BAB V PENUTUP. penyebab dan dampak-dampak yang ditimbulkan baik yuridis maupun non yuridis. Kabupaten Madiun dapat disimpulkan sebagai berikut:

dokumen-dokumen yang mirip
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAPAS

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat) sebagaimana yang. termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

Bag.I. HUBUNGAN SISTEM PEMASYARAKATAN DENGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM LAINNYA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI SUMATERA BARAT

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

PERANAN HAKIM PENGAWAS DAN PEGAMAT TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II.B KOTA PADANGSIDIMPUAN. Oleh: Marwan Busyro 1

PERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN SUBANG BUPATI SUBANG,

KESEPAKATAN BERSAMA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01/KB/I-VIII.

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dan hendak dilaksanakan oleh bangsa ini tidak hanya hukum

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BIDANG PENGAWASAN MELEKAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2008 TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG LANGKAH-LANGKAH KOMPREHENSIF PENANGANAN MASALAH POSO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MATRIK RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH KEMENTERIAN/LEMBAGA TAHUN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 Tentang : Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 55 TAHUN 1991 (55/1991) TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA,

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP 558 /A/J.A/ 12/ 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2008 TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 88 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang muncul sejak berdirinya

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-2- pembangunan nasional di pusat maupun di daerah sebagaimana penjabaran dari Nawa Cita demi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepr

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2005 TENTANG BADAN KOORDINASI KEAMANAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

JAKARTA, 03 JUNI

A. Penerapan Bantuan Hukum terhadap Anggota Kepolisian yang. Perkembangan masyarakat, menuntut kebutuhan kepastian akan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2008 TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN BANYUWANGI

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA PAREPARE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-005 /A/JA/03/2013 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENGAWALAN DAN PENGAMANAN TAHANAN

MEWUJUDKAN DPR RI SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN YANG KREDIBEL 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

WALIKOTA TANGERANG SELATAN

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN MADIUN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI NOMOR 16 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 1999 TENTANG KOMISI INDEPENDEN PENGUSUTAN TINDAK KEKERASAN DI ACEH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai negara yang memiliki posisi strategis dalam kehidupan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

Nama : ALEXANDER MARWATA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2001 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN HUKUM Dan HAM. Notaris. Sekretariat. Majelis Pengawas. Tata Kerja.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1982 TENTANG POKOK-POKOK ORGANISASI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan pembahasan yang telah. diuraikan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :

Transkripsi:

188 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai faktor-faktor penyebab dan dampak-dampak yang ditimbulkan baik yuridis maupun non yuridis dari tidak dilaksanakannya pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat baik di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat baik di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun pada hakikatnya dapat dilakukan pada saat terpidana bersyarat tersebut sedang menjalani masa percobaan sampai masa percobaan yang dijalani habis. Adapun alasan dari tidak dilaksanakannya pengawasan dan pengamatan di kedua wilayah tersebut dapat dikategorikan kedalam tiga faktor besar yakni faktor human/ manusia sebagai pelaksana, faktor peraturan perundangundangan yang menjadi dasar dari pelaksanaan, dan faktor teknis yang menjadi pendukung pelaksanaan ketentuan tersebut. Faktor human/ manusia sebagai pelaksana dimaksud yakni disebabkan oleh tidak adanya kesungguhan dari ketua pengadilan negeri dan persepsi yang keliru akibat dari minimnya pemahaman hakim pengawas dan

189 pengamat mengenai tugas dan hakikat pengawasan dan pengamatan pada terpidana bersyarat. Faktor peraturan perundang-undangan dimaksud ialah belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pedoman/ standart operating prosedur (SOP) dan teknis pola koordinasi antar instansi yang terlibat dalam pengawasan dan pengamatan pada terpidana beryarat, selain itu juga ditambah dengan adanya pertentangan antara hakikat tujuan pengamatan dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam upaya mendekatkan hakim dengan hukum penitensier, sehingga membuat hakim pengawas dan pengamat maupun ketua pengadilan enggan untuk melaksanakan pengawasan dan pengamatan pada terpidana bersyarat, karena selama ini hakim hanyalah corong dari undang-undang. Sedangkan faktor terakhir yang dimaksud dengan faktor teknis meliputi tidak adanya anggaran dalam pengawasan dan pengamatan pada terpidana beryarat yang dialokasikan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran/ DIPA dan belum adanya koordinasi/ kerjasama serta sulitnya menjalin koordinasi antar instansi penegak hukum atau antar sub sistem dalam sistem peradilan pidana yang terlibat dalam pengawasan dan pengamatan pada terpidana bersyarat juga menjadi penghambat pelaksanaan ketentuan ini sehingga membuat salah satu tujuan utama terwujudnya sistem paradilan pidana terpadu di Indonesia khususnya di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun menjadi sulit tercapai.

190 2. Dampak yuridis yang ditimbulkan dari tidak dilaksanakannya pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat lebih terlihat pada pelaksanaan hukum yang lain seperti dalam pelaksanaan pemidanaan bersyarat. Dampak yang ditimbulkan baik di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun, keduanya terlihat dalam tidak dilaksanakannya pengawasan oleh jaksa dan kurang maksimalnya pelaksanaan pembimbingan oleh pembimbing kemasyarakatan. Bahkan di Kabupaten Madiun terdapat beberapa putusan pemidanaan bersyarat yang tidak dieksekusi secara nyata/ riil oleh jaksa di Kejaksaan Negeri Mejayan, secara administratif putusan tersebut ada tetapi secara nyata/ riil di lapangan putusan tersebut tidak dieksekusi sehingga pelaksanaan pengawasan dan pembimbingan pada terpidana bersyarat terkadang juga tidak pernah dilakukan oleh jaksa di Kejaksaan Negeri Mejayan maupun pembimbing kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Klas II Madiun. Sedangkan dampak yang ditimbulkan dalam pelaksanaan pembimbingan pada terpidana bersyarat adalah tidak terjaminnya hakhak terpidana bersyarat yang seharusnya didapatkan seperti salah satunya mendapatkan pembimbingan/ terapi secara berkala dari pembimbing kemasyarakatan. Hal tersebut seharusnya tidak perlu terjadi bila hakim pengawas dan pengamat melakukan pengawasan dan pengamatan pada terpidana bersyarat. Hakim dapat mengawasi dan mengamati pelaksanaan pemidanaan bersyarat tersebut agar

191 dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Dampak yuridis yang lain yakni pada hakim pengawas dan pengamat itu sendiri, dikarenakan hakim pengawas dan pengamat juga hakim biasa yang menjalankan tugas peradilan dan merujuk pada hakikat adanya lembaga hakim pengawas dan pengamat, hakim tidak dapat melakukan penilaian keberhasilan putusan yang dijatuhkan khususnya pada diri terpidana bersyarat. Hakim menyatakan bahwa bila suatu pemidanaan itu berhasil indikator yang digunakan yakni apabila si terpidana bersyarat tersebut tidak melakukan tindak pidana kembali padahal hakikatnya indikator keberhasilan suatu pemidanaan pada diri terpidana lebih dari itu seperti dapat menjadi manusia yang lebih baik dan berguna serta dapat diterima kembali oleh masyarakat. Sedangkan dampak non yuridis yang ditimbulkan lebih berpengaruh pada diri si terpidana bersyarat. Hal ini terlihat di Kabupaten Madiun, bahwa dikarenakan pengawasan dan pembimbingan dalam masa percobaan yang seharusnya dilakukan oleh jaksa maupun pembimbing kemasyarakatan tidak pernah dilaksanakan, hal tersebut menimbulkan persepsi pada terpidana bahwa putusan yang dijatuhkan telah selesai sehingga terpidana bersyarat merasa sudah bebas dari segala hukuman. Bila ditelaah lebih seksama baik di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun dengan mendasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan, menimbulkan kesan bahwa selama ini pelaksanaan hukum dikedua wilayah tersebut masih jauh dari harapan

192 kesempurnaan khususnya pada salah satu hakikat adanya pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat sebagai jembatan/ penghubung dalam sistem peradilan pidana yang tidak dapat terwujud sehingga mengakibatkan sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia juga sulit untuk diwujudkan khususnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Madiun. B. Saran Demi terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dengan memaksimalkan penerapan pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat yang juga masih dipertahankan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan penerapan pidana pengawasan sebagai perubahan dari pidana bersyarat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Perlunya untuk meningkatkan kualitas diri mengenai pemahaman dan kepekaan serta peningkatan kesungguhan dan political will/ kemauan politik yang baik dari aparat penegak hukum khususnya ketua pengadilan dan hakim pengawas dan pengamat dalam melaksanakan suatu ketentuan perundang-undangan khususnya pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat; 2. Pemerintah segera membuat peraturan pelaksanaan secara rinci dan jelas yang mengatur tentang pedoman/ standart operating prosedur

193 (SOP) mengenai pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat demi mempermudah tugas pengawasan dan pengamatan serta koordinasi dengan instansi lain yang terkait sebagai upaya mewujudkan semangat idealita terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dan sebagai salah satu penunjang untuk memaksimalkan penerapan pidana bersyarat di Indonesia yang dalam kedepannya diubah menjadi pidana pengawasan. Selain itu juga perlunya diatur lebih jelas mengenai batasan dalam pengamatan suatu pemidanaan yang dikaitkan dengan upaya mendekatkan hakim dengan hukum penitensier sehingga tidak berbenturan dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Terkait masih dipertahankannya ketentuan mengenai pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi tahun 2013, pemerintah perlu memberikan penegasan kembali mengenai tugas dan wewenang hakim pengawas dan pengamat, penilaian dalam pengawasan dan pengamatan, serta pengaturan pola koordinasi antar instansi yang berperan dalam penerapan pemidanaan bersyarat. 3. Perlunya memaksimalkan pola koordinasi yang sudah terjalin antar instansi penegak hukum atau sub-sub sistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pola koordinasi tersebut saat ini yang diwadahi dalam forum kesepahaman bersama antara kepolisian, kejaksaan,

194 pengadilan dan lembaga pemasyarakatan maupun balai pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 009/KMA/SKB/V/2010, Jaksa Agung RI Nomor KEP-059/A/JA/05/2010, Kepala Kepolisian Negara RI Nomor B/14/V/2010, Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH- 35.UM.03.01/TAHUN 2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana dalam Mewujudkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan untuk lebih memberikan perhatian pada pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat khususnya pada terpidana bersyarat agar dapat menjembatani sinergisitas antar aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana khususnya dalam penerapan pemidanaan bersyarat sehingga diharapkan dapat lebih optimal, berdaya guna dan berhasil guna serta dapat terwujud sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Selain itu juga perlunya pengalokasian anggaran dalam Daftar Isian Pengelolaan Anggaran/ DIPA yang digunakan untuk pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat.