Lho, apa itu tak wajar? tanya Pita Loka pada sang penanya.



dokumen-dokumen yang mirip
Pertama Kali Aku Mengenalnya

"Jika saya begitu takut maka biarlah saya mati malam ini". Saya takut, tetapi saya tertantang. Bagaimanapun juga toh akhirnya kita harus mati.


PENJAGAL ANGIN. Tri Setyorini

Eliora. orang yang sedang menjalaninya. 1 Artinya, seberat-berat kami melihat sesuatu terjadi, lebih menyakitkan lagi bagi

Aku menoleh. Disana berdiri seorang pemuda berbadan tinggi yang sedang menenteng kantong belanjaan di tangan kirinya. Wajahnya cukup tampan.

LUCKY_PP UNTUKMU. Yang Bukan Siapa-Siapa. Diterbitkan secara mandiri. melalui Nulisbuku.com

ONIMUSHA Written by REZA FAHLEVI ( )

Buah Kejujuran Putri Amanda Karimatullah LL

Rangkuman Kata Mutiara Tentang Waktu

Tubuh-tubuh tanpa bayangan

1 Curahan Hati Sebatang Pohon Jati

KARENA KASIH Sebuah fragmen berdasarkan perumpamaan Anak Yang Hilang

Sebuah kata teman dan sahabat. Kata yang terasa sulit untuk memasuki kehidupanku. Kata yang mungkin suatu saat bisa saja meninggalkan bekas yang

Setelah para penyamun pergi, Alibaba memberanikan diri keluar dari tempat

Yang Mencinta dalam Diam

Pasang Surut Ombak Segare Sopianus Sauri XII IPA

Bayangan Merah di Laut dan Tempat Untuk Kembali:

Kura-kura dan Sepasang Itik

Selalu terbuka jelas mata ini Mata ciptaan-mu Aku berjalan lemah di atas hiasan Pijakan menuju satu berita gembira

Siang itu terasa sangat terik, kami merasa lelah

MUNGKIN KU SALAH MENGARTIKAN

Belajar Memahami Drama

Kalau kau mendengar sesuatu, itu akan hanya memudar dan menjadi bagian dari latar belakang.

Kesengsaraan adalah aku! Apakah ia kan mencampur kesedihannya atas jalinan persahabatan dengan sahabat lainnya yang serupa? Apakah ia tidak kesepian

SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.9

YUNUS. 1 Yunus 1. Yunus menolak perintah ALLAH untuk pergi memperingatkan penduduk kota Niniwe

Mata Tomi terbelalak, ketika menyadari dia berada

Semalam Aldi kurang tidur. Hujan deras ditambah. Rahasia Gudang Tua

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini? 16. Maka jawab Simon Petrus: Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!

Hari Raya Korban? (Idul Adha)

SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.6

Siapakah Yesus Kristus? (5/6)

YUNUS. 1 7/15/15 Yunus 1. Yunus menolak perintah Allah untuk pergi memperingatkan penduduk kota Niniwe

Perlu waktu bagi anak anak itu untuk menjadi bagian dari kegelapan sebelum pohon pohon terlihat lebih jelas. Sebelum semak semak tinggi terlihat

Kisah Dari Negeri Anggrek

Cermin. Luklukul Maknun

Suzy melangkahkan kaki memasuki lift gedung tempatnya bekerja. Beberapa orang wanita yang tidak ia kenal akrab mengikutinya dari belakang.

Seorang pria menyelinap keluar dari balik pohon, dan Endra mengenalinya sebagai pemandunya, Lole.

Hari Raya Korban? Hari Raya Korban? (Idul Adha) (Idul Adha) Yesus menyatakan:

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.7

yang paling tidak pernah luput dari kematian adalah cairan ini. Wanita itu meringis ngilu. Semua yang menimpanya kini sudah jelas bagian dari

TUGAS PERANCANGAN FILM KARTUN. Naskah Film Dan Sinopsis. Ber Ibu Seekor KUCING

Sepasang Sayap Malaikat

DIPA TRI WISTAPA MEMBILAS PILU. Diterbitkan secara mandiri. melalui Nulisbuku.com

Kierkegaard dan Sepotong Hati

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #38 oleh Chris McCann

Dan ia baru menyadari betapa salahnya dirinya. Disana, muncul dari sebelah kirinya, ia merasakan gerakan udara yang cepat. Angin yang berhembus

yang berbentuk datar bagian atasnya dengan sebuah ukiran kepala singa. Mereka yang berada di ruangan sudah berdiri di atas shinéga sejak dari tadi.

DI BALIK DINDING. Apa ya, yang berada di balik dinding itu?, selalu dan selalu dia bertanya-tanya

Ayo, minum, katanya seolah mengajaknya ikut minum bersamanya.

Sahabat Terbaik. Semoga lekas sembuh ya, Femii, Aldi memberi salam ramah. Kemarin di kelas sepi nggak ada kamu.

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.6

Loyalitas Tak Terbatas

Pantang Menyerah. Nasution 1. Zahra Kalilla Nasution Rigen Pratitisari Bahasa Indonesia 13 September 2011

Angin senja terasa kencang berembus di antara

PERANG BERUJUNG MAKAN BUAH SIMALAKAMA

Hidup ini singkat bagiku! Kebahagian saat ini hanyalah sementara, tak mudah bagiku untuk menjalani hidup normal layaknya sebagai manusia biasa.

JUDUL FILM: Aku Belum Mati tapi Tidak Hidup

5. Kisah-kisah dan Sejarah 5.7 Nabi Ya qub AS. dan Nabi Yusuf AS.

Tanggal kelima belas bulan Juni. Purnama bersinar

Ketika mimpi menjadi sebuah bayangan, aku menanyakan "kapan ini akan terwujud?" Mungkin nanti, ketika aku telah siap dalam segalagalanya

1 1 Dari Paul, Silwanus, dan Timotius.

Anak laki-laki itu segera mengangkat kakinya. Maaf, ujarnya, sementara si anak

CINTA TANPA DEFINISI 1 Agustus 2010

Chapter I. Saudaraku,

Lucu memang.. Aku masih bisa tersenyum manis, melihatmu disana tertawa lepas bersamanya.

2. Gadis yang Dijodohkan

Kisah Ashabul Kahfi. Adapun lokasi gua Ashabul Kahfi tersebut ada 3 pendapat yaitu:

Intro. Cupve - Izzi - Guardian

SYAIR KERINDUAN. Genre: Puisi-puisi cinta, sahabat, keluarga semuanya tentang CINTA dan CITA-CITA.

Raja Langit, Raja Bumi, dan Putri Bulan Kisah dari Sulawesi Selatan

Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika

Mukadimah. Aku bukan siapa-siapa Hanya mencoba untuk bercerita dari khayalan dan pengalaman

131313GAGAK. Oleh: Zahratul Wahdati. Aku ingin mengirim burung gagak ke rumahmu, Nek.

Mata ini sulit terpejam dan pendar-pendar rasa sakit di hati tidak dapat hilang menusuk dan menancap keras.

Hey, sedang apa kamu di situ teriak Very yang mengetahui ada orang didaerah kekuasaannya.

Mula Kata, Bismillah

Negeri Peri Di Tengah Hutan

My Love Just For You vol1

Written by Administrator Sunday, 17 November :31 - Last Updated Thursday, 27 March :12

BAGIAN PERTAMA. Kumpulan Kisah-Kisah Hikmah

Musim Semi Merah. Dyaz Afryanto

semoga hujan turun tepat waktu

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #24 oleh Chris McCann

Putri Sinar Alam dan Putri Sinar Kaca (Cerita Rakyat dari daerah Jabung)

BAB II RINGKASAN CERITA. sakit dan mengantarkan adik-adiknya ke sekolah. Karena sejak kecil Lina

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Daud Sang Raja (Bagian 1)

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Yehezkiel: Manusia Penglihatan

Sensualita Pengantin Langit

Sang Pangeran. Kinanti 1

Wonderheart ditinggali oleh manusia-manusia yang memiliki kepribadian baik. Tidak hanya itu, hampir semua dari mereka nampak cantik dan

Hari masih pagi di saat pertama kalinya Reandra mulai masuk sekolah setelah dua minggu lamanya libur kenaikan kelas. Hari ini adalah hari yang

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Yehezkiel: Manusia Penglihatan

Entahlah, suamiku. Aku juga tidak pernah berbuat jahat dan bahkan selalu rajin beribadah, jawab sang isteri sambil menahan air mata.

INSPIRATIF

Di Unduh dari : Bukupaket.com

Pekerjaan. Menghargai kelebihan orang lain merupakan wujud sikap memiliki harga diri

Prosa Tradisional (Hikayat Indera Nata)

Bagian 1 : Tak Kan Kubiarkan Kau Merebutnya Dariku!

Transkripsi:

Tujuh Manusia Harimau (5) Rahasia Kitab Tujuh Motinggo Busye Sejak ribuan lebah itu berhasil diusir oleh Pita Loka secara ajaib. Penduduk Kumayan merasa berhutang budi padanya. Tiap hari ada saja di antara penduduk yang datang ke rumah Pita Loka membawa beras, telur, padi, tebu, kelapa, minyak tanah, bahkan uang sebagai ucapan terimakasih Ki Putih Kelabu melihat perubahan gelagat Pita Loka setelah kehadiran tamu-tamu itu. Lalu dia menegur puterinya: Pita Loka, sikapmu berubah jadi angkuh kepada mereka. Bukankah sikap itu tidak baik? Memang itu saya sengaja, ayah, sahut Pita Loka. Disengaja? Ah itu lebih buruk lagi ujar Ki Putih Kelabu. Tapi akan lebih buruk lagi apabila terlalu saya layani penghormatan mereka. Saya akan dikultuskan mereka menjadi Manusia Sakti. Padahal saya tidak memiliki apa-apa. Kecuali menjadi manusia biasa. Ki Putih Kelabu tampak kecewa. Memang hari demi hari, setelah diselidikinya segala tingkah laku Pita Loka, puterinya tidak memperlihatkan perilaku yang ganjil-ganjil. Kembalinya dari Guha Lebah dan pernah termashur karena dianggap berhasil dalam ngelmu, lalu berhasilnya dia mengusir ribuan lebah yang sempat membuat penduduk Kumayan lumpuh dalam sakit dan panik itu, seakan-akan suatu peristiwa biasa saja. Yang paling mengejutkan Ki Putih Kelabu dan orang-orang di hari-hari belakangan ini adalah kegiatan Pita Loka mengurus legalisasi sekolahnya. Dia mundar-mandir ke Kakanwil PDK di Kumayan untuk mendaftarkan diri ikut ujian masuk ke SMA yang dibangun didesa itu. Kau mau bersekolah lagi, nak? tanya sang ayah. Lho, apa itu tak wajar? tanya Pita Loka pada sang penanya. Kau akan menjadi cerita dari mulut ke mulut bila bersekolah lagi, ujar sang ayah, Padahal di desa kita ini nama keluarga kita sedang naik. Dihormati. Dan terutama kau, sedang disegani. Percakapan itu terhenti, karena ada tamu. Itu Ki Lading Ganda bertamu lagi, ayah, ujar Pita Loka, Jika dia akan bertemu denganku, katakan aku sibukbelajar untuk ujian. Baik. kata ayah. yang lantas menuju beranda menyambut kedatangan Ki Lading Ganda. Setelah dipersilahkan duduk. Ki Lading Ganda bertanya: Mana Ki Pita Loka? Ki Pita Loka? Anda menyebutnya dengan Ki dihadapan namanya? tanya Ki Putih Kelabu.

Memang kini, mau tak mau, kita musti mengakui dia sebagai seorang Guru. Jadi pantas dia disebut Ki Pita Loka. Karena dia puteri anda, maka anda menganggap Ki Pita Loka sebagai manusia biasa-biasa saja. Padahal dia salah satu orang sakti di Kumayan ini. menggenapi yang enam. Aku merasa, karena yang enam telah berkurang satu, maka dia setidaknya menggantikan kedudukan Ki Karat untuk menjadi Ketua kita. Jabatan ini kuanggap wajar, dan aku telah merembugkannya dengan tiga harimau Kumayan lainnya. Ki Putih Kelabu sebetulnya tak dapat mengelak kenyataan yang dikemukakan oleh Ki Lading Ganda ini. Dia tercenung beberapa saat, kamudian berkata: Dia sulit untuk diajak berunding! Memang begitulah watak dari tiap Guru Besar. Puterimu itu Guru Besar, bukan sekedar anak perawan biasa, kata Ki Lading Ganda. Tapi bagaimana akalku? tanya Ki Putih Kelabu. Panggil dia! Katakan Ki Lading Ganda ingin bicara sebentar dengan Guru Besar Pita Loka yang dia hormati! Ki Putih Kelabu lalu masuk ke kamar Pita Loka. Memang Pita Loka sedang menghadapi beberapa buku. Pita Loka bertanya: Sudah pulangkah Ki Lading Ganda ayah? Belum. Dia mohon menghadap kau! MENGHADAP? Apa saya ini orang berkedudukan tinggi sampai seorang Ki Lading Ganda mau menghadap saya? Ah, katakan aku sibuk, ayah? Ujar Pita Loka dan mulai menekuni buku Fisika. Aku telah gagal membujuknya, kata Ki Putih Kelabu. Tapi ini penting. Katakan pada Guru Besar itu, bahwa desa Kumayan sedang terancam. Katakan pada beliau,aku butuh seorang penafsir mimpi. Dan itu tidak lain kecuali Ki Pita Loka, kata Ki Lading Ganda serius. Setelah memberitahukan pada Pita Loka. barulahah Pita Loka keluar dari kamarnya, lalu menerima tamunya. Sang Tamu, salah seorang dari Enam Harimau Kumayan, menghatur sembah pada Pita Loka. Lalu dia menceritakan mimpinya itu. Seorang wanita berpedang emas, menyatakan diri sebagai Ki Ratu Turki, memaklumkan akan menyerang lima harimau Kumayan serta keturunannya. Saya hanya ingin tahu takwil dari mimpi ini, kata Ki Lading Ganda. Sebenarnya yang ahli mimpi itu Guru Gumara, kata Ki Pita Loka.

Ki Lading Ganda maklum, bahwa ucapan Ki Pita Loka itu adalah pengertian lain yang halus, bahwa dia menolak ajakan itu. Tapi dia tidak boleh berkecil hati, selagi hatinya masih menganggap Ki Pita Loka sebagai Guru Besar. Dengan kecewa, dia menyatakan pamit. Namun sempat bertanya: Di mana Guru Gumara sekarang ini? Seingat saya terakhir kali dia berada di Bukit Lebah. Setelah itu saya tidak tahu beliau pergi ke mana. Desa kita semakin aneh. Tiga hari yang lalu ada seorang lelaki compangcamping. Duduk di gardu. Aku menyapanya. Dia diam. Gerak-geriknya memperlihatkan dirinya seorang yang berilmu. Ki Pita Loka tertarik, lalu bertanya: Bapak tidak menanyakan namanya? Ada. Siapa namanya? Disebutnya Dasa Laksana. Melihat nama begini, aku makin yakin dia orang berilmu, setidaknya sedang ngelmu. Atau menyamar. Dia menanyakan sesuatu? tanya Pita Loka. Justru pertanyaannya inilah yang kuanggap ada kaitannya dengan mimpiku itu, kata Ki Lading Ganda, yang kali ini dipersilahkan duduk kembali oleh Pita Loka. Apa yang dia tanyakan? tanya Pita Loka. Alamat pemilik Kitab Tujuh, jawab Ki Lading Ganda. Itu saya baru dengar, kata Pita Loka. Tapi apa jawab Bapak? Saya tak menjawabnya. Itulah sebabnya saya ke sini. Kau yang telah berhadapan dengan Ki Tunggal, Ki Rotan maupun Ki Ibrahim Arkam, setidaknya pernah mendengar nama Kitab Tujuh itu. Dan pengembara tak dikenal itu minta dengan sopan kepadaku. agar diizinkan mendapatkan sebatang tebu merah di kebun Katib Endah. Kuizinkan saja. Lalu dia numpang tidur di gardu itu.tapi keesokan harinya dia menghilang. Lalu aku bermimpi bertemu dengan Ki Ratu Turki yang berpedang, yang mengumumkan akan menyerang Kumayan dan menghabiskan lima Harimau Kumayan serta keturunannya! Wajah Ki Lading Ganda berkeringat pertanda dia tak berdusta.

Semoga saja dalam waktu tak lama, Guru Gumara sudah berada di Kumayan, kata Pita Loka. Aku mengusulkan, antara kau dan dia dijalin satu perkawinan yang syah. Supaya desa kita menjadi kuat karena dipagari oleh 7 harimau, kata Ki Lading Ganda dengan nada memohon. Pita Loka hanya tersenyum simpul. Lalu Ki Lading Ganda melanjutkan: Perkawinan itu akan direstui seluruh guru di Kumayan, dan, kukira Ayahmu yang terhormat ini. Bukan begitu Ki Putih Kelabu? dan ditatapnya Ki Putih Kelabu, yang melirik pada Pita Loka. Jika memang itu jodoh. tak ada persoalan. kata Ki Pita Loka jujur. Aku berani menyatakannya, karena sebelum Ki Gumara meninggalkan Kumayan, dia berpamitan kepada Lima Harimau di sini, terakhir padaku. Dia menyebutkan, dia minta restu karena akan menjemput Pita Loka dan adiknya, Harwati. Kami menafsirkan, bahwa islilah menjemput kau itu berarti akan melamarmu dan memperisteri anda. Dan Harwati kuanggap sebagai pengiring calon pengantin. Bukankah akan menjadi hebat, keturunan Ki Karat menjalin hubungan darah dengan keturunan Ki Putih Kelabu? Baiklah itu kita bicarakan di kemudian hari. Sekarang ini saya akan siap ujian masuk ke SMA. Lebih tiga tahun saya tak menyentuh buku pelajaran sekolah. Hal ini sama pentingnya dengan maklumat penyerbuan Ki Ratu Turki dalam mimpi tuan itu, Tuan Guru Lading Ganda. Jadi saya pulang hampa, tanpa membawa takwil mimpi itu? tanya Ki Lading Ganda. Sudah saya anjurkan tuan bersabar sampai kembalinya Guru Gumara, kata Pita Loka. Jika dia tidak kembali? tanya Ki Lading Ganda. Kita berpegang pada pepatah nenek moyang saja: Musuh pantang dicari, tapi jika datang pantang dielakkan. Bukan begitu, ayah? Pita Loka menoleh pada ayahnya, yang kemudian mengangguk-angguk ta zim... Jadi wajar, Ki Putih Kelabu, jika saya menyebut puteri tuan ini sebagai Guru Besar. Guru besar hanya mengurus soal-soal yang besar. Tapi maaf, Ki Pita Loka... saya pun tidak bisa memperoleh pengetahuan mengenai Kitab Tujuh? Kitab Tujuh? Pita Loka kembali bertanya, Saya malah baru mendengarnya sekali ini, dari anda! Tidak anda tanyakan perihal Kitab Tujuh itu kepada orang pengembara itu? Rasanya, tidak perlu. Kalau dia mencari kitab itu ke Kumayan sini, itu berarti kitab itu ada di sini, kata Ki Lading Ganda.

Mendengar itu Pita Loka tersenyum. Bahkan memberi jawaban yang secara disengaja mengecewakan: Biarpun di sini, misalnya, saya tidak tertarik dengan masalah-masalah kesaktian lagi. Lebih seribu hari saya tekun dalam dunia begitu. Setelah perginya Ki Lading Ganda, terjadilah pertengkaran. Ki Putih Kelabu mengecam Pita Loka: Kau merendah. Kadang, merendah yang berkelebihan sama saja denqan sikap tinggi hati! Itu perasaan ayah. Orang perasa selalu kurang suka berfikir. Kau anggap aku goblok? tanya sang ayah. Memang begitu. Otak ditaruh Tuhan letaknya dalam kepala. Kepala di atas. Dan hati, dalam dada. Letaknya dibawah kepala. Saya ingin penduduk Kumayan ini, termasuk ayah dan Ki Lading Ganda lebih mengutamakan otak dari hati. Biarpun hati berkata begini begitu, tapi yang memutuskan haruslah otak. Di bagian yang tertinggi dari hidup manusia, kata Pita Loka. Tapi gadis ini menyesal melihat ayahnya murung di sore hari itu. Dan untuk mengobati hati ayah yang luka, malamnya dia suguhi makanan lezat yang ia masak sendiri dengan tekun. Ayahnya berlinang airmata ketika menikmati hidangan malam. Tapi muncul lagi tamu. Lagi lagi, tamu itu Ki Lading Ganda. Perubahan tampak pada sikap menerima tamu yang diperlihatkan Pita Loka. Lelaki aneh itu muncul lagi, kata Ki Lading Ganda. Di mana dia? tanya Pita Loka kaget. Di gardu itu. Apa katanya? Dia minta padaku, agar dia diperkenalkan pada Ki Pita Loka, ujar sang guru. Ah, saya tak kenal dia. ujar Pita Loka berdusta. Anda tak kenal manusia yang bernama Dasa Laksana? Baiklah, tapi apa kepentingannya? tanya Pita Loka.

Dia akan menyampaikan suatu pesan. Dan itu harus tuan guru sendiri yang mendengarnya. kata Ki Lading Ganda. Mendengar ucapan itu, meremang bulu kuduk Pita Loka. Dia lalu bertanya: Di mana dia sekarang? Masih di gardu kata Ki Lading Ganda. Baik. Saya akan ke sana, kata Ki Pita Loka. Bersama saya? Tentu. Bersama tuan guru, kata Ki Lading Ganda. Pita Loka lalu berkata pada ayahnya : Sebaiknya ayah tak ikut. Ki Putih Kelabu tentu merasa kecewa. Pita Loka berjalan dengan langkah tegap bersama Ki Lading Ganda. Menjelang sampai ke gardu, dia melihat begitu banyak anak-anak dan orang dewasa yang berkumpul. Pita Loka memberi isyarat agar mereka menepi. Dan mereka patuh. Yang didapatinya adalah Dasa Laksana yang tubuhnya amat kotor dengan pakaian hitam compang - camping. Begitu Dasa Laksana melihat kehadiran Ki Pita Loka, dia langsung menyeruduk ke kaki dan mencium jari-jari kakinya seraya berkata: Ampuni saya, Guru. Saya ke sini sekedar lewat. Dan ingin memberitahukan, bahwa Ki Ratu Turki akan menyerang desa ini secara mengerikan! Siapa dia? Anda lebih tahu, Guru! Jika anda bertemu dengan dia, pesankan padanya agar dia membatalkan maksudnya sebelum dirinya celaka, wajah Pita Loka berubah menjadi penuh wibawa karena dipenuhi perasaan sabar yang berjuta. Dia akan merebut Kitab Tujuh itu, kata Dasa Laksana lagi. KITAB TUJUH? Pita Loka terheran. Hanya anda yang mengetahuinya. Tapi juga Ki Ratu Turki?. Baik. Kalau demikian, kamu akan meninggalkan Kumayan. Silahkan berangkat. Tapi saya memohon sesuatu, kata Dasa Laksana. Mohonlah pada Tuhan. Jangan pada saya. Saya manusia biasa, ujar Pita Loka.

Ucapannya ini disambut orang-orang dengan dengung suara kagum. Mereka kagum. orang yang mereka kenal sakti, hanya mengaku manusia biasa. Namun telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa dia begitu dihormati, bahkan oleh Ki Lading Ganda yang terkenal sombong itu, yang bertindak jadi pengawalnya malah. Sementara itu, bagai seorang sinting yang jadi tontonan rakyat. Dasa Laksana mengunyah tebu dan pamitan lagi. Secara menyembah di duli kaki Pita Loka. Dia kemudian berlalu diiringi anak-anak dan orang dewasa. Ternyata dia belum meninggalkan Kumayan. Sebab dia pergi ke Bukit Kumayan yang terdiri dari batu-batuan menyan yang memancarkan bau harum menusuk hidung. Batu-batuan menyan itu memancarkan sinar oleh kerlipan pecahan sudut-sudutnya. Beberapa orang mulai meninggalkan dia. Tapi malam itu muncullah Ki Lading Ganda yang menggertaknya: Hai, bukankah kau mesti pergi dari sini? MENDENGAR bentakan Ki Lading Ganda itu, mendadak Dasa Laksana berdiri dengan berkelebat. Dia tampak siap tempur. Keadaannya yang tampak lemah bagai orang sinting, berubah gagah perkasa. Jangan gertak aku dengan suara bentakmu. Kalau memang aku bersalah, tampilkan golokmu yang terkenal dengan sebutan Lading Ganda itu! tantang Dasa Laksana. Tapi Ki Lading Ganda menjadi waspada. Dia tak segera naik pitam sebagaimana biasanya. Dia lalu meyakini dirinya, bahwa antara pengembara tak dikenalnya ini, ada hubungan perguruan dengan Ki Pita Loka. Padahal dia sudah menaruh hormat pada Ki Pita Loka. Saudara Dasa Laksana. Saya heran mengapa anda belum juga meninggalkan Kumayan? Karena saya kecewa dengan Sang Guru. Desa ini akan hancur, katanya. Berikan padaku keterangan kehebatan Ki Ratu Turki. Dia memiliki pedang. tapi lebih dari itu dia dia dikawal oleh seorang lelaki dengan ilmu yang amat tinggi. Tahu anda siapa lelaki itu? tanya Ki Lading Ganda. Ki Gumara. Ki Gumara? Jadi dia meninggalkan Kumayan ini untuk bersekutu dengan Ki Ratu Turki itu?

Ya. Dua orang inilah yang akan membantai guru saya yang terhormat, sehingga saya harus melaporkannya. Saya sendiri orang hina dina, kata pengembara kotor menjijikkan itu. Apa tujuannya menghancurkan desa kami ini? Dia hanya ingin memiliki Kitab Tujuh, yang katanya disimpan oleh Ki Pita Loka. Kalau kitab itu tidak diserahkan, dua-duanya akan melakukan pembantaian besar-besaran terhadap 5 harimau Kumayan tanpa ampunan. Kalau begitu, anda utusan mereka! tuduh Ki LadingGanda. Saya bukan utusan. Jika saya gagal mendapatkan Kitab Tujuh itu, saya akan dipenggal. Saya hanya orang hina yang terancam. Maka saya tidak berani kembali. Tapi jika dalam 7 hari saya tidak kembali, penyerbuan itu akan terjadi. Ki Lading Ganda lantas berubah sikap. Dia pun merasa ingin memiliki Kitab Tujuh itu. Kalau begitu, jika anda masih di Kumayan ini selama 7 hari berikut ini, anda akan jadi biangkeladi bagi kami. Secara baik-baik, seperti juga gurumu Ki Pita Loka menyarankan, sebaiknya engkau pergi tinggalkan Kumayan ini. Tidak, bantah pengembara kotor itu. Kalau begitu anda membangkang atas perintah salah satu penguasa desa ini. Kamu sudah kenal pada saya. Dan apa senjata saya. Hanya karena kamu bekas murid Ki Pita Loka sajalah maka saya tak sudi melakukan kekerasan. Silahkan main keras pada saya, tantang Dasa Laksana. Jangan kau panasi hatiku, wahai tamu tak dikenal. Kuulangi perintahku yang tulus, agar anda meninggalkan Kumayan ini sebelum golokku aku cabut! Silahkan cabut! tantang Dasa Laksana. Dalam sekelebatan. Ki Lading Ganda mencabut goloknya yang bermata dua. Dia permainkan senjata saktinya untuk menakut-nakuti lawannya. Kejadian ini disaksikan dari tempat gelap oleh Pita Loka. Ketika pertempuran itu barusan saja akan segera dimulai. Ki Lading Ganda yang sudah melakukan loncatan pancingan, menghunjam langkah berbalik mendengar teriakan dari tempat kelam. Hentikan, Ki Lading! seru Pita Loka.

Wibawa langkah-langkah kependekarannya segera tampil. Pita Loka membuat Dasa Laksana surut, begitu pun Ki Lading Ganda. Tuan Guru, ujarnya pada Ki Lading Ganda. Anda tak usah melayani seorang yang ilmunya rendah dan berjiwa laknat. Dia cukup diperlakukan ibarat seekor lalat. Guru Besar Dasa Laksana segera menyungkur diri ke duli jari kaki Pita Loka dan dengan nada berhiba-hiba dia berkata: Ampuni segala kesalahan saya yang lalu, semasa berguru pada anda. Saya harap, sekarang ini janganlah saya diperlakukan sebagai pengkhianat. Saya ingin bermukim di Kumayan ini hanya untuk mencari keselamatan diri saya dari ancaman Ki Ratu Turki dan pengawalnya Ki Gumara. Omong kosong. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup aku tak percaya lagi padamu, Dasa Laksana! Kamu adalah korban laknat binatang-binatang rimba yang pernah engkau bunuh. Percayalah, matimu nanti pun tidak lebih dari matinya seekor binatang yang pernah kau bunuh. Ayo angkat kaki dari desa kami yang telah aman tenteram ini! bentak Pita Loka dengan nada suara gemuruh. Tentu saja Ki Lading Ganda terkejut atas sikap tegas Ki Pita Loka. Terutama tuduhan blak-blakan pada diri pengembara aneh yang hampir saja dihajarnya. Dan dia lebih takjub lagi ketika melihat pengembara sinting itu segera enyah meninggalkan Bukit Kumayan. Ki Lading Ganda melangkah sopan menghampiri Ki Pita Loka. Lalu bertanya sepertinya seorang murid bertanya pada sang guru: Ki Guru, apa artinya ini semua? Mestinya tuan sudah maklum. Ingat kembali yang tadi diucapkan Dasa Laksana? Saya mendengarkannya di balik semak, sejak tuan guru muncul menemuinya lalu mendengarkan apa ocehannya. Semuanya itu tidak usah dipercayai. Dia hanya datang untuk mengacau perasaan kita semua. Tapi Ki Guru Pita Loka, ujar Ki Lading Ganda mendekat lagi, Saya rasa ada benarnya jika dia katakan, bahwa Ki Gumara melibatkan diri dengan Ki Ratu Turki. Ki Pita Loka terdiam sesaat. Kemudian dia berkata: Anda seorang tua. Anda tak usah risau dan kuatir apa yang diperbuat anakanakmuda. Seorang pendekar dihormati dan pantas dikuatirkan apabila ilmunya tinggi, dan sementara itu usianya dan pengalamannya besar. Maksud tuan guru muda... saya tak usah merisaukan berita mengenai Ki

Gumara? Pendeknya, dia bukan seperti yang anda duga, Guru Tua, ujar Pita Loka lalu memberi tanda pamit dengan kedua telapak tangan bersungkem ke arah Ki Lading Ganda. Ki Lading Ganda pulang dengan pikiran kacau. Tetapi, Pita Loka pun mulai jadi bimbang. Ayahnya mengetuk pintu kamarnya. Setelah masuk, dia bertanya: Di mana-mana warung yang aku kunjungi, malam ini ada kesan penduduk semakin resah. Apa yang diucapkan pengembara fakir itu, kelihatannya mempengaruhi rakyat. Apa pendapatmu? Saya tak punya pendapat, kata Ki Pita Loka. Itu tak baik. Kau lebih mengetahui dari kami. Tapi kau berlagak tenang. Ceritakanlah pada ayahmu, apa sebenarnya yang akan terjadi? Kenapa Kitab Tujuh itu dicari-cari dan bakal menimbulkan bencana? Ki Putih Kelabu menjadi geram karena Pita Loka hanya membungkam. Malah dia lebih jengkel ketika Pita Loka berkata: Saya malam ini belajar. Karena besok akan ujian ekstension Baiklah. Itulah perbedaan ilmuwan dengan pendekar. Ilmuwan sibuk meramu jamu, kendati dunia sekeliling kebakaran dia akan terus meramu jamu. Tapi seorang pendekar akan melempar gelas jamu bila teriadi kehebohan, kata Ki Putih Kelabu dengan nada mendongkol. Sebenarnya orangtua itu sedang memancing sikap Pita Loka. Dia menganggap, Pita Loka berubah sikap untuk menjadi pelajar sekolah SMA hanyalah untuk menutupi ilmu yang telah dia petik selama 1000 hari dari Bukit Lebah. Yang dia inginkan dari Pita Loka adalah reaksi. Tapi Pita Loka kelihatan tidak perduli. Dia juga tidak perduli ketika bergerombol anak-anak muda yang ikut ujian ekstension SMA menanyakan isyu terancamnya desa Kumayan. Itu pekerjaan para pendekar. Kita bukan pendekar. Kita calon pelajar. Pelajar SMA. Buat apa kita sibuk - sibuk. Kita tunggu saja bel ujian berbunyi, lalu siapkan diri untuk menjawab soal-soal. kata Pita Loka. Ketika bel ujian berbunyi, Pita Loka memasuki lokal untuk ujian. Seluruh calon murid SMA yang mendaftar ada 14 orang, termasuk Pita Loka. Ujian ini diberikan kesempatan oleh Kakanwil untuk mengurangi banyaknya anak-anak muda liar yang suka bergerombol. Tapi Pita Loka tidak sedikit pun memperlihatkan tanda-tanda berpura-pura. Dia tak menunjukkan tanda kependekaran sedikit pun kecuali saat dia mengusir lebah-lebah dulu dan apa yang dia perbuat semalam, sewaktu mengusir Dasa Laksana. Tetapi menjelang bel ujian hari itu berbunyi, seorang penduduk minta ijin

pada pengawas ujian untuk menemui Pita Loka. Pita Loka menyelesaikan dua soal lagi, baru kemudian menemui Pak Tenong itu. Dia bertanya: Ada apa menemui saya, Pak? Anakku Daim diculik! Apakah bisa membantu? tanya Pak Tenong. Jangan minta bantuan saya. Saya hanya manusia biasa,pak. Mintalah bantuan Ki Lading Ganda. Dia menyuruh saya ke sini, Ki Pita Loka. Dia katakan, inilah awal dari serangan nyata yang akan dibuktikan Ki Ratu Turki. Anak Rekasa juga diculik. Ada tujuh anak remaja di sini kena culik. Tapi saya lima hari ini menghadapi ujian, Pak. Tak mungkin saya dapat membantu. Maafkan saya, kata Ki Pita Loka. Orang yang tertimpa musibah itu menangis meratap, berlutut di hadapan Pita Loka. Tapi Pita Loka hanya berkata: Jangan jadikan saya ini dewa. Sungguh mati, saya tak punya daya kekuatan apa-apa. Tapi, hati Pita Loka betul-betul tergugah setelah pada malam harinya muncul Paman Kurukjahi. Dia membawa sepotong tangan buntung dan berkata: Wahai pendekar muda, apa perasaanmu satelah melihat sepotong tangan ini?. Tampak darah membersit di wajah Pita Loka, seakan akan dia tak dapat menahan amarahnya. Tangan itu begitu dia kenal, tangan saudara sepupunya yang paling pandai bermain gitar dan kecapi. Karena cincin yang kukenal masih ada di jari tangan ini, aku tahu ini tangan sepupuku Agung Kifli. Di mana tangan ini paman temukan? tanya Pita Loka dengan mata tak berkejap. Kurujakhi bertanya pula; Apa perlu kusebutkan tempatnya? Mana yang penting, tangan anakku atau orang yang memotongnya? Kalau begitu saya ditantang, kata Pita Loka. Bukankah sejak beberapa hari ini kau ditantang? Rakyat sudah cemas sejak tersebarnya berita, bahwa bumi Kumayan akan dihancurkan oleh Ki Ratu Turki. Dan aku dengar dia pun bekerja sama dengan anak Ki Karat dari istrinya yang lain, seorang guru yang pernah dihormati!. Di mana anda berdiri dalam ancaman ini? Saya berdiri di bumi kelahiranku, Paman! Nah, bangkitlah! Ajaklah semua harimau-harimau Kumayan ini, termasuk ayahmu, untuk menyerang musuh terlebih dahulu sebelum kita ditakuttakutinya dengan penculikan dan potong tangan!

Pita Loka diam. Jadi paman menganggap Pedang Turki yang memotong tangan sepupuku? tanya Pita Loka dengan tatapan mata menantang. Ya! Bahkan aku tahu di mana bajingan bajingan itu bermukim! Paman salah, kata Pita Loka. Saya berani menjamin, pedang Turki tidak melakukan pemotongan sekasar ini. Tangan ini ditebas oleh golok yang kasar, ini perbuatan adu domba, supaya kita mendapat kesan bahwa Ki Ralu Turki maupun Guru Gumara adalah pendekar-pendekar kejam. Tidak. Aku tidak percaya bahwa penculikan maupun kekejaman begini dilakukan oleh pendekar kelas satu. Ini kerja pendekar kelas kambing! Dan tanpa diduga sedikit pun Pita Loka seakan akan menjelma menjadi seorang cekatan dengan dua langkah lompatan langsung melocat ke halaman. Pita Loka tidak bersenjata. Dengan tangan kosong seakan - akan dia menjadi angin limbubu yang kecepatan larinya sudah tak dapat dilihat oleh mata lagi. Dan orang tak sempat mengetahui, bahwa dia sudah berlompatan dari dahan ke dahan begitu lincahnya melebihi lincahnya seekor simpai hutan. Dan ketika dia tiba di perbatasan desa Kumayan, menghadap ke Bukit Anggun dia terhenti sejenak. Dia melihat di situ asap api. Pertanda di situ ada sebuah perkampungan. Dia tiba-tiba yakin, bahwa dia harus kesana! Dia yakin, orang yang dia cari pasti ada di desa Anggun. Desa ini tempat pelarian penjahat kotor, bajingan tengik, dan para pendekar yang gagal mengguru karena ingin cepat pandai. Dia tak ingin muncul di desa Anggun ketika hari sudah terang. Dia ingin menyergap musuh yang dicurigainya justru menjelang datangnya pagi hari. Desa Anggun sekelilingnya dipagari oleh belahan bambu, dan dibuat pula selokan -selokan penjebak. Begitu dia memasuki pintu gerbang desa, Pita Loka menyepak pagar itu dengan obrak-abrik bagai orang kesetanan. Beberapa pohon dia terjang hingga roboh. Dan anjing penjaga yang menyeruduk padanya dia terjang dengan tendangan yang mengerikan, anj ing itu bagai terlempar terbang ke bubungan rumah. Dan seluruh desa terbangun. Aku. Pita Loka dari desa Kumayan, menuntut nyawa satu orang biadab yang sedang aku cari! teriak Pita Loka dengan berkacak pinggang. Kebenciannya sudah seleher, tinggal muntah saja lagi. Di sini tak ada kepala desa. Yang ada orang pemberani yang paling banyak membunuh dan paling jahat dan dia diberi gelar Tua Anggun. Nah, Pita Loka dengan sikap agak sabar melihat munculnya Tua Anggun. Siapa yang tuan cari? tanya Tua Anggun.

Kuharap, sebelum matahari terbit, serahkan nyawa dan badan Dasa Laksana. Hidup atau mati, serahkan 17 remaja yang dia culik dan potong tangannya, termasuk sepupu saya Agung Kifli! Suara teriak Ki Pita Loka cukup menggentarkan perasaan Raja Penjahat itu. Dia berkata: Aku kenal nama tuan guru dari si busuk yang berlindung di sini itu. Kami menamakan dia itu Si Busuk. Diakah yang tuan muda inginkan? Ya. Dia Hidup atau mati! bentak Pita Loka. Dan dalam sekelebatan Tua Anggun sudah menyeret Dasa Laksana, ketika dia terkulai sehabis semalam suntuk berbuat homoseksual dengan pemuda yang dia culik. Ada tiga yang di potong tangannya karena menolak sanggama itu. DENGAN sangat penasaran, begitu Dasa Laksana diserahkan ke hadapan Pita Loka, maka Ki Pita Loka ngamuk dengan tiada belas kasihan. Ketika kepala Dasa menelangsa menghatur sembah. Jari-jari tangan yang menghatur sembah itu disikatnya dengan sabetan sepakan dahsyat... Dasa Laksana menjerit kesakitan. Dan dia merangkak lagi, menghatur sembah lagi. Ki Pita Loka menyabet lagi dengan sepakan hingga Dasa Laksana melintir, berguling-guling dengan menjerit. Tapi Dasa Laksana nelangsa lagi dengan merangkak. Kali inilah Ki Pita Loka tidak bisa menahan amarahnya. Diangkatnya tubuh Dasa Laksana yang sedang merangkak itu, lalu dia lemparkan kepagar-pagar bambu yang jadi pembatas desa Anggun itu. Pagar itu ambruk, dan tubuh Dasa Laksana terlempar. Seluruh penduduk yang terdiri dari keluarga bajingan - bajingan perampok penyamun pun pada berkeluaran. Tapi Dasa Laksana bagai orang mabuk terhuyung menghampiri Ki Pita Loka lagi. Dia merangkak dan menghatur sembahnya lagi. Matanya melihat pada penduduk,biang kejahatan itu dengan mohon dikasihani. Tapi Ki Pita Loka, tanpa kasihan menyergapnya dengan kedua tangan, mengangkatnya, lalu melemparnya bagai melempar karung basah. Tubuh Dasa menghajar penduduk dan mereka berteriak secara serentak: Bunuh pendekar sinting itu! Saudara sepupu Ki Pita Loka yang bertangan buntung - Agung Kifli - lalu menyergap Pita Loka: Ayoh lari, sanak! Tidak!, ujar Ki Pita Loka dengan menebah dada dan berseru kepada penduduk Anggun: Ayoh siapa yang siap mau membunuh pendekar sinting, mari serahkan nyawa kalian! Dalam keadaan mereka ragu, dengan satu putaran gasing gila. Ki Pita Loka menyeruduk dengan melakukan tendangan putaran bertubi-tubi ke arah muka, tanpa pilih bulu, sehingga mereka ambruk satu demi satu. Sungguh suatu perkelahian tunggal yang teramat seru, satu pendekar lawan 40

orang keluarga penjahat. Diantara mereka ada yang pingsan. Bahkan ada yang langsung mati konyol apabila sabetan tendangan lingkar itu tepat mengenai jantung... Kalian sudah puas dengan kejahatan. Jadi harus dijahati juga, ujar Ki Pita Loka seraya menyeret tangan kanan Agung Kifli dan berkata lagi: Ayoh saudara sepupuku kita kembali ke Desa Kumayan. Bawa semua temanmu yang kena culik! Tapi secara naluriah, ketika pergulatan sengit Pita Loka menghancurkan penduduk jahat ini, ketujuh belas anak-anak remaja yang telah diculik Dasa Laksana itu telah menyisih ke balik pagar. Sehingga dengan amat mudah mereka digiring ke luar desa Anggun, desa Perampokan itu, mengikuti langkah Ki Pita Loka. Biarpun dirasakan oleh Ki Pita Loka langkahnya biasa, namun bagi ke 17 anak-anak remaja yang malang itu dirasakannya langkah itu amat gesit sekali. Tapi mereka tiada mengeluh dan cengeng. Mereka malah mengira, bahwa Dasa Laksana kelak akan menguntit mereka dan belakang. Semalam suntuk rombongan itu berlalu meninggalkan desa celaka itu. Semua mereka sudah buntung tangan kanannya, digolok oleh Dasa Laksana. Semua mereka justru dikorbankan untuk mempertakuti hati penduduk Desa Kumayan. Dengan dongengnya di gardu peronda di desa Kumayan tempo hari, Dasa Laksana akan memberikan kesan, bahwa ke17 anak remaja yang ia culik dan potong tangannya adalah korban dan pemilik Pedang Ratu Turki. Lalu, cahaya matahari muncul dari Bukit Kerambil. Bukit ini bukit bagian barat dari gugusan bukit-bukit barisan. Diantara anak-anak remaja itu kelihatan ada yang tak kuat lagi berjalan karena tanpa henti berjalan terus sejak diselamatkan Ki Pita Loka. Ada tiga orang yang jatuh pingsan. Ki Pita Loka memperhatikan, siapa yang paling sigap membantu yang pingsanpingsan itu. Dan dia senang karena diantara yang membantu itu ada saudara sepupunya, Agung Kifli. Ada sepuluh orang semuanya yang pingsan. Dan penolongnya tetap saja, yaitu Agung Kifli dan lima lainnya. Enam orang itu, menurut ruguhan batin Ki Pita Loka, adalah remaja - remaja yang berhati suci. Dia biarkan saja enam anak baik itu berusaha menyadarkan sepuluh anak yang pingsan itu. Diantara yang barusan sadar, cengeng meronta dan berkata: Kembalikan kami ke Kumayan. Kembalikan, kami ke rumah, kata yang lain. Seluruhnya sudah sepuluh orang.

Siapa diantara kalian yang ingin kembali? Satu dua tiga sampai sepuluh. Tapi ada seorang, yang tampaknya bimbang. Dialah yang dipanggil oleh Ki Pita Loka sewaktu matahari telah terbit benderang. Anak itu berusia sekitar 16 tahun. Tegap tapi sikapnya ragu. Tapi dia punya kelebihan dari sepuluh yang lainnya. Lalu, tampil pula anak yang ke 12. Dia tampil dan memperkenalkan dirinya: Kakak barangkali tak kenal saya. Saya Rauf, teman Jadim. Jadi kau yang bernama Jadim? tanya Ki Pita Loka kepada yang peragu. Ya. Kak, Jadim dan Rauf akan memimpin rombongan 10 orang ini ke Kumayan. Kami tidak tahu jalan, kak, kata Rauf. Jangan kuatir. Saya akan menolong kalian, ujar Ki Pita Loka seraya meraih kepala Jadim dan Rauf. Pita Loka meniup ubun kepala anak-anak yang berdua itu setelah memohon dari Tuhan. Perhatikan telunjuk tanganku, kata Pita Loka. Dua anak itu memperhatikan telunjuk Pita Loka. Juga 10 anak lainnya. Dan ketika itu Pita Loka berkata: Tembus hutan ini, tanpa merubah arah jalan terus turun naik bukit dan lembah. Supaya jangan lelah, sembari bernyanyi. Anak-anak itu tampak dibangkitkan rasa keberaniannya. Mereka mulai bernyanyi lagu Pramuka, dipimpin oleh Jadim dan Rauf. Makin lama lambaian tangan mereka disertai nyanyian mereka semakin bertambah jauh Setelah mereka menghilang, enam remaja yang tak ikut pulang ke Kumayan serentak menghadapkan mukanya pada Ki Pita Loka. Tentu yang terlebih dahulu bertanya adalah saudara sepupu Pita Loka. Agung Kifii bertanya: Bisakah kami ini kau isi dengan ilmu? Ilmu apa? tanya Ki Pita Loka. Ilmu yang berisi keberanian kami untuk membalaskan dendam pada Dasa Laksana setan gila itu! Ki Pita Loka tertawa: Permintaanmu terlalu rendah. Lihatlah tangan kiriku ini, tidak ada gunanya lagi dan tidak bisa dipakai untuk menekan senar gitar maupun kecapi! kata Agung Kifli. Maka tadi saya pilih yang kembali, dan yang akan ikut dengan saya. Firasatmu betul bahwa kalian akan kuajak ngelmu. Manusia semua sama, sebab

Tuhan adil. Tapi yang berilmu lebih tinggi dari yang malas. kata Pita Loka. Saya minta dijelaskan kenapa ilmu yang diminta Agung Kifli tadi bernilai rendah. ujar si kurus kecil yang bernama Caruk Putih. Kerendahan satu ilmu bisa dilihat dari tujuannya, kata Ki Pita Loka. Bukankah tujuan membalaskan dendam itu juga baik? tanya Caruk dengan nada penasaran. Balas dendam selalu bernilai rendah. Tapi jika kalian ngelmu untuk menghancurkan kejahatan dan menegakkan yang benar, itulah ilmu yang tinggi. Untuk itu kalian merupakan orang-orang pilihanku. Termasuk saya? tanya seorang remaja bernama Aria. Termasuk kamu. Aria, juga Sura, juga Abang Ijo dan Talago Biru. Pendeknya kalian harus mengucapkan ikrar padaku. kata Pita Loka. Lalu mereka pun mengangkat ikrar. Mereka ikuti apa yang diucapkan Ki Pita Loka, tanpa nada sumbang. Ikrar itu bergema dengan nada yang hampir-hampir tunggal, membangkitkan kesatuan semangat dan kesatuan tujuan. Kesatuan yang manunggal antara Guru dan murid dalam kata dan perbuatan memanglah persyaratan ilmu persilatan. Dan Ki Pita Loka mendapatkan cara membimbing ilmu pada muridnya ini karena ia seorang yang jiwanya ikhlas, disamping oleh otak yang cerdas. Otak yang cerdas tapi jiwa kotor tak memungkinkan seorang pendekar naik derajat menjadi Guru Besar. Ukuran kebesaran adalah energi. Maka Pita Loka memulainya pun dengan takaran energi. sedikit bicara, tapi tiap patah kata ada ikatan. Dan hanya orang yang mampu duduk bersila dengan baik, seluruh energi terkendali. Ki pita Loka duduk bersila. Enam muridnya pun duduk bersila. Ki Pita Loka memberi perintah dengan nada dalam: Hening... Keadaan pun hening, seakan tiap napas yang ditarik dan dihembus kedengaran begitu nyata. Karena napas adalah sumber energi dalam diri manusia, itulah pula yang mesti diatur. Tarik napas ke puser perutmu, perintah Sang Guru. Angkat perlahan ke atas menuju kepala, dan salurkan menuju ubun-ubunmu, dan buanglah kesana, perintah Sang Guru lagi.

Ambil lagi napas, tarik ke puser, angkat ke atas, dan buang! Ambil lagi. Tarik ke bawah. Angkat ke atas. Dan buang lagi. Pelajaran awal itu, yang hanya bermain napas dengan kedudukan bersila tanpa gerak. yang dilakukan seluruhnya detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, menciptakan keasyikan pada Sang Guru dan Para Murid. Dapat dibayangkan setelah enam jam bermain napas saja, keringat mereka mengocor seperti kuli mengangkut satu balok pohon yang besar. KEASYIKAN tidak pernah merangsang lapar. Yang dibuang oleh energi adalah keringat. Dan keringat itu adalah sampah. Inilah awal pembersihan diri, sebab Ki Pita Loka ingin membuat enam anak buntung ini menjadi enam pendekar sejati. Pendekar sejati bisa saja menghadapi empat puluh musuh. Dan dia seorang diri dengan kekuatan energi dapat saja menumpas 40 lawan tanpa mengeluarkan keringat setetespun. Itulah yang sedang diisinya kepada enam remaja buntung itu. Kelak mereka tidak harus merasa kurang karena kebuntungannya. Sebab setiap yang kurang pasti ada kelebihan di bidang lain. Dan telah dua kali matahari terbit dan dua kali pula matahari terbenam. Tahukah enam remaja buntung itu bahwa waktu telah berjalan dua hari? TIDAK. Waktu bukan soal yang penting lagi. Keasyikan menyatukan diri dengan energi telah membuat seseorang yang asyik itu tidak lagi memperhitungkan waktu. Dan telah tiga hari Guru mengajarkan muridnya dalam keasyikan bersatu dalam gerak nafas, gerak yang tanpa gerak. Dan kemanakah nafas yang telah tiga hari diasyikkan itu menuju? Nafas itu mengembara menuju tempat yang kosong. Dan kosong itu adalah diam dan hening. Maka jarak perginya pun tanpa takaran lagi. Hembusan nafas tadi singgah di tempat yang kosong. Singgahnya nafas tujuh manusia asyik dari lembah itu menggebu bagai geledek, dan terciptalah benturan. Yang terbentur adalah yang diam. Yang diam pada detik itu adalah seorang lelaki yang duduk hening tenang, yang mendadak terkejut karena terkena benturan. Matanya melotot kaget lelaki itu menatap gadis di depannya, dan gadis itu bertanya: Kak Gumara, apa yang terjadi? Ada sesuatu yang sedang bergerak di luar kita, ujar Gumara. Jawaban ini merisaukan gadis itu. Dan rupanya yang terkena benturan bukan saja manusia Gumara. Binatang pun terkejut. Beberapa ekor ular Piransa gelisah dari sarangnya, lalu serentak merayap ke luar dari lubangnya. Gumara semakin

merasakan benturan ke tubuhnya yang semakin hebat sehingga ia tambah gelisah, ia terkejut mendengar gadis di hadapannya terpekik menjerit lantang seraya menghunus pedang. Hampir saja pedang di tangan gadis itu membabat 100 ekor ular kecil yang merayap ke arahnya. Aku Ki Harwati! teriaknya ke arah ular-ular itu. Satu diantara 100 ular itu merayap sendirian, sementara yang lainnya diam. Ular kecil itu merayap menuju dengkul Ki Harwati, menuju perutnya, lalu ke dada, lalu melintasi leher dan akhirnya ke kepala. Tepat di kening Ki Harwati, ular kecil belang kuning itu menciptakan belitan. Kini ular itu bagai selembar saputangan tergulung yang melingkari kepala Ki Harwati. Lihat, Kak Gumara? Ini hasil pertapaan saya! serunya. Belum tentu. Tiap senjata yang berada di diri seorang pendekar mengandung resiko. Pendekar harus memeliharanya. dan harus tahu dengan jitu menggunakannya, kata Gumara. Ular piransa ini menjadi senjataku. Sesuai dengan wangsit yang aku terima, bahwa namaku harus dirubah menjadi Ki Harwati Piransa. Dan aku kini telah berkedudukan sebagai Guru Besar! Kau kini bukan lagi kakakku dan pelindungku! Kau kini jadi budakku! mata Ki Harwati Pi ransa melotot tanpa berkedip menatap Gumara. Gumara merasa aneh menyaksikan tingkah Ki Harwati. Ketika keanehan itu dia renungi, kendati beberapa detik, meledaklah perasaan berontak dalam diri Ki Gumara, sehingga dia berteriak: Kau memakai ilmu Sesat! Kau sesat, kau sesat, kau sesattttttt Tapi energi teriakannya itu sudah melampaui takaran. Setelah itu dia lemah, dan semakin lemah. Setelah itu Gumara tidak dapat merenung, kendati sedetik. Juga dia tak berdaya menggerakkan anggota tubuhnya, biarpun sedetik saja. Tugasmu sekarang adalah mengawalku. Kau budakku. Kau harus patuh terhadap semua perintahku. Aku Guru Besarmu, aku Guru Besar semua gurul Nada itu penuh. Dan penuh kebanggaan. Kita hanrus memilih waktu untuk berangkat, kata Ki Harwati. Ya...! Kita harus menyerang musuh!

Ya...! Kau kini semut pekerja. Dan akulah Ratumu! Ya. Apa yang harus saya perbuat? tanya Gumara dengan muka dungu. Karena kelebihanmu mentakwilkan mimpi, carilah sebuah mimpi! kata Ki Harwati. Dan dengan kedungu-dunguan, Gumara mematuhi. Dia menggeletak, lalu tidur. DAN tidurnya itu mirip seperti menggeletaknya seekor ular sanca. Ki Harwati tegang memperhatikan kelelapan tidur saudara tirinya itu. Kemudian tubuh Gumara bergerak, menggeleong, dan tegang sekali Ki Harwati bertanya: Kamu dapatkan mimpi, hei dungu?! Tidak. Pedang Raja Turki dalam sekelebatan sudah dicabut dari sarangnya. Dan dengan kesetanan pedang itu dihantamkan ke kening Gumara, sekalipun bukan dengan mata tajamnya. Punggung pedang itu membentur nyaring di kepala Gumara, ibarat logam membentur batu padas sehingga tercipta suara nyaring. Dungu! bentak Ki Harwati lagi. Aku lapar, kata Gumara. Tidak ada makanan di sini, jawab Ki Harwati. Beri aku makanan, ujar Gumara dengan mulut kemudian melongok. Dia tampak begitu dongok. Lalu berbaring lagi, bagai berbaringnya ular yang kekenyangan yang amat malas. Kau hanya menjadi bebanku, ujar Harwati. Tiba-tiba kepala Ki Karwati pusing. Dia telah dipatuk oleh ular Piransa pada saat sedetik menjelang pusing. Bisa ular itu sudah menjalari tubuhnya. Tapi ia masih menyadari, mungkin hal ini bagian dari pengisian tingkatan ilmunya. Dia mencoba berdiri. Dia teler bagai pemabuk. Dan secara samar dia melihat lengkungan pelangi di hadapannya. Lalu dia melihat tujuh bintang berjatuhan dari langit. Dan dia berseru: Tujuh tai bintang jatuh di Sana! Itulah seluruh kebenaran wangsit yang kuterima. Aku yang akan menerima warisan ilmu Kitab Tujuh itu! Dia guncang tubuh Gumara. Tapi Gumara tidur ngorok seperti tidurnya orang dongok. Bangsat! Bangsat! maki Ki Harwati, Dasa Laksana bangsat! Murid pengkhianat itu belum juga kembali!

Padahal aku sudah menyaksikan tujuh tai bintang jatuh! Dia petengtengan. Dia berjalan terhuyung bagai orang sinting. Dan kalau dia melihat Gumara, dia benci dan ditendangnya pantat kakak tirinya itu. Kemudian dia merasa amat gerah. Karena kepalanya gatal, dia merenggut rambut di kepalanya, tapi yang terpegang adalah ular yang melingkari kepalanya. Sementara itu, Ki Pita Loka sudah melangkah bersama enam muridnya menuju sebuah bukit yang dikenal bernama Bukit Kawung. Tidak ada kawung di bukit itu. Yang ada cuma batu. Batu itu sebetulnya dulu sering diambil orang sebesar biji salak karena keistimewaannya. Kalau kapas kawung ditempelkan ke batu kawung itu, lalu digeserkan logam baja, maka terciptaiah api. Untuk apa Ki Pita Loka ke sini? Karena ia mendapat ilham untuk meningkatkan latihan jasmani murid-muridnya. Karena semua ilmu ibarat roda. Ia kembali kepada sumbunya. Kita berhenti di pusat bukit ini, kata Ki Pita Loka. Enam remaja buntung kontan saja duduk bersila, menciptakan lingkaran dan sumbu lingkaran itu adalah duduknya sang Guru. Karena semua kalian pernah sekolah, kalian sudah tahu apa itu gas. Gas itu adalah zat yang memiliki energi. Dalam diri kalian, dengan aturan pernafasan, sudah ada sumber gas. Dan itu harus kila turunkan ke titik awal. Kita harus kembali lagi menjadi api. Coba kini kalian kumpulkan energi, sampai tubuh merasa ringan. Tapi jangan ada yang kaget apabila tubuh kalian terbakar. Enam remaja buntung dipimpin Guru, sedang melaksanakan amalan itu. Mereka menjadi iibaratnya kawung yang sedang berada di batu, menciptakan pergeseran logam baja. Dan terbitlah tujuh kelompok api. Ya, tujuh insan itu lama kelamaan bagai tujuh lidah api. Dan api akan padam oleh air. Api hanya dapat padam oleh air, ujar Sang Guru. Sungguh ajaib. Ketika tiap murid sudah merasa dirinya mengelotok oleh api, hujan gerimis pun bercucuran dari langit. Memang perih sekali, tapi hampir tak terasa. Api itu padam. Yang tinggal adalah tujuh manusia, Ki Pita Loka dengan murid-muridnya, enam remaja buntung. Kini kita sudah membumi. Kita sudah menjadi benda padat, sepadat tanah. Tanah adalah asal manusia. Marilah kita menyatukan diri dengan tanah, seakan-akan kita ini kembali ke dalam kubur, kembali ke asal, Ujar Ki Pita Loka. Murid yang mematuhi amalan Sang Guru tentulah murid yang baik. Dan remaja-remaja buntung ini merelakan dirinya memasuki alam kematian, entah untuk berapa lama.