PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI LUAR PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh: Ahmad Hunaeni Zulkarnaen



dokumen-dokumen yang mirip
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beragam seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, dan lain-lain.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang

Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon

Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

KEPMEN NO. 92 TH 2004

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

2 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Ta

Oleh : Ayu Diah Listyawati Khesary Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

PERSELISIHAN HAK ATAS UPAH PEKERJA TERKAIT UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) Oleh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

Kata Kunci : Optimalisasi, Mediasi, Penyelesaian Hubungan Industrial. Penjelasan umum Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial

Oleh Anak Agung Lita Cintya Dewi I Made Dedy Priyanto Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Perselisihan Hubungan Industrial

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam

Frendy Sinaga

MOGOK KERJA DAN LOCK-OUT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN INDUSTRIAL, PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL, DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

Suwardjo,SH., M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI MEDIASI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. 1) Setiap bentuk usaha milik swasta yang memperkerjakan pekerjaan dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak.

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (1)

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB I PENDAHULUAN. saling membutuhkan satu sama lainnya. Dengan adanya suatu hubungan timbal

BEBERAPA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUHAN DI DALAM DAN DI LUAR PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

SERI 1 KEPASTIAN HUKUM SERI 2 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H. A. Pendahuluan

PROSES MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN ANTARA PEKERJA DENGAN PENGUSAHA PADA DINAS SOSIAL TENAGA KERJA KOTA PADANG

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit

ABSTRACT. * Tulisan ini bukan merupakan ringkasan skripsi **

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

STIE DEWANTARA Aspek Ketenagakerjaan Dalam Bisnis

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.02/MEN/I/2005 TENTANG

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN

PERATURAN PEMERINTAH NO. 01 TH 1985

Transkripsi:

PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI LUAR PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh: Ahmad Hunaeni Zulkarnaen Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Suryakancana, Jalan Pasir Gede Raya Cianjur, Telp. (0263) 262773. ABSTRAK Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan awal hilangnya mata pencaharian karena pekerja/buruh kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pengusaha merupakan tindakan inefisiensi, karena pengusaha kehilangan pekerja/buruh yang sudah memiliki pengalaman dan keterampilan khusus yang bermanfaat untuk perusahaan, terlatih dan berkemampuan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pemerintah berarti bertambahnya jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Oleh karenanya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) harus dilakukan dalam keadaan terpaksa dan merupakan jalan terakhir setelah berbagai upaya telah dilakukan. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak dapat dihindari, maka maksud Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh dan dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud di atas benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kata kunci : Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 121

122 ABSTRACT The walking paper is the beginning of living lost, because the worker lost their job and income. For the company, the walking paper is an inefficiency act, because the company lost the experienced workers who have the valuable skill and knowledge. And the government also gain the negative impact too, it s mean the increasing of unemployment and the poverty as well. Based on that fact, the walking papers should be the last resolution when there is no option anymore. The company, the worker, the worker organization/labor union and the government should work together to avoid that. If all of the effort to avoid that is done but the walking papers should be happened, so the mean of it should be discussed by the corporate and the worker organization (labor union) or the worker self for the worker who did not join the worker organization. And if the discussed between them did not result any agreement, the corporate can do the walking paper only by the determination of the labor court. Key words: corporate, worker/labor, the labor union, and the government with all the effort of avoiding the walking paper. I. PENDAHULUAN Perselisihan pemutusan hubungan kerja merupakan salah satu jenis perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, atau sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jenis perselisihan hubungan industrial yang lain selain pemutusan hubungan kerja, adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam 1 (satu) perusahaan. Penyebab pemutusan hubungan kerja dapat tanpa didahului oleh adanya pelanggaran hukum atau didahului oleh adanya pelanggaran hukum (pidana atau non pidana) baik yang dilakukan oleh pekerja/buruh atau oleh pengusaha. Hubungan industrial Pancasila memprioritaskan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah mufakat, namun demikian disadari bahwa tidak semua perbedaan penafsiran (disputes) atau perbedaan pendapat (keluh kesah) yang terjadi antara pekerja/buruh atau serikat

123 pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau gabungan pengusaha atau antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan, dapat diselesaikan berdasarkan prinsip atau asas kekeluargaan atau musyawarah, hal ini antara lain disebabkan karena adanya perbedaan pemahaman atau persepsi mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan hubungan kerja dan atau syarat-syarat kerja lain maupun sikap mental para pihak dalam hubungan ketenagakerjaan dan hubungan industrial yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sehingga timbulnya perselisihan hubungan industrial tidak dapat dihindari. Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaannya adalah faktorfaktor apa yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, serta bagaimanakah mekanisme penyelesaian perselisihan akibat pemutusan hubungan kerja. II. PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja. Perselisihan hubungan industrial merupakan istilah baru yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang- Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan menggunakan istilah Perselisihan Perburuhan. Ketiga undang-undang tersebut satu dan lainnya memberikan pengertian yang berbeda. Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, memberikan pengertian perselisihan perburuhan adalah: Pertentangan antara majikan atau perserikatan majikan dengan perserikatan buruh atau sejumlah buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham antara hubungan kerja dan atau keadaan perburuhan. Kemudian, Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, bahwa :

124 Perselisihan perburuhan adalah Pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham, mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Selanjutnya berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP- 15.A/MEN/1994, istilah perselisihan perburuhan diganti menjadi perselisihan hubungan industrial. Pengertian perselisihan hubungan industrial menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bahwa perselisihan hubungan industrial, adalah: Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 (satu) perusahaan. Kemudian, pengertian Perselisihan Hubungan Industrial menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sama dengan pengertian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan seperti yang telah dipaparkan di atas. Menurut Lalu Husni, prinsip Hubungan Industrial Pancasila yang dianut di Indonesia harus dipergunakan sebagai acuan dalam mengatasi atau memecahkan berbagai persoalan yang timbul dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam Hubungan Industrial Pancasila, setiap keluh kesah yang terjadi di tingkat perusahaan dan masalah-masalah ketenagakerjaan lain yang timbul harus diselesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mencapai mufakat. 1 Prinsip hubungan industrial di atas merupakan pengejawantahan pokok pikiran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan setiap persoalan yang berkaitan dengan hubungan ketenagakerjaan dan hubungan industrial (termasuk perselisihan hubungan industrial) harus diusahakan 1 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di luar Pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 39.

125 diselesaikan secara musyawarah mufakat berdasarkan asas-asas penyelesaian perselisihan hubungan industrial Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Berdasarkan hasil penelitian Penulis, bahwa asas-asas yang mendasari sistem hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial Indonesia harus berdasarkan Pancasila, yaitu harus berdasarkan: 1. Asas kekeluargaan, bahwa perselisihan hubungan industrial dianggap sebagai perselisihan dalam satu keluarga besar, harus diselesaikan dengan cara-cara kekeluargaan; 2. Asas persatuan, bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial jangan sampai mengganggu semangat kemitraan diantara para pihak (pengusaha, pekerja/buruh); Menurut Soerjono Soekanto, asas persatuan merupakan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat Indonesia, yaitu: Suatu nilai yang memandang bahwa individu merupakan bagian dari masyarakat (kesatuan) tiap individu dengan fungsinya masing-masing berkewajiban menjaga kelangsungan dan/atau keutuhan masyarakat (kesatuan), individu sebagai bagian dari lingkungan kesatuan, individu mengabdi kepada masyarakat (kesatuan). 2 3. Asas keadilan, bahwa ganjaran dan hukuman dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut harus sesuai dengan kesalahan (keadilan vindikatif), dan proses peradilan perselisihan hubungan industrial harus memberikan perlindungan kepada semua pihak (pengusaha, terutama pekerja/buruh) sehingga tidak seorangpun akan mendapatkan perlakuan sewenang-wenang (keadilan protektif ): 4. Asas kesejahteraan semua pihak, bahwa perselisihan hubungan industrial tidak sampai mengganggu produktivitas perusahaan dan kesejahteraan para pekerja/buruh; 5. Asas perdamaian (industrial peace), bahwa penyelesaian perselisihan tersebut harus dilakukan secara tertib dan teratur menurut cara-cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; 2 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 63.

126 6. Asas nurani kemanusiaan, bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, terutama untuk pihak pekerja/buruh yang kedudukan sosial ekonominya lebih lemah dari pihak pengusaha; 7. Asas perlindungan, bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial tetap memberikan perlindungan kepada semua pihak, terutama pihak yang kedudukan sosial ekonominya lebih lemah, dalam hal ini pihak pekerja/buruh; 8. Asas persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law), bahwa dihadapan hukum kedudukan para pihak dalam perselisihan hubungan industrial (pengusaha, pekerja/buruh) adalah sama; 9. Asas proses peradilan yang adil bebas dan tidak memihak (due process of law), anjuran atau putusan yang ditetapkan oleh peradilan hubungan industrial harus berdasarkan nilai-nilai keadilan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 10. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), bahwa sebelum ada keputusan pengadilan yang mempunyai keputusan yang tetap, para pihak yang berselisihan dalam hubungan industrial (terutama pihak pekerja/buruh) harus dianggap tidak bersalah maka segala hak-hak normatifnya harus tetap diberikan; 11. Asas legalitas yaitu hukum atau peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan (dasar hukum) dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus memenuhi rasa keadilan dan memperhatikan kepentingan semua pihak (pengusaha, pekerja/buruh) yang pembuatannya atas persetujuan dari semua pihak melalui wakil-wakilnya (wakil pengusaha, wakil pekerja/buruh, wakil pemerintah). Salah satu syarat kerja (term employment) yang memenuhi asas legalitas adalah Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang dibuat melalui perundingan secara demokratis antara pekerja/buruh yang diwakili oleh serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaan tersebut dengan wakil manajemen perusahaan (wakil pengusaha). Perjanjian kerja bersama

127 mengandung partisipasi pekerja/buruh, dimana partisipasi tersebut merupakan cara para pihak (pengusaha, pekerja/buruh) untuk bersamasama menetapkan nasib perusahaan dimasa depan (kesejahteraan semua pihak). Hubungan industrial Pancasila memprioritaskan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah mufakat, namun demikian, disadari bahwa tidak semua perbedaan penafsiran (disputes) atau perbedaan pendapat (keluh kesah) yang terjadi antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau gabungan pengusaha atau antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan, dapat diselesaikan berdasarkan prinsip atau asas kekeluargaan atau musyawarah, hal ini antara lain disebabkan karena adanya perbedaan pemahaman atau persepsi mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan hubungan kerja dan atau syarat-syarat kerja lain maupun sikap mental para pihak dalam hubungan ketenagakerjaan dan hubungan industrial yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga timbulnya perselisihan hubungan industrial tidak dapat dihindari. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, adalah : Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Penyebab perselisihan hubungan industrial menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 didahului karena adanya perbedaan pendapat atau bukan adanya pelanggaran hukum dari salah satu pihak dalam hubungan industrial. Perbedaan pendapat tersebut karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam 1 (satu) perusahaan.

128 Menurut H.M. Laica Marzuki, International Labour Organization (ILO) hanya membagi sengketa perburuhan (Labour Disputes) dalam 2 (dua) perkara, yaitu perselisihan hak (conflict of right, rechtsgeschilen) yang sifatnya rechtmatigheid dan perselisihan kepentingan (conflict of interest, belangengeschillen), yang sifatnya doelmatigheid. 3 Selanjutnya H.M. Laica Marzuki berpendapat, pemutusan hubungan kerja sesungguhnya termasuk dalam perselisihan hak (conflict of right, rechtsgeschilen), karena perkara-perkara pemutusan hubungan kerja pada hakikatnya sifatnya rechtmatigheid karena hakikat pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran perjanjian kerja, jadi dasarnya perjanjian. 4 Menurut A Ridwan Halim, pemutusan hubungan kerja adalah langkah pengakhiran hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan karena suatu hal tertentu. 5 Adapun Suwarto memberikan pengertian Pemutusan Hubungan Kerja adalah: Pengakhiran hubungan kerja yang seharusnya masih berlangsung terus, artinya pemutusan hubungan kerja sebenarnya hanya terjadi antara perusahaan dengan pekerja/buruh yang berstatus tetap yang telah melewati masa percobaan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, menurut Suwarto dalam hal pekerja/buruh memasuki masa pensiun sebenarnya tidak dapat diklasifikasikan sebagai pemutusan hubungan kerja. 6 Lebih lanjut, Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian Pemutusan Hubungan Kerja, adalah: pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. 3 Wijayanto Setiawan, Pengadilan Perburuhan Di Indonesia, Laros, Sidoarjo, 2007, hlm xi. 4 Ibid., hlm. xiv. 5 A. Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Cetakan II, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 136. 6 Suwarto, Hubungan Industrial Dalam Praktek, Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia, 2003, hlm. 142.

129 Adapun Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menyebutkan perselisihan pemutusan hubungan kerja, adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Pemutusan hubungan kerja merupakan suatu kejadian yang tidak dikehendaki bukan saja oleh pekerja/buruh, pengusaha, termasuk juga oleh pemerintah. Oleh karenanya, pemutusan hubungan kerja harus dilakukan dalam keadaan terpaksa dan merupakan jalan terakhir setelah berbagai upaya telah dilakukan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 151 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur bahwa : Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di atas benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Penyebab pemutusan hubungan kerja dapat terjadi kerena didahului oleh adanya pelanggaran hukum (pidana atau non pidana) yang dilakukan oleh pengusaha atau pekerja/buruh, dapat juga penyebabnya tanpa didahului oleh adanya pelanggaran hukum. 1. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang didahului pelanggaran hukum. a. Pelanggaran hukum pidana oleh pengusaha. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) didahului pelanggaran hukum pidana oleh pengusaha seperti yang diatur dalam Pasal 169 ayat (1a) juncto ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu pekerja/buruh

130 dapat mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan seperti tersebut di atas, pekerja/buruh berhak mendapatkan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. b. Pelanggaran hukum pidana oleh pekerja/buruh. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang didahului oleh pelanggaran hukum pidana (penal) dilakukan oleh pekerja/buruh seperti antara lain diatur dalam Pasal 158 ayat (1a) juncto ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat misalnya, pekerja/buruh melakukan penipuan, pencurian, penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan. Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud di atas, hanya akan memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. c. Pelanggaran hukum non pidana oleh pengusaha. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang didahului oleh pelanggaran hukum non pidana (non penal) dilakukan oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 169 ayat (1c) juncto ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

131 Ketenagakerjaan, yaitu pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan seperti tersebut di atas, pekerja/buruh berhak mendapatkan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. c. Pelanggaran hukum non pidana oleh pekerja/buruh. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang didahului oleh pelanggaran hukum non pidana (non penal) yang dilakukan oleh pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 161 ayat (1) juncto ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan seperti tersebut di atas, pekerja/buruh berhak mendapatkan uang pesangon 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai

132 ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Tidak Didahului Pelanggaran Hukum. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak didahului oleh pelanggaran hukum dapat dilakukan oleh pengusaha atau oleh pekerja/buruh. Pemutusan hubungan kerja karena demi hukum dan berakhirnya suatu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) merupakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa didahului pelanggaran hukum, sebagai berikut: a. Oleh Perusahaan. Perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan pekerja/buruhnya karena perusahaan mengalami perubahan status, terjadi penggabungan atau peleburan perusahaan, atau terjadi perubahan kepemilikan perusahaan, mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun atau keadaan memaksa (force majeur), melakukan efisiensi, pailit, atau pekerja/buruh masuk usia pensiun. b. Oleh pekerja/buruh. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pihak pekerja/buruh, misalnya pekerja/buruh atas kemauan sendiri mengundurkan diri dari pekerjaannya. c. Demi hukum. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi hukum, misalnya dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia. d. Berakhirnya suatu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). B. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja Di Luar Pengadilan Hubungan Industrial. Mekanisme atau tata cara penyelesaian pemutusan hubungan kerja di luar pengadilan hubungan industrial menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

133 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dapat secara Bipartit, melalui Mediasi, melalui Konsiliasi. 1. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja Secara Bipartit. Penyelesaian pemutusan hubungan kerja yang terbaik adalah penyelesaian pemutusan hubungan kerja oleh para pihak secara musyawarah mufakat tanpa ikut campur pihak lain, dengan tujuan mencari kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang harmonis dan kreatif, sehingga penyelesaian pemutusan hubungan kerja dapat menguntungkan semua pihak dan dapat menekan biaya, menghemat waktu serta mengurangi rasa sakit hati para pihak. Itulah sebabnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, mengharuskan setiap perselisihan hubungan industrial (pemutusan hubungan kerja) diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan antara para pihak (pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha). Penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara bipartit adalah penyelesaian secara negosiasi, perundingan, musyawarah tanpa melibatkan pihak lain dengan tujuan mencari kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis dan kreatif untuk menemukan solusi yang win-win solution. 7 Penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara bipartit mengutamakan asas dinamis. Pengertian asas dinamis menurut Suwarto, adalah terjadi komunikasi yang intensif antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha. 8 Tegasnya pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dapat menyampaikan keluhan dan pendapatnya secara bebas dan tanpa rasa takut, dan manajemen terbuka untuk menampung dan menyelesaikan permasalahan yang dikeluhkan. Menurut Lalu Husni, negosiasi berarti proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai 7 8 Ibid. Suwarto, Hubungan Industrial Dalam Praktek, Op. Cit. hlm. 142.

134 kesepakatan bersama antara para pihak dan penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa. 9 a. Pemutusan Hubungan Kerja Didahului Pelanggaran Hukum Pidana Tidak Dapat Diselesaikan Secara Bipartit. Mekanisme pemutusan hubungan kerja secara bipartit hanya dapat digunakan untuk pemutusan hubungan kerja tidak didahului atau didahului pelanggaran hukum non pidana. Mekanisme bipartit tidak dapat digunakan untuk pemutusan hubungan kerja yang didahului pelanggaran hukum pidana, karena hukum pidana adalah bidang hukum publik yang pelanggarannya tidak dapat dimusyawarahkan atau dinegosiasikan, hukum pidana bersifat memaksa sehingga setiap pelanggarannya harus diproses secara hukum. b. Tidak Ada Kemauan Bebas Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Didahului Pelanggaran Hukum Pidana. Asas kebebasan berkontrak tidak dapat diterapkan dalam pelanggaran hukum pidana. Dalam lembaga bipartit diberlakukan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata), dimana asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) sampai dengan (4). Menurut Pasal 1320 ayat (1), bahwa untuk sahnya dan mengikatnya suatu perjanjian harus ada kesepakatan atau perijinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri. 10 Artinya para pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan secara tegas atau diam-diam. 11 Berdasarkan pengertian kesepakatan (kemauan bebas), maka pengertian kesepakatan (kemauan bebas) dalam pelaksanaan bipartit terutama dalam pembuatan perjanjian bersama, adalah para pihak (pekerja/buruh, pengusaha) dalam suatu perjanjian atau dalam 9 10 11 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan, Op. Cit, hlm.54. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XIX, Intermasa, Jakarta, 1984, hlm. 134. Ibid, hlm 135.

135 pelaksanaan bipartit (terutama dalam membuat perjanjian bersama) harus mempunyai kemauan bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu (untuk melaksanakan bipartit dan untuk membuat perjanjian bersama) harus dinyatakan secara tegas atau diam-diam. Menurut kajian Penulis, tidak ada kemauan bebas dalam pemutusan hubungan kerja yang didahului oleh pelanggaran hukum pidana, artinya tanpa perlu beracara di Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Mekanisme bipartit dapat digunakan oleh para pihak untuk menekan atau memaksakan kehendaknya kepada pihak yang melanggar hukum pidana, yaitu agar pihak yang melanggar hukum pidana mau diputuskan hubungan kerjanya atau mau membuat perjanjian bersama, hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Subekti, yang menyebutkan bahwa : Kemauan yang bebas (kesepakatan) sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada jika perjanjian telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog). 12 Selanjutnya, Subekti, menyebutkan bahwa : Paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuan karena takut pada suatu ancaman. 13 Paksaan dapat terjadi pada mekanisme bipartit pemutusan hubungan kerja, terutama dalam pembuatan perjanjian bersama, karena pada umumnya para pihak (terutama pekerja/buruh) takut berurusan dengan pihak yang berwajib (kepolisian). Ketakutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memaksa pihak yang bersangkutan membuat dan menyetujui perjanjian bersama, karena adanya unsur paksaan inilah yang mengakibatkan tujuan bipartit menjadi tidak tercapai, tujuan bipartit adalah mencari solusi berdasarkan musyawarah, kesepakatan bersama secara damai melalui kerjasama yang harmonis dan kreatif. c. Pemutusan Hubungan Kerja Secara Bipartit Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. 12 Ibid. 13 Ibid.

136 Menurut Lalu Husni, perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. 14 Pemutusan hubungan kerja adalah merupakan salah satu jenis dari perselisihan hubungan industrial. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan perselisihan hubungan industrial, adalah: Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena ada perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, serta perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara bipartit adalah penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara negosiasi. Kata negosiasi berasal dari bahasa Inggris negotiation yang berarti perundingan atau musyawarah. Penyelesaian pemutusan hubungan kerja oleh para pihak (pengusaha, pekerja) tanpa melibatkan pihak lain, tujuannya mencari solusi berdasarkan kesepakatan bersama secara damai melalui kerjasama yang harmonis dan kreatif. 15 Mekanisme atau tata cara pemutusan hubungan kerja secara bipartit diatur dalam Pasal 6 juncto Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang prosedurnya adalah sebagai berikut: 1) Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, mengatur para pihak (pengusaha, pekerja/buruh) membuat risalah perundingan yang berisi: (1) Nama dan alamat para pihak, (2) Tanggal dan tempat perundingan, (3) Pokok masalah dan alasan pemutusan hubungan kerja, 14 Lalu Husni, Op. Cit, hlm. 53. 15 Ibid.

137 (4) Pendapat para pihak (pengusaha, pekerja / buruh), (5) Kesimpulan dan hasil perundingan, dan (6) Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan. 2) Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur: Ayat (1) : Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak; Ayat (2) : Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikat dan menjadi hukum dan wajib dilaksanakan oleh para pihak; Ayat (3) : Perjanjian Bersama tersebut wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama; Ayat (4) : Perjanjian yang telah didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama; Ayat (5) : Apabila Perjanjian Bersama sebagaiman dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi; Ayat (6) : Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian

138 Bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. 2. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja Secara Mediasi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, mengatur mekanisme pemutusan hubungan kerja secara mediasi. Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja secara musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (Pasal 1 angka 11), yang dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Pasal 8). Mediator hubungan industrial adalah pegawai instansi pemerintah yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri yang bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis yang tidak bersifat mengikat kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja (Pasal 1 angka 12). Menurut Pasal 9 mediator harus memenuhi syarat: 1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) Warga negara Indonesia; 3) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; 4) Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; 5) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakukan tidak tercela; 6) Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan 7) Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. Penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui mediator tidak terdapat unsur paksaan antara para pihak yang berselisih. Para pihak

139 meminta secara sukarela kepada mediator untuk membantu menyelesaikan konflik pemutusan hubungan yang terjadi, dan mediator hanya berkedudukan membantu para pihak agar mencapai kesepakatan. Kesepakatan hanya dapat diputuskan oleh para pihak yang berselisih, mediator tidak memiliki kewenangan untuk memaksa, tetapi mediator berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa. 16 Setelah mengetahui duduk perkaranya, mediator dapat menyusun proposal penyelesaian yang ditawarkan kepada para pihak yang berselisih. Mediator harus mampu menciptakan kondisi yang kondusif yang dapat menjamin terciptanya kompromi diantara para pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang sama-sama menguntungkan (win-win solution). Jika proposal penyelesaian yang ditawarkan mediator disetujui, mediator menyusun kesepakatan tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak. 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur tentang tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial termasuk perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu sebagai berikut: a. Jika perundingan bipartit gagal, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan pemutusan hubungan kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian bipartit yang sudah dilakukan oleh para pihak (Pasal 4 ayat 1). b. Apabila bukti-bukti upaya penyelesaian bipartit tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas (Pasal 4 ayat (2)). 16 Ibid, hlm. 61. 17 Ibid.

140 c. Setelah menerima pencatatan, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui konsiliasi (Pasal 4 ayat (3)). d. Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari para pihak tidak menetapkan pilihannya, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja tersebut kepada mediator (Pasal 4 ayat (4)). e. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan segera mengadakan sidang mediasi (Pasal 10). f. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya (Pasal 11 ayat (1)). g. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (Pasal 13 ayat (1)). h. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui mediasi, maka menurut Pasal 13 ayat (2) huruf a sampai dengan e : 1) Mediator mengeluarkan anjuran tertulis (Pasal 13 ayat (2) huruf a); 2) Anjuran tertulis tersebut selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak sidang mediasi pertama harus disampaikan kepada para pihak yang berselisih Pasal 13 ayat (2) huruf b.

141 3) Para pihak dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak menerima anjuran tersebut harus memberikan jawaban kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran yang dibuat mediator Pasal 13 ayat (2) huruf c. 4) Jika para pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak memberikan pendapatnya mereka dianggap menolak anjuran tertulis Pasal 13 ayat (2) huruf d. 5) Jika anjuran tertulis disetujui, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dan ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran Pasal 13 ayat (2) huruf e. i. Kemudian, menurut Pasal 13 ayat (3) huruf b dan c, dalam hal Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka: 1) Pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah hukum pihakpihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan penetapan eksekusi; 2) Jika pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi; 3) Jika anjuran tertulis yang dibuat mediator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat

142 melanjutkan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja ke Pengadilan Hubungan Industrial dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak (Pasal 14 ayat 1 dan 2). j. Mediator harus menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (Pasal 15). Mekanisme pemutusan hubungan kerja secara mediasi hanya dapat digunakan untuk pemutusan hubungan kerja tidak didahului pelanggaran hukum atau didahului pelanggaran hukum non pidana. Mekanisme pemutusan hubungan kerja secara mediasi, tidak dapat digunakan untuk pemutusan hubungan kerja yang didahului pelanggaran hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum publik, pelanggaran terhadap hukum pidana adalah pelanggaran terhadap kepentingan publik (umum) dan pelanggaran terhadap kepentingan publik (umum) tidak dapat secara sukarela dimusyawarahkan atau tidak dapat dikompromikan oleh para pihak untuk mencapai kesepakatan, karena sanksi hukum pidana bersifat memaksa, dan untuk setiap pelanggarannya harus diproses secara hukum. Kaidah hukum pidana adalah kaidah hukum memaksa (dwingendrecht, compulsory law) adalah kaidah-kaidah hukum yang berisi ketentuan-ketentuan hukum yang dalam keadaan apapun pada kenyatannya tidak dapat dikesampingkan melalui perjanjian individual yang dibuat di antara pihak-pihak. Dengan kata lain, kaidah-kaidah hukum semacam ini dalam keadaan apapun harus ditaati dan daya ikatnya bersifat mutlak. 18 Penyelesaian pemutusan hubungan kerja melalui mediasi merupakan penyelesaian pemutusan hubungan kerja yang mengutamakan cara-cara musyawarah melalui kesepakatan sukarela dari para pihak yang dituangkan dalam perjanjian individual. Hakikatnya tidak ada unsur paksaan dalam penyelesaian pemutusan hubungan kerja melalui mediasi, hal tersebut sesuai 18 Tim Pengajar Fakultas Hukum Unpar, Pengantar Ilmu Hukum,Bandung, tanpa tahun, hlm. 67.

143 dengan pendapat dari Lalu Husni, bahwa penyelesaian pemutusan hubungan kerja melalui mediasi (mediasi) adalah penyelesaiaan pemutusan hubungan kerja oleh para pihak secara individual melalui seorang penengah yang disebut mediator. Mediator melakukan intervensi, bersikap netral terhadap para pihak yang berselisih, membantu para pihak yang berselisih untuk mencapai kesepakatan secara suka rela terhadap masalah pemutusan hubungan kerja yang disengketakan. 19 Menurut M. Yahya Harahap, mediasi (mediation) adalah sistem kompromi (compromise) diantara para pihak, sedangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai penolong (helper) dan fasilitator. 20 Selanjutnya, M. Yahya Harahap mengatakan keuntungan penyelesaian melalui perdamaian (mediasi) adalah: a. Penyelesaian bersifat informal, penyelesaian melalui pendekatan nurani/moral bukan pendekatan hukum, menjauhkan pendekatan doktrin dan asas pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling menguntungkan. b. Yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri berdasarkan kemauan para pihak sendiri. c. Jangka waktu penyelesaian pendek, yaitu antara 5-6 minggu. d. Biaya ringan. e. Aturan pembuktian tidak perlu, para pihak tidak perlu bertempur saling membantah, menjatuhkan melalui sistem dan prinsip pembuktian formil dan teknis. f. Proses penyelesaian bersifat konfidensial, tertutup untuk umum yang mengetahui hanya mediator. g. Hubungan para pihak bersifat kooperatif, karena yang bicara hati nurani, berdasarkan prinsip persaudaraan dan kerjasama menjauhkan dendam dan permusuhan. 19 Tim Pengajar Fakultas Hukum Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, Ibid., hlm. 67. 20 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Edisi Dua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 236.

144 h. Komunikasi dan fokus penyelesaian, komunikasi bukan masa lalu (not the past) tetapi masa yang akan datang (for the future). i. Hasil sama-sama menang (win-win solution) menjauhkan diri dari sifat egoistis, serakah dan mau menang sendiri. j. Bebas emosi dan dendam, selama dan setelah penyelesaian diikuti dengan rasa kekeluargaan dan persaudaraan. 21 3. Pemutusan Hubungan Kerja Melalui Konsiliasi. a. Pemutusan Hubungan Kerja Didahului Pelanggaran Hukum Pidana Tidak Dapat Diselesaikan Secara Konsiliasi. Sama seperti penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara bipartit atau melalui mediasi, untuk penyelesaian pemutusan hubungan kerja didahului pelanggaran hukum pidana tidak dapat diselesaikan secara konsiliasi, karena pelanggaran hukum pidana tidak dapat dimusyawarahkan, tidak dapat didamaikan dan keputusannya tidak dapat diserahkan kepada para pihak. Sebagaimana telah dipaparkan di atas hukum pidana bersifat memaksa atau hukum yang memaksa (dwingendrecht, compulsory law) adalah kaidah-kaidah hukum yang berisi ketentuan-ketentuan hukum yang dalam keadaan apapun pada kenyatannya tidak dapat dikesampingkan melalui perjanjian individual yang dibuat di antara pihak-pihak, dengan kata lain kaidah-kaidah hukum pidana dalam keadaan apapun harus ditaati dan daya ikatnya bersifat mutlak. Penyelesaian melalui konsiliasi mengutamakan cara musyawarah untuk mencapai perdamaian dimana keputusan diserahkan kepada para pihak. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari M. Yahya Harahap, bahwa konsiliasi (consciliation) adalah penyelesaian melalui konsiliator (conciliator). Konsiliator adalah pihak ketiga berperan merumuskan perdamaian, tetapi keputusan tetap di tangan para pihak, demikian 21 Ibid, hlm. 237-238.

145 sesuai dengan Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 22 Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam 1 (satu) perusahaan melalui musyawarah ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral (Pasal 1 angka 13). Konsiliator, adalah seorang atau lebih yang memenuhi syaratsyarat sebagai konsiliator yang ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam 1 (satu) perusahaan (Pasal 1 angka 14). Berdasarkan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat diselesaikan melalui Konsiliasi oleh seorang atau lebih konsiliator. Konsiliator ini berasal dari pihak ketiga diluar pegawai instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 13 dan 14). Syarat untuk menjadi seorang konsiliator harus memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun dan menguasai perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan (Pasal 19 ayat (1)). b. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja Melalui Konsiliasi Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Tahapan-tahapan penyelesaian pemutusan hubungan kerja melalui konsiliator menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, adalah sebagai berikut: a) Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada 22 Ibid. hlm. 236.

146 konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak (Pasal 18 ayat (2)). b) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama (Pasal 20). c) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya (Pasal 21 ayat (1)). d) Dalam hal penyelesaian melalui konsiliator mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (Pasal 23). e) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian pemutusan hubungan kerja melalui konsiliasi, maka menurut Pasal 23 ayat (2) huruf a sampai dengan e: 1) Konsiliator mengajukan anjuran tertulis; 2) Anjuran tertulis tersebut selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak. (a) Para pihak dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak menerima anjuran tersebut sudah harus memberikan jawaban kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran yang dibuat konsiliator. (b) Jika para pihak tidak memberikan pendapatnya, dianggap menolak anjuran tertulis.

147 (c) Jika anjuran tertulis disetujui, dalam waktu selambatlambatnya 3 (tiga) hari sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dan ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran; (d) Apabila Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka menurut Pasal 23 ayat (2) huruf a sampai dengan c: (a) pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan penetapan eksekusi; (b) Jika pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. 3) Jika anjuran tertulis yang dibuat oleh konsiliator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat (Pasal 24 ayat (1)).

148 f) Konsiliator harus menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (Pasal 25). III. KESIMPULAN. Sesuai pembahasan sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan : 1. Pemutusan hubungan kerja merupakan suatu kejadian yang tidak dikehendaki oleh pekerja/buruh, karena merupakan awal dari kesengsaraan, pengangguran dan kesulitan kehidupan. Oleh karena itu, pemutusan hubungan kerja harus dilakukan dalam keadaan terpaksa dan merupakan jalan terakhir setelah berbagai upaya telah dilakukan. Faktor penyebab terjadinya pemutusan hubungan kerja yaitu Pemutusan hubungan kerja yang didahului pelanggaran hukum, baik yang dilakukan oleh pengusaha, tenaga kerja/buruh, serta Pemutusan Hubungan Kerja Tidak Didahului Pelanggaran Hukum, baik yang dilakukan oleh Perusahaan, pekerja/buruh, demi hukum, dan berakhirnya suatu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). 2. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh yang akan diputuskan hubungan kerjanya. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud di atas benarbenar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Supaya mekanisme pemutusan hubungan kerja di luar pengadilan hubungan industrial (bipartit, mediasi, konsiliasi) tetap dapat menciptakan hubungan industrial yang harmonis (industrial peace), maka