BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Adapun hasil dari penelitian-penelitian terdahulu yang membahas mengenai topik konservatisme akuntansi, antara lain Alfian dan Sabeni (2003), Oktomegah (2012), Lo (2005), Deslatu dan Susanto (2010), Pramudita (2012), Dewi dan Suryanara (2014), Rohminatin (2016), Rahmadiar dkk (2016), dan Septian dan Anna (2014) Hasil penelitian Alfian dan Sabeni (2003) menyatakan bahwa rasio leverage, intensitas modal dan kesempatan tumbuh perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap konservatisme akuntansi. Sedangkan, ukuran perusahaan, kepemilikan manajerial dan kepemilikan publik terbukti tidak berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Hal tersebut dapat mendukung pernyataan bahwa setiap perusahaan kemungkinan kecil sahamnya dipegang oleh manajer, kebanyakan memang dari publik ataupun instansi. Jikapun ada yang dipegang oleh manajer itupun pasti tidak banyak dan tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan konservatisme. Lain halnya dengan Oktomegah (2012) menyatakan bahwa political cost yang diproksikan untuk ukuran perusahaan memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap konservatisme akuntansi. Hal tersebut dapat mendukung pernyataan bahwa semakin besar perusahaan maka manajer akan menggunakan kebijakan yang konservatif. Berbeda dengan debt covenant 9
10 yang diproksikan terhadap leverage memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap konservatisme akuntansi. Lo (2005) menyatakan bahwa tingkat kesulitan keuangan perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan tingkat konservatisme akuntansi yang dibuat oleh manajer perusahaan. Simpulan ini mendukung prediksi teori signaling mengenai pengaruh tingkat kesulitan keuangan terhadap konservatisme akuntansi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Pramudita (2012) menyatakan bahwa tingkat kesulitan keuangan berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi dan tingkat hutang tidak memiliki pengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Deslatu dan Susanto (2010) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial, debt covenant, tax and political costs tidak berpengaruh terhadap variabel konservatisme akuntansi. Sedangkan, litigation berpengaruh terhadap variabel konservatisme akuntansi. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Rahmadiar dkk (2016) menyatakan bahwa risiko litigasi dan financial distress secara parsial berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi. Sedangkan, struktur kepemilikan manajerial secara parsial tidak berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Suryanara (2014) menyatakan bahwa pengaruh struktur kepemilikan manajerial dan leverage signifikan positif pada konservatisme akuntansi. Sehingga, semakin tinggi saham yang dimiliki manajer maka ia akan cenderung menerapkan akuntansi yang konservatif. Begitu pula dengan besarnya leverage maka perusahaan akan
11 menggunakan akuntansi yang konservatif. Sedangkan, financial distress mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap konservatisme akuntansi. Sehingga, semakin tinggi financial distress akan mendorong manajer untuk mengurangi tingkat konservatisme akuntansi. Penelitian lainnya dilakukan oleh Rohminatin (2016) menyatakan bahwa bonus plan berpengaruh signifikan terhadap penerapan konservatisme akuntansi. Semakin besar kepemilikan manajerial maka manajer akan semakin konsen terhadap presentase kepemilikannya sehingga kebijakan yang diambil semakin konservatif. Sedangkan, leverage dan political cost tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerapan konservatisme akuntansi. Semakin tinggi rendahnya tingkat leverage dan political cost suatu perusahaan maka tidak berpengaruh dalam penerapan konservatisme atau tidak. Adakalanya penerapan konservatisme dilakukan saat terjadi hal-hal mendesak yang mengharuskan penerapannya dilakukan. Septian dan Anna (2014) menyatakan kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap konservatisme akuntansi. Sehingga, semakin tinggi saham yang dimiliki manajer dan semakin besar perusahaan maka manajer akan cenderung memilih akuntansi yang konservatif, Sedangkan, debt covenant tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap konservatisme akuntansi. Semakin tinggi tingkat hutang yang dimiliki perusahaan maka manajer akan memilih metode yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan sehingga konservatisme menurun (Jayanti dan Sapari, 2016).
12 B. Teori dan Kajian Pustaka 1. Agency Theory (Teori Keagenan) Teori agensi merupakan teori yang mendasari perusahaan dalam melakukan praktik bisnisnya. Dalam teori keagenan ini terdapat pemisahan antara pihak manajemen (agent) dan pemilik (principal). Oktomegah (2012) menyatakan bahwa teori keagenan menjelaskan hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih pemilik (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Jensen dan Meckling (1976) dalam Susanto dan Ramadhani (2016) mengungkapkan adanya masalah agensi dalam perusahaan yang terpisah antara kepemilikan dan manajemen. Pemilik (principal) memiliki kepentingan agar dana yang diinvestasikan memberikan pengembalian yang maksimal. Sedangkan, manajemen (agent) memiliki kepentingan terhadap perolehan insentif atas pengelolaan dana pemilik perusahaan. Andreas dkk (2017) menyatakan dengan adanya perbedaan kepentingan tersebut maka terdapat biaya agensi (agency cost) yang akan mengurangi kerugian akibat tingkah laku dari manajer. Adanya perbedaan kewenangan tersebut akan berpengaruh pada kualitas laba yang dilaporkan. Ketika agen memiliki tujuan memperoleh bonus, maka ia akan cenderung melaporkan laba dengan angka yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan pencegahan dengan menerapkan prinsip konservatisme dalam penyusunan laporan keuangan. Lafond dan Watts
13 (2006) dalam Andreas dkk (2017) berpendapat bahwa laporan keuangan yang mengaplikasikan prinsip konservatisme dapat mengurangi kemungkinan manajer melakukan manipulasi laporan keuangan serta biaya agensi yang muncul akibat dari asimetri informasi. 2. Signalling Theory (Teori Sinyal) Teori signaling menjelaskan bahwa pemberian sinyal dialakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Hendrianto (2012) menyatakan bahwa manajer yang menerapkan kebijakan akuntansi konservatisme akan menghasilkan laba yang lebih berkualitas. Pada dasarnya memang prinsip ini dapat mencegah perusahaan dalam melakukan tindakan membesar-besarkan laba. Sehingga, laba yang disajikan dengan prinsip konservatisme tidak menghasilkan angka-angka yang overstatement. Pramudita (2012) menyatakan bahwa understatement laba dan aktiva bersih yang relatif permanen merupakan suatu sinyal positif dari manajemen kepada investor. Hal tersebut membuktikan bahwa manajer telah menerapkan akuntansi konservatif untuk menghasilkan laba yang berkualitas. Sehingga, investor diharapkan dapat menerima sinyal ini dan menilai perusahaan dengan lebih baik. Dalam topik tingkat kesulitan keuangan dan konservatisme akuntansi, teori signaling menjelaskan bahwa jika kondisi keuangan dan prospek perusahaan baik, maka manajer akan memberi sinyal dengan menyelenggarakan akuntansi liberal (Lo, 2005). Jika perusahaan dalam
14 kesulitan keuangan dan mempunyai prospek buruk, maka manajer akan memberi sinyal dengan menyelenggarakan akuntansi konservatif. 3. Positive Accounting Theory (Teori Akuntansi Positif) Watts dan Zimmerman (1986) dalam Priambodo dan Purwanto (2015) menyatakan bahwa teori akuntansi positif adalah teori yang menjelaskan dan memprediksi konsekuensi yang terjadi ketika manajer menentukan pilihan dalam memutuskan kebijakan akuntansi. Penjelasan dan prediksi tersebut didasarkan pada proses kontrak (contracting process) atau hubungan keagenan (agency relationship) antara manajer dengan kelompok lain seperti investor, kreditor, auditor, pihak pengelola pasar modal, dan institusi pemerintah. Watts dan Zimmerman (1986) dalam Priambodo dan Purwanto (2015), menyebutkan beberapa hipotesis yang berkaitan dengan teori akuntansi positif. Hipotesis tersebut yaitu : a. Hipotesis Rencana Bonus (Bonus Plan Hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer dari perusahaan yang memiliki kebijakan bonus akan cenderung memilih prosedur yang mengalihkan laba dari periode mendatang ke periode berjalan. Hal tersebut dapat mendorong manajer dalam melaporkan labanya secara optimis pada suatu periode. Karena, bonus yang akan diterima berkaitan dengan target laba yang dicapai oleh manajer. Semakin tinggi target laba yang dicapai, maka semakin tinggi pula bonus yang akan diterima.
15 b. Hipotesis Kontrak Utang (Debt Covenant Hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer ingin meningkatkan laba dan aktiva pada periode tertentu guna mengurangi biaya yang mungkin terjadi pada kontrak hutang yang sedang dilakukan oleh perusahaan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya perjanjian hutang yang mensyaratkan peminjam untuk mematuhi atau mempertahankan rasio hutangnya. Jika syarat hutang ini dilanggar, maka peminjam mungkin akan dikenakan penalty. Sehingga, penting bagi perusahaan dalam mempertahankan rasio-rasio berhubungan dengan hutang. Mamesak, dkk (2015) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat leverage tinggi maka ia akan menyajikan labanya lebih tinggi pada tahun berjalan. Sehingga laba yang dilaporkan pada periode mendatang dapat dialihkan pada periode berjalan. Hal tersebut terjadi karena untuk menghindari keraguan kreditor dalam pelunasan kewajiban perusahaan. c. Hipotesis Biaya Politis (Political Cost Hypothesis) Biaya politis terjadi dengan adanya kepentingan antara perusahaan dengan pemerintah. Pihak pemerintah memiliki kekuatan untuk melakukan pengalihan kekayaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya berdasarkan peraturan-peraturan yang ada. Mamesah dkk (2015) menyatakan bahwa perusahaan besar lebih memilih penggunaan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodik dibandingkan dengan perusahaan kecil. Pada dasarnya memang manajer ingin mengecilkan laba untuk mengurangi biaya politik yang potensial. Hipotesis ini mengatakan bahwa
16 semakin besar sebuah perusahaan, maka manajer cenderung akan memilih prosedur akuntansi yang mengalihkan pelaporan laba dari periode berjalan ke periode mendatang (Mamesah dkk, 2015). 4. Konservatisme Akuntansi Definisi resmi dari konservatisme terdapat dalam FASB (Financial Accounting Statement Board) No.2 dalam Priambodo dan Purwanto (2015), mengartikan konservatisme sebagai reaksi hati-hati (prudent reaction) dalam menghadapi ketidakpastian yang akan terjadi pada aktivitas perekonomian. Tazawa (2003) dalam Hati (2011) menyatakan bahwa konservatisme merupakan praktik yang mengakui lebih lambat keuntungan dan pendapatan, mempercepat pengakuan biaya atau kerugian, serta memperendah pengakuan aktiva dan mempertinggi penilaian utangnya. Diterapkannya prinsip konservatisme maka dapat menghasilkan laba dan aset cenderung rendah, serta biaya dan hutang cenderung tinggi. Kecenderungan tersebut terjadi karena konservatisme menganut prinsip memperlambat pengakuan pendapatan dan mempercepat pengakuan biaya. Akibatnya, laba yang dilaporkan cenderung terlalu rendah (understatement). Dengan kata lain konservatisme dapat diterjemahkan lebih mengantisipasi rugi daripada laba. Hasil dari penerapan konservatisme akan menyebabkan pelaporan keuangan yang pesimistik, hal tersebut akan mengurangi optimisme dari pengguna laporan (Ardina dan Januarti 2012). Tujuan penggunaan konsep konservatisme ini untuk menetralisir optimisme para usahawan yang terlalu
17 berlebihan dalam melaporkan hasil usahanya. Agar nantinya hasil pelaporan tersebut dapat dilaporkan secara wajar tanpa adanya melebih-lebihkan informasi. Penerapan konsep konservatisme akan menghasilkan laba yang berfluktuatif, dimana laba yang berfluktuatif akan mengurangi daya prediksi laba untuk memprediksi aliran kas pada masa depan (Sari dan Adhariani 2009). Pentingnya penggunaan konsep konservatisme ini dapat mengurangi terjadinya asimetri informasi antara agen dan principal. Dilain sisi ada yang menyatakan bahwa dengan adanya konsep ini maka akan menghasilkan pelaporan yang understatement. Beberapa perusahaan lebih merasakan manfaatnya dengan adanya pelaporan understatement daripada overstatement. Karena pelaporan understatement dirasa lebih menguntungkan dan dapat mengurangi resiko kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan laporan yang disajikan secara overstatement. Febiani (2012) menyatakan bahwa masalah konservatisme merupakan masalah penting bagi investor. Investor dapat mengambil keputusan investasi dari laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan yang konservatif. Jika laba yang dilaporkan konservatif, maka akan menambah keyakinan investor dalam menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Karena, investor yakin bahwa nantinya perusahaan tersebut akan mampu mengolah dana dan return dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Penman dan Zhang (2000) dalam Deslatu dan Susanto (2009) menyatakan bahwa konservatisme justru
18 menyebabkan kualitas laba menjadi rendah dan kurang relevan. Konservatisme akan mempengaruhi kualitas angka-angka yang dilaporkan dalam neraca maupun laporan laba rugi. Ketika perusahaan meningkatkan jumlah investasi, maka akuntansi konservatif akan menghasilkan perhitungan laba yang lebih rendah dibandingkan akuntansi liberal atau optimis. Akuntansi konservatif juga akan menciptakan cadangan yang tidak tercatat, sehingga memungkinkan manajemen lebih leluasa melaporkan angka laba di masa mendatang. 5. Struktur Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial didefinisikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan yang meliputi komisaris, direksi, dan karyawan (Rohminatin, 2016). Selain itu, Deviyanti (2012) dalam Rohminatin (2016) mendefinisikan kepemilikan manajerial sebagai perbandingan persentase jumlah kepemilikan saham antara pihak perusahaan dan pihak eksternal. Pada dasarnya dalam pemilihan metode akuntansi dapat dipengaruhi oleh manajer. Rahmadiar dkk (2016) menyatakan bahwa kepemilikan manajer menentukan kebijakan dan pemilihan manajer terhadap metode akuntansi termasuk konservatif. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menyelaraskan antara kepentingan pemilik (principal) dan manajemen (agent) adalah dengan melibatkan manajemen dalam struktur kepemilikan saham yang cukup besar.
19 6. Ukuran Perusahaan Berdasarkan ukurannya perusahaan dapat dibagi menjadi perusahaan besar dan kecil. Dimana perusahaan besar pasti memiliki sistem manajemen yang lebih kompleks dan laba yang tinggi. Akan tetapi, perusahaan yang besar memiliki masalah dan risiko yang lebih kompleks daripada perusahaan kecil. Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar maka akan semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Proksi yang digunakan untuk menghitung ukuran perusahaan yaitu logaritma natural (Ln). Logaritma Natural digunakan untuk meminimalkan jumlah dari aktiva, penjualan, dan kapitalisasi perusahaan yang nominalnya sangat besar (Pratiwi dan Amanah, 2017). Semakin besar aktiva perusahaan maka akan semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak penjualan maka semakin cepat perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin besar pula perusahaan dikenal masyarakat (Pratiwi dan Amanah, 2017). 7. Leverage Dalam membagi kegiatannya perusahaan dapat menggunakan sumber dana dari dalam atau intern perusahaan (modal sendiri) dan dari luar (hutang) (Suprihastini dan Pusparini, 2007). Jadi dapat dikatakan hutang adalah kewajiban untuk menyerahkan uang, barang maupun jasa kepada pihak lain di masa yang akan datang sebagai akibat dari transaksi yang terjadi sebelumnya. Hutang bisa diartikan juga sebagai sejumlah dana yang diterima dari kreditor.
20 Menurut Altman (1968) dalam Zu amah (2005) rasio yang digunakan untuk mengukur proporsi penggunaan hutang dalam membiayai investasi perusahaan dengan tingkat signifikasi tinggi adalah leverage. Semakin besar leverage perusahaan, maka akan semakin besar pula resiko kegagalan perusahaan. Jika perusahaan mempunyai hutang yang tinggi, maka kreditor juga mempunyai hak untuk mengetahui dan mengawasi jalannya kegiatan operasional perusahaan. Hal ini akan menyebabkan asimetri informasi antara kreditor dan perusahaan berkurang karena manajer tidak dapat menyembunyikan informasi keuangan yang mungkin akan dimanipulasi atau melebih-lebihkan aset yang dimiliki. Oleh karena itu, penerapan konservatisme dapat membantu manajer dalam memperoleh pinjaman dana kepada kreditor. Karena semakin tinggi tingkat hutang perusahaan maka semakin sempit tingkah laku manajer untuk melebih-lebihkan pelaporan keuangannya kepada pihak kreditor. 8. Financial Distress Menurut Atmini dan Wuryana (2005) dalam Pramudita (2012), financial distress adalah suatu konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi dimana suatu perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Financial distress diartikan sebagai munculnya sinyal atau gejala-gejala awal kebangkrutan terhadap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan (Rahmadiar dkk, 2016). Financial distress perusahaan dapat mempengaruhi tingkat konservatisme akuntansi. Teori akuntansi positif memprediksi bahwa kondisi
21 keuangan yang bermasalah dapat mendorong manajer untuk mengurangi tingkat konservatisme akuntansi walaupun pemegang saham dan kreditur menghendaki penyelenggaraan akuntansi yang konservatif (Lo, 2005). C. Perumusan Hipotesis Menurut Alfiana (2006) dalam Alfian dan Sabeni (2013), plan bonus hypothesis dalam possitive accounting theory menyatakan bahwa manajer akan bertindak seiring dengan bonus yang diberikan. Jika target laba tercapai, maka manajer akan diberikan bonus oleh pemilik atau pemegang saham perusahaan. Hal tersebut dapat memicu timbulnya pelaporan keuangan perusahaan yang kurang konservatif. Namun, jika kepemilikan manajer mempunyai proporsi yang lebih besar, maka ia akan berusaha giat untuk meningkatkan nilai perusahaan dengan menerapkan konservatisme akuntansi (Tarjo, 2005). Wu (2006) dalam Septian dan Anna (2014) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki presentase kepemilikan manajerial lebih tinggi akan menunjukkan pola yang lebih konservatif dalam pelaporan pendapatannya. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya presentase saham yang dimiliki manajerial dalam suatu perusahaan publik. Sehingga, semakin besar saham yang dimiliki, maka ia dapat mengendalikan perusahaan, termasuk dalam hal pengambilan keputusan dalam manajemen. Hipotesis tersebut didukung oleh hasil penelitian Dewi dan Suryanara (2014) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial akan
22 menyebabkan laporan keuangan menjadi konservatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan hipotesis pertama adalah: H1 : Struktur kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi. Size hypothesis berasumsi bahwa perusahaan besar lebih sensitif secara politis dan memiliki biaya politis yang lebih besar daripada perusahaan kecil (Septian dan Anna, 2014). Menurut Almilia (2007) bahwa perusahaan besar memiliki tarif pajak yang lebih tinggi dan memperoleh manfaat politis yang lebih besar sebagai kompensasi dari tarif pajak yang tinggi. Aristiyani dan Wirawati (2013) menyatakan bahwa perusahaan yang berukuran besar akan dikenakan biaya politis yang tinggi, sehingga untuk mengurangi biaya tersebut perusahaan dapat menerapkan akuntansi yang konservatif. Hipotesis political cost menyatakan bahwa semakin besar sebuah perusahaan, maka manajer cenderung akan memilih prosedur akuntansi yang mengalihkan pelaporan laba dari periode berjalan ke periode mendatang (Mamesah dkk, 2015). Sehingga, manajer tentunya memilih menerapkan prinsip konservatisme. Dengan demikian, dapat disimpulkan hipotesis kedua adalah: H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi. Tingkat hutang yang tinggi menunjukkan besarnya modal pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan aktiva perusahaan. Semakin tinggi leverage maka cenderung semakin besar risiko keuangan bagi kreditur dan
23 pemegang saham. Dimana semakin besar tingkat hutang yang dimiliki suatu perusahaan, maka perusahaan akan cenderung menerapkan akuntansi konservatif (Quljanah dkk, 2017). Dengan begitu perusahaan akan lebih berhati-hati karena dengan tingkat hutang yang tinggi akan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Hal tersebut sepadan dengan Alfian dan Sabeni (2013) menyatakan jika leverage memberikan pengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi. Semakin tinggi tingkat hutang maka perusahaan akan semakin baik kemampuannya dalam mengembalikan hutangnya. Semakin terdorong juga manajer dalam meningkatkan penerapan konservatisme akuntansi. Namun hasil tersebut berbeda dengan Pramudita (2012) menyatakan bahwa leverage tidak memiliki pengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Dengan demikian, dapat disimpulkan hipotesis ketiga adalah: H3 : Leverage berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi. Berdasarkan teori signaling, kondisi keuangan yang bermasalah dapat mendorong manajer dalam mengatur tingkat konservatismenya. Jika perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan mempunyai prospek buruk, maka manajer memberi sinyal dengan menyelenggarakan akuntansi konservatif. Namun, manajer akan mengurangi tingkat konservatisme bila tingkat kesulitan keuangan perusahaan tinggi sesuai dengan asumsi teori akuntansi positif (Suprihastini dan Pusparini, 2007). Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat kesulitan keuangan perusahaan yang semakin tinggi akan mendorong manajer untuk menaikkan
24 tingkat konservatisme akuntansi, dan sebaliknya jika tingkat kesulitan keuangan rendah manajer akan menurunkan tingkat konservatisme akuntansi. Lo (2005) menyatakan adanya pengaruh positif antara financial distress dengan konservatisme akuntansi. Namun hasil tersebut berbeda dengan Dewi dan Suryanawa (2014) menyatakan bahwa financial distress tidak berpengaruh dalam pemilihan kebijakanmetode konservatisme akuntansi. Dengan demikian, dapat disimpulkan hipotesis keempat adalah: H4 : Financial distress berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi. D. Kerangka Pemikiran Struktur Kepemilikan Manajerial (X1) H1 Ukuran Perusahaan (X2) Leverage (X3) Financial Distress (X4) H2 H3 H4 Konservatisme Akuntansi (Y) Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran