I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

Bab 4 P E T E R N A K A N

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

KINERJA USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI SULAWESI SELATAN. Armiati dan Yusmasari

ANALISIS KELAYAKAN USAHA AYAM RAS PETELUR PADA DIAN LAYER FARM DI DESA SUKADAMAI KECAMATAN DARMAGA KABUPATEN BOGOR SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Tabel I.1 Jumlah Unit Usaha di Indonesia Tahun (unit) (unit) 99,99 2. Usaha Besar (unit) (orang) (orang)

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. potensi sumber daya alam yang besar untuk dikembangkan terutama dalam

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR

Jumlah Ternak yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) menurut Provinsi dan Jenis Ternak (ekor),

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi di negara berkembang dalam. meningkatkan kualitas sumber daya manusianya adalah pada pemenuhan

MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

I. PENDAHULUAN. Sumber :

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

KATA PENGANTAR. Dukungan Data yang akurat dan tepat waktu sangat diperlukan. dan telah dilaksanakan serta merupakan indikator kinerja pembangunan

I. PENDAHULUAN. Biro Pusat Statistik (1997) dan Biro Analisis dan Pengembangan. Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA JULI 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA APRIL 2016

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA DESEMBER 2014

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA OKTOBER 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI KEPULAUAN RIAU JANUARI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA DESEMBER 2015

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

NILAI TUKAR PETANI PROVINSI LAMPUNG NAIK 0,61 PERSEN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA MEI 2017

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA MARET 2016

BAB II. PERJANJIAN KINERJA

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SEPTEMBER 2016.

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA DESEMBER 2016

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Timur* Menurut Sub Sektor Bulan September 2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA MARET 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI KEPULAUAN RIAU APRIL 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI KEPULAUAN RIAU JUNI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOVEMBER 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2016

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA JULI 2015

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI 2017

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

METODE SPASIAL DALAM MEMETAKAN SEKTOR PETERNAKAN UNGGULAN DI INDONESIA. Oleh: Nur Faijah 1 Abdul Azim Wahbi 2

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN MEI 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI KEPULAUAN RIAU JUNI 2016

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN MEI 2015

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Kontribusi sektor pertanian cukup besar bagi masyarakat Indonesia, karena

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOVEMBER 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA JULI 2016

POLA PERDAGANGAN MASUKAN DAN KELUARAN USAHA TERNAK AYAM RAS"

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN DESEMBER 2015

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOVEMBER 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN AGUSTUS 2017

Transkripsi:

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan populasi penduduk, perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan, peningkatan pendapatan, kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi, arus globalisasi dan informasi perdagangan serta urbanisasi dan perubahan gaya hidup merupakan pemacu peningkatan terhadap produk peternakan termasuk telur (Ditjennak,2010). Hal ini tampak jelas dari pertumbuhan jumlah hasil produksi yang dihasilkan maupun pertumbuhan usaha dibidang ternak. Sementara pada sisi lain pertumbuhan populasi ternak termasuk unggas secara nasional tidak mampu mengimbangi pertumbuhan jumlah permintaan akan produk peternakan yaitu daging, susu, telur dan produk turunannya. Kondisis ini mengaakibatkan adanya kelebihan permintaan akan hasil peternakan di bandingkan penyediaan hasil ternak. Perkembangan atau perubahan pertumbuhan populasi ternak nasional tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 yang dimulai dari tahun 2005 hingga 2009. Terlihat pada tabel tersebut data adanya kenaikan dan penurunan populasi pada setiap jenis ternak yang dihasilkan secara nasional. Bahkan persentase rata-rata pertumbuhan ternak mengalami penurunan yaitu pada komoditi kerbau sebesar dua persen dan ayam buras sebesar 2,39 persen. kondisi ini menunjukkan, dikarenakan kurangnya peternakan yang mengembangkan dan membudidayakan ternak ini. Peternak yang menggembpangkan usaha ini kebanyakan adalah peternak kecil atau peternak rumah tangga. Peternak rumah tangga biasanya memelihara ternak bukan untuk tujuan menjual hasil ternak secara keseluruhan, tetapi sebagian untuk konsumsi rumah tangganya. Sedangkan pada komoditi lainnya populasi peternakan mengalami peningkatan. Peningkatan populasi ternak terbesar yaitu pada komoditi kelinci sebesar 15,62 persen, merpati sebesar 32,36 persen dan puyuh sebesar 10,86 persen. Peningkatan ini dikarenakan peluang dan prospek yang cukup menggiurkan dalam usaha ini sedangkan yang membudidayakannya masih jarang, kondisi ini mengakibatkan meningkatnya jumlah permintaan sehingga para peternak tertarik untuk mengusahakan dan membudidayakan ternak ini.

Tabel 1. Populasi Ternak (000 ekor) 2005-2009 Nasional Ternak 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata Pertumbuhan (%) Sapi Potong 10569 10875 11515 12257 12760 3.67 Sapi Perah 361 369 374 458 475 5.08 Kerbau 2128 2167 2086 1931 1933-2 Kambing 13409 13790 14470 15147 15858 3.28 Domba 8327 8980 9514 9605 10199 3.93 Babi 6801 6218 6711 6838 6975 0.35 Kuda 387 398 401 393 399 0.59 Kelinci 0 0 708 748 3473 15.62 Ayam Buras 278954 291085 272251 243423 249963-2.39 Ayam Petelur 84790 100202 111489 107955 111418 5.06 Ayam Pedaging 811189 797527 891659 902052 1026379 4.42 Itik 32405 32481 35867 39840 40680 4.34 Puyuh 0 0 6640 6683 14429 10.86 Merpati 0 0 163 1499 5149 32.36 Entok 0 0 0 0 0 0 Sumber : Ditjennak,2010 Dilihat dari Tabel 1 tampak populasi ternak setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan hampir disemua jenis ternak. Kondisi ini membuktikan bahwa peluang dan potensi peternakan untuk dikembangkan masih sangat besar. Populasi ternak unggas (ayam petelur, ayam pedaging, itik, puyuh dan merpati) hampir disemua komoditi mangalami kenaikan pertumbuhan populasi. Naiknnya jumlah populasi unggas mempengaruhi pertumbuhan daging dan telur yang dihasilkan oleh ternak tersebut terutama telur, karena telur merupakan produk yang paling banyak dinikmati. Telur merupakan sumber protein utama dan murah bagi masyarakat Indonesia. Selain telur ayam, telur itik dan telur puyuh juga digemari masyarakat Indonesia. Namun, pasokan yang sedikit di pasaran membuat harga telur itik dan telur puyuh lebih mahal dibandingkan harga telur ayam. Selain itu tingginya tingkat permintaan akan telur memberikan peluang yang sangat besar bagi para peternak untuk 2

mengembangkan usahanya. Pertumbuhan ekonomi di segala sektor telah memacu pula meningkatan pendapatan masyarakat, baik di kota maupun di pedesaan yang pada gilirannya akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk meningkatkan gizinya, terutama yang bersumber dari protein hewani yang relatif murah dan mudah didapat sehingga yang berpendapatan menengah kebawah lebih banyak mengkonsumsinya dibandingkan dengan daging sapi atau susu. Salah satu penghasil hewani adalah ternak. Secara nasional, perkembangan populasi berbagai jenis ternak menunjukkan peningkatan yang besar, terutama untuk ternak unggas. Walaupun demikian, Indonesia dengan jumlah penduduk 221 juta orang masih tergolong sebagai negara yang tingkat konsumsi daging ayam dan telur yang masih rendah dibanding dengan kebutuhan gizi maupun konsumsi negara lain. Atas dasar ini, pengembangan usaha peternakan ayam ras petelur mendapat prioritas dalam pengembangan perekonomian khususnya usaha kecil peternakan ayam ras petelur. Pertumbuhan produksi telur dapat dilihat pada Tabel 2 produksi beberapa ternak unggas yang menghasilkan telur secara nasional. Tabel 2. Produksi Telur (000 Ton) 2005-2009 Nasional Telur 2005 2006 2007 2008 2009 Rata Rata Pertumbuhan (%) Ayam Buras 175.4 194 230.5 166.6 160.9-3.26 Ayam Petelur 681.1 816.8 944.1 956 909.5 5.24 Itik 195 193.6 207.5 201 236.4 3.54 Sumber : Ditjennak,2010 Tabel 2 memperlihatkan perkembangan atau perubahan pertumbuhan produksi telur nasional mulai dari tahun 2005 hingga 2009. Pada komoditi ayam buras menunjukkan hasil produksi rata-rata mengalami penurunan sebesar 3.26 persen yang disebabkan oleh turunnya populasi ayam buras secara nasional sedangkan pada ayam petelur menunjukkan hasil produksi mengalami peningkatan sebesar 5,24 persen dan itik sebesar 3,54 persen. Ayam petelur mengalami peningkatan tertinggi dibandingkan dua komoditi lainnya. Hal ini membuktikkan 3

bahwa komoditi telur ayam petelur lebih diminati dibandingkan dua komoditi lainya. Selain lebih diminati harga telur ayam petelur lebih terjangkau dan barangnya lebih mudah didapatkan serta mudah diolah untuk campuran makanan lain. Peningkatan produksi telur tidak dirasakan di semua daerah. Setiap daerah atau propinsi mengalami pertumbuhan produksi yang berbeda-beda. Ada yang mengalami peningkatan produksi dan ada juga yang mengalami penurunan produksi. Tabel 3 memperlihatkan perkembangan atau perubahan pertumbuhan produksi telur tiap propinsi di Indonesia mulai dari tahun 2005 hingga 2009. Untuk Propinsi DKI Jakarta tidak menghasilkan produksi telur karena tidak adanya peternakan telur di propinsi tersebut. DKI Jakarta yang juga berstatus sebagai ibu kota negara terletak di daerah yang strategis karena berada disekitar daerah-daerah pertanian yang berfungsi sebagai pemasok dan penyokong kebutuhan kehidupan propinsi ini seperti Bogor, Cianjur, Bandung, Tangerang, Banten dan Sukabumi. Sedangkan propinsi lainnya ada yang mengalami penurunan dan peningkatan yang cukup signifikan. Penurunan paling drastis tampak pada propinsi Sulawesi Barat sebesar 187,53 persen. Dari 1.513 ton pada tahun 2006 mengalami penurunan produksi yang sangat drastis hingga tinggal 210 pada tahun 2007 dan hal ini berlanjut hingga tahun 2009. Penurunan telur diikuti oleh propinsi Papua Barat, Papua, Kalimantan Tengah, Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Timur dan Bali. Pada propinsi ini dapat disimpulkan bahwa telur mengalami kelangkaan pasokan. Sedangkan peningkatan produksi telur tampak nyata pada propinsi Kepulauan Riau sebesar 23,21 persen. Mulai dari tahun 2005 hingga 2009 produksi telur terus mengalami peningkatan. Fakta ini menunjukkan bahwa permintaan telur di propinsi ini terus mengalami permintaan dan besarnya penyerapan pasar akan komoditi telur. Peningkatan yang tampak nyata diikuti oleh propinsi Maluku, Maluku Utara, Banten, Aceh dan Kalimantan Selatan. 4

Tabel 3. Produksi Ayam Petelur (000 Ton) 2005-2009 Menurut Propinsi Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata Pertumbuhan (%) Aceh 729 1001 1311 886 1868 11.08 Sumatera Utara 55464 48820 73892 68979 69323 2.74 Sumatera Barat 40381 43241 49316 48938 55538 6.01 Riau 2867 2440 4089 4833 5049 8.45 Jambi 3964 2974 3299 3178 3393-4.18 Sumatera Selatan 32749 37471 37656 42974 46683 6.68 Bengkulu 219 699 1189 609 435-5.07 Lampung 19353 12808 25097 14427 34231-3.64 DKI Jakarta 0 0 0 0 0 0 Jawa Barat 93472 95143 105361 105046 95628 0.26 Jawa Tengah 92137 125221 129862 135057 169146 10.79 DI Yogyakarta 15649 19057 18304 23921 26250 9.22 Jawa Timur 200673 282478 324918 292786 204147-2.47 Bali 31892 29272 26514 28694 28894-2.21 NTB 606 717 652 679 648 0.94 NTT 575 573 521 691 607 0.86 Kalimantan Barat 16335 16335 21344 22092 15988-2.26 Kalimantan Tengah 464 247 488 507 522-6.36 Kalimantan Selatan 12033 9117 14630 15431 30645 12.11 Kalimantan Timur 5519 5658 5062 5264 8032 5.79 Sulawesi Utara 6065 5567 7907 7380 7219 2.25 Sulawesi Tengah 2911 4244 7991 4202 4897 0.46 Sulawesi Selatan 28362 28925 19092 36804 45148 3.41 Sulawesi Tenggara 616 693 537 664 1248 9.59 Maluku 53 64 69 213 267 22.45 Papua 730 948 630 683 676-4.15 Bangka Belitung 466 2026 2054 1629 1463 8.1 Banten 12692 35683 52756 54866 43620 14.97 Gorontalo 896 864 932 1039 1039 2.77 Maluku Utara 41 53 86 90 134 19.65 Kepulauan Riau 1505 2682 3330 3729 6433 23.21 Papua Barat 286 299 346 640 305-9.19 Sulawesi Barat 1440 1513 210 52 44-187.53 Sumber : Ditjennak,2010 5

Untuk propinsi Jawa Barat peningkatan produksi telur tidak terlalu besar. Hal ini dikarenkan penurunan pasokan telur dan meningkatnya jumlah penduduk. Jawa Barat merupakan salah satu daerah pertanian yang sangat mendukung untuk pertumbuhan subsektor pertanian yaitu peternakan. Kondisi ini membuktikan bahwa masih adanya peluang dan potensi peternakan ayam petelur untuk dikembangkan sangat besar. Selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga daerahnya sendiri Jawa Barat juga memenuhi pasokan telur kebeberapa daerah yang ada disekitanya. Prospek pengembangan agribisnis ayam ras petelur di masa yang akan datang dilihat dari sisi penawaran (supply side) dan sisi permintaan (demand side) telur di Indonesia pangsa telur ayam ras mengalami peningkatan yang cukup berarti, dari 53,92 persen pada tahun 2005 menjadi 62,71 persen pada tahun 2008. Tidak hanya konsumsi nasional yang meningkat. Meningkatnya konsumsi nasional berdampak pada meningkatnya produksi telur. Terutama produksi telur di daerah atau wilayah yang jumlah penduduknya banyak dan padat. Salah satu daerah tersebut adalah Kabupaten Bogor. Tabel 4. Produksi Telur (Butir) 2006-2009 Pada Kabupaten Bogor Telur 2006 2007 2008 2009 Rata-Rata Pertumbuhan (%) Ayam Ruras 18,423,726 15,442,522 15.122.786 10.521.606-13.03 Ayam Petelur 644,036,951 590,730,130 612.722.382 642.914.688-0.14 Itik 24,271,977 15,187,501 12.895.182 13.983.216-13.96 Sumber : Ditjennak,2010 Tabel 4 memperlihatkan pertumbuhan telur yang ada di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah yang berpotensi untuk pengembangan sektor pertanian secara umum termasuk subsektor peternakan. Masih banyaknya lahan kosong serta suhu yang tidak terlalu panas sangat mendukung pertumbuhan subsektor peternakan terutama unggas. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor Tahun 2007 diketahui bahwa jenis ternak ayam ras pedaging mempunyai proporsi terbesar dalam jumlah populasi dengan jumlah populasi 6

12.756.300 ekor disusul dengan ternak ayam ras petelur dengan jumlah populasi 3.791.836 ekor. Permintaan akan telur ayam ras cukup tinggi yaitu sekitar 16.000.000 butir perminggu sedangkan pasokan telur ayam ras hanya sekitar 12.346.437 sehingga pemenuhan akan telur ayam ras masih kurang sekitar 22,8 persen. Untuk memenuhi kebutuhan telur tersebut pedagang mencukupi dengan mengambil telur yang berasal dari Sukabumi, Cianjur dan Jawa Tengah. Melihat kondisi permintaan serta penawaran yang ada di pasar tersebut, maka terdapat peluang pasar yang cukup berprospek bagi pengusaha untuk mengembangkan peternakan ayam ras petelur di daerah Bogor. Dari data tabel diatas tampak bahwa semua komoditi telur mengalami penurunan, penurunan tertinggi terdapat pada komoditi telur itik sebesar 13,96 persen disusul komoditi telur ayam buras sebesar 13,03 persen kemudian telur ayam petelur sebesar 0,14 persen. Hal ini diakibatkan tingginya komsumsi Kabupaten Bogor terhadap telur dan meningkatnya permintaan tiap tahun yang diakibatkan peningkatan pendapatan dan jumlah penduduk. Sementara perusahaan-perusahaan yang menghasilkan telur masih sangat terbatas dan sedikit. Oleh karena itu peluang untuk mengembangkan dan meningkatkan komoditi telur masih sangant besar di daerah ini. Kelangkaan telur juga dialami perusahaan-perusahaan yang menghasilkan telur karena permintaan melebihi produksi yang dihasilkan perusahaan tiap harinya. Peluang tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menambah produktivitasnya terhadap telur ayam ras karena permintaan akan telur lebih banyak pada komoditi ini atau masih besarnya peluang pasar untuk mengembangkan usaha peternakan ayam ras petelur. Salah satu perusahaan lokal yang melakukan usaha peternakan ayam ras petelur adalah Dian Layer Farm (DLF). Dian Layer Farm merupakan peternakan ayam ras petelur yang terletak di Desa Sukadamai. Selain memiliki tempat yang strategis, DLF juga mempunyai pasar yang cukup luas. Banyaknya jumlah permintaan telur setiap hari yang tidak dapat dipenuhi oleh DLF menjadi peluang untuk perusahaan dalam mengembangkan usahanya serta melakukan analisis kelayakan usaha telur ayam ras ketika dilakukan penambahan jumlah produksi dalam memenuhi permintaan konsumen. Untuk melakukan hal tersebut DLF melakukan 7

perubahan struktur kandang ayam agar dapat menampung lebih banyak ayam ras petelur dan dapat mengefisienkan lahan yang digunakan. 1.2 Perumusan Masalah Perkembangan usaha peternakan saat ini di Indonesia khususnya perunggasan semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan berdirinya perusahaan peternakan bagian perungasan (ayam, itik dan burung). Perusahaan perunggasan merupakan salah satu subbidang di peternakan yang menghasilkan telur dan daging yang cukup besar untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari yang mudah didapat dan harganya lebih terjangkau. Kegiatan agroindustri ayam petelur skala besar semakin menjurus pada kegiatan hilir yaitu impor dan perdagangan, dengan perputaran modal yang sangat cepat dan resiko yang lebih kecil. Aktivitas agroindustri ayam petelur saat ini belum terintegrasi dan bersinergi dengan kegiatan di sektor hulu. Sementara itu kegiatan di hulu yang merupakan usaha pembibitan dan budidaya ayam petelur, sebagian besar dilakukan oleh peternak dengan skala terbatas dan dengan margin yang kecil. Mereka harus menghadapi persaingan yang kurang seimbang, termasuk serbuan daging murah yang sebagian tidak berkualitas atau tidak terjamin. Indonesia pada saat ini masih mengalami kekurangan ayam petelur karena pertambahan populasi ayam petelur tidak seimbang dengan kebutuhan konsumsi nasional. Dilain pihak kebutuhan masyarakat terhadap telur cenderung semakin meningkat. Salah satu upaya peningkatan produksi ayam petelur dalam negeri yaitu dengan upaya pengembangan usaha. Dengan usaha ini diharapkan menghasilkan pertambahan produksi telur yang tinggi dan efisien sehingga dapat diperoleh telur dengan kualitas yang lebih baik. Salah satu perusahaan lokal yang melakukan usaha peternakan ayam ras petelur adalah Dian Layer Farm (DLF). Unit bisnis utama dari perusahaan DLF yaitu budidaya ayam ras petelur untuk dijual telurnya. Unit bisnis lainnya yaitu menjual ayam afkir dan kotoran ayam. Saat ini DLF masih menjual telurnya ke pasar Darmaga dan pedagang-pedagang telur disekitar wilayah Bogor dan belum memasarkan telur keluar wilayah Bogor. Meskipun baru didirikan pada bulan Juni 8

2008 namun DLF mampu menghasilkan telur ayam ras layak jual sebanyak kurang lebih 11.700 butir telur per hari dari 13.000 ekor ayam secara keseluruhan. Berdasarkan jumlah ayam petelur yang diternakan maka DLF dapat dikategorikan ke dalam usaha besar karena jumlah ayam petelur yang dipelihara lebih dari 8.000 ekor (Listyowati dan Roospitasari, 2005). Banyakanya jumlah telur yang dihasilkan oleh DLF perhari ternyata belum memenuhi semua permintaan pasar. Berdasarkan wawancara dengan pengelola DLF permintaan dari seluruh para pelanggan DLF terhadap telur ayam ras sebanyak 15.000 butir perhari, namun pemenuhan permintaan hanya mampu memenuhi sekitar 78 persen dari permintaan yaitu sekitar 11.700 butir per hari. Oleh karena itu DLF masih punya peluang untuk menambah produksi sekitar 3.300 butir telur ayam ras per hari agar dapat memenuhi pasar dan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Pencapaian target produksi telur ayam ras DLF dapat tercapai apabila disertai dengan perluasan kandang dan penambahan populasi ayam petelur. Selain itu manajemen yang dilakukan oleh DLF juga masih sederhana sehingga harus diperhatikan. Pengelola DLF masih bergantung pada pemilik. Keputusan masih bergantung sepenuhnya pada pemilik. Pembukuan keuangan yang dilakukan pada perusahaan masih sederhana dan sampai saat ini belum pernah dilakukan analisis kelayakan, baik secara finansial maupun non finansial. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan analisis kelayakan pada usaha telur ayam ras di DLF baik usaha yang sedang dijalani sekarang maupun rencana usaha yang akan dikembangkan. Analisis usaha ini dilakukan untuk mengetahui apakah usaha telur ayam ras tersebut layak jika dilihat dari aspek non finansial terdiri dari aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, sosial dan lingkungan. Sedangkan aspek finansial dibagi menjadi dua skenario dimana skenario satu menjelaskan tentang keadaan finansial DLF kondisi awal dan skenario dua menjelaskan keadaan finansial DLF kondisi awal dan pengembangan. Ayam ras petelur termasuk salah satu unggas yang peka terhadap penyakit. Selain menimbulkan kematian, penyakit yang menyerang unggas ini dapat meningkatkan morbidibitas ( tingkat kesulitan hidup pada individu atau kelompok 9

ternak). Penyakit ayam sangat banyak jumlahnya. Masing-masing jenis penyakit memiliki sifat dan keganasan yang berbeda. Ayam petelur yang terserang penyakit, produktivitasnya akan menurun sehingga telur yang dihasilkan akan berkurang. Jumlah telur yang menurun akan menurunkan penerimaan perusahaan dan akan mengurangi laba. Hal lain yang harus diperhatikan yaitu kenaikan harga pakan dan DOC ( ayam anakan ). Kenaikan pakan disebabkan harga jagung yang berfluktuasi akibat mahalnya harga pupuk serta mahalnya bahan komponen lain seperti konsentrat pakan. Apabila harga pakan naik maka biaya yang ditanggung oleh perusahaan akan semakin besar. Masalah ini akan turut berpengaruh pada laba yang akan diperoleh oleh perusahaan. Sedangkan harga telur ayam ras cenderung berfluktuatif. Untuk itu maka diperlukan analisis sensitivitas terhadap penurunan produksi telur akibat serangan penyakit dan peningkatan harga pakan. DLF juga berencana akan melakukan perluasan usaha dimana biaya yang akan dikeluarkan DLF terhadap usaha tersebutakan lebih besar dari sebelumnya sehingga perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk rencana perluasan DLF terhadap kemungkinan kenaikan biaya total usaha baru DLF. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu: 1. Bagaimana kelayakan usaha ayam ras petelur pada Dian Layer Farm bila dikaji dari aspek non finansial meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan aspek sosial lingkungan baik pada kondisi awal maupun setelah melakukan pengembangan? 2. Bagaimana kelayakan usaha ayam ras petelur pada Dian Layer Farm bila dikaji dari aspek finansial baik pada kondisi awal maupun setelah melakukan pengembangan? 3. Bagaimana sensitivitas kelayakan usaha ayam ras petelur pada Dian Layer Farm jika terjadi penurunan produksi dan peningkatan biaya variabel baik pada kondisi awal maupun setelah melakukan pengembangan? 10

1.3 Tujuan Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisi kelayakan usaha ayam ras petelur pada Dian Layer Farm dilihat dari aspek non finansial meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan aspek sosial lingkungan baik pada kondisi awal maupun setelah melakukan pengembangan. 2. Menganalisis tingkat kelayakan secara finansial usaha ayam ras petelur pada Dian Layer Farm baik pada kondisi awal maupun setelah melakukan pengembangan. 3. Menganalisis sensitivitas kelayakan secara finansial ayam ras petelur pada Dian Layer Farm jika terjadi penurunan produksi dan peningkatan biaya variabel baik pada kondisi awal maupun setelah melakukan pengembangan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian diharapakan dapat berguna bagi Dian Layer Farm sebagai bahan pertimbangan dalam pengusahaan peningkatan produksi telur ayam ras. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi masukan dan memberi informasi yang berguna bagi pihak yang berkepentingan untuk tertarik dalam usaha ayam petelur. 11