UPAYA PERLINDUNGAN WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.

dokumen-dokumen yang mirip
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI TANGGAL 18 JULI 2006

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

JUSTICE COLLABORATORS DALAM SEMA RI NOMOR 4 TAHUN 2011

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

Aktivitas Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Lingkup Kerja Lpsk. Disusun Oleh: Kombes Pol (Purn). basuki Haryono, S.H., M.H.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI

UPAYA PERLINDUNGAN WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

PP 2/2002, TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT

PENERAPAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4 TAHUN 2011 DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI REGINA MACARYA PALAPIA

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB III PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) A. Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG

1. Susunan Tim (Terlampir)

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ini bertujuan akan memberikan gambaran mengenai objek yang dijadikan

KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UU RI NOMOR 13 TAHUN 2006 DAN FIQH SIYASAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Aspek-Aspek Perlindungan Saksi dan Korban dalam RUU KUHAP

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TOLAK PEMBATASAN SAKSI, PERLUAS BANTUAN BAGI KORBAN & LINDUNGI SAKSI AHLI Dalam RUU PERLINDUNGAN SAKSI

Rabu, 24 September 2014

BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UNDANG-UNDANG RI NO 13 TAHUN 2006

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

2 Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembar

HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan hukum, tak lepas dari dua kategori. Kalau kita berbicara hukum materiil,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

Lex Crimen Vol. V/No. 6/Ags/2016

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

1 Naskah Akademis RUU KUHAP halaman 8.

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi


BAB III PENUTUP. sebagai jawaban dari permasalahan dalam penulisan hukum ini yakni bahwa:

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. Kata kunci: Perlindungan hukum, pengungkap fakta (whistleblower), saksi, korban

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155)

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

Transkripsi:

By: Uti Abdulloh (JFLegalNetwork) UPAYA PERLINDUNGAN WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Hingga saat ini korupsi masih menjadi menjadi masalah serius di Indonesia. Tindak pidana ini telah menimbulkan kerugian keuangan Negara dalam jumlah yang begitu besar, terakhir data dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC), pada tahun 2011 Indonesia menjadi peringkat pertama sebagai Negara terkorup dari 16 negara asia pasifik yang menjadi tujuan investasi, dengan korupsi Indonesia 9,29. Kerugian dari kasusu korupsi yang tidak terungkap, mungkin tidak kalah besar. Salah satunya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Keberhasilan penyelesaian suatu tindak pidana sangat tergantung pada keterangan saksi yang berhasil diungkap. Dalam proses penyelesaian perkara korupsi terutama yang berkenaan dengan saksi, tidak sedikit perkara yang kandas di tengah jalan disebabkan karena ketiadaan saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Dalam penanganan tindak pidana korupsi, terkait dengan istilah saksi, kini muncul istilah whistleblower dan justice collaborator. Istilah whistleblower dan justice collaborator muncul dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi. SEMA tersebut dikeluarkan karena ketidakjelasan penerapan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006. Selama ini perhatian para pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum lebih mengarah terhadap pelaku tindak pidana, sangat kurang terhadap saksi dan pelapor yang ikut berperan dalam mengungkap tindak pidana. Padahal, telah ada undang-undang yang khusus mengatur

perlindungan saksi, yaitu UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam konsiderans UU tersebut, disebutkan bahwa UU ini diperlukan karena mengingat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban sebagai salah satu alat bukti dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, sementara penegak hukum sering mengalami kesulitan disebabkan tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau karena adanya ancaman terhadap saksi, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan saksi tersebut dianggap tidak memadai, sehingga perlu dibuat UU yang khusus mengatur perlindungan saksi dan korban. Oleh karena itu, lahirlah UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ketentuan mengenai perlindungan dan hak saksi dan korban dalam UU No. 13 Tahun 2006 diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10. Berbagai hak dapat diberikan kepada seorang saksi dan korban untuk memberikan rasa aman dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Hak-hak tersebut meliputi: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. 1 Satu hal yang menarik dalam UU No. 13 Tahun 2006. UU ini mengatur perlindungan saksi dan korban dan dalam Pasal 1 disebutkan definisi saksi dan korban. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. 2 Sedangkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 3 Tetapi di dalam bab mengenai perlindungan saksi dan korban, yaitu dalam Pasal 10 tiba-tiba muncul istilah pelapor, yang bunyinya: Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. 4 Kemudian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Jika dilihat Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang merupakan RUU Usul DPR RI, pada saat diajukan kepada Presiden dengan surat No. RU.02/4428/DPR-RI/2005, tertanggal 30 Juni 2005, RUU tidak menyebutkan istilah pelapor dalam salah satu pasalpun. Draf awal RUU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan pengertian saksi, yang pengertiannya hampir sama dengan pengertian saksi dalam UU KUHAP, dan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Selanjutnya, Pasal 10 RUU mengatakan seorang saksi yang termasuk sebagai tersangka terus kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, namun kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim terus meringankan pidana yang akan dijatuhkannya. Perlindungan saksi, korban, dan pelapor dalam proses peradilan pidana merupakan suatu kebijakan yang dibuat dalam bentuk undang-undang. Pemerintah dan DPR RI membentuk Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang disahkan pada tanggal 18 Juli 1 Lihat Pasal 5 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006. 2 Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2006. 3 Lihat Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2006. 4 Lihat Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006.

2006. Dengan demikian, saksi dan pelapor tindak pidana diharapkan akan mendapatkan pelindungan dalam memberikan keterangannya. Namun, kenyataan yang terjadi ada kelemahan dari UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Ada perbedaan yang mencolok dalam melindungi seorang pelapor dan seorang saksi, sehingga seorang pelapor tidak mendapatkan perlindungan seperti perlindungan yang didapat oleh seorang saksi. Dalam menyebutkan hak-hak yang diberikan kepada Saksi, UU tidak menyebutkan kata pelapor, tetapi hanya menyebutkan hak seorang Saksi dan Korban. Pasal 5 ayat (1) mengatakan; Seorang Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Jika ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; j. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; k. mendapat nasihat hukum; dan/atau l. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. SEMA No. 4 Tahun 2011 sudah mengadopsi definisi whistleblower. Pada angka 8 huruf a ditegaskan bahwa Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa sistem hukum di Indonesia menyamakan kedudukan Pelapor sebagai whistleblower. Namun ketentuan SEMA tersebut justru bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2006 dengan dimasukannya huruf b pada angka 8, yaitu

Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor. Jika dibandingkan dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, yang menegaskan, bahwa Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, maka di dalam UU No. 13 Tahun 2006 telah tertutup bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. Namun SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan kalimat penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor. Kalimat tersebut mengandung makna, bahwa jika perkara yang dilaporkan oleh seorang whistleblower selesai disidangkan, maka kemudian perkara yang dilaporkan oleh terlapor akan dapat diproses, sehingga seorang whistleblower akan menghadapi tuntutan pidana dan/atau perdata atas perkara yang ia laporkan. Jelas di dalam SEMA tersebut, MA menggunakan kalimat yang dapat ditafsirkan berbeda. Mengapa tidak ditegaskan saja bahwa seorang whistleblower yang dengan itikad baik tidak bisa dilaporkan kembali karena laporannya. Suatu ketentuan yang digunakan sebagai ketentuan pelaksanaan undang-undang lazimnya dibuat dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan lainnya yang lebih rendah. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji mengenai kedudukan surat edaran dalam tata hukum Indonesia. Produk hukum dalam bentuk Surat Edaran baik sebelum maupun sesudah berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sekarang diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011, tidak dikategorikan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, dengan demikian keberadaannya sama sekali tidak terikat dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 (UU No. 12 Tahun 2011).