188 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai faktor-faktor penyebab dan dampak-dampak yang ditimbulkan baik yuridis maupun non yuridis dari tidak dilaksanakannya pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat baik di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat baik di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun pada hakikatnya dapat dilakukan pada saat terpidana bersyarat tersebut sedang menjalani masa percobaan sampai masa percobaan yang dijalani habis. Adapun alasan dari tidak dilaksanakannya pengawasan dan pengamatan di kedua wilayah tersebut dapat dikategorikan kedalam tiga faktor besar yakni faktor human/ manusia sebagai pelaksana, faktor peraturan perundangundangan yang menjadi dasar dari pelaksanaan, dan faktor teknis yang menjadi pendukung pelaksanaan ketentuan tersebut. Faktor human/ manusia sebagai pelaksana dimaksud yakni disebabkan oleh tidak adanya kesungguhan dari ketua pengadilan negeri dan persepsi yang keliru akibat dari minimnya pemahaman hakim pengawas dan
189 pengamat mengenai tugas dan hakikat pengawasan dan pengamatan pada terpidana bersyarat. Faktor peraturan perundang-undangan dimaksud ialah belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pedoman/ standart operating prosedur (SOP) dan teknis pola koordinasi antar instansi yang terlibat dalam pengawasan dan pengamatan pada terpidana beryarat, selain itu juga ditambah dengan adanya pertentangan antara hakikat tujuan pengamatan dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam upaya mendekatkan hakim dengan hukum penitensier, sehingga membuat hakim pengawas dan pengamat maupun ketua pengadilan enggan untuk melaksanakan pengawasan dan pengamatan pada terpidana bersyarat, karena selama ini hakim hanyalah corong dari undang-undang. Sedangkan faktor terakhir yang dimaksud dengan faktor teknis meliputi tidak adanya anggaran dalam pengawasan dan pengamatan pada terpidana beryarat yang dialokasikan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran/ DIPA dan belum adanya koordinasi/ kerjasama serta sulitnya menjalin koordinasi antar instansi penegak hukum atau antar sub sistem dalam sistem peradilan pidana yang terlibat dalam pengawasan dan pengamatan pada terpidana bersyarat juga menjadi penghambat pelaksanaan ketentuan ini sehingga membuat salah satu tujuan utama terwujudnya sistem paradilan pidana terpadu di Indonesia khususnya di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun menjadi sulit tercapai.
190 2. Dampak yuridis yang ditimbulkan dari tidak dilaksanakannya pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat lebih terlihat pada pelaksanaan hukum yang lain seperti dalam pelaksanaan pemidanaan bersyarat. Dampak yang ditimbulkan baik di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun, keduanya terlihat dalam tidak dilaksanakannya pengawasan oleh jaksa dan kurang maksimalnya pelaksanaan pembimbingan oleh pembimbing kemasyarakatan. Bahkan di Kabupaten Madiun terdapat beberapa putusan pemidanaan bersyarat yang tidak dieksekusi secara nyata/ riil oleh jaksa di Kejaksaan Negeri Mejayan, secara administratif putusan tersebut ada tetapi secara nyata/ riil di lapangan putusan tersebut tidak dieksekusi sehingga pelaksanaan pengawasan dan pembimbingan pada terpidana bersyarat terkadang juga tidak pernah dilakukan oleh jaksa di Kejaksaan Negeri Mejayan maupun pembimbing kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Klas II Madiun. Sedangkan dampak yang ditimbulkan dalam pelaksanaan pembimbingan pada terpidana bersyarat adalah tidak terjaminnya hakhak terpidana bersyarat yang seharusnya didapatkan seperti salah satunya mendapatkan pembimbingan/ terapi secara berkala dari pembimbing kemasyarakatan. Hal tersebut seharusnya tidak perlu terjadi bila hakim pengawas dan pengamat melakukan pengawasan dan pengamatan pada terpidana bersyarat. Hakim dapat mengawasi dan mengamati pelaksanaan pemidanaan bersyarat tersebut agar
191 dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Dampak yuridis yang lain yakni pada hakim pengawas dan pengamat itu sendiri, dikarenakan hakim pengawas dan pengamat juga hakim biasa yang menjalankan tugas peradilan dan merujuk pada hakikat adanya lembaga hakim pengawas dan pengamat, hakim tidak dapat melakukan penilaian keberhasilan putusan yang dijatuhkan khususnya pada diri terpidana bersyarat. Hakim menyatakan bahwa bila suatu pemidanaan itu berhasil indikator yang digunakan yakni apabila si terpidana bersyarat tersebut tidak melakukan tindak pidana kembali padahal hakikatnya indikator keberhasilan suatu pemidanaan pada diri terpidana lebih dari itu seperti dapat menjadi manusia yang lebih baik dan berguna serta dapat diterima kembali oleh masyarakat. Sedangkan dampak non yuridis yang ditimbulkan lebih berpengaruh pada diri si terpidana bersyarat. Hal ini terlihat di Kabupaten Madiun, bahwa dikarenakan pengawasan dan pembimbingan dalam masa percobaan yang seharusnya dilakukan oleh jaksa maupun pembimbing kemasyarakatan tidak pernah dilaksanakan, hal tersebut menimbulkan persepsi pada terpidana bahwa putusan yang dijatuhkan telah selesai sehingga terpidana bersyarat merasa sudah bebas dari segala hukuman. Bila ditelaah lebih seksama baik di Kota Yogyakarta maupun di Kabupaten Madiun dengan mendasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan, menimbulkan kesan bahwa selama ini pelaksanaan hukum dikedua wilayah tersebut masih jauh dari harapan
192 kesempurnaan khususnya pada salah satu hakikat adanya pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat sebagai jembatan/ penghubung dalam sistem peradilan pidana yang tidak dapat terwujud sehingga mengakibatkan sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia juga sulit untuk diwujudkan khususnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Madiun. B. Saran Demi terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dengan memaksimalkan penerapan pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat yang juga masih dipertahankan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan penerapan pidana pengawasan sebagai perubahan dari pidana bersyarat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Perlunya untuk meningkatkan kualitas diri mengenai pemahaman dan kepekaan serta peningkatan kesungguhan dan political will/ kemauan politik yang baik dari aparat penegak hukum khususnya ketua pengadilan dan hakim pengawas dan pengamat dalam melaksanakan suatu ketentuan perundang-undangan khususnya pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat; 2. Pemerintah segera membuat peraturan pelaksanaan secara rinci dan jelas yang mengatur tentang pedoman/ standart operating prosedur
193 (SOP) mengenai pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat demi mempermudah tugas pengawasan dan pengamatan serta koordinasi dengan instansi lain yang terkait sebagai upaya mewujudkan semangat idealita terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dan sebagai salah satu penunjang untuk memaksimalkan penerapan pidana bersyarat di Indonesia yang dalam kedepannya diubah menjadi pidana pengawasan. Selain itu juga perlunya diatur lebih jelas mengenai batasan dalam pengamatan suatu pemidanaan yang dikaitkan dengan upaya mendekatkan hakim dengan hukum penitensier sehingga tidak berbenturan dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Terkait masih dipertahankannya ketentuan mengenai pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi tahun 2013, pemerintah perlu memberikan penegasan kembali mengenai tugas dan wewenang hakim pengawas dan pengamat, penilaian dalam pengawasan dan pengamatan, serta pengaturan pola koordinasi antar instansi yang berperan dalam penerapan pemidanaan bersyarat. 3. Perlunya memaksimalkan pola koordinasi yang sudah terjalin antar instansi penegak hukum atau sub-sub sistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pola koordinasi tersebut saat ini yang diwadahi dalam forum kesepahaman bersama antara kepolisian, kejaksaan,
194 pengadilan dan lembaga pemasyarakatan maupun balai pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 009/KMA/SKB/V/2010, Jaksa Agung RI Nomor KEP-059/A/JA/05/2010, Kepala Kepolisian Negara RI Nomor B/14/V/2010, Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH- 35.UM.03.01/TAHUN 2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana dalam Mewujudkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan untuk lebih memberikan perhatian pada pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat khususnya pada terpidana bersyarat agar dapat menjembatani sinergisitas antar aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana khususnya dalam penerapan pemidanaan bersyarat sehingga diharapkan dapat lebih optimal, berdaya guna dan berhasil guna serta dapat terwujud sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Selain itu juga perlunya pengalokasian anggaran dalam Daftar Isian Pengelolaan Anggaran/ DIPA yang digunakan untuk pengawasan dan pengamatan oleh hakim pengawas dan pengamat pada terpidana bersyarat.