4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomassa Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total berat kering semua bagian tumbuhan hidup, baik seluruh atau hanya sebagian tubuh organisme, populasi, atau komunitas yang dinyatakan dalam berat kering persatuan luas (ton/ha) (Whitten et al. 1984). Sedangkan Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup dalam pohon yang dinyatakan dalam berat kering per unit area. Biomassa dibedakan menjadi dua kategori yaitu biomassa diatas permukaan tanah (aboveground biomass) dan biomassa dibawah permukaan tanah (belowground biomass). Biomassa di atas permukaan tanah adalah bobot bahan organik per unit luasan pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktivitas, umur tegakan, dan distribusi organik (Kusmana et al. 1992). Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO₂ dari udara dan mengubah bahan tersebut menjadi zat organik melalui proses fotosintesis. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri masing-masing tumbuhan. Lebih lanjut disebutkan bahwa jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984). 2.2 Pendugaan Biomassa Pendugaan biomassa hutan dibutuhkan untuk mengetahui perubahan cadangan karbon dan untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dari deforestasi serta penyimpanan karbon dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al. 2001). Biomassa dapat diukur secara akurat melalui penebangan, pengeringan, dan penimbangan. Akan tetapi cara tersebut tidak efisien dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Menurut Ewusie (1980), diacu dalam Jayasekara (1990),
5 pengukuran biomassa dapat dilakukan melalui pengukuran diameter setinggi dada (DBH) dan tinggi pohon serta pengukuran volume kayu yang dikonversi menjadi berat kering. Kandungan biomassa di atas permukaan tanah dari berbagai spesies pohon dapat diukur menggunakan persamaan allometrik. (Whittaker et al. 1974; Pastor et al. 1984; David et al. 1987 diacu dalam Jayasekara 1990). Model-model alometrik untuk menduga total biomassa di atas permukaan tanah dari beberapa jenis pohon di hutan tanaman Indonesia adalah sebagai berikut (Tiryana 2011) : Tabel 1 Model-model alometrik No. Jenis Pohon Lokasi Model Alometrik Sumber 1. Jati (Tectona grandis) Cepu, Jawa tengah Hendri (2001) 2. Pinus Cianjur (Pinus merkusii) Bogor 3. Mahoni (Swietenia macrophylla) 4. Akasia (Acacia mangium) Sumber : Tiryana 2011 Cianjur, Jawa Barat Bogor Sumatera Selatan W = 0,2759 d 22227 (R 2 = 0,941) W = 0,206 d 2,26 W = 0,0292 d 2,802 (R 2 = 0,941) W = 0,048 d 2,68 (R 2 = 0,958) W = 0,0528 d 2,7222 W = 0,070 d 2,580 (R 2 = 0,965) W = 0,066 d 2,036 h 0,551 (R 2 = 0,978) Wi = a(d²h) b (R 2 = 0,9892) Hendra (2002) Heriansyah (2005) Adinugroho (2002) Miyakuni et al. (2004) Wicaksono (2004) Heriansyah (2007) Pengukuran biomassa tegakan di lapangan untuk memperoleh data biomassa dihitung menggunakan hubungan alometrik dengan rumus Wi = a (D²H) b dimana parameter yang digunakan adalah diameter (D) dan tinggi (H). Alometrik tersebut digunakan dalam menduga nilai biomassa pada tegakan akasia di hutan tanaman pada daerah Sumatra Selatan dengan nilai R 2 = 0,9892 (Heriansyah 2007). Beberapa penelitian lain juga melakukan pendugaan biomassa dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Data yang digunakan adalah data biomassa yang di ukur di lapangan dan kemudian menghubungkan data tersebut dengan data nilai backscatter citra. Dengan menganalisis hubungan tersebut, akan
6 diperoleh persamaan yang bisa digunakan untuk menduga potensi biomassa melalui peta citra. Metode ini memiliki akurasi data yang cukup baik, disamping itu waktu dan biaya yang dibutuhkan juga relatif tidak mahal (Bergen and Doubson 1999; Lu 2006; Ahmed et al. 2009 dalam Riska 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi biomassa dapat berupa suhu dan curah hujan yang bisa mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon. Selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh (Satoo dan Madgwick 1982 dalam Rochmawati 2010). 2.3 Akasia (Acacia mangium) Akasia (Acacia mangium Willd) termasuk ke dalam sub famili Mimosoidae famili Leguminosae. Tmanaman ini merupakan salah satu tumbuhan cepat tumbuh (fast growing species) dan mudah tumbuh (adaptive) pada kondisi lahan yang rendah tingkat kesuburannya. Jenis ini tersebar secara alami di Australia, Papua Nugini, Maluku, Papua bagian utara dan Papua bagian selatan. Tumbuhan ini tidak memiliki persyaratan tumbuh yang tinggi, dapat tumbuh pada lahan dengan ph rendah yaitu 4,5; tanah berbatu serta atanah yang mengalami erosi. Tumbuh pada ketinggian 30-130 mdpl dengan curah hujan yang bervariasi antara 1000-4500 mm/tahun dan merupakan jenis yang sesuai ditanam di daerah terbuka (jenis intoleran) (Gunn & Midgley 1991 dalam Leksono 1996). Akasia merupakan pohon yang banyak ditanam dalam kegiatan rehabilitasi lahan. Karakteristiknya yang cepat tumbuh dan tajuknya yang lebat menjadikan pohon ini efektif dan dapat mengurangi resiko kebakaran. Kemampuannya untuk tumbuh dengan baik di tanah yang kurang subur khusunya pada tanah dengan kandungan fosfor yang rendah menjadikan spesies ini spesies favorit dalam rehabilitasi lahan yang tererosi. Kayu dari Acacia mangium dapat digunakan sebagai partikel, plywood, veener, pulp, kayu bakar, dan arang. Pembuahan pada Acacia mangium terjadi pada bulan Mei di Australia, sedangkan di Indonesia terjadi pada bulan Juni, di Papua Nugini terjadi pada bulan September, dan di Amerika Tengah terjadi pada bulan Februari sampai April (Francis 2003).
7 2.4 Citra Satelit Sistem Radar Radar (Radio Detection and Ranging) merupakan suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan letak posisinya, prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari asal gema echo, atau pantulan yang diterima dari objek dalam sistem medan pandang (Lillesand dan Kiefer 1990). Radar (Radio Detecting and Ranging) dikembangkan sebagai suatu cara untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan posisi objek tersebut dengan menggunakan radio. Karena penginderaan jauh sistem radar merupakan penginderaan jauh sistem aktif, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan jauh dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini berupa pulsa bertenaga tinggi yang dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek yaitu sekitar 10-6 detik (Purwadhi 2001). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal sistem radar adalah panjang gelombang. Panjang gelombang sinyal radar menentukan bentangan yang terpencar oleh atmosfer. Daya tembus pulsa radar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu daya tembus terhadap atmosfer dan daya tembus terhadap permukaan. Makin rendah panjang gelombang maka makin rendah daya tembusnya. Sebaliknya, semakin tinggi panjang gelombang maka akan semakin tinggi daya tembusnya (Lillesand dan Kiefer 1990). Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang horizontal (H) ataupun vertikal (V), demikian pula dapat diterima pada bidang mendatar maupun tegak sehingga ada empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dan dikirim V diterima V (VV). Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang dipantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan. Banyak sifat khas medan yang bekerja bersama panjang gelombang dan polarisasi sinyal radar untuk menentukan intensitas hasil balik radar dari objek. Akan tetapi faktor utama yang mempengaruhi intensitas hasil balik sinyal objek adalah ukuran (geometris) dan sifat khas elektrik objek. Efek geometri
8 sensor/objek dari intensitas backscatter radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar tenaga datang ke semua arah dan hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena. Suatu permukaan halus pada umumnya memantulkan sebagian besar tenaga menjauhi sensor dan mengakibatkan sinyal hasil balik yang rendah. Meskipun demikian orientasi objek terhadap sensor harus dipikirkan juga karena permukaan halus yang mengarah ke sensor akan menghasilkan sinyal balik yang sangat kuat (Lillesand and Kiefer 1990). Gambar 1 Mekanisme hamburan balik pada radar di setiap jenis permukaan. Gelombang radar yang lebih panjang menghasilkan nilai backscatter yang tinggi pada penetrasi batang, percabangan, permukaan tanah dan tajuk. Sedangkan gelombang yang lebih pendek menghasilkan nilai backscatter yang tinggi hanya pada tajuk saja. Kemampuan gelombang panjang untuk mempenetrasikan kanopi hutan dengan lebih baik menjadi dasar kemampuan dari sistem SAR untuk secara langsung mengestimasi kuantiti dari struktur tegakan. Dalam hal ini yang berkaitan dengan biomassa dimana sebagian besar biomassa berada pada batang dan percabangan (ranting-ranting besar). Banyak studi yang telah dilakukan dan menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan hamburan balik pada SAR (Mitchard 2009). 2.5 ALOS PALSAR ALOS (Advance Land Observing Satellite) adalah satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yanglebih maju. ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh : yaitu Panchromatik Remote_sensing Instrument Stereo Mapping (PRISM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dan Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR). Karakterisitk citra ALOS dapat dilihat pada Tabel 2.
9 Tabel 2 Karakteristik citra ALOS Karakteristik Keterangan Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006 Alat Peluncuran Roket H-IIA Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima Berat satelit 4000 Kg Power 7000 W Waktu Operasional 3 sampai 5 tahun Sun-Synchronous Sub-Recurrent Orbit Repeat Cycle: 46 days, Sub Cycle: 2 days Tinggi Lintasan 691,65 Km diatas Equator Inclinasi 98,16 Akurasi Ketinggian 2,0 x 10 ⁴⁰ (dengan GCP) Akurasi Posisi 1 m (off-line) Kecepatan Perekaman 240Mbps (via Data Relay Technology Satellite) 120Mbps (Transmisi Langsung) Onboard Data Recorder Solid-state data recorder (90Gbytes) Sumber : Jaxa 2010 Sensor PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas, yaitu 250 km hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan atau sapuan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Data PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM, Interferometri untuk mendapatkan pergeseran tanah, maupun kandungan biomassa, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, dan lain-lain. Bentuk dari instrumen PALSAR disajikan pada Gambar 2. Karakteristik PALSAR dalam melakukan perekaman dapat dilihat pada Tabel 3.
10 Tabel 3 Karakteristik PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Experiment Mode) Frekuensi 1.270 MHz (L-Band) Lebar Kanal 28/114 MHz Polarisasi HH/VV/HH+HV VV+VH atau HH atau VV HH+HV+VH+VV Resolusi Spasial 10 m (2 look)/20 m (4 look) 100 m (multi look) 30 m Lebar cakupan 70 km 250-350 km 30 km Incidence Angle 8-60 derajat 18-43 derajat 8-30 derajat NE Sigma 0 <-23 db (70 km) <-25 db (60 km) <-25 db <-29 db Panjang Bit 3 bit atau 5 bit 5 bit 3 bit atau 5 bit Ukuran AZ:8.9 m x EL :2.9 m Sumber : Jaxa 2010 Gambar 2 Satelit ALOS PALSAR (Jaxa 2010).