PENDAHULUAN. Tabel 1. Permasalahan Taman Nasional

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN KOLABORASI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI: KAJIAN MELALUI RISET AKSI ARIF ALIADI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Enok Yanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya tahun 1994, 1997, 1998, antara tahun , 2006 dan yang

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Luas Taman Nasional. Luas Resort TN Gunung Gede ha ha TN Alas Purwo ha ,67 ha TN Way Kambas 125.

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. apa prilaku yang mesti dilakukan oleh sesorang yang menduduki suatu posisi.

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

BAB I PENDAHULUAN. antara lain hutan produksi yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan taman nasional di Indonesia masih belum berhasil membuat kehidupan masyarakat di sekitarnya menjadi lebih baik. Jarang sekali ada kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat langsung dari keberadaan taman nasional. Mungkin di beberapa taman nasional, masyarakat masih bisa mengambil hasil hutan non-kayu dari dalam kawasan, namun mereka harus bersedia membayar sejumlah kompensasi kepada petugas kawasan atau mereka akan disebut sebagai pencuri, perambah, dan berbagai cap negatif lain. Keadaan ini membuat eksistensi taman nasional terancam. Effendi (2000) menyebutkan beberapa ancaman yang disebabkan oleh manusia di kawasan taman nasional di seluruh Indonesia. Bentuk-bentuk ancaman yang dilaporkan adalah pemukiman, perladangan, pertambangan, penggembalaan ternak, penggunaan lahan untuk bertani, tumpang tindih peruntukan, penebangan pohon, pengambilan hasil hutan non kayu, penangkapan ikan, perburuan, pengambilan biota laut, dan penebangan mangrove. Suporahardjo (2003) memberikan contoh permasalahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional (Tabel 1). Tabel 1. Permasalahan Taman Nasional Nama Taman Nasional Jenis Permasalah Volume Pemukiman liar Kebakaran Hutan 1. TN Gunung Halimun PETI Penebangan Liar Penyerobotan lahan 2. TN Ujung Kulon Pemukiman liar Perladangan liar 59 ha 42 ha 3 ha 47,75 ha 621,84 ha 2188,27 ha 1143,37 ha 3. TN Kerinci Seblat Pemukiman liar 1665 ha 5. TN Kutai Pemukiman dan perladangan liar 4977 ha Sumber: Suporahardjo (2003) Contoh serupa juga ditemui di negara lain. Armend dan Armend, (1992) dalam McNeely et al. (1994) yang mereview kawasan konservasi di 1

Amerika Selatan menemukan bahwa 86% dari semua kawasan konservasi telah dihuni oleh manusia yang melakukan aktivitas ekonomi. Keadaan demikianlah yang menyebabkan terjadinya banyak kasus di taman nasional. Machlis dan Technell (1985) dalam McNeely (1989) melaporkan bahwa dari 100 taman nasional yang diteliti di seluruh dunia, terdapat 1611 ancaman spesifik terhadap taman nasional, dimana 95% di antaranya terjadi di negara berkembang. Sepuluh ancaman yang paling berbahaya adalah pemindahan satwa liar yang ilegal, kurang memadainya manajemen personalia, penebangan pohon/vegetasi, erosi tanah, sikap-sikap lokal, konflik atas lahan, api, human harrasment of animals, kerusakan/kehilangan habitat, dan vegetation trampling. Hasil penelitian di atas juga diperkuat dengan penelitian oleh IUCN. Wells et.al. (1992) menyebutkan di dalam bukunya, bahwa pada awal tahun 1980-an, ada suatu studi yang dilakukan oleh IUCN (1984) yang meringkas jenis-jenis ancaman yang dihadapi oleh 43 kawasan konservasi yang paling terancam di dunia. Sepuluh ancaman terbesar adalah tidak memadainya sumberdaya untuk pengelolaan, perambahan, perubahan dalam tata air atau pembangunan dam, perburuan, adjacent land development, pembangunan internal yang tidak sesuai (misalnya jalan), pertambangan dan sumberdaya berpotensi tinggi, konflik ternak, kegiatan militer, dan kegiatan kehutanan. Permasalahan yang diungkap dimuka menunjukkan tidak adanya dukungan dari masyarakat, khususnya masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan konservasi. Tanpa dukungan masyarakat, petugas kawasan konservasi bekerja sendiri mengamankan kawasannya. Dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan fasilitas, maka tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin keamanan kawasan konservasi. Ancaman akan semakin besar. Sementara itu, banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak semua kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat bersifat merusak kawasan taman nasional. Agroforestri adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertentangan dengan tujuan konservasi. Muda (2005) menyatakan bahwa pola agroforest Napu ditemui di dalam kawasan TN Kelimutu (NTT) yang didominasi jenis tanaman kopi, dadap (pohon 2

pelindung), jeruk, dan salak. Keberadaan Napu sudah ada sebelum terjadinya penetapan TN Kelimutu. Agroforest Napu merupakan pola usaha tani yang tidak bertentangan dengan defisini dan tujuan pengelolaan taman nasional. Selanjutnya Muda (2005) menjelaskan bahwa agroforest Napu memberi keuntungan secara ekologis, ekonomis maupun sosial. Manfaat agroforestri juga diungkapkan oleh Aliadi dan Kaswinto (2000) yang menyatakan bahwa manfaat agroforestri tumbuhan obat yang dikembangkan di zona rehabilitasi TN Meru Betiri Jawa Timur sesuai dengan fungsi-fungsi taman nasional, yaitu fungsi taman nasional, yaitu (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (b) pengawetan plasma nutfah, dan (c) pelestarian pemanfaatan keragaman hayati. Permasalahan muncul ketika agroforestri yang telah dikembangkan oleh masyarakat di kawasan taman nasional tidak dapat diakomodir dalam pengelolaan taman nasional. Hal ini terjadi di TN Gunung Ciremai. Kawasan hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai pada tanggal 19 Oktober 2004, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500 ha, yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Pada awalnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 419/Kpts-II/1999, fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai seluas 15.518,23 Ha yang terletak di perbatasan Kabupaten Kuningan dan Majalengka serta merupakan gunung tertinggi di Propinsi Jawa Barat (3.078 m) ialah hutan lindung (7.748,75 Ha), hutan produksi (2.690,48 Ha), hutan produksi terbatas (4.943,62 Ha) dan areal penggunaan lain (135,38 Ha). Kemudian, pada tahun 2003 berubah menjadi hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts- II/2003 tanggal 4 Juli 2003. Hermawan et.al. (2005) menyebutkan bahwa sebanyak 47% lahan di Gunung Ciremai telah dikelola melalui sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Hasil penelitian Dewi (2006) di Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan menunjukkan bahwa kelompok rumah 3

tangga miskin dan menengah memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pengelolaan lahan PHBM, terlihat dari nilai persentase luasan asset lahan sebesar 39 % (rumah tangga miskin) dan 35 % (rumah tangga menengah). Kondisi ini terjadi dikarenakan keberadaan nilai asset lahan pribadi yang minin serta tidak mencukupi kebutuhan livelihood rumah tangga, akibatnya kelompok rumah tangga miskin dan menengah memiliki ketergantungan akan lahan PHBM. Untuk kelompok ruman tangga miskin, sebanyak 62 % pendapatan rumah tangga berasal dari hasil lahan seperti : padi gogo, melinjo, cengkeh dan kopi. Sedangkan untuk kelompok rumah tangga menengah, sebanyak 34 % pendapatan rumah tangga diperoleh dari hasil lahan, seperti : padi gogo, cengkeh, dan melinjo. Sumber pendapatan dari lahan merupakan hasil dari pola agroforestri yang dikembangkan masyarakat di dalam kawasan Gunung Ciremai, sebelum kawasan tsb. ditetapkan sebagai Taman Nasional. Perumusan Masalah Perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional berdasarkan SK Menhut No. 424/Menhut-II/2004, telah menyebabkan hilangnya akses masyarakat untuk mengelola kebun campuran yang telah dikembangkan sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya. Ketika status Gunung Ciremai masih hutan lindung dan dikelola oleh Perhutani, masyarakat telah membuat kesepakatan kerjasama dengan Perhutani yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK). Sampai tahun 2004, sudah ada 26 desa di sekitar Gunung Ciremai yang membuat NKB yang menyatakan bahwa wilayah hutan lindung yang termasuk dalam wilayah administrasi desa adalah obyek kerjasama. Total luas hutan lindung yang menjadi obyek kerjasama mencapai 8.645 hektar. Di antara 26 desa tersebut, 8 desa di antaranya telah membuat NPK yang merupakan perjanjian yang lebih detail antara lain mengatur bentuk pemanfaatan hutan lindung berupa agroforest atau kebun campuran. Perjanjian kerjasama berupa NKB dan NPK merupakan salah satu wujud kerjasama dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat 4

(PHBM). Perubahan status kawasan dari hutan lindung menjadi Taman Nasional berimplikasi pada perubahan pengelola hutan. Hutan lindung dikelola oleh Perhutani sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor kehutanan. Sedangkan Taman Nasional dikelola oleh Balai Taman Nasional yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan. Perubahan status kawasan hutan dan pengelola telah membuat masyarakat yang tinggal di 26 desa sekitar TN Gunung Ciremai menjadi resah dan bertanya-tanya. Keresahan dan pertanyaan yang paling banyak diutarakan adalah apakah PHBM yang selama ini dilakukan, dianggap merusak hutan sehingga pola pengelolaannya harus diganti dengan sistem Taman Nasional? Mengapa tidak ada proses evaluasi terlebih dahulu terhadap PHBM sebelum pola Taman Nasional ditetapkan sebagai pengganti? Masyarakat juga kuatir bahwa mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil dari tanaman yang mereka telah tanam sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya menjadi Taman Nasional. Kekuatiran mereka semakin besar ketika sejumlah pertanyaan tidak ada penjelasan atau jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain: Kalau misalnya pengelolaan TN Gunung Ciremai tidak bisa menerima PHBM sebagai pola pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, pola apakah yang bisa mengakomodir kepentingan masyarakat untuk tetap dapat memperoleh akses dan manfaat dari kawasan TN Gunung Ciremai? Bagaimana bentuk kemitraan dan kesepakatan kerjasama yang akan dikembangkan antara masyarakat dengan pengelola TN Gunung Ciremai? Keresahan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab menimbulkan ketidak pastian bagi masyarakat. Apabila ketidak pastian ini dibiarkan berlarut-larut bisa berakibat fatal karena menimbulkan sejumlah resiko. Resiko yang akan terjadi antara lain munculnya konflik secara terbuka maupun tersembunyi. Apabila resiko ini dibiarkan terjadi, maka taman nasional akan rusak. Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan seperti Gambar 1. 5

Aktifitas masyarakat di dalam kawasan taman nasional Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aktifitas masyarakat di dalam kawasan taman nasional Teori-teori konservasi dan kaitannya dengan aktifitas masyarakat di dalam kawasan taman nasional Hal-hal yang boleh dan dilarang menurut peraturan perundangan konservasi Hal-hal yang boleh dan dilarang menurut teori-teori konservasi Penerapan konservasi di Indonesia mengacu pada peraturan perundangan dan paragima konservasi konvensional, dimana penetapan dan pengelolaan taman nasional tidak mempertimbangkan aktifitas masyarakat yang telah dilakukan sebelum penetapan taman nasional Muncul ketidak jelasan bagi masyarakat mengenai hak-hak masyarakat dalam memanfaatkan lahan yang sudah diakses sebelum penetapan taman nasional Masyarakat kehilangan akses untuk memanfaatkan sumberdaya hutan di dalam kawasan taman nasional Status perjanjian antara masyarakat dengan pengelola hutan sebelumnya menjadi tidak jelas Masyarakat kehilangan peluang untuk memperoleh pendapatan Pendapatan masyarakat menurun Resiko-resiko yang akan muncul Konflik terbuka, misal perambahan, penebangan kayu, pemungutan hasil hutan non kayu, protes dengan demo, tindak kekerasan seperti merusak pos jaga, dll. Konflik tersembunyi, misal masyarakat menerima taman nasional tapi melakukan berbagai aksi penolakan diamdiam seperti memindahkan pal batas, mematikan bibit pohon untuk rehabilitasi, melakukan suap Akibat: Taman Nasional rusak, keanekaragaman hayati terancam Gambar 1. Kerangka Permasalahan 6

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk (a) mengembangkan proses penyelesaian konflik, dan (b) mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat member gambaran tentang konflik yang terjadi dan cara penyelesaian konflik melalui kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Gambaran tentang strategi kolaborasi yang dikembangkan, baik desain kolaborasi maupun tahapan membangun kolaborasi diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola taman nasional lain di Indonesia yang sedang menghadapi konflik. Penggunaan metode Riset Aksi (Action Research) dalam proses penyelesaian konflik dan pengembangan kolaborasi diharapkan dapat digunakan dalam pengelolaan taman nasional lain di Indonesia. 7