Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia



dokumen-dokumen yang mirip
Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

West Kalimantan Community Carbon Pools

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

Tata ruang Indonesia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

PENDAHULUAN Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

Kajian Nilai Konservasi Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN GAMBUT DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Laporan Investigatif Eyes on the Forest Desember 2015

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

SINTESIS RPI 5 : PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT

BAB I PENDAHULUAN. penambat (sequester) karbon. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan

PENATAAN HIDROLOGI LAHAN GAMBUT DALAM KERANGKA MENGURANGI KEBAKARAN DAN KABUT ASAP

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Provinsi Kalimantan Timur. Muhammad Fadli,S.Hut,M.Si Kepala Seksi Pemeliharaan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Prov. Kaltim

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur

Restorasi Ekosistem. Peluang Pertumbuhan Hijau di Lahan Gambut Katingan

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia

LAHAN GAMBUT INDONESIA DAN TARGET PENURUNAN EMISI KARBON. Dipa Satriadi Rais Wetlands International Indonesia Programme

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

Restorasi Gambut Harus Berpihak Kepada Ajas Manfaat

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

IMPLEMENTASI PP 57/2016

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

Transkripsi:

Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya Konsultasi Publik atas Draft Strategi Nasional REDD+ Indonesia yang telah diterbitkan pada 18 Agustus 2011

Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya Konsultasi Publik atas Draft Strategi Nasional REDD+ Indonesia yang telah diterbitkan pada 18 Agustus 2011. Direkomendasikan/ditanggapi oleh: Wetlands International Indonesia Wetlands International Headquarters laporan ini merupakan kontribusi untuk Indonesia s REDD+ Strategy dalam process konsultasi dan hanya merupakan informasi semata dan dilarang mengutip Laporan/tanggapan disusun oleh: Iwan Tri Cahyo Wibisono 1, Tilmann Silber 2, 3, Irwansyah Reza Lubis 1, Nyoman Suryadiputra 1, Marcel Silvius 4, Susanna Tol 4 & Hans Joosten 2 1 Wetlands International Indonesia, Bogor, Indonesia 2 Greifswald University, Greifswald, Germany 3 South Pole Carbon Asset Management Ltd, Zürich, Switzerland 4 Wetlands International Headquarters, Ede, the Netherlands

Daftar Isi Ringkasan dan kesimpulan... 4 1. Pendahuluan... 7 2. Emisi dari daerah rawa gambut: berbeda dengan yang dari hutan tanah mineral... 8 3. Tren emisi lahan gambut dan konsekuensi untuk tindakan REDD+... 11 4. Konservasi dan rehabilitasi Rawa gambut... 13 4.1 Pendahuluan... 13 4.2 Hindari pembangunan perkebunan baru pada lahan gambut dan hutan alam... 13 4.3 Relokasi keberadaan konsesi dari lahan gambut dan hutan alami ke lahan mineral yang terdegradasi... 14 4.4 Tetapkan Konsesi-konsesi baru bagi Restorasi Ekosistem, untuk memulihkan daerah sensitive... 15 4.5 Restorasi lahan gambut yang terdegradasi... 16 4.6 Penyesuaian kegiatan pertanian dan perkebunan kearah paludicultures... 18 5. Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV)... 20 6. Keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem... 23 7. Kebijakan... 25 Referensi... 28 Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 3

Ringkasan dan kesimpulan Dari sisi Lahan gambut, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi semakin meningkatnya kandungan GRK di atmosfer adalah melalui investasi dibidang kegiatan Konservasi dan Rehabilitasi Lahan gambut. Draft Nasional REDD+ Strategi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ambisi besar untuk mengatasi emisi yang signifikan dari lahan gambut dan melestarikan ekosistem yang unik ini. Ambisi ini sangat disambut dan sangat dibutuhkan. Namun demikian, beberapa isu penting dalam laporan tersebut harus diatasi jika Indonesia ingin mencapai target secara efektif dan dengan car a yang berkelanjutan dari sisi lingkungan, sosial dan ekonomi. Hutan rawa gambut tropis merupakan ekosistem unik yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling bergantung. Setiap perubahan terhadap keseimbangan alami antara air, tanah dan vegetasi di Lahan gambut akan menghasilkan emisi gas rumah kaca. Oleh karenanya, agar keseimbangan tersebut dapat tercapai, maka konservasi dan restorasi harus ditargetkan pada pemeliharaan dan rehabilitasi lahan gambut. Draft Strategi Nasional REDD+ bertujuan untuk menjaga emisi dari lahan gambut agar konstan pada tingkat emisi tahun 2010. Karena besarnya karbon pool pada lahan gambut, sangat sensitive terhadap gangguan, emisi yang akan terus berlangsung lama setelah konversi, dan sifatnya yang ireversibilitas virtual bagi kerugian karbon gambut; maka tujuan ini menyiratkan bahwa Indonesia harus menghentikan setiap degradasi lebih lanjut dari sumber daya lahan gambut tersebut. Untuk itu, dibutuhkan pengembangan & pelaksanaan kebijakan-kebijakan secara hati-hati dan ketat, seperti berikut: 1. Konservasi semua rawa gambut yang masih utuh (belum rusak). Alih fungsi (konversi) dan drainase lahan gambut yang relatif masih utuh (pristine) dan/atau relatif masih utuh akan membuat program REDD+ tidak ada nilainya (nol), tidak berlaku dan akan menimbulkan ancaman yang luar biasa bagi keanekaragaman hayati. Oleh karenanya, konservasi terhadap rawa gambut yang masih utuh harus diidentifikasi secara jelas, sebagai prioritas utama dalam Strategi REDD+ Indonesia. 2. Cegah degradasi lebih lanjut dan rehabilitasi hutan rawa gambut yang terdegradasi. Ini harus mencakup Hentikan intensifikasi lebih lanjut dari drainase buatan di area yang sudah dikeringkan, tapi justru tingkatkan/naikkan paras/muka air tanahnya; Jangan melakukan perluasan kegiatan pertanian, perkenbunan sawit dan akasia di Lahan gambut yang bergantung pada adanya jaringan drainase; melainkan terapkan pola paludiculture Tidak boleh ada penebangan liar maupun penebangan yang selektif namun tidak terkendali. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 4

3. Reformasi dan pengembangan kebijakan yang sesuai. Reformasi terhadap kebijakan dan pembangunan, serta penegakkan hukum sangat diperlukan untuk melakukan pemantauan secara teratur akan keberhasilan program REDD+ dan untuk memungkinkan terjadinya penurunan emisi GRK dari Lahan gambut. Laporan ini menyampaikan beberapa rekomendasi bagi perbaikan berbagai kebijakan 4. Sumber pendanaa/pembiayaan bagi upaya konservasi, pengelolaan dan rehabilitasi lahan gambut. Untuk mengaktifkan sumber pembiayaan, pemerintah Indonesia harus memfasilitasi keterlibatan sektor swasta dalam mengelola Konsesi Ekosistem Restorasi jangka panjang, bagi pengurangan emisi karbon. Terkait hal ini, keterlibatan swasta bukan saja pada kawasan gambut yang tidak dlindungi (termasuk wilayah yang ditetapkan untuk pengembangan perkebunan, pertanian atau hutan produksi), tapi juga untuk lahan gambut yang telah memiliki status dilindungi (ditetapkan sebagai Hutan Lindung). Untuk itu, tentunya diperlukan pengembangan/pembuatan kebijakan tambahan dan undang-undang, serta penyelarasan prosedur-prosedur antar-departemen dan antar-kementerian, yang sekarang ini terkesan menghambat pesatnya perkembangan pasar karbon sukarela yang inovatif, dalam Strategi Nasional REDD+. Dikarenakan sekitar 95% dari lahan gambut Indonesia sudah terdegradasi, maka restorasi harus menjadi prioritas tindakan dalam Strategi REDD+. Namun demikian, restorasi terhadap lahan gambut yang telah rusak/ terdrainase, tidak dapat dijadikan pembenaran (justifikasi) untuk mengkonversi hutan rawa gambut yang masih utuh; karena pada basis per hektarnya, hilang/lepasnya karbon dari konversi dan drainase umumnya (jauh) lebih tinggi dari pengurangan emisi yang dapat dicapai melalui restorasi. Selanjutnya, restorasi hanya bisa efektif, hanya jika seluruh sistem hidrologis dapat dibuat basah/berair (termasuk seluruh kubah gambut, sub-kubah, dan satuan-satuan hidrologi lainnya yang tidak dapat terpisahkan). Isu-isu ini perlu dipertimbangkan sebagai item kunci dalam semua perencanaan tata ruang yang terkait dengan lahan gambut. Selain melalui pembasahan (rewetting), reforestasi dengan spesies pohon asli, pencegahan kebakaran dan penguatan kapasitas dalam pengendalian kebakaran sangat penting untuk kesuksesan rehabilitasi dan berkelanjutan. Kita tidak cukup hanya mengatakan/menekankan perlunya/ pentingnya bekerja sama dengan masyarakat lokal dan pemain lokal lainnya dalam program-program konservasi dan restorasi. Tapi ini butuh aksi. Pendekatan berbasis masyarakat tidak hanya berguna tetapi juga penting untuk rehabilitasi lahan gambut yang sukses, dan untuk itu kami menyarankan perlunyta diciptakan dan dilaksanakannya suatu mekanisme insentif inovatif untuk mempromosikan kedua program tersebut. Kami menyadari bahwa laporan IFCA, yang merupakan basis bagi penetapan dasar acuan emisi (Reference Level Scenario) di Indonesia, memiliki kelemahan yang mendasar: ia tidak memperhitungkan bahwa bahwa emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan lahan gambut yang terdrainase adalah proses yang berkesinambungan dan berlangsung dalam jangka panjang, dan hanya akan berhenti jika dilakukan langkah-langkah restorasi yang tepat, atau ketika seluruh simpanan karbon gambutnya habis sebagai akibat dari oksidasi atau kebakaran. Perhitungan-perhitungan terhadap baseline emisi Indonesia, yang mengasumsikan bahwa Lahan gambut yang terdrainase hanya mengemisikan GHG selama 3 tahun, secara mendasar adalah keliru/salah. Hasil dari asumsi yang salah ini mengakibatkan nilai emisi tahunan dari Lahan gambut terdrainase menjadi sangat rendah (under estimasi), yang mana akhirnya berdampak terhadap skenario tingkat acuan (reference level scenario) dan dapat menimbulkan salah arah dalam metapkan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 5

Ketika mengembangkan metode penghitungan emisi untuk REDD+, sebuah sistem MRV standard, yang khusus ditetapkan untuk lahan gambut, harus dipertimbangkan. Sementara menyoroti pentingnya sistem MRV yang praktis dan handal, kami menekankan bahwa pengembangan sistem MRV tidak harus menunda proses implementasi REDD+. Tindakan-tindakan nyata di lapangan adalah lebih mendesak untuk dikerjakan. Sementara rancangan strategi REDD nasional + sangat mengakui nilai-nilai keanekaragaman hayati, namun terkesan bahwa keanekaragaman hayati hutan rawa gambut kurang diakui nilainya. Tidak seperti hutan lain, hutan rawa gambut tropis adalah ekosistem unik ditinjau dari keragaman ekosistemnya, spesies dan tingkat genetic yang terkandung di dalamnya. Hutan rawa gambut menyediakan habitat kunci untuk berbagai tanaman endemik dan spesies hewan. Oleh karena itu Indonesia dalam menyelenggarakan REDD+, perlu memprioritaskan adanya perlindungan hutan rawa gambut yang kondisinya masih relatif utuh (HCVF) dan rehabilitasi lahan gambut terdegradasi dengan spesies asli (setelah pembasahan). Di Sumatera dan Kalimantan hampir semua kubah gambut berada di dalam pengaruh (affected) konsesi perkebunan, yang berdampak tidak hanya kepada lahan yang terletak di bawah/diluar konsesi tetapi juga (sebagai hasil dari konduktivitas system hidrologi) kepada bagian lain dari kubah gambut. Untuk mengurangi dampak ini, kami sangat merekomendasikan pengembangan program nasional tukar guling (swap) Lahan untuk memfasilitasi relokasi konsesi yang ada di gambut ke daerah lain (non gambut) yang lebih cocok. Sisanya, bagi kegiatan pertanian dan perkebunan yang masih tertinggal di kubah gambut, harus melakukan paludicultures, yaitu teknik produksi/ budidaya yang pro-air (misal:pertanian lahan basah; mengganti jenbis tanaman perkebunan dengan jenis pro air; misal Jelutung). Laporan ini memberikan masukan penting bagi Strategi Nasional REDD+ Indonesia, tetapi juga dapat sebagai pedoman bagi negara-negara lain yang memiliki Lahan gambut dengan cadangan karbon dan emisi yang signifikan. Dari perspektif mitigasi iklim, kami menyarankan agar seluruh kawasan Lahan gambut di dunia (yang kenyataannya menutupi sekitar 3% dari muka bumi, namun menyimpan 10% air tawar dunia, dan 30% dari keseluruhan karbon tanah) agar diperlakukan sebagai kawasan yang dilindungi & tidak boleh dialihfungsikan Pada tingkatan UNFCCC, peran penting dari konservasi dan restorasi lahan gambut harus diakui secara lebih baik; karena risiko jatuh/gagal di antara celah-celah program dengan fokus pada pengurangan emisi dari sektor kehutanan (dengan bias pada pool karbon di atas tanah) dan pertanian. Di dalam sector AFOLU (Pertanian, Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Lain) nya UNFCCC, Lahan gambut, mungkin untuk jangka pendek, membutuhkan suatu strategi yang terpisah (berkaitan dengan Lahan gambut yang masih berhutan, sudah rusak maupun tidak berhutan). Pada tingkat teknis, UNFCCC harus memberikan panduan tentang kekhasan lahan gambut yang relevan untuk MRV dan untuk menentukan tingkat referensi dan skenario pengurangan emisi. Secara umum, lahan gambut harus mendapat perhatian lebih menonjol dari UNFCCC sebagai suatu ekosistem yang kaya kandungan karbon, penting untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, namun kesemuanya ini terkesan masih kurang mendapat perhatian. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 6

1. Pendahuluan Dalam upaya sepihak, Indonesia berkomitmen untuk secara sukarela mengurangi emisi gas rumah kaca-nya sebesar 26% pada tahun 2020 dibandingkan terhadap skenario BAU/ bisnis sebagimana biasanya. Jika terdapat bantuan dari negara asing, target reduksi emisi ini akan meningkat menjadi hingga 41%. Dalam rancangan Strategi REDD Nasional (yang diterbitkan tgl 18 Agustus 2011 untuk konsultasi publik), Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi konservasi dan restorasi lahan gambut sebagai langkah kunci untuk mengurangi emisi di Indonesia. Berdasarkan skenario penurunan emisi sebesar 26%, nilai emisi dari lahan gambut pada tahun 2020 dipertimbangkan masih tidak jauh berbeda dari nlai emisi pada tahun 2010 (Draft REDD Strategi Gb 3. Hal 17, Bappenas 2010). Kami sangat menyambut ambisi ini sebagai bagian dari upaya global untuk menanggulangi perubahan iklim. Kami percaya, bahwa rancangan Nasional Indonesia REDD+ Strategi ini selayaknya dikaitkan dengan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan rawa gambut. Oleh karena itu laporan ini membahas: kekhasan akan tingkat referensi, kemampuan untuk melaksanakan MRV, keanekaragaman hayati lahan gambut dan memberikan rekomendasi untuk memperbaiki kebijakan yang relevan serta metodologinya. Kami berharap bahwa rekomendasi kami memberikan kontribusi untuk memperkuat pengembangan mekanisme REDD+ global (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara Berkembang) sehubungan dengan hutan rawa gambut dan jenis lain dari lahan gambut, baik di Indonesia maupun di daerah lain. Kotak 1: Hutan rawa gambut dan lahan gambut Lahan gambut, adalah suatu ekosistem di mana - di bawah kondisi jenuh air secara permanen - bahan tanaman mati dan yang telah/tengah mengalami perombakan (decay) terakumulasi untuk membentuk sebuah lapisan tanah yang tebal organik (gambut). Lahan gambut merupakan tempat penyimpanan (reservoir) karbon yang paling penting dan sangat terkosentrasi di darat. Mereka memainkan peran penting dalam pengaturan iklim global dengan menjaga/memegang karbon dalam jumlah besar agar tidak lepas ke atmosfir (Paroki dkk. 2008). Dalam hutan rawa gambut alami, hutan menyediakan bahan tanaman dan memfasilitasi kondisi basah untuk pembentukan gambut, penyerapan dan penyimpanan karbon. Ketika dikeringkan, tidak berhutan atau terdegradasi, hutan rawa gambut melepaskan karbon gambut jauh lebih cepat dari yang telah diserap (sequester). (Couwenberg dkk. 2010, Dommain dkk 2010, 2011.). Di Indonesia, kondisi hutan rawa gambut berkisar dari yang masih utuh hingga sudah rusak parah. Sejumlah besar luasan hutan rawa gambut Indonesia telah direklamasi untuk pertanian dan perkebunan atau ditinggalkan setelah kayunya ditebang. Lahan-lahan semacam ini, tanah gambutnya terus menerus mengemisikan GRK, dan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca Indonesia lebih dari 60% (DNPI, 2010; lihat Tabel 1). Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 7

2. Emisi dari daerah rawa gambut: berbeda dengan yang dari hutan tanah mineral Simpanan karbon tanah (soil carbon pool) yang sangat besar dalam tanah gambut (rata-rata perhektarnya mencapai 10 x lebih besar dari stok karbon pada hutan tropis yang masih utuh di tanah mineral) membuat hutan rawa gambut, dalam perilaku emisi mereka, secara fundamental berbeda dari hutan yang terdapat di tanah mineral. Gambar 1 mengilustrasikan perbedaan ini dan memiliki efek jangka panjang yang sangat besar terhadap pola emisi dan tingkat emisi referensi yang dihasilkan. Rancangan Strategi REDD+ nasional Indonesia, belum mempertimbangkan kekhasan dari lahan gambut ini secara memadai: perhitungan tingkat emisi referensi telah dengan salah mengasumsikan bahwa lahan gambut yang didrainase hanya mengemisikan GRK selama tiga tahun setelah konversi. Kesalahan yang sangat mendasar ini disebabkan karena tidak dibedakannya secara memadai antara emisi yang timbul akibat deforestasi dengan emisi dari drainse di lahan gambut. Emisi-emisi dari deforestasi meliputi dihilangkannya biomasa hutan dan oksidasi terhadap biomasa ini. Sifat kedua emisi ini tentu saja dapat dianggap segera/instant, keduanya berhenti sesaat (atau berbalik menjadi menyerap karbon, jika terdapat suksesi vegetasi dan/atau kegiatan reforestasi) setelah pohon ditebang. Namun pada lahan gambut yang terdrainase, kondisinya tidaklah demikian, emisi akan terus berlangsung sampai seluruh gambutnya secara efektif dibasahi air atau hingga seluruh materi gambutnya berkurang, misalnya dalam kurun waktu puluhan hingga ratusan tahun (lihat Gb 1). Biomassa Hutan di tanah mineral Tanah Lahan gambut 1 2 Penurunan laju deforestasi & penurunan kerusakan hutan menurunkan emisi GRK tahunan Penurunan laju konversi & drainase Lahan gambut meningkatkan emisi GRK tahunan, karena emisi akibat Lahan gambut yang baru didrainase akan menambahkan emisi pada Lahan gambut yang sebelumnya sudah terdrainase. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 8

Biomassa Hutan di tanah mineral Tanah Lahan gambut 3 4 Menghentikan deforestasi dan kerusakan hutan menghentikan emisi GRK Menghentikan konversi dan perluasan drainase di Lahan gambut tidak akan menurunkan emisi GRK, karena drainase yang masih tetap ada di Lahan gambut akan terus mengemisikan GRK pada tingkatan yang sama 5 6 Penurunan laju deforestasi sesungguhnya memang menurunkan emisi GRK dari deforestasi dan kerusakan hutan Tapi hanya penurunan luas absolute dari drainase Lahan gambut yang mampu mengurangi emisi GRK dari deforestasi dan kerusakan hutan REDD+: HENTIKAN DEFORESTASI!! REDD+: HENTIKAN DRAINASE BARU + GENANGI/BASAHI Lahan gambut!! Gambar 1: Hubungan antara perubahan penggunaan lahan tahunan ([1] - [5]) / penggunaan lahan ([6]) (ha / tahun, warna hijau) dan total emisi tahunan (ton / tahun, warna merah) ketika mempertimbangkan biomassa hutan di tanah mineral (kiri ) dan di tanah gambut (kanan). Asumsi yang salah dalam Laporan IFCA, khususnya untuk perkebunan di lahan gambut (termasuk konversi dan siklus tegakan tanaman selama 25 tahun), beranggapan bahwa emisi sebesar 860 ton CO 2 /ha selama periode 25 years (cf. MoFor 2008), sudah termasuk hanya sepertiga dari oksidasi gambut (Gambar 2 A). Namun ketika emisi dari tanah gambut yang berlangsung terus menerus selama 25 tahun diperhitungkan, ternyata total emisi nampaknya menjadi 2462 ton CO2/ha dan sebagian besar berasal dari oksidasi gambut (Gb 2B). Apalagi, setelah usianya 25 tahun, lalu perkebunan tersebut ditinggalkan/diterlantarkan dan tidak dibasahi secara memadai (lihat Kotak 2, maka oksidasi gambut akan terus berlangsung hinga puluhan tahun berikutnya, atau bahkan lebih lama lagi. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 9

Gambar 2: Emisi (dalam ton CO2 per hektar) dari hutan rawa gambut dikonversi menjadi dan digunakan sebagai perkebunan (melibatkan deforestasi dan drainase) kelapa sawit dengan siklus 25 tahun. Luasan lingkaran menggambarkan total emisi. A): berdasarkan asumsi yang salah dari rancangan Nasional Strategi REDD+ Indonesia, dimana emisi dari tanah gambut dibatasi hanya untuk 3 tahun pertama setelah konversi. B): berdasarkan situasi yang realistis, bahwa emisi dari oksidasi gambut akan terus berlangsung selama 25 tahun penuh. Catatan : setelah 25 tahun, emisi GRK dari tanah gambut akan terus berlanjut, yaitu ketika perkebunan memasuki siklus tanaman baru atau ditinggalkan, sehingga menghasilkan emisi yang lebih tinggi terhadap emisi keseluruhan. Kelemahan mendasar dalam berurusan dengan drainase gambut, sehingga menghasilkan estimasi yang salah terhadap kepentingan emisi relatif akibat deforestasi rawa gambut di satu sisi dan (akibat terus menerus) menggunakan lahan gambut di sisi lain. Ini akan mengarah kita kepada suatu hasil penilaian yang jauh lebih rendah (underestimasi) terhadap emisi tahunan dari lahan gambut terdrainase dan akibatnya timbul kesalahan pada skenario tingkat referensi yang diusulkan. Kondisi demikian akhirnya akan memberikan arahan yang salah terhadap perencanaan, kebijakan dan pembangunan. Kami merekomendasikan bahwa Indonesia mempertimbangkan kembali tingkat emisi referensinya dengan memperhitungkan juga adanya emisi yang berlangsung terus menerus akibat drainase di Lahan gambut Konsekuensi dari emisi yang terus menerus dari lahan gambut yang terdrainase adalah bahwa untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi rawa gambut (REDD+) hanya dimungkinkan melalui kombinasi dari 1. Mencegah drainase dan degradasi lahan gambut lebih jauh (dari konversi baru atau drainase intensif pada lahan gambut yang sudah terlanjur terdrainase) untuk menjaga emisi gas rumah kaca tahunan dari lahan gambut pada tingkat status quo, dan 2. Membasahi Lahan gambut yang terdrainase dan sudah terdegradasi, yaitu dengan menurunkan intensitas drainase dan melakukan penanaman kembali /reforestasi, dalam rangka untuk mengurangi emisi tahunan dari lahan gambut. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 10

3. Tren emisi lahan gambut dan konsekuensi untuk tindakan REDD+ Referensi tingkat emisi Indonesia didasarkan atas proyeksi sejarah emisi (berasal dari bukti penginderaan jauh dan literatur ilmiah) ke masa depan. Tabel 1 menunjukkan bagaimana antara tahun 1990 dan 2008 penggunaan lahan dan tutupan lahan pada lahan gambut di Sumatera dan Borneo (data terpisah untuk Kalimantan tidak tersedia untuk tahun 1990) telah berubah dan ini telah menyebabkan perubahan dalam emisi dari lahan gambut. Tabel 1: Rata-rata emisi CO2 tahunan akibat oksidasi gambut terkait drainase untuk situasi di Sumatera dan Borneo pada tahun 1990 dan 2008 (klasifikasi tutupan Lahan berdasarkan Miettinen & Liew 2010, perhitungan emisi berdasarkan masukkan Dommain et. al.) Tipe tutupan Lahan/ Land cover type * Luas Tutupan lahan Land cover area Tahun 1990 2008 Total CO 2 emissions Luas Tutupan lahan Land cover area Total CO 2 emissions ha % t yr -1 % ha % t yr -1 % Badan air/ Water 63,000 0.4 0 0 63,000 0.4 0 0 Badan air musiman/ Seasonal water Hutan Rawa Gambut utuh/ Pristine PSF Hutan rawa gambut rusak Degraded PSF Semak tinggi /hutan sekunder Tall shrub/sec, forest Semak rendah/pakis Low shrub/ferns Lahan pertanian skala kecil Small-holder agriculture Industri perkebunan Industrial plantations 214,000 1.5 0 0 303,000 2.1 0 0 7,351,000 50.3-18,867,567 0 1,456,000 10.0-3,737,067 0 3,952,000 27.0 71,136,000 34 4,717,000 32.3 84,906,000 17 725,000 5.0 13,050,000 6 1,228,000 8.4 22,104,000 4 650,000 4.4 11,700,000 6 1,613,000 11.0 29,034,000 6 1,340,000 9.2 108,540,000 51 2,558,000 17.5 207,198,000 41 48,000 0.3 3,456,000 2 2,072,000 14.2 149,184,000 30 Daerah terbangun Build-up area ** 8,000 0.1 0 0 19,000 0.1 0 0 Daerah terbuka/terbakar Cleared/burnt area 194,000 1.3 3,492,000 2 534,000 3.7 9,612,000 2 Hutan bakau/mangrove 67,000 0.5 0 0 49,000 0.3 0 0 Total 14,611,000 100.0 192,506,433 100 14,611,000 100.0 498,300,933 100 Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 11

Kesimpulan berikut dapat ditarik: Degradasi lahan gambut telah berjalan dengan kecepatan seperti ini di Sumatera dan Borneo, dan hanya 10% dari area rawa gambut yang tersisa relative masih utuh/pristine (penurunan dari 50% pada tahun 1990 menjadi 10% pada 2008) dan 87% dari luas lahan gambut saat ini secara permanen mengemisikan gas rumah kaca. Rata-rata emisi tahunan, dari oksidasi gambut di hutan rawa gambut, telah meningkat dari 193 juta ton di tahun 1990 menjadi 498 juta ton di tahun 2008 (+ 305 juta tons). Yang bertanggung jawab atas sebagian besar peningkatan ini adalah akibat meningkatnya luas industri perkebunan (+ 146 juta ton) dan oleh pertanian rakyart /small holders (+ 100 juta ton) tidak ada indikasi bahwa rata-rata emisi tahunan jangka panjang dari kebakaran di Lahan gambut (sebesar 400 juta ton CO2/tahun) telah berubah antara tahun 1990 dan 2008 (Heil 2007) Emisi akibat oksidasi oleh mikrorganisme gambut di lahan gambut terdrainase, saat ini 20% lebih tinggi dari emisi jangka panjang rata-rata tahunan dari kebakaran gambut. Angka-angka ini menunjukkan, adalah penting bahwa emisi dari semua tanah gambut di Indonesia, baik yang masih berhutan maupun tidak berhutan, dimasukkan kedalam dasar perhitungan/baseline REDD+, karena emisi-emisi ini sangat saling berkaitan. Meskipun pada Lahan gambut yang saat ini tidak ada tajukan/kanopinya (termasuk rawa gambut yang tidak berhutan maupun ditinggalkan/diterlantarkan), dan sementara ini tidak lagi mengakumulasikan karbon, namun dalam ketiadaan manajemen oleh manusia dan kebakaran yang bersifat antropogenik, diharapkan suatu saat nanti menjadi hutan kembali (16/CMP.1). Lahan yang tidak ditinggalkan, lantas dikonversi menjadi Lahan pertanian skala kecil dan industry perkebunan, merupakan sumber yang paling besar dan paling cepat meningkatkan emisi lahan gambut (lihat Tabel 1). Jika daerah ini dikecualikan dari perhitungan dasar/baseline REDD, emisi Indonesia akan terus berlanjut dan meningkat tanpa insentif untuk mengurangi emisi tsb. Selain itu, perkebunan baru kemudian akan lebih suka pindah ke lahan gambut yang terlantar atau tidak berhutan, dan ini akan diikuti oleh drainase yang lebih intensif (lebih dalam dan lebih luas), akibatnya emisi bertambah besar tapi tidak diperhitungkan (ini merupakan suatu kebocoran/leakage!). Hal ini tentunya tidak menjadi tujuan Strategi REDD nasional Indonesia. Kami merekomendasikan agar UNFCCC membuat arahan yang eksplisit agar seluruh tanah gambut dimasukkan dalam perhitungan REDD+. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 12

4. Konservasi dan rehabilitasi Rawa gambut 4.1 Pendahuluan Draft Strategi REDD+ Nasional Indonesia mengidentifikasi rehabilitasi dan konservasi lahan gambut sebagai sarana/cara utama untuk mencapai tujuan penanggulangan issu iklim Indonesia. Upaya sepihak dari Indonesia, di dalamnya termasuk menjaga emisi dari lahan gambut di sekitar tingkatan pada tahun 2010 (draft REDD Strategi Nasional, Gb 3,. Hal 17). Namun, Strategi ini masih tidak jelas, terutama terkait tentang cara bagaimana Indonesia berharap untuk mencapai tujuan ini, padahal kegiatan perkebunan dan pertanian pada lahan gambut semakin meluas, disisi lain kita juga perlu melakukan perluasan konservasi dan/atau restorasi di Lahan gambut. Selama periode 2011-2025, Indonesia berencana untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 7% ("Master plan program Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia") dengan perluasan perkebunan kelapa sawit yang menjadi salah satu dari 22 kegiatan ekonomi utama untuk mencapai tujuan ini. Luas perkebunan di Lahan gambut Indonesia sekarang ini sekitar jutaan hektar, dan banyak juga yang telah dialokasikan sebagai konsesi untuk kelapa sawit atau perkebunan kayu pulp. Perkembangan ini (kecuali yang sudah memiliki persetujuan menteri) telah ditahan sementara ini melalui Moratorium. Kami meragukan bahwa Indonesia akan dapat mencapai target pengurangan emisinya jika moratorium hanya berrlangsung selama 2 tahun ( berakhir pada tahun 2013), dan karenanya kami sangat merekomendasikan untuk memperpanjang kelangsungan Moratorium sebagai item kunci untuk dimasukkan ke dalam Strategi Nasional REDD+. Kami menyarankan adanya 3 macam pendekatan untuk menangani konsesi perkebunan di lahan gambut: i. Menghindari pembangunan perkebunan baru pada lahan gambut dan hutan alam; ii. iii. Merelokasi konsesi yang sudah ada atau masih berstatus calon dari gambut dan hutan alami ke lahan terdegradasi; dan Mengubah status konsesi-konsesi ini menjadi konsesi untuk Restorasi Ekosistem yang baru untuk memulihkan kawasan tsb. 4.2 Hindari pembangunan perkebunan baru pada lahan gambut dan hutan alam Mengingat pesatnya peningkatan emisi dari perkebunan di lahan gambut (Tabel 1), untuk mencapai tujuan REDD+ Indonesia, kami menganggap penting untuk melarang adanya perkebunan baru pada lahan gambut dan kawasan hutan alam. Pengembangan perkebunan harus fokus sepenuhnya pada lahan rusak yang BUKAN gambut (kecuali pengembangan paludiculture: yaitu perkebunan dengan menggunakan tanaman asli gambut yang tidak menerlukan drainase). Ini mengikuti langkah-langkah berikut: Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 13

'Hutan Alam' dan 'lahan terdegradasi' harus didefinisikan berdasarkan fungsi ekosistem, nilai konservasi, dan stok karbon. Definisi tersebut harus berada diluar criteria berbasis produksi Hutan Alam dan daerah gambut harus dipetakan sebagai bagian dari proses pendefinisian. Untuk daerah di dalam Hutan Produksi, tidak boleh ada ijin baru atau permintaanpermintaan untuk pelepasan kawasan hutan (SK Pelepasan Kawasan Hutan) atau pertukaran (Tukar Menukar Kawasan Hutan); Jika daerah tersebut terletak di luar Estate Hutan Nasional (dalam APL) mereka harus diprioritaskan untuk pertukaran (Tukar Menukar Kawasan Hutan) dan mereka bisa masuk ke Estate Hutan untuk dilindungi (lihat butir ii di bawah), dan Jika memang layak, lahan gambut dan kawasan hutan alam yang terdapat di dalam wilayah Hutan Produksi dapat dijadikan konsesi-konsesi Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) (lihat 4.4 di bawah). 4.3 Relokasi keberadaan konsesi dari lahan gambut dan hutan alami ke lahan mineral yang terdegradasi Relokasi (misalnya seperti yang diusulkan sebagai tukar guling Lahan 'land swap' dalam draft Strategy REDD+ nasional) atau pencabutan izin baik terhadap perkebunan yang ada maupun yang masih tertunda (pending) di dalam hutan alam dan kawasan gambut, dapat diberikan insentif dan ditegakkan. Meskipun hal ini mungkin merupakan tantangan yang cukup besar, kami percaya bahwa aturan dari sisi hukum /legal maupun ekonominya sudah ada, untuk mendukung langkah-langkah tersebut. terkait dengan adanya izin-izin perkebunan yang sudah diterbitkan termasuk yang masih ditunda (baik HTI maupun IUP), jika ia terkait dengan lahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter, maka ijin-ijin tersebut sebaiknya dicabut berdasarkan acuan pada Permentan No 14/2009, Kerppres No 32/1990 dan Peraturan Pemerintah No 26 / 2008, yang mana semua kebijakan ini melarang pembangunan tersebut. Ketentuan ini juga dapat dijadikan pertimbangan sebagai dasar untuk merelokasi atau pencabutan atas tanah yang: o o o o tidak cocok untuk pembangunan perkebunan untuk alasan fisik, seperti daerah sering mengalami kebanjiran dan tergenang dalam saat banjir ; memiliki Nilai Konservasi Tinggi (HCV) dimana tingkat keanekaragaman hayatinya tinggi dan memiliki fungsi penting ekosistem dan hidrologi atau lainnya; menyediakan manfaat penting bagi keperluan sosial-ekonomi, seperti rawa-rawa air tawar dan hutan riparian yang memberikan perlindungan terhadap sempadan sungai atau bagi tempat pemijahan, berbiaknya dan pengasuhan ikan, dan menyimpan sejumlah besar karbon sepertihalnya hutan, dengan simpanan biomasa karbon atas tanah yang signifikan dan lahan gambut dangkal. Pertimbangan dapat diberikan untuk Lahan-lahan yang telah teridentifikasi rusak, namun masih cocok untuk membangun perkebunan baru (lihat butir i di atas) dan untuk melacak dengan cepat transaksi pertukaran tanah (Tukar Menukar Kawasan Hutan) berdasarkan Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 14

ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah No.10/2010. Dalam konteks ini, lahan 'terdegradasi' tidak merujuk ke tanah dengan kualitas tanah yang buruk melainkan ke daerah-daerah yang hutannya sudah tidak ada, dengan tingkat keanekaragaman hayati dan stok karbonnya yang kini sudah sangat rendah, dan tidak digunakan untuk pertanian yang masih produktif, contohnya: lahan padang alang-alang (Imperata cylindrica). Proses dapat dikonseptualisasikan sebagai tukar guling/ 'swap tanah', dimana daerah sensitif untuk perkebunan ditukar dengan daerah yang sudah terdegradasi. Pemerintah dapat memulai proses swap dengan meminta sektor perkebunan agar secara sukarela melakukan negosiasi pertukaran lahan, menawarkan tanah yang adil dalam pertukaran untuk konsesi yang terletak di daerah sensitif. Setelah periode sukarela berakhir, pemerintah bisa mempertimbangkan langkah-langkah relokasi dan pencabutan ijin untuk kegiatan yang masih berada di daerah yang tidak tepat dan sensitif. Penetapan kawasan hutan produksi yang rusak untuk dialihfungsikan/dikonversi (penunjukan Hutan Produksi Konversi) harus dihindari, karena secara hukum hal demikian akan memungkinkan pembebasan mereka dari kawasan hutan tanpa pertukaran. Sebaliknya, ketentuan untuk pertukaran bisa saja diperkuat dan dilacak dengan cepat, agar luas kawasan hutan nasional tetap konstan. 4.4 Tetapkan Konsesi-konsesi baru bagi Restorasi Ekosistem, untuk memulihkan daerah sensitif Pembentukan konsesi-konsesi Restorasi Ekosistem (ERC) memiliki potensi besar untuk menarik investasi dibidang restorasi hutan dan meningkatkan pendapatan negara, melalui pasar karbon dan mekanisme pembiayaan lingkungan lainnya. Kami percaya bahwa konsep ERC adalah unik bagi Indonesia. Oleh karena itu negeri ini bisa memberikan contoh ke seluruh dunia tentang bagaimana mengembangkan suatu jaringan ERC yang komprehensif untuk penyimpanan karbon, pengurangan emisi, dan konservasi keanekaragaman hayati; namun disisi lain tetap menjaga peluang pembangunan berkelanjutan misalnya di sektor perikanan dan pariwisata alam. Selanjutnya, pendekatan ini bisa meningkatkan investasi sektor swasta dan menciptakan kesempatan kerja besar bagi masyarakat setempat. Saat ini, beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan ERC: basis dalam menetapkan daerah yang mana dapat dipilih dan ditetapkan sebagai ERC memerlukan perhatian lebih lanjut, meskipun kriteria untuk ini sudah cukup jelas. Keselarasan dan kejelasan dalam proses-proses untuk mengidentifikasi dan menetapkan daerah-daerah untuk ERC akan membuka peluang investasi lebih besar bagi restorasi hutan. Perlindungan lahan gambut dan hutan alam di dalam hutan produksi saat ini terbatas. ERC dapat digunakan sebagai cara yang strategis untuk melindungi dan memperbaiki /restore kawasan ini tanpa perlu untuk menghapus mereka dari kawasan hutan produksi. ERC juga bisa digunakan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran lahan dimana lahan yang ditukar menjadi kawasan hutan nasional dapat dijadikan ERC. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 15

Banyak daerah yang agaknya cocok untuk dikelola melalui ERC, sudah dialokasikan (secara keseluruhan atau sebagian) untuk lisensi perkebunan, namun belum beroperasi. Ketika mengidentifikasi ERC di lahan gambut, potensi untuk menjaga atau mengembalikan unit hidrologi lengkap (yaitu, sebuah kubah gambut, lihat di bawah) sangat penting. Restorasi dan pengelolaan yang berkelanjutan menjadi tidak layak/feasible ketika kubah gambut terancam oleh drainase jangka panjang dari perkebunan yang beroperasi saat ini atau masa depan. Kami merekomendasikan agar National REDD+ Strategi, secara eksplisit memasukkan & membahas isu perkebunan di gambut, diantarnya melalui: melanjutkan kelangsungan atau memperpanjang (masa berlakuknya) Moratorium menghindari pembentukan perkebunan baru pada lahan gambut dan hutan alam; relokasi konsesi (yang ada maupun yang masih bersifat prospektif), dari lahan gambut dan hutan alami ke lahan terdegradasi; dan menggantinya dengan Konsesi Restorasi Ekosistem baru (ERC) untuk memulihkan daerahdaerah yang telah terdegradasi tsb. 4.5 Restorasi lahan gambut yang terdegradasi Karena lahan gambut di Indonesia sudah kebanyakan rusak dan terus menerus mengemisikan GRK (Tabel 1), maka restorasi lahan gambut berskala besar harus menjadi prioritas utama dalam Strategi REDD+ Indonesia. Meskipun restorasi sifatnya sangat mendesak, namun ia hanya akan efektif kalau digabungkan dengan penghentian total terhadap degradasi lahan gambut lebih lanjut, yaitu dengan melestarikan semua lahan gambut tersisa yang masih utuh (pristine) dan mencegah semakin parahnya tingkat kerusakan Lahan gambut yang memang sudah rusak. Konversi dari satu hektar lahan gambut (yang masih alami) hanya dapat dikompensasi dengan merehabilitasi secara serentak minimal 2-3 ha lahan gambut yang terdegradasi dan terdrainase (kotak 2). Dalam rangka untuk mencapai tujuan-tujuan penghentian emisi, Indonesia harus aktif melindungi semua lahan gambut yang tersisa utuh; mencegah degradasi lebih kuat (misal dengan mencegah deforestasi lebih lanjut, mencegah perluasan drainase dan degradasi hutan) dari lahan gambut yang sudah terdegradasi. Jika yang diperlukan adalah pengurangan emisi secara nyata dari lahan gambut (lih. REDD+!), maka tindakan di atas harus dilengkapi dengan membasahi (rewetting) dan menghutankan kembali lahan gambut yang sudah terdegradasi Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 16

KOTAK 2: Restorasi dan konservasi Restorasi lahan gambut adalah cara terbaik untuk mengurangi emisi dari lahan gambut yang terdrainase, tetapi tidak dapat membenarkan konversi baru lahan gambut yang masih utuh (pristine). Restorasi lahan gambut pada situs tertentu hanya dapat mengurangi emisi sampai nol, hanya jika seluruh wilayah terbasahi (rewetted) secara memadai. Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa membasahi gambut secara menyeluruh adalah seringkali sangat sulit - atau bahkan hampir tidak mungkin-untuk dicapai, karena drainase telah menyebabkan perubahan ireversibel dalam memulihkan lahan gambut. Kuatnya penurunan (subsidence) tanah gambut yang letaknya berdekatan dengan saluran-saluran drainase, menyebabkan terbentuknya kubah-kubah (mini-domes) di antara saluran-saluran tsb, dan menyulitkan pembasahan gambut atas daerah yang luas. Daerah yang tidak cukup terbasahi akan terus mengemisikan gas rumah kaca sampai kesetimbangan hidrologi baru tercapai. Untuk mencapai pembasah sepenuhnya, diperlukan waktu hingga beberapa dekade. Ini berarti bahwa restorasi lahan gambut yang terdegradasi (dengan basis hektar ke hektar) tidak dapat diimbangi dengan konversi rawa gambut. Untuk mengimbangi emisi dari lahan gambut yang masih relative baru terdrainase-nya, diperlukan pembasahan dan rehabilitasi vegetasi/reforestasi terhadap Lahan gambut yang telah rusak dalam area yang jauh lebih luas dan dalam jangka waktu panjang. Prinsip-prinsip utama untuk restorasi lahan gambut: pembasahan secepat mungkin. Dalam jangka pendek dan menengah, restorasi hanya akan mengurangi emisi dari bagian lahan gambut terdegradasi yang letaknya paling dekat dengan saluran drainase. Akan memakan waktu yang cukup lama untuk tercapainya suatu system karbon yang netral, sebelum integritas hidrologi dari seluruh ekosistem dipulihkan sepenuhnya. Efektivitas restorasi lahan gambut sangat tergantung pada tingkat degradasi. Semakin lama sebuah kubah gambut telah dibedah oleh saluran-saluran drainase, semakin sulit untuk sepenuhnya membasahi relief 'mini-kubah'- mini kubah yang terdapat diantara saluran-saluran drainase tersebut dan sulit untuk mengurangi emisi. Penghutanan kembali. Reforestasi merupakan bagian integral dari restorasi hidrologi. Hidrologi hutan rawa gambut alami (nol-emisi) dipertahankan oleh system perakaran tanaman yang terdapat diatas gambut dan perbedaan elevasi permukaan gambut (Dommain et al. 2010). Oleh karenanya, reforestasi harus menjadi bagian dari upaya restorasi. Tapi reforestasi dapat saja terhambat oleh banjir dan kebakaran (lih. Kotak 3). Libatkan masyarakat setempat sejak awal dan pastikan adanya dukungan dari mereka! Infrastruktur drainase sering menjadi akses bagi masyarakat untuk memasuki kawasanlahan gambut. Restorasi (misal: berupa penabatan/pembangunan dam di saluran) mungkin akan membatasi akses masyarakat ke lokasi tertentu di lahan gambut dan ini menyebabkan masyarakat menentang restorasi. Oleh karena itu, rencana restorasi perlu dikonsultasikan dan mereka perlu dilibatkan sejak awal perencanaan, disain, dan dalam pelaksanaan restorasi tsb. (lihat Kotak 3) Dorong pembangunan masyarakat. Agar ketergantungan masyarakat pada penggunaan lahan gambut secara tidak lestari dapat diatasi; maka proyek-proyek rehabiitasi di lahan gambut, yang mana dapat menciptakan peluang kerja bagi masyarakat lokal, harus mencakup pembangunan masyarakat sebagai komponen integral untuk mengimbangi peluang kerja tersebut. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 17

4.6 Penyesuaian kegiatan pertanian dan perkebunan kearah paludicultures Upaya-upaya restorasi di Lahan gambut yang ditinggalkan/diterlantarkan tidak cukup untuk secara efektif mengurangi emisi karbon. Karena petani kecil (small holders) dan industri perkebunan besar merupakan penyumbang emisi yang sangat besar dan perkembangannya sangat pesatmaka upaya untuk meniadakan emisi dari keduanya tentu akan berdampak terhadap kepentingan social ekonomi mereka. Bahkan keuntungan (serapan) karbon dari perkebunan yang sangat produktif sekalipun tidak dapat diimbangi oleh lepasnya karbon akibat oksidasi gambut yang terdrainase, dimana keduanya terjadi secara simultan. Oleh karenanya, kegiatan pertanian, kehutanan dan perkebunan di Lahan gambut yang berbasis drainase, harus segera diganti oleh kegiatan budidaya yang dapat berkembang pada tanah gambut (sangat) basah (disebut: paludicultures). Kegiatan paludiculture diantaranya dapat dilakukan dengan menanam jenis pohon produktif yang memang butuh banyak air, seperti: Jelutung rawa [Dyera spp.], Tumih [Combretocarpus rotundatus], Meranti rawa [Shorea pauciflora], dan Nyatu [Palaquium sp.]). Tanaman ini, selain memberi peluang pengembangan ekonomi yang berkelanjutan, ia juga akan mengurangi emisi melalui tanah yang selalu basah/berair. Di kebanyakan lahan gambut, hanya bagian dari kubah yang dikonversi untuk pertanian atau perkebunan. Bagian yang dikonversi ini, dalam jangka waktu tertentu, akan berdampak pada keseluruhan sisa kubah. Karena kubah merupakan bagian dari satu kesatuan hidrologi dengan kesetimbangan hidrologi yang rapuh, sehingga drainase dibagian manapun dari sisi kubah akan menimbukan dampak yang serius. Keberhasilan Konservasi dan restorasi terhadap hutan rawa gambut yang tersisa dan 'masih utuh (pristine)' memerlukan restorasi seluruh unit-unit hidrologi dengan mengembalikan dan mempertahankan tingkat muka air yang tinggi pada Lahan yang digunakan. Paludicultures dapat menjadi sarana yang menarik untuk mencapai hal ini. Tradisi pertanian pada Lahan aluvial dan gambut dangkal di Asia Tenggara serta pemanenan terhadap sumber daya alam terbarukan (termasuk perikanan) masih merupakan praktek-praktek yang umum dijumpai di rawa-rawa gambut yang tersisa. Jenis penggunaan lahan basah scara tradisionil semacam ini, menyediakan kedua model untuk pemanfaatan lahan gambut setelah pembasahan dan kemungkinan untuk penanaman berbagai jenis-jenis tanaman. Paludicultures dapat dikembangkan pada teknik-teknik produksi basah dan dapat diadopsi oleh petani skala kecil maupun industri perkebunan. Terkait dengan Lahan gambut yang terdrainase dan terdegradasi, kami merekomendasikan agar di dalam Strategi REDD+ Indonesia; dimasukkan upaya-upaya restorasi dan membasahi lahan gambut dalam skala besar; dan upaya ini agar dijadikan prioritas utama agar diidentifikasi, dikembangkan dan diterapkan pilihan-pilihan dalam praktek-praktek pertanian dan perkebunan yang dapat beradaptasi dengan kondisi basah (paludicultures). Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 18

Kotak 3. Restorasi Lahan Gambut di Indonesia: Suatu Pembelajaran Restorasi Gambut sangat dibutuhkan di Indonesia, namun hal ini masih agak baru untuk Lahan gambut tropis. Pengalaman dalam proyek-proyek percontohan menunjukkan bahwa restorasi gambut memang memungkinkan, tetapi sering juga sangat menantang dan mahal. Hal ini membutuhkan suatu pengetahuan umum yang sangat mendasar (nasional / internasional) dalam rangka mengurangi risiko kegagalannya dan mengoptimalkan hasilnya. 1. Revegetasi di Taman Nasional Berbak Penyelenggaraan Proyek CCFPI (Perubahan Iklim, Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia Proyek) selama tahun 2002-2007, salahsatunya bertujuan untuk merehabilitasi lahan gambut di Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi). Hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa penentuan lokasi penanaman yang tepat adalah kunci sukses dalam reforestasi dan kegiatan ini hanya dapat berhasil dengan pengetahuan yang cukup tentang hidrologi. Bekerja sama dengan masyarakat setempat, Wetlands International menanam 22.000 bibit dari 12 jenis lokal pada sekitar 20 hektar Lahan gambut yang sebelumnya pernah terbakar. Data banjir dari sungai Air Hitam Laut yang memotong TN Berbak, diperhitungkan dengan menggunakan data hidrologi untuk memandu kegiatan penanaman di lapangan dan untuk mengatasi kondisi banjir pada lokasi tanam, lalu bibit ditanam pada gundukan buatan setinggi 0,3-0,5 m. Membangun sistem gundukan sangat merepotkan dan butuh biaya tinggi. Sistem ini terbukti efektif sampai tingkat tinggi banjir tertentu, tapi tidak berguna dalam kasus banjir yang ekstrim. Penanaman pertama gagal (tingkat kelangsungan hidup <10%) karena kondisi ekstrim (tinggi banjir hingga 1,2 meter), sedangkan penanaman kedua berhasil dengan tingkat kelangsungan hidup 85% (dipantau 8 bulan setelah tanam) Spesies Jelutung rawa (Dyera polyphylla), Tumih (Combretocarpus rotundatus), Meranti rawa (Shorea pauciflora), dan Nyatu (Palaquium sp.) Menunjukkan keberhasilan yang baik dalam hal tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan (Wibisono 2005). Flooding level (cm) 80 60 40 20 0-20 -40 A B C D E Maximum flooding level Water level fluctuation Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Dry season Rainy season Dry season Remarks: Activities adjustment influenced by flooding fluctuation A = Mound construction aiw Seedling preparation aiw and hardening off B = Seedling tranportation C = Planting D = Stop activity E = Seedling maintenance Gambar 3: Mound Sistem yang diterapkan oleh Wetlands International di Berbak NP 2. Rehabilitasi Hidrologi pada Proyek CKPP di Ex-Mega Rice (EMRP) Kalimantan Tengah Proyek Lahan Gambut Kalimantan Tengah (CKPP, 2007-2009) difokuskan pada rehabilitasi lahan gambut di Blok A Utara dari EMRP (juga dikenal eks PLG sejuta hektar). Proyek ini menunjukkan dengan jelas bahwa, bersama dengan pemeliharaan tanaman, maka upaya pencegahan kebakaran harus menjadi bagian integral dari setiap program reforestasi. Wilayah proyek ini mencakup 48.000 hektar gambut dalam, dan tata air (hydrologi) pada sebagian besar kawasan ini telah rusak sebagai akibat dari keberadaan jaringan/kanal drainase yang besar-besar (kanal-kanal dibangun tahun 1995/1996 saat awal PLG berlangsung) sehingga Lahan gambut menjadi kering dan mengalami kebakaran parah hampir pada setiap musim kemarau. Untuk menata kembali system hidrologi di kawasan ini, telah dibangun sebanyak 24 bendungan (tabat-tabat) besar oleh CKPP (sebanyak 16 buah) dan CCFPI (sebanyak 8 buah). Hasil evaluasi terhadap dampak bendungan/tabattabat ini ternyata memberi efek yang terbatas, yaitu hanya pada Lahan gambut seluas 1700 ha atau 3,5% dari seluruh wilayah proyek. Kondisi demikian dikarenakan keberadaan bendungan/tabat hanya menyebabkan air tanah membasahi gambut hingga 200 m menuju daratan dari lokasi kanal yang ditabat/dibndung. Sehingga sebagian besar daerah tersebut masih terlalu kering, sangat rawan kebakaran dan dengan tingkat oksidasi gambut yang tinggi. Alasan lain mengapa kegiatan diatas memberikan hasil yang sangat terbatas adalah karena terbatasnya jumlah bendungan (akibat dana yang terbatas) dan jarak yang terlalu jauh antar bendungan yang dibangun dan beda ketinggian (head) antara air di atas bendungan dan dibawahnya yang terlalu besar. Selain itu, subsiden yang telah berlangsung selama lebih dari 15 tahun telah menyebabkan perubahan topografi Lahan gambut dan mengakibatkan terbentuknya kubah-kibah mini yang sulit untuk dibasahi oleh kanal yang dibendung, karena kanal-kanalnya juga mengalami subsiden. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 19

Gambar 4: Bendungan dibangun di kanal di Blok A Utara, Ex Mega Rice Proyek Secara serentak, pada tahun 2007/2008 sebanyak 200.000 bibit tanaman dari 7 jenis lokal ditanam pada lima daerah yang berbeda, yang meliputi total luasan 500 hektar. Tingkat kelangsungan hidup berkisar 65-85%, satu tahun setelah tanam. Dyera lowii, Shorea belangeran dan Alstonia pneumatophora tampaknya memiliki kinerja terbaik dalam hal kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Sayangnya, sebagian besar dari situs rehabilitasi di sepanjang kanal utama telah terbakar pada tahun 2009, yaitu beberapa tahun setelah proyek berakhir. Kondisi ini menggambarkan bahwa rehabilitasi lahan gambut membutuhkan kewaspadaan akan bahaya api dan komitmen jangka panjang serta pendanaan. Gambar 5: Dyera polyphylla ditanam di sepanjang tanggul kanal Kedua kegiatan di atas (pembangunan bendungan & rehabilitasi Lahan gambut dengan tanaman setempat) didukung oleh skema "Bio-Rights" (www.wetlands.org / Bio-rights) dimana masyarakat tempatan secara aktif terlibat dalam kegiatan memblokir kanal dan melakukan reforestasi pada lahan gambut yang rusak di sekitar kanal. Sebagai insentif atas keterlibatan & pecapaian tujuan dari kegiatan ini, masyarakat menerima bantuan pendanaan (mikro kredit) yang dapat digunakan untuk mengembangkan kegiatan matapencaharian alternative. Sekema pendekatan semacam ini memungkinkan penyelenggaraan pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan yang saling bergandengan tangan. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy Indonesia sebagai suatu tanggapan selama berlangsungnya 20