BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Indonesia Sehat 2010 merupakan Visi Pembangunan Nasional yang ingin dicapai melalui Pembangunan Kesehatan. Visi Pembangunan gizi adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat atau keluarga yang optimal (Dinkes Sumatera Utara,2006). Dalam menciptakan SDM yang bermutu baik, perlu perhatian sejak dini yaitu dengan memperhatikan kesehatan anak khususnya anak balita. Salah satu unsur penting dari kesehatan adalah masalah gizi. Kekurangan gizi pada anak balita dapat menimbulkan efek negatif seperti otak mengecil, berat badan dan tinggi badan tidak sesuai dengan umur, dan rawan terhadap penyakit. Kekurangan gizi yang serius dapat menyebabkan kematian anak (Irianto,2007). Permasalahan pokok yang dihadapi Bangsa Indonesia saat ini adalah tingginya masalah kurang gizi yang berdampak terhadap rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pada tahun 2003 di Indonesia terdapat sekitar 27,5% balita menderita gizi kurang. Sejumlah 110 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi kurang (termasuk gizi buruk) diatas 30%, yang menurut WHO dikelompokkan sangat tinggi. Kondisi ini memprihatinkan, karena mengancam sumber daya manusia kigta
dimasa mendatang (Depkes, 2005). Masalah kekurangan gizi terjadi karena banyak faktor yang saling mempengaruhi. Di tingkat rumah tangga, kekurangan gizi dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga menyediakan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup serta pola asuh yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan, perilaku, dan keadaan kesehatan rumah tangga. Salah satu penyebab timbulnya kekurangan gizi pada anak balita adalah akibat pola asuh anak yang kurang memadai (Soekirman, 2000). Menurut Utari (2005), terdapat kecenderungan pola asuh dengan status gizi. Hasil penelitiannya memberi bukti bahwa dari 40 responden terdapat 30 orang (75%) dengan pola asuh baik mempunyai status gizi baik dan 10 orang (25%) dengan pola asuh buruk mempunyai status gizi kurang. Disimpulkan, semakin baik pola asuh anak maka proporsi gizi baik pada anak juga semakin besar. Dengan kata lain, jika pola asuh anak di dalam keluarga semakin baik, tingkat konsumsi pangan anak semakin baik dan akhirnya mempengaruhi status gizi anak. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007 prevalensi gizi buruk di Indonesia berdasarkan indeks BB/U sebesar 5,4%, gizi kurang 13%, sedangkan menurut indeks BB/TB sangat kurus 6,2%, kurus 7,4%. Pada tahun 2010 prevalensi gizi buruk berdasarkan indeks BB/U sebesar 4,9%, gizi kurang 13% Jika dibandingkan dengan prevalensi di Propinsi Sumatera Utara jauh lebih tinggi yaitu pada tahun 2007 menurut indeks BB/U gizi buruk 8,4%, gizi kurang 14,3%, menurut indeks BB/TB sangat kurus 9,1%, kurus 7,9% dan pada tahun 2010 prevalensi berdasarkan indeks
BB/U gizi buruk 7,8%, gizi kurang 13,5%, sedangkan berdasarkan BB/TB kurus 5,6% dan kurus 8,4% (Riskesdas,2010) Berdasarkan data surveilans gizi buruk yang dilaksanakan pada tahun 2008 di Kota Medan berdasarkan indeks BB/U gizi buruk sebanyak 447 balita (0,6%), gizi kurang 6545 balita (9,6%), tahun 2009 terdapat gizi buruk sebanyak 761orang (0,6%), gizi kurang sebanyak 7036 orang ( 5,9%), tahun 2010 terdapat gizi buruk sebesar 1018 balita (0,8%), gizi kurang 5466 balita(4,6%) ( Dinkes Kota Medan,2010). Bahar (2002) dalam penelitian tentang pengaruh pola pengasuhan terhadap pertumbuhan anak di Kabupaten Baru Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa kualitas pengasuhan makanan anak yang dimiliki ibu, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kualitas pengasuhan perawatan dasar anak yang dimiliki ibu, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak, kualitas pengasuhan hygiene perorangan dan keamanan anak, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Pola asuh anak dalam setiap keluarga tidak selalu sama. Secara keseluruhan mutu asuhan dan perawatan anak yang kurang memadai disebabkan kurangnya pengetahuan dan perhatian ibu dan merupakan pokok pangkal terjadinya malapetaka yang menimpa bayi dan anak-anak menuju ke jurang kematian (Soekirman, 2000). Kurangnya peengetahuan ibu antara lain dapat ditanggulangi dengan pemberian konseling gizi. Menurut penelitian Wonatorey dkk, (2006), dengan judul Pengaruh Konseling Gizi Terhadap Individu Pengetahuan Gizi Ibu dan Perbaikan Status Gizi Balita Gizi Buruk Yang Mendapatkan PMT Pemulihan di Kota Sorong Irian Jaya
Barat menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna pengetahuan gizi ibu setelah di beri konseling gizi. Menurut penelitian Roselyn,(2010) yang berjudul Pengaruh Konseling gizi terhadap perubahan pengetahuan gizi ibu dab status gizi balita di wilayah kerja puskesmas Simpang Limun menunjukkan ada pengaruh konseling gizi terhadap pengetahuan gizi ibu dan status gizi balita. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Amplas adalah salah satu puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan, yang merupakan kantong gizi buruk dan gizi kurang. Data yang diperoleh dari Puskesmas Amplas pada tahun 2008 berdasarkan indeks BB/U gizi buruk sebanyak 17 balita (0,3%) dan gizi kurang 69 balita ( 1,3%), tahun 2009 gizi buruk 22 balita ( 0,4%) dan gizi kurang 96 balita ( 1,9%) dan pada tahun 2010 gizi buruk 27 balita (0,5%) dan gizi kurang sebanyak 106 orang (2,1%)(Amplas,2010). Hasil pengamatan peneliti menunjukkan pula, umumnya anak balita diasuh bukan oleh orang tuanya tetapi diasuh anggota keluarga lainnya (nenek, kakak, pengasuh) karena ibu bekerja sebagai buruh cuci atau buruh pabrik. Mengingat dampak negatif jangka panjang pada anak balita gizi buruk, maka perhatian khusus perlu diberikan untuk menghindari terjadinya loos generation. Peran Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Puskesmas sebagai unit terdepan dalam perawatan dan pemulihan sangat diperlukan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu peningkatan kesadaran dan pengetahuan gizi ibu adalah melalui kegiatan konseling gizi. Konseling gizi
adalah suatu proses komunikasi dua arah antara konselor dan klien untuk membantu klien mengenali dan mengatasi masalah gizi. Dalam hal ini, klien adalah ibu yang mempunyai anak balita gizi kurang yang bermukim di wilayah kerja Puskesmas Amplas sedangkan konselor adalah mahasiswa dan dibantu oleh mahasiswa tamatan D-IV gizi. Berdasarkan latar belakang diatas, perlu dilakukan studi tentang pengaruh konseling gizi terhadap pola asuh dan status gizi anak balita di wilayah kerja Puskesmas Amplas. 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian adalah apakah ada pengaruh konseling gizi (pemberian makan dan perawatan kesehatan) terhadap pola asuh (pemberian makan dan perawatan kesehatan) dan status gizi balita. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh konseling gizi (pemberian makan dan perawatan kesehatan) terhadap pola asuh (pemberian makan dan perawatan kesehatan) dan status gizi balita. 1.4 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : a. Ada pengaruh konseling gizi terhadap pola asuh b. Ada pengaruh konseling gizi terhadap status gizi balita.
1.5. Manfaat Penelitian a. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam menentukan kebijakan program penanggulangan masalah gizi. b. Untuk memperkaya Khasanah Ilmu Administrasi dan Kebijakan Gizi yang terkait dengan Pola Asuh Balita.