HUBUNGAN ANTARA SELF DISCLOSURE DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN DARUSSALAM. Maydha Rahmat Mustafa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan anugerah Tuhan dan juga aset bangsa yang sangat berharga.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. memandang remaja itu sebagai kanak-kanak, tapi tidak juga sebagai orang

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN PADA TEMAN SEBAYA DENGAN STRES AKADEMIK PADA MAHASISWA TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi kedua terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah telah

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari eksistensi manusia di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pengertian kejahatan dan kekerasan memiliki banyak definisi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

BAB 1 PENDAHULUAN. Kota Padang, terdapat 24 panti asuhan yang berdiri di Kota Padang.

kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan remaja. Beberapa kejadian misalnya; kehilangan orang yang dicintai, konflik keluarga,

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang memiliki ciri-ciri salah satunya yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB II LANDASAN TEORI. Shatte dan Reivich (2002) mneyebutkan bahwa resilience adalah kemampuan

Perkembangan Sepanjang Hayat

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PERTENGAHAN PASCA PUTUS CINTA DI SMAN 20 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial yang setiap harinya menjalin hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

Transkripsi:

HUBUNGAN ANTARA SELF DISCLOSURE DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN DARUSSALAM Maydha Rahmat Mustafa 15010114130129 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO ABSTRAK Masa remaja merupakan masa yang diwarnai dengan berbagai konflik, sehingga remaja membutuhkan dukungan jangka panjang dari orangtua agar tidak salah langkah. Namun, tidak semua remaja memiliki orangtua yang dapat memberi arahan dan kasih sayang selama masa perkembangannya, salah satunya terjadi pada remaja di panti asuhan. Remaja yang tinggal di panti asuhan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Penyesuaian tersebut merupakan peristiwa yang sangat menekan dan menyebabkan stres pada remaja. Oleh karena itu, remaja di panti asuhan perlu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan bertahan dalam kesulitan, serta bangkit kembali dari keterpurukan yang disebut sebagai resiliensi. Faktor penting yang memengaruhi resiliensi adalah kepercayaan. Indikator kepercayaan dan afeksi yang ditunjukkan seseorang, salah satunya dengan melakukan self disclosure. Self disclosure merupakan proses mengungkapkan informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self disclosure dengan resiliensi pada remaja di Panti Asuhan Darussalam. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja usia 12-18 tahun yang tinggal di Panti Asuhan Darussalam. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu sampel jenuh dengan jumlah sampel sebanyak 58 remaja. Metode pengumpulan data dilakukan menggunakan dua alat ukur yaitu skala self disclosure (27 aitem, α=0.897) dan skala resiliensi (27 aitem, α=0.887). Berdasarkan uji korelasi Spearman s Rho diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara self disclosure dengan resiliensi pada remaja di Panti Asuhan Darussalam (r = 0,104 ; p= 0,436). Faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap resiliensi pada remaja di panti asuhan perlu diteliti lebih lanjut. Kata Kunci: Resiliensi, Self Disclosure, Remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah suatu periode penting dalam rentang kehidupan manusia, karena merupakan masa transisi yang menghubungkan masa kanakkanak dengan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan fisik, kognitif, sosial, dan emosional. Perubahan fisik merupakan perubahan paling terlihat yang ditandai dengan munculnya pubertas (Santrock, 2012). Perkembangan kognitif remaja mencapai tahap berpikir operasional formal yang memungkinkan remaja mampu berpikir secara lebih abstrak (Ali & Asrori, 2008). Perubahan sosioemosi ditandai dengan meningkatnya usaha memahami diri sendiri dan pencarian identitas (Santrock, 2012). Namun, remaja masih belum mampu menguasai dan menggunakan fungsi fisik maupun psikisnya secara maksimal (Monks dkk., dalam Ali & Asrori, 2008). Selain adanya pertumbuhan yang pesat pada bagian fisik, kognitif dan psikososial, remaja juga berisiko terhadap kesehatan mental (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Adanya berbagai perubahan yang terjadi dalam diri remaja menyebabkan remaja dihadapkan pada berbagai masalah, seperti terlibat dalam kenakalan remaja, penyalahgunaan obat, masalah seksual, gangguan makan, depresi dan bunuh diri (Santrock, 2012). Stanley Hall (dalam Santrock, 2012) mengemukakan istilah badai dan stres untuk menyatakan bahwa masa remaja penuh dengan gejolak yang diwarnai 1

oleh konflik dan perubahan suasana hati. Oleh karena itu, remaja sangat memerlukan dukungan jangka panjang dari orang dewasa yang menyayangi mereka, memberi keteladanan, konsistensi, serta komunikasi yang tulus dan empatik (Ali & Asrori, 2008; Santrock, 2012). Namun, tidak semua remaja memiliki figur orangtua yang dapat dijadikan sebagai sosok yang akan memberikan perhatian dan dukungan selama masa perkembangannya, hal ini dapat terjadi pada remaja yang kehilangan salah satu atau kedua orangtuanya. Remaja yang kehilangan anggota keluarga, atau orang lain yang dicintainya melalui keadaan traumatis, akan menghadapi tantangan yang lebih berat. Selain berhubungan dengan peristiwa traumatis, remaja juga dihadapkan dengan kesedihan dan kehilangan yang terkait dengan tidak lagi memiliki anggota keluarga. Peristiwa kehilangan yang dialami remaja dapat menyerupai gejala depresi klinis. Remaja yang kehilangan orangtua merasakan kesedihan mendalam, sering menangis, tidak ingin menghabiskan waktu dengan teman, kehilangan nafsu makan, kesulitan tidur, mengalami penurunan prestasi akademik, dan tidak tertarik untuk melakukan kegiatan seperti biasanya (Mannarino & Cohen, 2011). Remaja yang mengalami kesedihan traumatis kemudian berpikir mengenai masa-masa bahagia dengan orangtua yang sudah meninggal akan mengarahkan pikiran, ingatan, dan emosinya dengan peristiwa kematian traumatis orangtuanya. Mengenang kematian orangtua dapat mengarahkan pikiran untuk mengingat kembali peristiwa kematiannya dan selanjutnya dapat menimbulkan gejala post traumatic stress disorder (Mannarino & Cohen, 2011). Kesedihan yang belum terselesaikan juga dapat menyebabkan dampak yang parah di kemudian hari 2

seperti masalah kejiwaan, masalah kesehatan, dan depresi (Lawrence, Jeglic, Matthews, & Pepper, 2005; McClatchey & Wimmer, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Apelian & Nesteru (2017) menunjukkan bahwa remaja juga mengalami beberapa kesulitan yang harus dihadapi setelah kehilangan orangtua yaitu perubahan rutinitas sehari-hari, kesulitan finansial, dan tidak memiliki tempat tinggal tetap. Hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab remaja tinggal di panti asuhan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengasuh, remaja yang kehilangan salah satu atau kedua orangtuanya dan berasal dari keluarga kurang mampu (duafa) menjadi penyebab remaja tinggal di Panti Asuhan Darussalam. Panti asuhan merupakan lembaga sosial yang memiliki tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak yatim, piatu dan yatim piatu yang kurang mampu maupun terlantar agar potensi dan kapasitas belajarnya pulih kembali dan dapat berkembang secara wajar (Kepmensos No.50/HUK/2004 dalam Kementerian Sosial RI, 2004). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 terdapat 766 panti asuhan dengan jumlah anak asuh 51.861. Sementara itu, di Kota Semarang pada tahun 2015 terdapat 90 panti asuhan dengan jumlah anak asuh 4.043. Kondisi remaja yang penuh konflik akan semakin berat jika dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan, karena mereka harus melaluinya tanpa figur orangtua yang dapat memberikan keteladanan, dukungan dan kasih sayang seutuhnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengasuh di Panti Asuhan 3

Darussalam, salah satu hal yang biasanya dikeluhkan oleh remaja ke pengasuh adalah perasaan rindu mereka dengan kedua orangtua. Fitrikasari (2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa remaja panti asuhan lebih rentan mengalami depresi sedang, karena tidak mendapatkan kebutuhannya secara fisik maupun emosional yang seharusnya diperoleh dari orang tua. Tidak adanya figur orangtua menyebabkan remaja kurang memiliki stimulasi emosional dan sosial padahal orangtua sangat berpengaruh terhadap perkembangan mereka. Penelitian Raza, Adil, & Ghayas (2008) juga menunjukkan bahwa remaja yang kehilangan orangtuanya memiliki berbagai masalah psikososial apabila dibandingkan dengan remaja yang kedua orangtuanya masih hidup. Perbedaan yang signifikan ditemukan pada masalah kesehatan, perkembangan fisik, penyesuaian diri, serta masalah di rumah dan keluarga. Remaja yang tinggal di panti asuhan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, berpindah sekolah, berpisah dengan teman dekat dan bertemu dengan orang baru. Penyesuaian tersebut merupakan peristiwa yang sangat menekan dan menyebabkan stres pada remaja (Mannarino & Cohen, 2011). Pada penelitian yang dilakukan Rahmah, Ilyas & Nurfarhanah (2014) ditemukan hasil bahwa remaja di panti asuhan mengalami masalah penyesuaian diri dengan teman sebaya, pengasuh, lingkungan sekitar panti dan lingkungan sekolah. Remaja yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik akan mengembangkan perilaku negatif seperti menyendiri, sulit menjalin hubungan harmonis dan tidak menghargai pengasuh. 4

Perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan remaja yang awalnya tinggal bersama dengan keluarga kemudian pindah ke panti asuhan dapat mengganggu perkembangan psikologisnya, termasuk dalam pembentukan self esteem (Gandaputra, 2009). Remaja yang tinggal di panti asuhan beranggapan bahwa dirinya tidak berharga, rendah diri terhadap keadaannya dan merasa berbeda dengan remaja lain yang tinggal bersama keluarga. Sesuai dengan penelitian Gandaputra (2009) yang menemukan hasil bahwa remaja di panti asuhan banyak yang memiliki tingkat self esteem rendah. Penelitian yang dilakukan Fawzy & Fouad (2010) di Panti Asuhan daerah Sharkia, Mesir, menunjukkan bahwa dari 294 remaja panti asuhan yang berusia 10-17 tahun memiliki tingkat prevalensi depresi 21%, kecemasan 45%, rendah diri 23% dan gangguan perkembangan 61%. Remaja panti asuhan yang tidak bahagia dengan keadaan hidupnya sering mengembangkan masalah emosional yang berkaitan dengan meningkatnya risiko penyakit jiwa pada orang dewasa. Penelitian Irshad (2017) juga menunjukkan bahwa remaja yatim piatu memiliki tingkat alienasi dan stres yang lebih tinggi dibanding remaja non-yatim piatu. Hasil wawancara dengan pengasuh menunjukkan bahwa remaja laki-laki di Panti Asuhan Darussalam juga pernah memiliki beberapa permasalahan yaitu mereka pernah terlibat perkelahian dengan temannya, sulit diatur, dan dinasehati karena kurang menyadari otoritas pengasuh. Sementara itu, berdasarkan hasil wawancara dengan remaja perempuan di Panti Asuhan Darussalam, apabila remaja tersebut memiliki masalah, ia cenderung memendam masalah yang 5

dimiliki dan menghindari masalahnya. Remaja tersebut baru menceritakan masalah yang dialami kepada teman terdekat ketika masalahnya sudah berlalu. Berdasarkan data diatas, remaja yang tinggal di panti asuhan cenderung lebih sering mengalami masalah perkembangan maupun masalah psikologis seperti stres dan depresi. Oleh karena itu, remaja di panti asuhan perlu memiliki resiliensi yang baik agar mampu bertahan dalam kondisi yang sulit, dapat menyesuaikan diri dan bangkit kembali dari keterpurukan. Hal tersebut didukung oleh penelitian Bacchi & Licinio (2016), yang mengungkapkan bahwa resiliensi berpengaruh terhadap tingkat distres psikologis pada mahasiswa yaitu semakin tinggi resiliensi, maka semakin rendah distres psikologis. Sebaliknya, semakin rendah resiliensi maka semakin tinggi distres psikologis. Penelitian yang dilakukan Pidgeon, Rowe, Stapleton, Magyar, & Lo (2014) juga menunjukkan hal serupa bahwa mahasiswa dengan tingkat resiliensi yang tinggi memiliki distres psikologis yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki tingkat resiliensi yang rendah. Resiliensi menunjukkan fungsi positif dalam pemulihan pasca trauma yang dialami seseorang (Ungar, 2008). Resiliensi menurut Reivich & Shatte (2002) adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Setiap orang perlu mengembangkan resiliensi karena setiap orang pernah menghadapi masalah, keadaan stres dan perdebatan yang merupakan bagian dari kehidupan. Resiliensi merupakan hal penting bagi remaja yang akan meninggalkan panti asuhan, karena 6

resiliensi menjadi dasar bagi remaja untuk berkembang menjadi individu dewasa yang sukses (Casey, 2012). Individu yang resilien mampu menunjukkan sifat-sifat positif dalam lingkungan yang beresiko. Mereka bukan berarti tidak pernah mengalami kesulitan atau stres. Namun, untuk menjadi orang yang resilien, individu perlu mengalami situasi menantang atau tekanan-tekanan emosional yang masih dapat dihadapi. Mereka dapat belajar dari kesulitan atau situasi menantang yang membuat mereka menjadi lebih kuat (Hendriani, 2018). Penelitian Nisa & Muis (2015) yang dilakukan pada anak panti asuhan di Sidoarjo, mengungkapkan bahwa individu dengan kategori resiliensi tinggi memiliki karakteristik tidak menyerah, berusaha untuk menghadapi masalah, percaya diri, dan memiliki keyakinan untuk menjadi orang sukses. Sementara itu, individu dengan kategori resiliensi sedang cenderung tidak stabil dalam bersikap dan memiliki semangat naik turun. Individu dengan resiliensi rendah menunjukkan bahwa mereka mudah menyerah, menghindari masalah, tidak memiliki semangat untuk bangkit dan tidak berusaha menjadi lebih baik. Resiliensi yang dimiliki individu tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Grotberg (2003) salah satu faktor resiliensi adalah kepercayaan yang berhubungan dengan mengembangkan rasa percaya individu terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Kepercayaan diperlukan remaja untuk mengembangkan hubungan sosialnya dengan teman sebaya, hal ini berkaitan dengan salah satu tugas perkembangan remaja yaitu mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar 7

bergaul dengan teman sebaya serta orang lain di lingkungannya, baik secara individual maupun kelompok (Kay, dalam Yusuf & Sughandi, 2011). Salah satu indikator kepercayaan dan afeksi yang ditunjukkan seseorang adalah dengan melakukan self disclosure atau pengungkapan diri. Individu yang melakukan self disclosure menunjukkan kepada orang lain bahwa individu tersebut mempercayai, menghargai dan peduli terhadap mereka serta peduli dengan hubungan yang terjalin diantara mereka. Hal ini mengarahkan individu lain untuk mengungkapkan dirinya sendiri dan membentuk awal yang baik dalam sebuah hubungan yang jujur dan terbuka (Devito, 2015). Pengembangan hubungan yang erat dan saling percaya dapat diawali dengan membuka diri dan sekaligus percaya pada orang lain (Widyarini, 2009). Menurut Devito (2013) self disclosure berarti mengkomunikasikan informasi tentang dirinya sendiri kepada orang lain yang biasanya disembunyikan. Seseorang akan cenderung lebih terbuka ketika orang lain juga terbuka padanya. Efek diadik ini membuat individu merasa lebih aman sehingga dapat memperkuat self disclosure yang dilakukannya. Penelitian yang dilakukan oleh Rains, Brunner, & Oman (2016) menyatakan bahwa remaja perlu melakukan self disclosure mengenai dirinya kepada orang lain dalam menjalin persahabatan dan hubungan sosial sebagai cara untuk meningkatkan keakraban dan menciptakan timbal balik dalam berhubungan dengan orang lain. Keuntungan yang didapat dari self disclosure adalah lebih mengetahui keadaan diri sendiri, meningkatkan kemampuan coping, meningkatkan komunikasi, dan memiliki hubungan yang lebih berarti (Devito, 2015). Hal 8

tersebut didukung oleh Lin & Utz (2017) dalam penelitiannya yang mengungkapkan bahwa frekuensi self disclosure yang lebih tinggi pada media sosial bermanfaat untuk menciptakan perasaan akrab dengan diri sendiri. Mengungkapkan informasi diri secara naratif di media sosial dapat berdampak baik karena meningkatkan nilai hiburan bagi pembaca, namun dalam mengungkapkan informasi diri yang intim dan dianggap tidak pantas oleh orang lain harus dilakukan secara berhati-hati, karena dapat mengurangi ketertarikan sosial seseorang. Self disclosure dilakukan sebagai salah satu media katarsis untuk menghilangkan stres. Self disclosure yang dilakukan oleh individu yang mengalami stres dapat bermanfaat untuk mengurangi perasaan-perasaan negatif dan mengurangi timbulnya masalah kesehatan (Clark dalam Baron & Byrne, 2005). Sependapat dengan yang diungkapkan Widyarini (2009) bahwa melakukan pengungkapan diri dapat berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan emosi. Hal ini sesuai dengan penelitian Pinakesti (2016) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengungkapan diri dengan stres yaitu semakin tinggi pengungkapan diri maka semakin rendah tingkat stres yang dialami. Berdasarkan penelitian Putri (2017) ditemukan hasil bahwa pengungkapan diri remaja Panti Asuhan Putri Aisyiyah II kepada pengasuh memunculkan kenyamanan bagi mereka. Namun, masing-masing dari mereka memiliki level pengungkapan diri yang berbeda, hal ini karena intensitas pertemuan yang dilakukan antara anak asuh dan pengasuh yang berbeda. Apabila intensitas pertemuan keduanya semakin lama, maka semakin dalam pengungkapan yang 9

dilakukan. Pengungkapan diri anak asuh kepada pengasuh berperan dalam penyesuaian diri di lingkungan panti asuhan dan memunculkan bentuk penyesuaian diri yang positif pada anak asuh, sehingga anak asuh merasa nyaman untuk tinggal di panti asuhan. Permasalahan tersebut menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara self disclosure dengan resiliensi pada remaja di Panti Asuhan Darussalam. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara self disclosure dengan resiliensi pada remaja di Panti Asuhan Darussalam? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara self disclosure dengan resiliensi pada remaja di Panti Asuhan Darussalam. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis: secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dengan menjadi referensi yang bermanfaat dalam bidang psikologi, khususnya psikologi perkembangan remaja, psikologi klinis dan psikologi sosial. 10

2. Manfaat praktis: a. Bagi Remaja Panti Asuhan Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan terhadap pentingnya self disclosure dan resiliensi bagi remaja di panti asuhan. b. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara self disclosure dengan resiliensi remaja di panti asuhan dan sebagai pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya. 11