OH sebesar 1,2 dan 1,4. Secara umum kemampuan fertilitas sapi dara FH lebih tinggi 16% dibandingkan F1 OH. ASTUTI (2004) melaporkan service per conception sapi PO antara 1,29 dan 2,23 dengan rataan 1,76. Nilai service per conception F1 OH berada diantara rataan tetuanya (1,48), meskipun heterosis efeknya belum terlihat. Efisiensi (biologi) Perlu diingat bahwa semua ternak diberikan pakan terbatas yang sama jumlah dan kualitas baik hijauan dan konsentrat, sehingga perbedaan produktivitas dan reproduktivitas diantara kedua genotipa (sapi FH vs OH) disebabkan karena perbedaan genotipa. Efisiensi (biologi) ternak berdasarkan produktivitas (berat badan, ukuran dan skor kondisi tubuh) sapi dara FH dan sapi F1 OH secara umum relatif sama. Tetapi efisiensi berdasarkan reproduktivitas (persentase kebuntingan) sapi F1 OH lebih tinggi dibandingkan dengan sapi betina FH. Keunggulan sapi F1 OH ini menunjukan adanya adaptabilitas ternak dan pengaruh heterosis. Besarnya nilai heterosis dalam penelitian ini seperti yang dilaporkan oleh CORDOSSO et al. (2006) dimana dalam kondisi yang minimal dan terbatas, nilai heterosis efek akan semakin besar. Penelitian yang dilakukan oleh HOLLMAN et al. (1990) di Venezuela menunjukan adanya produktifitas yang lebih tinggi pada sapi 50% FH dan 50% pada daerah dataran rendah dengan biaya lebih murah dibandingkan dengan sapi FH murni. Pemeliharaan pada dataran rendah dimana cekaman lingkungan lebih besar, sapi persilangan lebih efisien dan menguntungan dibandingkan sapi perah murni disebabkan oleh rendahnya biaya produksi. Demikian juga biaya variabel sapi perah murni FH lebih tinggi dibandingkan dengan sapi dwiguna persilangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeliharaan sapi persilangan dwiguna di dataran rendah lebih menguntungkan dibandingkan pemeliharaan sapi FH murni di daerah dataran tinggi. KESIMPULAN Produktivitas (pertambahan dan berat badan umur 2 tahun dan saat dikawinkan, skor kondisi tubuh dan ukuran tubuh) ternak sapi dara persilangan (F1) OH secara umum sebanding dengan sapi dara FH akibat pengaruh heterosis dan daya adaptabilitas. Reproduktivitas (persentase estrus, tingkat kebuntingan dan service per conception) sapi F1 OH lebih tinggi dibanding sapi FH. Akurasi kesimpulan dalam penelitian ini perlu dipertimbangkan mengingat sedikitnya materi ternak penelitian, tetapi dapat dijadikan sebagai gambaran awal program persilangan sapi perah FH dengan PO dalam rangka membentuk sapi perah adaptif dataran rendah. Perhitungan efisiensi (biologi) secara tepat perlu dilakukan terutama terhadap produksi susu untuk mengetahui efektifitas sapi persilangan. Penelitian lanjutan dengan jumlah ternak yang lebih banyak sangat disarankan untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih akurat. 142

PERKIRAAN MANFAAT DAN DAMPAK Penelitian ini memberikan manfaat berupa gambaran mengenai program persilangan sapi perah yang merupakan masukan bagi pembentukan rumpun sapi perah dataran rendah. Dampak penelitian ini adalah penetuan langkah strategi pemuliaan dalam pembentukan rumpun sapi perah yang efisien dan adaptif dataran rendah, sehingga membuka peluang pengembangan peternakan sapi perah di daerah panas di luar pulau Jawa. DAFTAR PUSTAKA ASTUTI. M. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Peranakan Ongole. Wartazoa 14(4): 30 39. BERRY D.P., R. BUCKLEY, P. DILLON, R.D. EVANS and R.F. VEERKAMP. 2004 Genetic relationships among linear type traits, milk yield, body weight, fertility and somatic cell count in primiparous dairy cows. Irish J. Agri. Food Res. 43: 161 176. BLACKMORE D.W., L.D. MCGULLIARD and J.L. LUSH. 1995 Genetic relationship between body measurements at three ages in Holstein. J. Dairy Sci. 41: 1045. BOURDON, R.M. 2000. Understanding animal breeding. Prentice Hall. NY. BOURDON, R.M. 2000. Understanding animal breeding. Prentice Hall. NY. HAAS, Y., L.L.G. JANSS and H.N. KADARMIDEEN. 2007. Genetic and phenotypic parameters for conformation and yield traits in three Swiss dairy cattle breeds. J. Anim. Breeding and Genetics 124 (1), 12 19. ESSIEN, A. and O.M. ADESOPE. 2003. Linear body measurements of N dama calves at 12 months in a South Western zone of Nigeria. Livestock Research for Rural Development (15)4. GALINA, C.S., A. ORIHUELA and I. RUBIO. 1996: Behavioural trends affecting oestrus detection in zebu cattle. Anim Reprod Sci. 42: 465 470. HERD, D.B. and L.R. SPROTT. 1986. Body condition, nutrition, and reproduction of beef cows. Texas Agric. Ext. Ser. Bull. No. B-1526. HAAS, Y., L.L.G. JANSS and H.N. KADARMIDEEN. 2007. Genetic and phenotypic parameters for conformation and yield traits in three Swiss dairy cattle breeds. J. Anim. Breed. Genetics 124(1): 12 19. GEARY, T.W. and J.C. WHITTIER. 1998. Effect of timed insemination following synchronization of ovulation using the Ovsynch or CO-Synch system in Beef Cows. The Professional Animal Scientist 14: 217 220. HOLMANN, F., R.W. BLAKE, M.V. HAHN, R. BARKER, R.A. MILLIGAN, P.A. OLTENACU and T.L. STANTON. 1990. Comparative Profitability of Purebred and Crossbred. Holstein Herds in Venezuela. J. Dairy Sci. 73: 2219 2205. KOENEN E.P.C. 2001. Selection for body weight in dairy cattle. PhD-thesis, Wageningen University LENTS, C.A., F.J. WHITE, D.L. LALMAN and R.P. WETTEMANN. 2000. Effects of body condition of beef cows at calving and protein supplementation on estrous behavior and follicle size. Okla. Agr. Exp. Stn. Res. Rep. P- 980: 164 168. MELTON, B.E. 1995. Beef's Challenges for 2005. 44th Annual Florida Beef Cattle Short Course Proceedings; May 3 5; Gainesville, FL. University of Florida. Gainesville. Animal Science Department. 155 p. MARTINS, G.A., F.E. MADALENA, J.H. BRUSCHI, J.L. COSTA and J.B.N. MONTEIRO. 2003. Objetivos econômicos de seleção de bovinos de leite para fazenda demonstrativa na Zona da Mata de Minas Gerais. Rev. Bras. Zootec. 32: 304 314. MADUREIRA, A.P., F.E. MADALENA and L.R. TEODORO. 2002. Desempenho comparativo de seis grupos de cruzamento Holandês x Guzerá. 11. Peso e altura de vacas. Rev. Bras. Zoot. (in press). MADALENA, F.E., R.L. TEODORO and A.P. MADUREIRA. 2003. Relationships of weight and height with age in hybrid Holstein- Friesian/Guzera females. Genet. Mol. Res. 2 (3): 271 278. PRAHARANI. L. 2004. Genetic evaluation for growth traits, reproductive performance and meat tenderness. Dissertation. University of Florida, USA. SAS. 2001. SAS User s Guide: Statistics. SAS Inst., Inc., Cary, NC 143

SENGER, P.L. 2000. Pathway to pregnancy and parturition. 2 nd Ed. Current conception Inc. Pullman, WA. SIREGAR, A.R., A.A. KARTO, C. TALIB, KUSWANDI, J. BESTARI dan S.B. SIREGAR. 2000. Identifikasi Potensi, Peluang dan Kendala Pengembangan Sapi Perah di Dataran Rendah, Laporan Tahunan. Balai Penelitian Ternak, Bogor SIREGAR, A.R. C. TALIB, J. BESTARI, KUSWANDI dan HASTONO. 2007. Persilangan dan seleksi untuk mendapatkan bibit unggul sapi perah dataran rendah. Kumpulan Hasil Penelitian DIPA TA 2006. Balai Penelitian Ternak. Bogor. SONDERGAARD, E., M.K. SORENSEN, I.L. MAO and J. JENSEN. 2002. Genetic parameters of production, feed intake, body weight, body composition, and udder health in lactating dairy cows. Livest. Prod. Sci. 77: 23 34. WETTEMANN R. P., C. A. LENTS, N. H. CICCIOLI, F. J. WHITE and I. RUBIO. 2003. Nutritional- and suckling-mediated anovulation in beef cows. J. Anim Sci. 81: E48 E59. DISKUSI Pertanyaan: 1. Apa tujuan dari penelitian persilangan ini? 2. Bagimana performa umum sapi silangan? 3. Berapa hasil produksi susu dan bagaimana pemberian pakan sapi silangan? Jawaban: 1. Untuk memperoleh kombinasi yang baik pada sifat produksi susu dan daya adaptasi tropis. 2. Tampilan fisik lebih mengikuti sapi PO seperti ada tanduk dan gelambir, dengan temperamen agak liar, tetapi menjadi lebih jinak setelah memasuki periode perah. 3. Produksi susu dibawah rataan kedua tetuanya, sedangkan pakan di berikan perlakuan sama dengan kelompok sapi kontrol dengan kadar protein kasar sekitar 12%. 144