BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999, yang dilakukan untuk mengganti UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maka daerah akan lebih paham dan lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

Keuangan Kabupaten Karanganyar

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah melakukan reformasi pada tahun 1999, yang dilakukan untuk mengganti UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok pokok pemerintahan daerah, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999. UU No. 22 tersebut berisi mengenai perlunya dilaksanakan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah wewenang yang dimiliki daerah otonom untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya menurut kehendak sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan undang undang yang berlaku(halim, 2008). Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah (UU No.25 tahun 1999).Pelaksanaan otonomi daerah menitik beratkan pada daerah kabupaten/kota, hal ini ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumberdaya yang dimiliki untuk belanja daerah, dengan menganut asas kepatuhan, kebutuhan dan kemampuan daerah yang tercantum dalam anggaran daerah. 1

2 Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah menyusun anggaran yang kemudian dijadikan pedoman dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Berdasarkan UUpasal 64 ayat 2No. 5 tahun 1974 tentang pokok pokok pemerintahan daerah, APBD dapat didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah, dimana disatu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi tingginya guna membiayai kegiatan kegiatan dan proyek proyek daerah dalam 1 tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran pengeluaran dimaksud. Untuk peningkatan kualitas publik yang juga mempunyaitujuan untuk pencapaian otonomi daerah,diharapkan daerah dapat mengupayakan pengalokasian dana yang bermanfaat untuk belanja daerah yang bersifat produktif seperti belanja modal.belanja modal merupakan salah satu komponen dari belanja daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin, seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum (Halim, 2004).Pemanfaatan anggaran daerah seharusnya dapat dimanfaatkan untuk hal hal yang bersifat produktif seperti contohnya pembangunan daerah melalui belanja modal, disini pemerintah daerah diharapkan untuk selalu dapat meningkatkan pelayanan publik karena belanja modal ini merupakan salah satu cara pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik, namun pada kenyataannya daerah belum mampu untuk dapat meningkatkan

3 alokasi belanja modal, hal ini dapat dilihat dari data belanja modal pada kabupaten/kota di pulau jawa dan bali berikut ini : Tabel 1.1 Capaian alokasi belanja modal No Provinsi Belanja Modal Belanja Daerah Capaian 1 Prov. Banten 691.484 4.428.131 16% 2 Prov. Jawa Barat 1.359.803 15.336.449 8% 3 Prov. Jawa Tengah 1.570.679 11.822.661 13% 4 Prov. DIY 442.446 2.508.758 17% 5 Prov. Jawa Timur 1.207.457 12.708.930 9% 6 Prov. Bali 370.585 3.581.522 10% Sumber : www.djpk.go.id Dari data tersebut dapat dilihat bahwa alokasi belanja modal pada kabupaten atau kota di pulau Jawa dan Bali belum mencapai 20%, bahkan pada 2 provinsi yang merupakan provinsi terbesarpun memiliki capaian tidak lebih dari 10%, jadi dapat disimpulkan bahwa kabupaten/kota yang berada pada provinsi di seluruh pulau Jawa dan Bali ini belum mendapatkan pelayanan publik melalui belanja modal yang baik danmerata, maka dari itu diharapkan daerah untuk dapat lebih meningkatkan alokasi belanja modalnya guna untuk memperbaiki dan memenuhi pelayanan publik yang lebih baik. Permasalahan yang juga dihadapi oleh organisasi sektor publik adalah pengalokasian anggaran, dalam mengelola keuangannyaini diharapkan daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya, hal ini bertujuan antara lain : untuk mengupayakan pendekatan terhadap masyarakat, memudahkan masyarakat dalam

4 melihat dan mengontrol dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintah juga diharapkan untuk lebih mampu meningkatkan keuangan daerah yang bertujuan untuk membiayai kebutuhan dan pembangunan daerah melalui pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah dan memaksimalkan dana SiLPA yang diperoleh dari tahun sebelumnya dan digunakan untuk tahun berikutnya. Salah satu penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memiliki kontribusi besar adalah pajak daerah, pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat (UU No.28 tahun 2009). Seperti yang disebutkan dalam penelitian Hendaris dan Rahayu (2012) dinyatakan bahwa pajak daerah secara individual berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal. Dalam masing masing daerah memiliki peraturan pemungutan pajak daerah yang berbeda beda, untuk daerah yang memadai maka perolehan pemungutan pajak cukup besar, namun jika pada daerah tertinggal maka jumlah pemungutan pajak sedikit, untuk daerah perkotaan kontribusi terbesar dapat diperoleh dari pajak hiburan, pajak restoran, pajak hiburan dll, dan untuk daerah yang tertinggal peningkatan pajak dapat dilakukan dengan meningkatkan pajak parkir, pajak penerangan jalan dll. Selain pajak daerah, retribusi daerah juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), hal ini juga menjadi wujud

5 kemandirian daerah dalam meningkatkan PAD guna untuk membiayai belanja modal daerah dalam upaya meningkatkan pelayanan publik. Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusiadalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan(uu No. 28 Tahun 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian Hendaris dan Rahayu (2012) yang memperoleh hasil bahwa retribusi daerah berpengaruh siginifikan terhadap belanja modal, jika jumlah retribusi daerah meningkat, maka belanja modal juga akan meningkat. Hasil kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan komponen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin besar perolehan hasil dari perusahaan milik daerah ataupun pengelolahan kekayaan daerah maka akan memengaruhi Jumlah Pendapatan daerah yang nantinya akan memberikan kontribusi untuk membiayai belanja modal daerahnya, dari hal tersebut diharapkan daerah terus berupaya untuk lebih meningkatkan laba perusahaan milik daerah atau dalam mengelola kekayaan daerah yang dipisahkan agar lebih bisa membiayai daerahnya sendiri. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan perumusan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah yang dipisahkan, penerimaan penerimaan ini antara lain dari BPD, perusahaan daerah dividen DPR BKK dan penyertaan modal daerah kepada pihak ketiga (halim, abdul 2001). Selain dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), SiLPA juga memiliki kontribusi dalam membiayai belanja modal. SiLPA merupakan selisih lebih realisasi

6 pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi dalam satu periode pelaporan(uu No. 27 Tahun 2014). SiLPA tahun sebelumnya diharapkan mampu untuk membiayai belanja modal pada tahun berikutnya. Penelitian Dodik (2012) mengemukakan bahwa SiLPA memiliki pengaruh yang positif terhadap belanja modal, SiLPA tahun tahun sebelumnya sangat berpengaruh terhadap belanja modal tahun berikutnya. Ardhini (2011) dalam Dodik (2012) juga mengemukakan bahwa SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA akan terbentuk jika terjadi surplus pada APBD dan sekaligus menjadi pembiayaan netto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari pengeluaran pembiayaan. Balai Litbang NTT (2008) dalam Dodik (2012). Setiap daerah memiliki tingkat kemandirian daerah dan kemampuan yang berbeda dalam mengalokasikan ataupun mendanai setiap kegiatannya. Hal tersebut dapat menyebabkan ketimpangan fiskal antar daerah (yovita, 2010), untuk mengatasinya pemerintah pusat mengalokasikan dana APBN yang berguna untuk mendanai kegiatan di setiap daerah. Namun meskipun daerah telah memeroleh subsidi dari keuangan pusat yang cukup memadai dari penerimaan APBN tersebut, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih meningkatkan PAD dan mengoptimalkan SiLPA yang diperolehnya untuk membiayai biaya modal daerahnya dalam upaya untukmeningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBDnya. Pulau Jawa dan Bali merupakan pulau yang mempunyai potensi dalam membangun daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari banyak sektor, seperti hasil kekayaan daerah, pajak daerah yang diperoleh dari sektor

7 pariwisata, retribusi daerah maupun dalam mengoptimalkan SiLPA yang berguna untuk pembangunan daerah pada tahun berikutnya, untuk itu diharapkan pemerintah lebih dapat memanfaatkan pendapatan pendapatan tersebut guna untuk memperbaiki setiap daerahnya dalam upaya meningkatkan pelayanan sektor publik yang berguna untuk kesejahteraan masyarakat luas. 1.2 Rumusan masalah Perumusan masalah yang dapat dibuat berdasarkan pengamatan yang terdapat pada latar belakang masalah diatas adalah : 1. Apakah pajak daerah berpengaruh signifikan terhadap belanja modal? 2. Apakah retribusi daerah berpengaruh signifikan terhadap belanja modal? 3. Apakah hasil kekayaan daerah yang dipisahkan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal? 4. Apakah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) berpengaruh signifikan terhadap belanja modal? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkanrumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk menguji dan membuktikan secara empiris pengaruh pajak daerah terhadap belanja modal 2. Untuk menguji dan membuktikan secara empiris pengaruh retribusi daerah terhadap belanja modal

8 3. Untuk menguji dan membuktikan secara empiris pengaruh hasil kekayaan daerah yang dipisahkan terhadap belanja modal 4. Untuk menguji dan membuktikan secara empiris pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) terhadap belanja modal 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Dapat menambah wawasan serta memperluas pengetahuan dibidang belanja modal, dan memberikan bukti empiris tentang pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan SiLPA terhadap Belanja Modal. 2. Bagi Pemerintah Daerah Sebagai bahan masukan untuk pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja modal, sehingga pemerintah dapat meningkatkan pelayanan public dengan lebih baik. 3. Bagi Pembaca Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang berkepentingan untuk menganalisa masalah masalah yang berhubungan dengan APBD. 1.5 Keterbaruan Penelitian Penelitian ini mengembangkan penelitian Hendaris dan Rahayu (2012) yang meneliti tentang pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, Dana Alokasi Umum (DAK), Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap alokasi belanja modal (survey pada kabupaten/kotamadya se-jawa Barat). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, Dana Alokasi Umum (DAU),

9 Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap alokasi belanja modal. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan pajak daerah, retribusi daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh terhadap belanja modal, sedangkan secara parsial pajak daerah dan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap belanja modal dan retribusi daearh, Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Kabupaten/Kotamadya se-jawa Barat. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya. perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah mengganti dua variabel independen yakni dana alokasi khusus dan dana alokasi umum menjadi hasil kekayaan daerah yang dipisahkan dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kabupaten /Kota yang berada dipulau Jawa dan Pulau Bali.