BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

dokumen-dokumen yang mirip
Krangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang mungkin menggunakan salah satu dari arti kata tersebut sesuai dengan

BAB II. Kajian Teoretis

Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) dalam Implementasi Kurikulum 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

BAB 1 PENDAHULUAN. potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Nadia Dezira Hasan, 2015

KURIKULUM 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dunia pendidikan matematika memiliki peran sebagai bahasa simbolik yang

STRATEGI BELAJAR MENGAJAR

MENGEMBANGKAN SELF CONCEPT SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONCEPT ATTAINMENT

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pengajar dalam

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY LEARNING)

BAB II KAJIAN TEORI. Rahmawati, 2013:9). Pizzini mengenalkan model pembelajaran problem solving

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fauzi Yuberta, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di semua bidang, salah satunya membangun sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Fauziah Nurrochman, 2015

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Matematika perlu. diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah. membawa berbagai perubahan hampir di setiap aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

I. PENDAHULUAN. kita lakukan. Bukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. dan kritis (Suherman dkk, 2003). Hal serupa juga disampaikan oleh Shadiq (2003)

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan demi meningkatnya kualitas pendidikan. Objek yang menjadi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran penemuan (discovery learning) merupakan nama lain

Rumusan masalahan. Tujuan Penelitian. Kajian Teori. memahaminya. Demikian pula dengan siswa kelas IX SMP Negeri 1 Anyar masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB II KAJIAN TEORI A.

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematik dan Percaya Diri Siswa Kelas X Melalui Model Discovery Learning

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. dipelajari oleh pembelajar. Jika siswa mempelajari pengetahuan tentang konsep,

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Disposisi Matematis Siswa SMA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Discovery Learning merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya peradaban dunia membawa perubahan terhadap budaya,

I. PENDAHULUAN. inovatif. Menyadari bagaimana cara memikirkan pemecahan permasalahan

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. rendahnya kualitas atau mutu pendidikan matematika. Laporan Badan Standar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tersebut menunjukkan bahwa pendidikan perlu diselenggarakan untuk

, 2015 PENGARUH PENGGUNAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. Belajar dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Trianto (2009:16) belajar

BAB I PENDAHULUAN. Hasratuddin : 2006) menyatakan bahwa: matematika merupaka ide-ide abstrak

1. Pengertian Strategi : Strategi dalam kegiatan pembelajaran dapat diartikan dalam pengertian secara sempit dan pengertian secara luas.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan wadah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembelajaran, hal ini menuntut guru dalam perubahan cara dan strategi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan kecakapan hidup.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan discovery adalah suatu prosedur mengajar yang dapat. mengalami sendiri bagaimana cara menemukan atau menyelidiki

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika diajarkan tingkat dasar hingga tingkat menengah

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat S 1 Pendidikan Matematika. Oleh : DARI SUPRAPTI A

II. KAJIAN PUSTAKA. anak-anak diberikan bermacam-macam pelajaran untuk menambah pengetahuan. yang dimilikinya, terutama dengan jalan menghafal.

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. butuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari baik dalam sains, teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013

2016 KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rianti Aprilia, 2015

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

11 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Model Discovery Learning Menurut Bruner, J(dalam Melianita, 2017, hlm. 18), penemuan adalah suatu proses, suatu jalan dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Di dalam pandangan Bruner (dalam Melianita, 2017, hlm. 18), belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan. Menurut Russell (dalam Haeruman,dkk, 2017, hlm. 163) model Discovery Learning menggunakan pendekatan induktif, atau penyelidikan untuk belajar, model ini menggunakan strategi percobaan dan kesalahan. Tujuan pembelajaran ini adalah untuk memacu pemahaman konten yang lebih mendalam melalui keterlibatan dengan konten tersebut. Jadi peserta didik secara langsung terlibat dalam hal-hal yang akan ia temukan nantinya. Aturan atau prosedur yang ditemukan peserta didik berasal dari percobaan sebelumnya, berdasarkan informasi dalam buku atau sumber lain seperti internet. Sedangkan menurut Haeruman,dkk (2017, hlm. 163) bahwa model Discovery Learning adalah suatu model pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik, artinya peserta didik mengikuti setiap proses Discovery Learning secara aktif dari mulai mengidentifikasi masalah sampai menarik kesimpulan dengan tujuan peserta didik mendapatkan pengalaman belajar secara langsung serta mendapat pengetahuan-pengetahuan baru dari setiap proses pembelajaran yang telah dilaluinya. Dalam mengaplikasikan model Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Menurut Karim (dalam Purwatiningsih, 2013, hlm. 54) bahwa metode penemuan merupakan cara untuk menyampaikan ide/gagasan dengan proses menemukan, dalam proses ini siswa berusaha menemukan konsep, rumus dan semacamnya dengan bimbingan guru.

12 Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inquiry. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan Discovery ialah bahwa pada Discovery masalah yang dihadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian. Ada beberapa keunggulan Discovery Learning yang dikemukakan oleh Suherman (dalam Melianita, 2017, hlm. 19), yaitu: a. Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir. b. Siswa memahami benar materi ajar, sebab siswa mengalami sendiri proses menemukannya. c. Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas dalam diri siswa. Kepuasan ini dapat memberi motivasi siswa untuk melakukan penemuan lainnya. Menurut Depdiknas (dalam Melianita, 2017, hlm. 19), ada beberapa langkah dalam pembelajaran Discovery Learning, yaitu: a) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan) Pada tahap ini, siswa diberikan suatu masalah yang dapat menimbulkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk menyelidiki sendiri. b) Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah) Setelah dilakukan stimulasi, langkah selanjutnya adalah memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi masalah yang diberikan kemudian dirumuskan suatu hipotesis yang umumnya berupa pertanyaan. c) Data Collection (Pengumpulan Data) Pada tahap ini, siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan sebagai bahan menganalisis dalam rangka menjawab pertanyaan atau hipotesis. d) Data Processing (Pengolahan Data) Data yang sudah dikumpulkan, kemudian diolah melalui proses penafsiran dan penalaran.

13 e) Verification (Pembuktian) Siswa dalam kelompok melakukan pembuktian secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan sebelumnya dan dihubungkan dengan hasil pengolahan data. f) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi) Guru membimbing siswa menarik kesimpulan serta memberi konfirmasi terhadap pernyataan siswa. Kemendikbud (dalam Ratnasari, 2015, hlm. 16) menyebutkan terdapat fakta empirik keberhasilan dalam proses dan hasil pembelajaran Discovery Learning, yaitu: 1) Kelebihan Penerapan Discovery Learning a. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer. b. Model ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri. c. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri. d. Model ini membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerjasama dengan yang lainnya. e. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif dalam mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan guru pun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi. f. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik. g. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri. 2) Kekurangan Penerapan Discovery Learning a. Model ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi. b. Model ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.

14 c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama. d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian. e. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru. B. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Tantangan kehidupan yang semakin kompleks mendorong para ahli pendidikan untuk berpikir dan bekerja keras dalam upaya membantu generasi muda menjadi pemecah masalah yang handal. Untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah seseorang, latihan berpikir secara matematis tidaklah cukup, melainkan perlu dibarengi pengembangan rasa percaya diri melalui proses pemecahan masalah sehingga memiliki kesiapan memadai menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan nyata. Hal senada juga diungkapkan oleh Macintosh (dalam Herman dan Suryadi, 2008, hlm. 16), bahwa kemampuan berpikir dan keterampilan yang digunakan manusia dalam proses pemecahan masalah matematis dapat ditransfer ke dalam berbagai bidang kehidupan. Selain itu, dalam dokumen National Research Council (1989), dinyatakan bahwa pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui proses pemecahan masalah matematis memungkinkan berkembangnya kekuatan matematis yang antara lain meliputi kemampuan membaca dan menganalisis situasi secara kritis, mengidentifikasi kekurangan yang ada, mendeteksi kemungkinan terjadinya bias, menguji dampak dari langkah yang akan dipilih, serta mengajukan alternatif solusi kreatif atas permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, pemecahan masalah matematis dapat membantu seseorang memahami informasi yang tersebar di sekitarnya secara lebih baik. Menurut Lestari (2015, hlm. 84) bahwa kemampuan penyelesaian masalah adalah kemampuan menyelesaikan masalah rutin, non-rutin, rutin terapan, rutin non-terapan, non- rutin terapan, dan masalah non-rutin non-terapan dalam bidang

15 matematika. Karena guru sebagai fasilitator yang mengantarkan siswa menuju kemampuan pemecahan masalah, dapat memberikan soal-soal dengan kriteria masalah seperti di atas. Adapun untuk mengevaluasi sejauh mana kemampuan pemecahan masalah siswa, dapat dilihat dari tahapan proses pemecahan masalah Polya. Tahapan proses pemecahan masalah Polya (Suherman, dalam Melianita, 2017, hlm. 11), yaitu: 1) Memahami Masalah Langkah ini sangat penting sebagai tahap awal dari pemecahan masalah agar siswa dapat dengan mudah mencari penyelesaian masalah yang diajukan. Siswa diharapkan dapat memahami kondisi soal atau masalah yang meliputi, mengenal soal, menganalisis soal dan menerjemahkan informasi yang diketahui dan ditanyakan pada soal tersebut. 2) Merencanakan Penyelesaian Kegiatan yang perlu dilaksanakan pada langkah ini antara lain, mencari hubungan antara data yang diketahui dengan data yang belum diketahui, hal ini dapat dilakukan jika siswa mengerjakan langkah pertama dengan benar. 3) Melaksanakan Rencana Pemecahan Melaksanakan rencana pemecahan masalah seperti yang telah dilaksanakan pada langkah kedua. Pada langkah perhitungan ini, pemahaman siswa terhadap soal atau masalah dapat terlihat. 4) Pemeriksaan Kembali Pada tahap ini, siswa diharapkan berusaha untuk memeriksa kembali pekerjaannya dengan teliti. Dengan demikian, kesalahan dan kekeliruan dalam penyelesaian soal dapat ditemukan. Dalam penelitian ini indikator yang digunakan adalah indikator yang dikemukakan oleh NCTM (2000), yaitu: 1. Mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah. 2. Membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya. 3. Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika.

16 4. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. 5. Menerapkan matematika secara bermakna. C. Self Concept Self Concept (Konsep diri) adalah gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif dan prestasi yang mereka capai dan konsep diri merupakan salah satu aspek yang penting bagi individu dalam berperilaku. Self Concept itu meliputi suatu kognisi seseorang mengenai tanggapan penilaian yang dilakukannya tentang persepsi aspek-aspek dirinya, suatu pemahaman tentang gambaran orang lain mengenai dirinya, dan kesadaran penilaian dirinya yaitu gagasannya tentang bagaimana seharusnya dirinya dan bagaimana cara seharusnya yang dilakukannya. Burn (dalam Lestari, 2015, hlm. 95) menyatakan, bahwa Self Concept merupakan suatu bentuk atau susunan yang teratur tentang persepsi-persepsi diri. Self Concept mengandung unsur-unsur, seperti persepsi seorang individu mengenai karakteristik-karakteristik serta kemampuannya; persepsi dan pengertian individu tentang dirinya dalam kaitannya dengan orang lain dan lingkungannya; persepsi individu tentang kualitas nilai yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman dirinya dan objek yang dihadapi; serta tujuan-tujuan dan cita-cita yang dipersepsi sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif dan negatif. Rahman (dalam Nurfaida, 2016, hlm. 20), menyebutkan contoh karakteristik Self Concept positif dan negatif. Self Concept positif diantaranya adalah (1) Bangga terhadap yang diperbuatnya; (2) Menunjukan tingkah laku mandiri; (3) Mempunyai rasa tanggung jawab; (4) Antusias terhadap tugas yang menantang; dan (5) Merasa mampu mempengaruhi orang lain. Sedangkan Self Concept negatif diantaranya adalah (1) Menghindar dari situasi yang menimbulkan kecemasan; (2) Merendahkan kemampuan sendiri; (3) Merasakan bahwa orang lain tidak menghargai; (4) Menyalahkan orang lain karena kelemahannya; (5) Mudah dipengaruhi oleh orang lain; (6) Mudah frustasi; dan (7) Merasa tidak mampu. Dalam penelitian ini, Self Concept diartikan sebagai kumpulan pandangan seseorang tentang dirinya sendiri.

17 Menurut Nurfaida (2016, hlm. 20), pandangan seseorang tentang dirinya (Self Concept) tidak hanya terjadi dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya, seorang individu juga dapat memandang dirinya dengan kaitan kemampuan akademik. Dalam hal ini, perasaan individu secara menyeluruh dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan baik dan kepuasan terhadap prestasi akademik yang diraihnya. Self Concept dapat pula muncul dalam tingkah laku yang menggambarkan bagaimana perasaan individu tentang dirinya. Self Concept (Konsep diri) adalah pandangan individu tentang dirinya sendiri. Calhoun dan Acocella (Irawan, dalam Nurfaida, 2016, hlm. 21), membagi dimensi Self Concept menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Pengetahuan Dimensi pengetahuan dari Self Concept adalah apa yang kita ketahui tentang siapa saya yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri tersebut akan membentuk citra diri dan merupakan kesimpulan dari pandangan kita dalam berbagai peran, pandangan tentang watak kepribadian yang kita rasakan, pandangan kita tentang sikap yang ada pada diri kita, kemampuan yang dimiliki, kecakapan yang kita kuasai, dan berbagai karakteristik lainnya yang melekat pada diri kita. 2) Harapan Dimensi harapan dari Self Concept adalah harapan diri yang dicita-citakan di masa depan. Ketika kita mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa kita sebenarnya, pada saat yang sama kita juga mempunyai sejumlah pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa diri kita di masa yang akan datang. 3) Penilaian Dimensi penilaian dari Self Concept adalah penilaian terhadap diri kita sendiri. Penilaian Self Concept merupakan pandangan kita tentang kewajaran kita sebagai pribadi seperti pengharapan bagi diri kita sendiri atau standar yang kita tetapkan bagi diri kita sendiri. Hasil dari penilaian tersebut membentuk apa yang disebut rasa harga diri, yaitu seberapa besar kita menyukai Self Concept kita. Untuk mengukur Self Concept siswa terhadap matematika digunakan indikator Self Concept seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Indikator Self Concept Matematis Siswa No Indikator Kesungguhan, ketertarikan, berminat: menunjukkan kemauan, 1 keberanian, kegigihan, keseriusan, ketertarikan dalam belajar dan melakukan kegiatan matematika. 2 Mampu mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri dalam matematika. 3 Percaya diri akan kemampuan diri dan berhasil dalam melaksanakan tugas matematiknya. 4 Bekerja sama dan toleran kepada orang lain. 5 Menghargai pendapat orang lain dan diri sendiri, dapat memaafkan kesalahan orang lain dan sendiri. 6 Berperilaku sosial: menunjukkan kemampuan berkomunikasi dan tahu menempatkan diri 7 Memahami manfaat belajar matematika, kesukaan terhadap belajar matematika. (Sumber : Sumarmo, 2017, hlm. 187) 18 D. Model Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional dapat diartikan dengan pengajaran klasikal atau tradisional. Ruseffendi (2006, hlm. 350) mengatakan, Arti lain dari pengajaran tradisional disini adalah pengajaran klasikal. Jadi, pengajaran konvensional sama dengan pengajaran tradisional. Lebih lanjut Ruseffendi menggambarkan sepintas tentang pembelajaran biasa. Pembelajaran ini diawali oleh guru memberikan informasi, kemudian menerangkan suatu konsep, siswa bertanya, guru memeriksa apakah siswa sudah mengerti atau belum, memberikan contoh soal aplikasi konsep, selanjutnya meminta siswa untuk mengerjakan dipapan tulis. Menurut Harsono (dalam Haeruman,dkk, 2017, hlm. 164) bahwa model pembelajaran konvensional adalah penuturan dan penjelasan guru secara lisan. Dalam pelaksanaannya guru dapat menggunakan alat bantu mengajar untuk memperjelas uraian yang disampaikan kepada murid -muridnya. Menurut Hanani (2014), pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada guru (Teacher centered approach) dikatakan demikian, sebab dalam strategi ini guru memegang peran yang sangat dominan. Melalui pembelajaran ini guru menyampaikan materi pembelajaran secara tersetruktur dengan harapan materi pelajaran yang

19 disampaikan itu dapat dikuasai siswa dengan baik. Fokus utama strategi ini adalah kemampuan akademik siswa. Adapun ciri-ciri pembelajaran konvensional menurut Ruseffendi (2006, hlm. 350) sebagai berikut: 1) Guru dianggap gudang ilmu, bertindak otoriter, serta mendominasi kelas, 2) Guru memberikan ilmu, membuktikan dalil-dalil, serta memberikan contohcontoh soal, 3) Murid bertindak pasif dan cenderung meniru pola-pola yang diberikan guru, 4) Murid-murid yang meniru cara-cara yang diberikan guru dianggap belajar berhasil, dan 5) Murid kurang diberi kesempatan untuk berinisiatif mencari jawaban sendiri, menemukan konsep, serta merumuskan dalil-dalil. Penelitian yang relevan tentang kemampuan pemecahan masalah matematis diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Zakariya (2015) populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Bina Dharma 2 Bandung tahun ajaran 2014/2015 dengan sampel yang dipilih dua kelas secara acak yaitu siswa kelas VII C sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas VII D sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian yang digunakan berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematika (pretest dan posttest), angket sikap, dan lembar observasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 22.0 for windows. Berdasarkan analisis data hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional, dan siswa bersikap positif terhadap pembelajaran dengan pendekatan metakognitif. Penelitian yang dilakukan oleh Amalia (dalam Hidayat, 2016, hlm. 2) terhadap siswa kelas X dan kelas XI pada tiga sekolah dengan cluster (tingkatan) yang berbeda menunjukan bahwa siswa kelas X dan kelas XI masih tergolong rendah dalam kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini dibuktikan dengan hasil tes, bahwa masih jauhnya skor yang diperoleh siswa kelas X dan kelas XI dari skor maksimum yang diharapkan. Siswa kelas X dari tiga sekolah

20 masing-masing hanya mampu mencapai skor 35, 17, dan 20 dari skor maksimum yang diharapkan yaitu 60, sedangkan untuk kelas XI dari tiga sekolah masingmasing hanya mampu mencapai skor 33, 31, dan 27 dari skor maksimum yang diharapkan yaitu 50, dan banyak hasil yang masih berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sekolah. Pada penelitian Setiawan (dalam Melianita, 2017, hlm. 3), yang diberikan kepada 33 siswa kelas VII di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat menunjukan rata-rata perolehan tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah 36,61 dari 100. Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih rendah, permasalahan tersebut mucul salah satunya dikarenakan siswa kurang mampu dalam memahami dan mengidentifikasi masalah dengan baik. E. Kerangka Pemikiran Kemampuan pemecahan masalah matematis masih rendah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Amalia (dalam Hidayat, 2016, hlm. 2) terhadap siswa kelas X dan kelas XI pada tiga sekolah dengan cluster (tingkatan) yang berbeda menunjukan bahwa siswa kelas X dan kelas XI masih tergolong rendah dalam kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini dibuktikan dengan hasil tes, bahwa masih jauhnya skor yang diperoleh siswa kelas X dan kelas XI dari skor maksimum yang diharapkan. Siswa kelas X dari tiga sekolah masingmasing hanya mampu mencapai skor 35, 17, dan 20 dari skor maksimum yang diharapkan yaitu 60, sedangkan untuk kelas XI dari tiga sekolah masing-masing hanya mampu mencapai skor 33, 31, dan 27 dari skor maksimum yang diharapkan yaitu 50, dan banyak hasil yang masih berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sekolah. Pada penelitian Setiawan (dalam Melianita, 2017, hlm. 3), yang diberikan kepada 33 siswa kelas VII di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat menunjukan rata-rata perolehan tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah 36,61 dari 100. Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih rendah, permasalahan

tersebut mucul salah satunya dikarenakan siswa kurang mampu dalam memahami dan mengidentifikasi masalah dengan baik. 21 Identifikasi Kondisi Awal Kelas eksperimen Kelas kontrol Siswa menggunakan model Discovery Learning Siswa menggunakan model pembelajaran konvensional Hasil kemampuan pemecahan masalah matematis dan selfconcept siswa Model Discovery Learning bisa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-concept siswa Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Pembelajaran Siswa didorong untuk mempunyai pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau pengetahuan bagi dirinya. Jadi, dalam discovery yang sangat penting adalah siswa sungguh terlibat pada persoalannya, menemukan prinsip-prinsip atau jawaban lewat suatu percobaan. Model pembelajaran Discovery merupakan komponen dari praktikum teknologi pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara

22 belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif. Menurut Encyclopedia of Educational Research, Discovery merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara termasuk mengajarkan keterampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Hal menarik dari model pembelajaran Discovery adalah selalu dalam situasi problem solving, dimana pelajar dihadapkan pada pengalaman sendiri dan pengetahuan awal mereka, untuk menemukan kebenaran atau pengetahuan baru yang harus dipelajari. Anggapan dasar dari model pembelajaran Discovery adalah bahwa apa yang dipelajari sendiri akan lebih dimengerti. Dalam model pembelajaran Discovery ini siswa berperan aktif dalam proses belajar dengan menjawab berbagai pertanyaan atau persoalan dan memecahkan persoalan untuk menemukan konsep dasar. Sedangkan guru berubah dari menyajikan informasi dan konsepnya, menjadi mengajak siswa bertanya, melihat dan mencari sendiri. Guru hanya memberikan pengarahan dan dalam model ini keaktifan siswa sangat penting. F. Asumsi dan Hipotesis Penelitian 1. Asumsi Menurut Ruseffendi (2010, hlm. 25) Asumsi adalah anggapan dasar mengenai peristiwa semestinya terjadi dan atau hakekat sesuatu yang sesuai sehingga hipotesisnya atau apa yang diduga akan terjadi itu, sesuai dengan hipotesis yang dirumuskan. Dengan demikian anggapan dasar dalam penelitian ini adalah: 1) Model pembelajaran yang tepat akan mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self Concept siswa. 2) Pembelajaran dengan model Discovery Learning memberikan kesempatan untuk siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self Concept dalam bermatematika. 2. Hipotesis Penelitian Menurut Sugiyono (2017, hlm. 84) Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah

23 menyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta-fakta emperis yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik. Jadi yang dimaksud hipotesis adalah jawaban sementara yang perlu diuji kebenarannya melalui penelitian. Berdasarkan hal tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: 1) Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh model Discovery Learning lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2) Self Concept siswa yang memperoleh model Discovery Learning lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 3) Terdapat korelasi positif antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self Concept siswa yang memperoleh model Discovery Learning.