I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara. Setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya agar dapat hidup makmur dan sejahtera. Kerjasama dalam bentuk hubungan dagang antarnegara sangat dibutuhkan oleh setiap negara. Hal ini disebabkan setiap negara tidak dapat menghasilkan semua barang dan jasa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Selain itu, disebabkan juga oleh adanya perbedaan sumberdaya yang dimiliki, iklim, letak geografis, jumlah penduduk, pengetahuan, dan teknologi. Alasan-alasan inilah yang menyebabkan munculnya perdagangan internasional. Sebagian besar negara di dunia ini menganut sistem perekonomian terbuka, mereka mengekspor barang dan jasa ke luar negeri, mengimpor barang dan jasa dari luar negeri, serta meminjam dan memberi pinjaman pada pasar keuangan dunia. Perdagangan merupakan sentral untuk menganalisis pembangunan ekonomi dan merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara. Perkebunan selama ini memegang peranan yang penting sebagai sumber penerimaan devisa negara. Tahun 2010 devisa dari perkebunan mencapai US$ 20 miliar, yang berasal dari kelapa sawit US$ 15,5 miliar, karet US$ 7,8 miliar dan kopi US$ 1,7 miliar. Selain itu terdapat juga penerimaan negara dari bea keluar masuk minyak kelapa sawit sebesar Rp 20 triliun dan bea keluar kakao sebesar Rp 615 miliar. Peranan penting perkebunan yang lain adalah sebagai penyerap tenaga kerja, dari sekitar 114 juta tenaga kerja nasional pada tahun 2009, sebesar 19,7 juta orang (17,32 persen) diantaranya merupakan tenaga kerja pada sub sektor perkebunan. Atau jika dikalkulasi di sektor pertanian yang dapat menyerap 43,03 juta orang, perkebunan dapat menyerap 45,78 persen tenaga kerja (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan, yang peranannya penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan
kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Kakao merupakan salah satu komoditi ekspor yang memiliki keunggulan komparatif yang menjadi modal utama yang harus ada pada suatu produk untuk memiliki kekuatan kompetitif. Permintaan ekspor kakao Indonesia oleh negara mitra dagang didominasi oleh biji kakao. Berdasarkan FAO 2009 (Food and Agriculture Organization of The United Nations) yang terdapat pada Tabel 1.1, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Hal ini tentu saja membuat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan berbagai produk olahan kakao. Rank Area Kuantitas (Ton) (1000 USD) Unit (Ton/1000 USD) 1 Pantai Gading 917.700 2.595.900 2.829 2 Ghana 498.308 1.151.370 2.311 3 Indonesia 439.305 1.087.490 2.475 4 Nigeria 247.000 599.000 2.425 5 Kamerun 193.973 540.281 2.785 6 Belanda 167.521 466.813 2.787 7 Ekuador 124.404 334.925 2.692 8 Belgia 97.578 296.651 3.04 9 Togo 119.500 285.480 2.389 10 Papua Nugini 79.091 191.951 2.427 Sumber: Food and Agriculture Organization of The United Nations (2009) Tabel 1.1. Negara Penghasil Biji Kakao Tertinggi di Dunia Tahun 2009 Sejak tahun 2002 hingga tahun 2010 ekspor komoditas kakao ke kawasan Uni Eropa menunjukkan trend yang berfluktuatif yang dapat dilihat pada tabel 1.3. Perkembangan ekspor kakao mengalami penurunan secara drastis sebesar 25,01 persen pada tahun 2006 dengan nilai 86,8 juta US$. Turunnya nilai ekspor kakao disinyalir oleh para analis bahwa bukan akibat produksi kakao sedang menurun, namun dapat dimungkinkan sebenarnya konsumsi di dalam negeri yang sedang meningkat (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Sementara itu, pada tahun 2008 terjadi peningkatan secara drastis sebesar 32,81 persen dengan nilai 149,9 juta US$.
2002 100.003.982-2003 92.562.034 7.44 2004 93.276.414 0.77 2005 115.813.149 24.16 2006 86.848.400 25.01 2007 112.900.064 29.99 2008 149.947.469 32.81 2009 124.878.377 16.72 2010 149.843.636 19.99 Sumber: COMTRADE (2012) Tabel 1.2. Perkembangan Ekspor Kakao ke Kawasan Uni Eropa Tahun 2002-2010 Total produksi dan luas panen kakao di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun kecenderungannya terus meningkat dari tahun 2002 sampai tahun 2010 dengan rata-rata peningkatannya sebesar 0,05 persen dan 0,12 persen per tahun. Tanaman kakao di Indonesia tersebar hampir di semua kepulauan, namun areal perkebunan kakao paling banyak berada di Pulau Sulawesi yakni 58 persen dari luasan pertamanan kakao nasional, yang menghasilkan 63 persen kakao nasional, sehingga dikenal sebagai sentra produksi kakao. Perkembangan produksi, luas panen, dan produktivitas kakao tahun 2002-2010 dapat dilihat pada tabel 1.2. Tahun Tahun Total Produksi (Ton) (000) Luas Panen (Ha) Produktivitas (Kg/Ha) 2002 571.155 914.051 620 2003 698.816 964.223 720 2004 691.704 1.090.960 630 2005 748.828 1.167.046 640 2006 769.386 1.320820 580 2007 740.006 1.379.279 530 2008 803.594 1.425.216 560 2009 809.583 1.587.136 510 2010 844.626 1.651.539 510 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2012) Tabel 1.3. Perkembangan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Kakao Tahun 2002-2010 (US$) % Perubahan
1.2. Perumusan Masalah Indonesia sebagai negara tropis dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, khususnya di bidang pertanian, membuat pemerintah memberi perhatian terhadap komoditi pertanian guna terwujudnya peningkatan produktivitas dan ekspor yang menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar dalam pembangunan. Komoditas kakao merupakan komoditas agroindustri yang mempunyai peranan penting terhadap kinerja ekspor non-migas Indonesia. Dan seperti yang telah dikemukakan pada latar belakang di bagian sebelumnya, Indonesia merupakan produsen komoditas kakao terbesar ketiga di dunia. Cita-cita menjadi produsen utama kakao dunia seyogyanya bagi Indonesia bukanlah menjadi hal yang mustahil untuk dicapai jika berbagai masalah yang dihadapi oleh perkebunan kakao dapat diatasi, misalnya masalah hama hama penggerek buah kakao (PBK), rendahnya kualitas kakao Indonesia serta belum berkembangnya industri hilir kakao. Selain itu, dengan luas lahan yang mencapai 1,5 juta Ha, bila produktifitas bisa mencapai 1 Ton/Ha saja, maka produksi kakao Indonesia mampu mencapai 1,5 Ton atau melebihi Pantai Gading yang mencapai 1,3 juta ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya : 1. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa? 2. Bagaimana daya saing perdagangan komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa. 2. Menganalisis daya saing perdagangan komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa.
1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang perdagangan komoditas kakao Indonesia. 2. Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan perdagangan. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis mengenai daya saing serta faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke sepuluh negara mitra dagang Uni Eropa. Negara mitra dagang tersebut adalah Belgium, Estonia, Prancis, Jerman, Italia, Lituania, Belanda, Polandia, Spanyol, dan Inggris yang tergabung di dalam ICCO (International Cocoa Organization) dan telah menjadi mitra dagang Indonesia selama periode 2002-2010. Klasifikasi yang digunakan adalah Harmonized System (HS) 18 untuk kakao (cocoa and cocoa preparations).