BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Myofascial pain syndrome merupakan gangguan nyeri muskuloskeletal yang terjadi akibat adanya trigger point pada otot. Gangguan ini dapat menyebabkan nyeri lokal atau nyeri menjalar, tightness, stiffness, spasme, dan keterbatasan gerak (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013). Menurut hasil penelitian, myofascial pain syndrome sering terjadi pada masyarakat umum dengan angka kejadian dapat mencapai 54% pada wanita dan 45% pada pria. Myofascial pain syndrome biasanya ditemukan pada pekerja kantoran, musisi, dokter gigi, dan jenis profesi lainnya yang aktifitas pekerjaannya banyak menggunakan low level muscle (Delgado, et al., 2009). Myofascial pain syndrome tidak hanya terjadi pada orang usia tua saja, namun bisa terjadi pada usia muda. Menurut Delgado, et al. (2009), presentasi usia yang paling sering ditemukan kasus myofascial pain syndrome adalah usia 27-50 tahun. Berdasarkan data tersebut, maka disimpulkan bahwa usia produktif adalah usia yang rentan mengalami kasus myofascial pain syndrome. Otot upper trapezius merupakan otot yang paling sering mengalami myofascial pain syndrome. Menurut hasil studi tentang myofascial pain syndrome, 18% memiliki trigger point yang tidak aktif pada otot trapezius, 11% pada otot scalene, dan hanya 4% pada otot sternocleidomastoideus dan levator scapula. Sedangkan trigger point aktif menghasilkan nyeri 14% pada otot trapezius dan 1
2 11% pada otot scapula (Gerwin, 2001). Trigger points aktif berhubungan dengan keluhan nyeri spontan yang terjadi saat istirahat atau selama bergerak dan menyebabkan nyeri, sedangkan trigger points tidak aktif menyebabkan nyeri saat pemberian tekanan manual pada area trigger point. Terdapatnya nyeri pada otot upper trapezius, dapat menyebabkan terjadinya penurunan fleksibilitas dan ekstensibilitas akibat adanya ketegangan pada otot. Hal ini tentunya akan mengakibatkan terjadinya penurunan lingkup gerak sendi pada leher yang berdampak pada penurunan kualitas gerakan. Menurut Anggraeni (2013), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya myofascial pain syndrome yaitu: trauma pada otot, postur yang buruk saat beraktivitas, dan ergonomi kerja yang kurang baik. Faktor-faktor tersebut sering dipicu oleh aktivitas yang statis, seperti penggunaan laptop dan gadget dalam waktu yang lama. Penggunaan teknologi tersebut selalu dilakukan dalam posisi yang tidak ergonomis atau buruk, sehingga menyebabkan terjadinya trauma pada otot akibat pembebanan yang berlebih. Berbagai intervensi telah diberikan untuk mengatasi nyeri pada myofascial pain syndrome, salah satunya dengan memberikan intervensi fisioterapi. Intervensi yang dapat diberikan fisoterapis adalah muscle energy technique. Muscle energy technique dapat diberikan untuk meningkatkan fungsi muskuloskeletal dan mengurangi nyeri. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Nambi, et al., (2013) yang menunjukkan adanya penurunan nyeri setelah pemberian muscle energy technique. Prinsip dari muscle energy techniques yaitu: kontraksi isometrik dengan tahanan minimal sebesar 20-30% dari kekuatan otot,
3 stretching, dan melibatkan kontrol pernapasan dari pasien. Muscle energy techniques dapat memberikan efek relaksasi pada otot tanpa menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan (Chaitow, 2006). Teknik lain yang dapat digunakan adalah positional release technique. Positional release technique dapat diberikan untuk mengembalikan tonus otot, meningkatkan sirkulasi jaringan dan mengurangi nyeri. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Saavedra, et al., (2013) yang menunjukkan adanya penurunan nyeri setelah pemberian positional release technique. Prinsip aplikasi positional relese technique adalah penekanan pada area trigger point pada posisi yang nyaman. Efek yang dihasilkan adalah penurunan ketegangan otot sehingga nyeri berkurang (Carvalho, et al., 2014). Ke dua intervensi tersebut dikombinasikan dengan infrared. Infrared merupakan terapi standar yang diberikan sebelum pemberian manual terapi dan dapat menghasilkan efek panas pada jaringan. Efek panas ini akan meningkatkan metabolisme jaringan dan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, sehingga dapat memperlancar nutrisi masuk ke jaringan dan pengeluaran zat-zat sisa metabolisme yang menumpuk di jaringan. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya rasa nyeri (Porter, 2003). Selain itu, pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian dari Gale, et al., (2006) yang menunjukkan adanya penurunan nyeri setelah pemberian infrared dan tidak ditemukannya efek yang merugikan dari infrared. Kombinasi ke dua intervensi dengan infrared akan menghasilkan relaksasi yang maksimal, sehingga nyeri lebih cepat berkurang. Berdasarkan pemaparan singkat terkait intervensi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ke dua intervensi memiliki konsep yang berbeda dalam
4 menurunkan nyeri pada kasus myofascial pain syndrome. Akan tetapi, belum ada penelitian yang membandingkan antara kombinasi ke dua intervensi ini pada infrared untuk kasus myofascial pain syndrome otot upper trapezius. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan intervensi muscle energy technique dan infrared dengan positional release technique dan infrared terhadap penurunan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Apakah intervensi muscle energy technique dan infrared dapat menurunkan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius? 2. Apakah intervensi positional release technique dan infrared dapat menurunkan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius? 3. Apakah terdapat perbedaan antara muscle energy technique dan infrared dengan positional release technique dan infrared dalam menurunkan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius?
5 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran umum mengenai intervensi muscle energy technique dan infrared dengan positional release technique dan infrared terhadap penurunan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk membuktikan pengaruh intervensi muscle energy technique dan infrared terhadap penurunan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius. 2. Untuk membuktikan pengaruh intervensi positional release technique dan infrared terhadap penurunan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius. 3. Untuk mengetahui perbedaan antara muscle energy technique dan infrared dengan positional release technique dan infrared dalam menurunkan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan Dapat digunakan sebagai referensi tambahan terkait intervensi muscle energy technique dan infrared dengan positional release technique dan infrared terhadap penurunan nyeri myofascial pain syndrome otot
6 upper trapezius, sehingga dapat dikembangkan dalam studi ilmiah berikutnya. 1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan Dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan pelayanan fisioterapi pada kasus myofascial pain syndrome otot upper trapezius. 1.4.3 Bagi Peneliti Sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan peneliti dalam penelitian ilmiah dan menambah wawasan mengenai myofascial pain syndrome otot upper trapezius dan intervensi yang dapat diberikan.