PENTINGNYA PEMEMENUHAN BATAS MAKSIMUM RESIDU (BMR) PESTISIDA PADA HASIL PERKEBUNAN INDONESIA



dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT)

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 58/Permentan/OT.140/8/2007 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

j ajo66.wordpress.com 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi berarti peluang pasar internasional bagi produk dalam negeri dan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

PERATURAN-PERATURAN DALAM KEMASAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. anggota ASEAN pada ASEAN Summit di Singapura pada Juni Pertemuan tersebut mendeklarasikan pembentukan Asian Free Trade Area

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Boks 1 SURVEI : DAMPAK ASEAN CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) TERHADAP UMKM DI PROVINSI RIAU I. LATAR BELAKANG

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber : [18 Februari 2009]

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI PENDAHULUAN

SAMBUTAN PENJABAT GUBERNUR SULAWESI TENGAH PADA ACARA PEMBUKAAN TEMU BISNIS PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO SULAWESI TENGAH SENIN, 18 APRIL 2011

PUSAT KEPATUHAN, KERJASAMA DAN INFORMASI PERKARANTINAAN

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

2017, No Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negar

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 43/Kpts/Tp.270/1/2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

PEMBAHASAN UMUM Visi, Misi, dan Strategi Pengelolaan PBK

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KABUPATEN JEMBRANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.20,2009 DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. Pupuk. Pemberlakuan. SNI. Pencabutan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR BALI, TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 276/Kpts/OT.160/4/2008 TENTANG KOMISI PESTISIDA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

TUNJANGAN KINERJA JABATAN STRUKTURAL

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

POLICY BRIEF KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA. Dr. Muchjidin Rahmat

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2016

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu DITJEN PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TERTIB NIAGA Jakarta, 18 September 2017

4. Membentuk komite negara-negara penghasil minyak bumi ASEAN. Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia

2. Seksi Pengembangan Sumberdaya Manusia; 3. Seksi Penerapan Teknologi g. Unit Pelaksana Teknis Dinas; h. Jabatan Fungsional.

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan impor jeruk yang kian meningkat dalam sepuluh tahun ini

Waspada Keracunan Akibat Produk Pangan Ilegal

2017, No Negara Republik Indonesia Tahun 14 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547) sebagaimana telah diubah dengan P

KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Faktor yang memegang peranan penting dalam produk agroindustri adalah

RANCANGAN: PENDEKATAN SINERGI PERENCANAAN BERBASIS PRIORITAS PEMBANGUNAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2017

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu faktor penentu produksi. Selama ini untuk mendukung

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting. dalam pembangunan ekonomi, baik untuk jangka panjang maupun jangka

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 02/Pert/HK.060/2/2006 TENTANG PUPUK ORGANIK DAN PEMBENAH TANAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN

PENETAPAN KINERJA ( PK ) TAHUN 2013 (REVISI) DINAS PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR

BAB VI INDIKATOR KINERJA OPD YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

REVISI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015

ANALISIS DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS PADI, JAGUNG, KEDELAI DI INDONESIA

Pe n g e m b a n g a n

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 342/Kpts/OT.160/9/2005 TENTANG KOMISI PESTISIDA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN

POLICY BRIEF KAJIAN KESIAPAN SEKTOR PERTANIAN MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN 2015

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 606 /KPTS/013/2013 TENTANG KOMISI PENGAWASAN PUPUK DAN PESTISIDA PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 76/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENETAPAN PRODUK UNGGULAN HORTIKULTURA

PENDAHULUAN. daratan menjadi objek dan terbukti penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PERMENTAN/SR.130/5/2009 TAHUN 2009 TENTANG PUPUK ORGANIK, PUPUK HAYATI DAN PEMBENAH TANAH

=DITUNDA= PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 04/Pert/SR.130/2/2006 TENTANG

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia. Jenis tanaman yang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 6 - TUNJANGAN KINERJA JABATAN STRUKTURAL

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

WALIKOTA TASIKMALAYA

Transkripsi:

PENTINGNYA PEMEMENUHAN BATAS MAKSIMUM RESIDU (BMR) PESTISIDA PADA HASIL PERKEBUNAN INDONESIA Oleh: Bayu Refindra Fitriadi, S.Si Calon PMHP Ahli Pertama Menghadapi pasar bebas China-ASEAN dan perdagangan bebas dunia, Indonesia dituntut untuk dapat menyediakan hasil pertanian maupun perkebunan yang memiliki standar keberterimaan yang disyaratkan oleh negara-negara pengimpor sehingga mampu bersaing dengan produk-produk dari negara-negara lain. Salah satu poin yang disyaratkan adalah mengenai Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida yang terkandung dalam hasil-hasil pertanian/perkebunan. Menurut SNI 7313:2008, BMR Pestisida didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum residu pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang dapat diterima pada hasil pertanian yang dinyatakan dalam miligram residu pestisida per kilogram hasil pertanian (ppm). Dengan adanya ketetapan tentang BMR Pestisida, suatu negara dapat melindungi kesehatan masyarakat dari produk pertanian/perkebunan yang membahayakan. Dalam penetapan BMR harus didukung dengan data yang berdasarkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan / Scientific evidence dan mengutamakan keamanan dan kesehatan pada manusia. BMR ditetapkan melalui Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR) yang bersidang setiap dua tahunnya untuk menentukan level residu yang dapat ditoleransi toxisitasnya. Masih teringat peristiwa beberapa tahun terakhir, dimana Singapura mendapatkan klaim dari Jepang bahwa produk kakaonya yang berasal dari Indonesia mengandung residu herbisida yang melebihi ambang batas. Hal ini memicu Singapura melalui Cocoa Association of Asia mengklaim bahwa biji kakao yang diolah berasal dari Indonesia khususnya dari pulau Sulawesi. Klaim

Singapura atas kualitas biji kakao Indonesia mendorong jajaran Direktorat Jenderal Perkebunan melalui keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor: 87/Kpts/SR.140/03/2009, tanggal 25 Maret 2009 membentuk Tim Kajian Penggunaan Herbisida 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid pada Tanaman Kakao. Hasil analisis residu herbisida yang dilakukan oleh Prof. Dr. Sri Noegrohati, MSc di Laboratorium Farmasi UGM menunjukkan bahwa sampel biji kakao dan bubuk kakao dari Sulawesi Indonesia secara umum mengandung residu herbisida 2,4- D yang sangat rendah dan jauh di bawah Batas Maksimum Residu (Maximum Residue Limit) yang ditetapkan oleh Pemerintah Jepang yaitu 0,01 ppm. Kadar 2,4-D paling tinggi yang terdeteksi adalah 0,001 ppm. Berdasarkan peristiwa di atas, BMR pestisida pada hasil perkebunan sangat penting terutama untuk hasil-hasil perkebunan untuk ekspor. Selain itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menerima persetujuan SPS (Sanitary and Phytosanitary) yang berkaitan dengan kandungan residu pestisida pada produk pertanian/perkebunan. Agar hasil pertanian/perkebunan dapat memasuki suatu negara harus mengandung residu pestisida di bawah nilai BMR Pestisida yang ditetapkan oleh suatu negara dengan mengacu ketentuan keamanan pangan/codex Alimentarius dari WHO. Selain itu, Negara-negara ASEAN juga telah menyepakati pembatasan residu pestisida untuk komoditas pertanian maupun kehutanan yang akan dipasarkan ke wilayah ASEAN. Keputusan ini dihasilkan pada Sidang Menteri Pertanian dan Kehutanan Asean (AMAF) ke-31 di Brunei Darussalam 10-11 November 2009. Sidang AMAF telah menandatangani pengesahan enam dokumen mengenai harmonisasi standar dan kriteria produk pertanian dan kehutanan. Di antaranya batas maksimum residu untuk lima jenis pestisida yakni carbendazim pada komoditas anggur dan jeruk, chlorpyrifos (buah longan dan leci), phosalone (durian), ethion (buah pamelo) dan deltamethrin (cabe). Saat ini Indonesia telah memiliki ketetapan tentang BMR Pestisida melalui SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor: 881/Menkes/SKB/VIII/1996 dan 711/Kpts/TP.270/8/96 tentang BMR Pestisida Pada Hasil Pertanian. Pasal 2 SKB tersebut menyatakan bahwa setiap hasil

pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi batas yang ditetapkan. SKB Pasal 3 menetapkan bahwa hasil pertanian yang dimasukkan dari luar negeri yang mengandung residu pestisida melebihi BMR harus ditolak. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya SNI 7313:2008 tentang BMR Pestisida pada Hasil Pertanian yang memberikan lebih banyak jenis pestisida yang harus memenuhi BMR Pestisida sehingga perlindungan terhadap masyarakat Indonesia akan lebih maksimal. Dampak lanjut dari penerapan BMR pestisida di Indonesia adalah dalam rangka pelaksanaan pasar bebas ASEAN (AFTA) dan pasar bebas China- ASEAN (ACFTA) serta penerapan pasar bebas dunia yang sudah mendekat. Indonesia perlu segera memulai dan melaksanakan kegiatan penerapan ketetapan mengenai BMR Pestisida dalam kegiatan perdagangan domestik dan global. Hal ini dilakukan untuk memenuhi syarat ekspor hasil pertanian yang biasanya disyaratkan oleh negara-negara pengimpor, maupun sebagai acuan dalam syarat keberterimaan impor hasil pertanian yang masuk ke Indonesia. Untuk dapat memenuhi hasil pertanian dan perkebunan yang memenuhi syarat BMR Pestisida, perlu beberapa kegiatan atau program kerja yang dilaksanakan secara lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu, diantaranya adalah: 1. Melakukan Revisi dan Perbaikan BMR Pestisida sesuai dengan ketentuan keamanan pangan/codex Alimentarius dari WHO 2. Menyusun Mekanisme Pemeriksaan dan Pengambilan Keputusan mengenai BMR 3. Penyiapan Infrastruktur Jaringan Laboratorium Pemeriksa dan standardisasi Metode Analisis Residu Pestisida 4. Meningkatkan Kualitas Pemeriksa dan Peneliti Residu Pestisida 5. Pemasyarakatan BMR ke semua stakeholders yang terkait dengan proses produksi dan pemasaran hasil-hasil pertanian/perkebunan terutama pemerintah, petani, dan dunia industri. Petani sebagai produsen terbesar hasil-hasil pertanian/perkebunan yang sebagian diolah dan dipasarkan oleh dunia industri harus ditingkatkan

kemampuan profesionalismenya agar dalam mengelola lahan pertaniannya sehingga dapat menghasilkan produk pertanian/perkebunan yang tidak mengandung residu pestisida melebihi ketentuan BMR. Selain itu pula, agar petani dan pengusaha pertanian dapat memenuhi persyaratan tersebut, mereka harus menerapkan teknologi produksi yang hemat, ramah lingkungan dan tanpa menggunakan pestisida kimia. Sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, penerapan dan pengembangan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan alternatif terbaik yang perlu ditempuh oleh petani dan pelaku agribisnis lainnya agar tidak terkena hambatan non tarif BMR dalam era perdagangan bebas. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut di atas diperlukan perhatian khusus dari para pengambil keputusan di semua sektor terkait serta penyediaan anggaran kerja khusus yang cukup besar. Referensi: Badan Standarisasi Nasional, 2008, SNI 1373:2008, Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian Anonim, 2009, Sidang CODEX Committee on Pesticide Residues (CCPR) ke-41 Beijing, China 20-25 April 2009, diakses pada tanggal 12 September 2013 dihttp://pphp.deptan.go.id/disp_informasi/1/6/79/625/sidang_codex_commi ttee_on_pesticide.html Anonim, 2009, Kakao Indonesia Bebas Kandungan Residu Herbisida 2,4-D (Dichlorophenoxyacetic Acid), diakses pada tanggal 11 September 2013 di http://ditjenbun.deptan.go.id/berita-177-kakao-indonesia-bebaskandungan-residu-herbisida-24d-dichlorophenoxyacetic-acid.html Anonim, 2009, ASEAN Sepakati Batas Residu Pestisida, diakses pada tanggal 10 September 2013 di http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/ekonomi/09/11/13/88940-asean-sepakati-batas-residu-pestisida Anonim, 2009, Menteri Pertanian ASEAN Sepakati Kerjasama Mengatasi Dampak perubahan Iklim dan Keamanan Pangan Regional, diakses pada tanggal 11 September 2013 di http://www.suswono.net/berita-a-

liputan/berita-terkini/61-menteri-pertanian-asean-sepakati-kerjasamamengatasi-dampak-perubahan-iklim-dan-keamanan-pangan-regional.html Hidayat, A., 2009, Jaminan Mutu dan ketersediaan pangan di Jepang : Peraturan Bahan Kimia Pertanian pada Pangan, diakses pada 11 September 2013 http://agribisnis.deptan.go.id/disp_informasi/1/6/96/1356/jaminan_mutu_da n_ketersediaan_pangan_di_jepang peraturan_bahan_kimia_pertanian _pada_pangan.html