BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. yang memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang panjang. Efek

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang, umumnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem Kesehatan Nasional Indonesia (2011) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

rumah sakit. Selain hal tersebut, pasien juga dapat mengalami resistensi terhadap obat tertentu (Hayers dkk., 2009). Seperti halnya diagnosa suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit asam urat atau biasa dikenal sebagai gout arthritis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Hiperurisemia adalah keadaan terjadinya peningkatan kadar asam urat

BAB 1 PENDAHULUAN. Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik di negara berkembang maupun di negara maju. Penyakit asma termasuk lima

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala yang timbul pada

2 Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia di ba

BAB I PENDAHULUAN. juga berpengaruh terhadap keadaan sosioekonomi meskipun berbagai upaya. penyakit ini (Price & Wilson, 2006; Depkes RI 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA ARTRITIS GOUT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL PERIODE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung sesuai waktu dan umur (Irianto, 2014). Penyakit degeneratif. dan tulang salah satunya adalah asam urat (Tapan, 2005).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

salah satunya disebabkan oleh pengetahuan yang kurang tepat tentang pola makan yang menyebabkan terjadinya penumpukan asam urat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired

BAB I PENDAHULUAN. urat. Kebanyakan arthritis gout disebabkan oleh pembentukan asam urat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah, lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami. penurunan akibat proses degeneratif (penuaan) sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kepatuhan terhadap pedoman pengobatan pada dua populasi perawatan primer dengan gout

BAB I PENDAHULUAN. pada tubuh dapat menimbulkan penyakit yang dikenal dengan. retina mata, ginjal, jantung, serta persendian (Shetty et al., 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jumpai. Peningkatan tekanan arteri dapat mengakibatkan perubahan patologis

Saftia Aryzki* dan Alfian R. Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin Jl. Flamboyan III/7B Kayu Tangi Banjarmasin 70123

BAB 1 : PENDAHULUAN. dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan berbagai faktor seperti perubahan pola penyakit dan pola pengobatan,

BAB I PENDAHULUAN. kemasan merupakan hal yang penting dan diperlukan oleh konsumen, terutama bagi konsumen dengan kondisi medis tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. akibat insufisiensi fungsi insulin (WHO, 1999). Berdasarkan data dari WHO

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gout (penyakit akibat pengendapan kristal Mono Sodium Urat/MSU)

Zat yang secara normal dihasilkan tubuh yang merupakan sisa pembakaran protein atau penghancuran sel-sel tubuh yang sudah tua.

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Menurut WHO pada tahun 2000 terjadi 52% kematian yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. oleh penduduk Indonesia. Penyakit ini muncul tanpa keluhan sehingga. banyak penderita yang tidak mengetahui bahwa dirinya menderita

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh para penggerak yang produktif. Namun hal ini sedikit terganggu

ANAMNESIS. dengan anamnesis yang benar.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi penyakit degeneratif yang meliputi atritis gout, Hipertensi, gangguan

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway).

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus telah menjadi masalah kesehatan di dunia. Insidens dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Adelima C R Simamora Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah medication error tidak dapat dipisahkan dengan Drug

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. meningkatnya potensi risiko untuk menderita penyakit kronis seperti diabetes

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gizi ganda, dimana masalah terkait gizi kurang belum teratasi namun telah

BAB I PENDAHULUAN. diminati oleh masyarakat di dunia. Seperti yang diungkapkan oleh Hill (2003),

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. komprehensif pada self-management, dukungan dari tim perawatan klinis,

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri yang teramat sangat bagi penderitanya. Hal ini disebabkan oleh. dan gaya hidup ( Price & Wilson, 1992).

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA ASAM URAT DENGAN KEPATUHAN DIET RENDAH PURIN DI GAWANAN TIMUR KECAMATAN COLOMADU KARANGANYAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. DM tipe 2 di Puskesmas Banguntapan 2 Bantul yang telah menjalani

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

Cek Kesehatan dan konseling dalam Upaya Pencegahan Penyakit Hipertensi, DM dan GOUT pada Peserta Sepeda Sehat di Alun Alun Karanganyar Kebumen

BAB 1 PENDAHULUAN. Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit diabetes mellitus ditetapkan oleh PBB sebagai penyakit tidak

AKSEPTABILITAS PELAYANAN RESIDENSIAL KEFARMASIAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II TANPA KOMPLIKASI

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gout adalah penyakit metabolik yang paling sering menyerang pria setengah baya sampai tua dan wanita pas ca menopause. Gout ini adalah hasil dari peningkatan asam urat di tubuh dengan hiperurisemia. Biasanya ditandai dengan episodik artritis akut dan kronik yang disebabkan oleh pengendapan kristal monosodium urat (MSU) pada sendi dan jaringan ikat (tophi) dan risiko pengendapan pada interstitium ginjal atau asam urat nefrolitiasis (Kasper, 2015). Prevalensi gout yang dilaporkan di seluruh dunia berkisar antara 0,1 % sampai 10%, gout terjadi dari 0,3 sampai 6 kasus per 1000 orang tiap tahunnya (Kuo, 2015). Sedangkan di Indonesia menurut hasil Riskesdas tahun 2012 mengatakan bahwa prevalensi penderita gout sebesar 11,9 % dan di Jawa Timur adalah 26,4 % (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2009 di Surabaya Pusat khususnya Puskesmas Dr. Soetomo Surabaya 899 orang (56,8%) menderita radang sendi yang diantaranya adalah penderita gout sebanyak 72 orang (8%) yang terdiri dari 34 orang (47,2 %) wanita < 50 tahun, 25 orang (34,7 %) wanita > 50 tahun dan sisanya adalah pria (Pipit, 2010). Dalam penatalaksanaannya gout memiliki dua jenis terapi diantaranya terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Terapi farmakologi yang digunakan untuk menurunkan kadar asam urat adalah obat golongan antiinflamasi nonsteroid (NSAID), kortikosteroid atau kolkisin untuk gout akut dan obat golongan inhibitor xantin oksidase untuk gout kronik. Sedangkan untuk terapi non-farmakologi adalah edukasi tentang diet, gaya hidup, tujuan pengobatan dan pengelolaan komorbiditas (ACR, 2012). 1

Pada saat terapi farmakologi dan non farmakologi gout, faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan terapi adalah kepatuhan pasien agar tidak terjadinya risiko seperti kerusakan sendi dan komplikasi lainnya (tofi, batu ginjal, dan artropati destruktif) (Sholihah, 2014). Pada saat melakukan terapi pasien seringkali menjadi tidak patuh karena terlalu banyak resep obat perharinya, dokter memberi pesan yang bertentangan tentang pengobatan, ketidakamanan substitusi oleh apoteker, lupa minum obat, khawatir pada efek samping karena harus minum obat jangka panjang dan interaksi obat sehingga menyebabkan ketidakpatuhan (Onna, 2014; Thanda, 2017), terlihat dari penelitian Sheng (2017) dari 539 pasien di Peking Union Medical College Hospital (PUMCH) sebanyak 207 pasien gout tidak patuh dengan pengobatannya, dengan alasan remisi setelah perawatan (35,3%), kekhawatiran akan potensi efek samping (22,7%), pendidikan yang rendah (8,7%), efek samping yang telah terjadi (8,2 %) dan alasan lainnya. Sehingga dibutuhkan tenaga kesehatan yang dapat berkontribusi dalam mendidik pasien agar menghindari ketidakpatuhan tersebut seperti apoteker dan perawat (Thanda, 2017). Dalam hal mendidik pasien apoteker akan membantu pasien dengan cara melakukan pharmaceutical care. Pharmaceutical care dapat didefinisikan sebagai praktik yang berpusat pada pasien di mana praktisi akan bertanggung jawab atas kebutuhan terkait obat dari individu tertentu serta kelompok pasien dalam pengaturan praktik yang ditetapkan memiliki risiko tinggi terjadi morbiditas yang disebabkan obat atau penyakit (Blackburn, 2012). Komponen pharmaceutical care yang sering dilakukan oleh seorang tenaga kefarmasian khususnya apoteker untuk meningkatkan kepatuhan terapi pada pasien adalah pelayanan farmasi klinik, meliputi pelayanan informasi obat dan konseling (Kemenkes RI, 2016). Konseling ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/ 2

keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek samping obat, tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat (Kemenkes RI, 2016). Hasil penelitian Dewi (2015) menunjukkan bahwa konseling meningkatkan kepatuhan pada pasien hipertensi+diabetes yang semula 7 orang (70 %) dengan kepatuhan rendah menjadi 3 orang (30%) dan penelitian Permatasari (2017) menunjukkan bahwa konseling meningkatkan kepatuhan pada pasien HIV yang semula 55 orang (44,4 %) dengan kepatuhan rendah menjadi 15 orang (12,1 %). Kepatuhan (adherence) dapat didefinisikan sebagai sejauh mana kemampuan dan kesiapan pasien untuk mematuhi rekomendasi yang disetujui bersama dalam pengobatan (Chakrabarti, 2014). Untuk mengukur kepatuhan ada dua metode yaitu metode langsung dan tidak langsung. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode tidak langsung yaitu Adherence to Refills and Medication Scale (ARMS) dan pill count. ARMS memiliki keunggulan yaitu dapat digunakan untuk semua penyakit kronis, untuk pasien low literacy skills, dan memiliki 2 sub-skala kepatuhan yaitu kepatuhan minum obat dan kepatuhan menebus ulang resep sehingga cocok untuk menentukan kepatuhan pasien setelah dikonseling (Kripalani et al., 2009). Sedangkan keuntungan pill count adalah mudah untuk dilakukan, tidak membutuhkan tenaga yang banyak dan tidak membutuhkan biaya yang besar (McRae-Clark, 2015). Berdasarkan uraian diatas peneliti melihat bahwa Puskesmas sebagai fasilitas tingkat pertama merupakan tempat yang sesuai untuk melakukan penelitian pada penyakit gout. Penyakit ini banyak menyerang masyarakat Indonesia terutama pada pria setengah baya sampai tua dan wanita pasca menopause, sehingga peneliti terdorong untuk melakukan penelitian apakah ada pengaruh konseling terhadap tingkat kepatuhan minum 3

obat asam urat dan pola hidup pada pasien gout. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan menambah wawasan bagi tenaga kesehatan (dokter, farmasis, perawat, dan yang lainnya) dan masyarakat sekitar dalam upaya meningkatkan pelayanan konseling dengan baik dan kepatuhan minum obat. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah pasien gout patuh menggunakan obat pasca konseling berdasarkan metode pill count? 2. Apakah ada perubahan kepatuhan penggunaan obat pasca konseling pada pasien gout dengan menggunakan metode Adherence to Refills and Medication Scale (ARMS)? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Menganalisis perubahan kepatuhan penggunaan obat pasca konseling pada penderita gout di Puskesmas Surabaya Pusat. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Menganalisis kepatuhan pasien gout dalam mengkonsumsi obat dengan metode pill count. 2. Menganalisis perubahan kepatuhan pasca konseling pada pasien gout dengan menggunakan metode Adherence to Refills and Medication Scale (ARMS). 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Memberikan informasi kepada masyarakat tentang penyakit gout, terapinya serta pentingnya kepatuhan untuk mengoptimalkan outcome terapi. 4

2. Bagi Peneliti Menambah wawasan serta memperoleh pengalaman untuk melakukan penelitian di lapangan mengenai kepatuhan penggunaan obat penderita gout. 3. Bagi Tenaga Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi tenaga kesehatan (dokter, farmasis, perawat, dan tenaga kesehatan lain) dalam upaya meningkatkan kepatuhan penggunaan obat pada penderita gout sehingga angka gangguan sendi yang disebabkan oleh penyakit ini dapat menurun. 4. Bagi Fakultas Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para masyarakat akademik yaitu para mahasiswa dan dosen, serta dapat dimanfaatkan sebagai gambaran dan sumber informasi untuk dikembangkan menjadi penelitian lanjutan. 5