I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kendati sudah banyak hasil-hasil pembangunan yang dirasakan, namun perlu disadari bahwa masalah kesenjangan antardaerah belum ditangani secara serius. Sejalan dengan keberhasilan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya, pemerintah pada saat ini memberikan perhatian yang lebih besar pada pembangunan daerah-daerah yang masih tertinggal, khususnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini merupakan tantangan pembangunan yang harus dihadapi mengingat masalah kesenjangan dapat mengancam disintegrasi bangsa serta menyulitkan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berlandaskan pemerataan. Perkembangan ekonomi antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa provinsi-provinsi di pulau Jawa pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar Pulau Jawa. Perbedaan perkembangan antardaerah itu menyebabkan terjadinya kesenjangan kesejahteraan dan kemajuan daerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan (Kuncoro, 2002). Di samping itu masih ditemui daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan dengan yang lainnya seperti daerah terpencil, minus, kritis, perbatasan dan daerah terbelakang lainnya. Hill (2007) dalam kajiannya menunjukkan tidak adanya perbedaan besar dalam pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia bagian barat dengan provinsi-provinsi di bagian timur sejak 1970 hingga kini. Terlepas dari kenyataan
2 bahwa sejak dulu sudah banyak perbedaan antarprovinsi, namun tampak ada pemerataan antarprovinsi sejak 1970-an baik dilihat dari segi laju pertumbuhan maupun kenaikan indikator-indikator sosial di setiap provinsi. Hill mengemukakan KTI masih tertinggal dibandingkan wilayah KBI karena sejak dulu wilayah timur Indonesia memang lebih miskin. Indonesia bagian timur masih terbelakang dan tertinggal dari provinsi lain, tetapi bisa dikatakan Indonesia bagian timur juga maju dilihat dari laju pertumbuhan sehingga tidak terlalu banyak perbedaan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Tetapi oleh karena dari dulu Indonesia bagian timur lebih miskin, maka laju pertumbuhannya tidak setinggi wilayah barat sehingga kesenjangannya semakin lama semakin besar. Isu kesenjangan interregional tersebut saat ini masih relevan dan masih menarik, hal ini dikarenakan pemasalahan tersebut belum terpecahkan secara memuaskan. Berbagai alternatif solusi telah ditawarkan dan beberapa kebijakan serta langkah operasional telah ditempuh namun belum membuahkan hasil. Kesenjangan Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dapat dilihat dari dua aspek besar, yaitu kependudukan dan kegiatan usaha. Jumlah penduduk yang ada di KTI hanya seperempat dari jumlah penduduk KBI, atau dapat dikatakan jumlah penduduk KBI sebesar 80% sedangkan KTI adalah 20%. Penduduk di KBI terkonsentrasi di pulau Jawa, yaitu sebesar 60% dan sisanya sebesar 20% di pulau Sumatera. Sedangkan di KTI hanya terkonsentrasi pada pulau-pulau besar, yaitu Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dilihat dari kualitas penduduknya, di KBI penduduk yang mempunyai kualitas sudah tersebar merata di pualu Jawa dan Sumatera, yaitu: Jabodetabek,
3 Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang dan kota-kota besar lainnya. Sedangkan di KTI penduduk yang mempunyai kualitas hanya dapat dijumpai di ibukota provinsi saja, misalnya Makasar, Balikpapan, Banjarmasin, Jayapura, Ternate dan Mataram. KBI mempunyai persentase perdesaan yang seimbang dengan kawasan perkotaan, sedangkan KTI masih banyak sekali (dominan) daerah-daerah perdesaan bahkan sebagian dari perdesaan tersebut masih banyak daerah yang terpencil. Aspek kegiatan usaha memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan ekonomi daerah ataupun kesejahteraan penduduk. Pendapatan daerah bruto (PDB) di daerah KBI sebesar 81% sangat jauh apabila dibandingkan dengan KTI yang hanya 19%. Pulau Jawa menyumbang 61% untuk PDB KBI, sedangkan pulau Sumatera sisanya, yaitu 20%. Di KTI persentase terbesar PDB yaitu Kalimantan (8%), diikuti dengan Sulawesi (5%), Papua (3%), Nusa Tenggara (1.5%) dan Maluku (1.5%). Dengan kondisi alam yang cukup bagus KBI mendominasi pertanian di Indonesia, yaitu sebesar 78% sedangkan KTI hanya 22%. Kantong-kantong pertanian KBI terletak di Jawa 54% dan Sumatera 24%, dengan produk unggulan yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan perikanan. KTI mempunyai produk unggulan kehutanan, perikanan laut, perkebunan, peternakan dan kelapa. Pertambangan di KTI mempunyai variasi yang lebih banyak dibandingkan dengan KBI. Produk unggulan pertambangan KTI meliputi: minyak, gas, batubara, emas, uranium tembaga, nikel, mangan, timah dan batubara, sedangkan KBI hanya mempunyai produk unggulan berupa minyak, gas dan batubara. Hampir seluruh industri di Indonesia terkonsentrasi di KBI (90%), sedangkan kawasan yang paling besar adalah Jabodetabek, sedangkan KTI hanya menyumbang 10% dan hanya berada
4 di Makassar dan Papua yang sebagian besar adalah industri pertambangan. Usaha jasa yang dominan di KBI adalah jasa keuangan, yang tersedia dari hulu sampai hilirnya, sedangkan di KTI didominasi oleh usaha jasa perdagangan (Ditjen Penataan Ruang, 2002; BPS, 2009) Isu-isu pengembangan KTI adalah (1) masih rendahnya kemampuan manajemen potensi kelautan di KTI, serta belum terpadu dan sinkronnya pola pengelolaan potensi kelautan yang sangat besar dengan pengelolaan potensi darat yang masih berupa produk awal untuk kebutuhan konsumsi rumahtangga atau lokal (self-containe), (2) rendahnya tingkat aksesibilitas antarkawasan di KTI sehingga masih banyak dijumpai kawasan-kawasan yang terisolasi dari pusatpusat kegiatan ekonomi, seperti daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, pesisir dan daerah pedalaman, (3) dalam kaitan dengan aksesibilitas yang rendah tersebut, secara umum sentra-sentra produksi yang terdapat di KTI belum memiliki aksesibilitas langsung ke pasar internasional, dan (4) masih banyak dan tingginya kawasan rawan konflik sosial-ekonomi dan pertahanan keamanan di daerah KTI yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sangihe-Talaud, Halmahera, Kei-Aru, Timor Barat dan Papua. Sebagai ilustrasi kondisi Produk Domestik Regioanal Bruto (PDRB) KBI dan KTI dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa perbedaan PDRB antara KTI dengan KBI sangat besar, yaitu PDRB KTI hanya sekitar 21% dibandingkan dengan PDRB KBI. Sedangkan Gambar 2 terlihat bahwa antara KBI dan KTI memiliki laju pertumbuhan yang sama-sama bertambah, namun tidak ada yang menonjol hanya berkisar 2%.
5 1600 1400 PDRB (Juta Rupiah) 1200 1000 800 600 400 200 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005* 2006* KBI KTI Sumber: BPS (2007) Gambar 1. Produk Domestik Regioanal Bruto Atas Dasar Harga Konstan KBI-KTI Tahun 2000 Penyeimbangan pembangunan antara KTI dan KBI perlu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Pembangunan infrastruktur yang membuka aksesibilitas KTI harus diikuti dengan peningkatan kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat di wilayah KTI yang biasanya memerlukan waktu lebih panjang. Pembangunan infrastruktur tanpa diimbangi peningkatan SDM hanya akan menambah tingkat kebocoran regional KTI yang sudah terjadi selama ini. Meningkatnya pendapatan per kapita internal sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah tidak menjamin kesenjangan ekonomi antara kedua wilayah menjadi semakin mengecil (konvergen). Hal ini tergantung pada pola integrasi ekonomi ke dua wilayah, apakah saling tergantung (interdependence) ataukah ketergantungan sepihak (depend on).
6 (%) 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 2000 2001 2002 2003 2004 2005* 2006* KBI KTI Sumber: BPS,2007 Gambar 2. Laju Pertumbuhan Atas Dasar Harga Konstan 2000 KBI-KTI Tahun 2002-2006 Integrasi dan interaksi ekonomi antara dua wilayah akan memberikan pengaruh tidak hanya secara internal tetapi juga eksternal dari setiap perubahan ekonomi di suatu wilayah. Artinya, apabila terjadi perubahan (injeksi) ekonomi di KTI, maka perubahan itu di samping memberikan pengaruh terhadap perekonomian KTI sendiri (self-influence), juga terhadap perekonomian KBI (spillover effect). Posisi saling mempengaruhi inilah yang membuka peluang terjadi atau tidaknya penyempitan kesenjangan ekonomi antarwilayah. Setiap upaya percepatan pertumbuhan ekonomi akan membuka celah terjadinya ketimpangan pendapatan antargolongan masyarakat ataupun interregional. Oleh karena itu, setiap upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan upaya untuk mengeliminir setiap celah yang memungkinkan terjadinya ketimpangan pendapatan. Pembangunan infrastruktur mempunyai hubungan yang erat dengan pengentasan kemiskinan dan peluang
7 usaha, secara umum Joint Flag Study (IBRD dan ADB, 2005) digambarkan sebagai berikut: Sumber : IBRD dan ADB, 2005 Gambar 3. Linkages antara Infrastruktur, Pengurangan Kemiskinan dan Pertumbuhan Pembangunan infrastruktur mempunyai korelasi positif dengan pengentasan kemiskinan, karena pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan pertumbuhan. Peningkatan pertumbuhan berarti peningkatan income per kapita dan memiliki multiplier effect termasuk peningkatan kesempatan kerja yang pada akhirnya dapat mengentaskan kemiskinan. Infrastruktur jalan merupakan sektor yang sangat penting dalam perkembangan dan pengembangan wilayah yang cukup substansial sehingga kontribusi investasi sektor infrastruktur jalan terhadap pertumbuhan dapat dikatakan signifikan. Peningkatan kegiatan ekonomi dan sosial di daerah yang telah berkembang, sedang berkembang ataupun akan berkembang, dapat meningkatkan pergerakan manusia dan barang dari dan ke pusat-pusat pelayanan,
8 produksi, pusat kota, pusat-pusat permukiman atau konsumsi sehingga membutuhkan prasarana jalan dengan kualitas tinggi serta tingkat aksesibilitas dan mobilitas yang memadai. Terdapat mazhab yang mengatakan bahwa dengan pembangunan infrastruktur jalan maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak juga ada aliran yang menyatakan bahwa pembangunan terlebih dahulu baru ada pengembangan prasarana. Keduanya tidak perlu diperdebatkan, karena bukti-bukti empiris menyatakan bahwa kontribusi sektor jalan cukup signifikan terhadap pertumbuhan wilayah. Pembangunan infrastruktur mempunyai arti strategis karena merupakan tambahan terhadap stok kapital infrastruktur (infrastructure stock) yang mempunyai kaitan yang erat dengan output perekonomian. Semakin bertambah stok modal seperti jalan dan jembatan maka semakin besar pula dorongannya terhadap pertumbuhan ekonomi makro. Pada level makro, gambaran tentang peranan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi umumnya menunjukkan hubungan positif antara pembangunan infrastruktur publik dengan pembentukan modal, lapangan kerja serta pertumbuhan output perekonomian. Khususnya untuk jalan beberapa studi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara investasi di bidang infrastruktur transportasi dengan pembangunan ekonomi (Aschauer, 1991; Forkenbrock and Foster, 1990; Babcock et al., 1997; Ozbay et al., 2003, 2006). Infrastruktur jalan juga memacu pertumbuhan industri di lokasi sekitarnya, seperti yang diperlihatkan dari penelitian di Spanyol dimana selama periode 1980-1994 banyak dibangun jaringan jalan interregional dan satu dampak pentingnya adalah munculnya industri manufaktur baru (Holl, 2004). Pada level mikro dan
9 spasial, spillover positif dari keberadaan infrastruktur transportasi terhadap perekonomian daerah akan semakin kecil jika semakin jauh dari infrastruktur tersebut (Ozman, et al., 2007). 1.2. Perumusan Masalah Kesenjangan dalam pembangunan telah lama menjadi isu penting di Indonesia (Resosudarmo et al., 2009). Perkembangan ekonomi antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa provinsi-provinsi di pulau Jawa pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar Pulau Jawa. Perbedaan perkembangan antardaerah itu menyebabkan terjadinya kesenjangan kesejahteraan dan kemajuan daerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan (Kuncoro, 2002). Meskipun sudah banyak hasil-hasil pembangunan yang dirasakan, kesenjangan perkembangan wilayah antara KTI dibandingkan dengan KBI masih tinggi. Ketimpangan yang tinggi dapat membawa dampak buruk terhadap kestabilan ekonomi dan politik. Penanggulangan ketimpangan pembangunan wilayah dapat dilakukan antara lain dengan penyebaran pembangunan prasarana infrastruktur transportasi termasuk jalan (Sjafrizal, 2008; Tjahjati, 2009). Infrastruktur jalan diharapkan dapat berperan sebagai instrumen bagi pengurangan kemiskinan, pembukaan daerah terisolasi, dan juga mempersempit kesenjangan antarawilayah. Pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan perlu menjadi prioritas utama guna menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Pembangunan infrastruktur jalan dituntut untuk makin mampu berperan dalam mendukung
10 tumbuhnya perekonomian nasional dan pengembangan wilayah, sekaligus mempersempit kesenjangan pembangunan antardaerah. Berdasarkan uraian tersebut, untuk memperoleh strategi pembangunan infrastruktur jalan yang tepat dalam kerangka pertumbuhan ekonomi nasional dan pemerataan ekonomi baik intra maupun interregional, maka diperlukan studi yang mengkaji permasalahanpermasalahan sebagai berikut: 1. Seberapa besar multiplier efek pembangunan infrastruktur jalan terhadap pendapatan faktor produksi yang meliputi tenaga kerja, modal dan lahan baik intra dan interregional KBI dan KTI? 2. Seberapa besar multiplier efek pembangunan infrastruktur jalan terhadap pendapatan rumahtangga intra dan interregional KBI dan KTI? 3. Seberapa besar multiplier efek pembangunan infrastruktur jalan dengan sektor-sektor produksi lainnya di KBI dan KTI? 4. Seberapa besar peranan sektor pembangunan infrastruktur jalan dalam terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga di KBI dan KTI? 5. Seberapa besar dampak kebijakan pengembangan jaringan jalan Nasional terhadap ketimpangan pendapatan rumahtangga intra dan interregional KBI dan KTI serta ketimpangan nilai tambah interregional KBI dan KTI? 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak pembangunan infrastruktur jalan terhadap perekonomian dan distribusi pendapatan intra dan interregional kawasan barat dan timur indonesia untuk memperoleh strategi pembangunan infrastruktur jalan yang tepat dalam kerangka
11 pertumbuhan ekonomi nasional dan pemerataan ekonomi di kedua kawasan tersebut. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis multiplier efek pembangunan jalan terhadap pendapatan rumahtangga, modal dan lahan baik intra maupun interregional KBI dan KTI. 2. Menganalisis multiplier efek pembangunan infrastruktur jalan terhadap pendapatan rumahtangga baik intra maupun interregional KBI dan KTI. 3. Menganalisis multiplier efek pembangunan jalan terhadap pendapatan sektorsektor produksi lainnya di KBI dan KTI. 4. Menganalisis peranan pembangunan infrastruktur jalan terhadap perubahan pendapatan rumahtangga di KBI dan KTI. 5. Menganalisis dampak kebijakan pengembangan jaringan jalan Nasional terhadap ketimpangan pendapatan rumahtangga intra dan interregional KBI dan KTI serta nilai tambah interregional KBI dan KTI. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada (1) pemerintah pusat dan daerah sebagai masukan dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan, dan (2) akademisi dan peneliti sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut, terutama untuk memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan tentang ekonomi interregional di Indonesia. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Kesenjangan ekonomi interregional disebabkan oleh (1) sebaran sumberdaya alam yang tidak merata, (2) sebaran penduduk yang tidak merata, baik kuantitas dan kualitas, (3) lingkungan usaha yang tidak sama, dan (4) perbedaan aktivitas ekonomi. Faktor-faktor penyebab tersebut saling berkaitan,
12 namun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah perbedaan aktivitas ekonomi atau faktor keempat. Aktivitas ekonomi dapat dikelompokkan menjadi aktivitas produksi dan aktivitas konsumsi. Aktivitas produksi dapat dibagi menurut lapangan usaha, yang akan dikaji berdasarkan struktur ekonomi, keterkaitan antarsektor dan dampak perubahan suatu sektor terhadap output dan pendapatan, baik intraregional maupun interregional. Aktivitas konsumsi menyangkut pengeluaran, pendapatan rumahtangga dan pendapatan pemerintah. Dalam hal ini yang akan dikaji adalah struktur pengeluaran dan sumber pendapatan rumahtangga intraregional dan interregional. Selain itu, dikaji juga kebijakan pemerintah tentang pemerataan pendapatan antargolongan rumahtangga. Penelitian ini akan menggunakan data pada satu titik waktu, sehingga hasil yang diperoleh hanya dapat menggambarkan kesenjangan ekonomi dan distribusi pendapatan baik intra maupun interregional pada waktu tertentu. Sehingga, tidak dapat menggambarkan laju pertumbuhan ekonomi, perubahan kesenjangan ekonomi dan perubahan distribusi pendapatan baik intra maupun interregional.