BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus yang berpotensi untuk mewujudkan kualitas dan keberlangsungan bangsa. Sebagai generasi penerus bangsa, anak harus dipersiapkan sejak dini dengan upaya yang tepat, terencana, intensif dan berkesinambungan agar tercapai kualitas tumbuh kembang fisik, mental, intelektual, sosial dan spiritual. Anak berhak mendapatkan pemenuhan, perlindungan serta penghargaan akan hak asasinya. Salah satu upaya mendasar untuk menjamin pencapaian hak anak adalah pemberian makanan yang terbaik sejak lahir dan pada usia dini (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Pada anak usia 3-5 tahun terjadi peralihan dari diet yang mengandalkan susu untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan nutrien dan 50% kandungan energinya berasal dari lemak, menuju diet yang sesuai dengan pedoman pola makan sehat dan mencakup semua kelompok makanan. Pada usia ini juga sering terjadi penolakan terhadap makanan, sulit makan, sedikit jenis makanan yang dimakan, kebiasaan makanan cemilan yang tidak tepat di antara waktu makan utama, tingginya konsumsi minuman ringan dan kudapan yang manis serta sering makanan digunakan sebagai hadiah (Mary E Barasi, 2007). Keadaan ini apabila berlangsung lama, dapat menimbulkan resiko kekurangan zat gizi makro maupun zat gizi mikro. Beberapa studi pada hewan percobaan dan manusia, menunjukkan bahwa protein yang berasal dari makanan mempunyai peran penting dalam regulasi sintesis albumin tubuh (Caso et al.,2007). Albumin merupakan protein pengangkut utama zat gizi mikro yaitu Zn sehingga dalam darah Zn akan terikat dalam albumin. Kadar albumin dalam darah pada anak kurang gizi biasanya rendah, akibatnya terjadi kekurangan Zn. Kekurangan Zn dalam tubuh akan mempengaruhi pembentukan hemoglobin, menurunkan pengambilan (uptake) Fe ke dalam eritrosit, menurunkan produksi eritrosit dan mempengaruhi absorpsi Fe di mukosa usus (Murray & Robert, 2000).
2 Kekurangan Zn dan Fe dalam tubuh dapat menyebabkan anemia, menurunkan nafsu makan dan menurunkan sistem pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi. Akibatnya tingkat kesakitan atau morbiditas meningkat dan pertumbuhan anak menurun (Mary E Barasi, 2007). Pemberian biskuit tempebekatul dengan fortifikasi Fe dan Zn dapat meningkatkan berat badan, kadar Hb dan kadar albumin tikus percobaan yang menderita kurang gizi (Sarbini. D, et al. 2009). Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk adalah 12,1% dan sedikit menurun jika dibanding hasil Riskesdas tahun 2010 (13,3%). Prevalensi anemia pada anak usia 1-4 tahun adalah sebesar 27,7%. Dan sebanyak 70,1% anemia pada anak usia 1-4 tahun tersebut anemia jenis mikrositik hipokromik (Kementerian Kesehatan, 2014). Anemia hipokromik disebabkan oleh kekurangan besi, penyakit kronis tingkat lanjut atau keracunan timbal (Almatsier, 2011). Berbagai upaya perbaikan gizi telah dilakukan, diantaranya dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) secara gratis, baik formula, sereal maupun biskuit yang bahan utamanya dari tepung terigu, telur, minyak dan susu. Untuk jangka waktu pendek, program ini tampaknya menunjukkan keberhasilan, yang ditandai dengan peningkatan pertumbuhan atau berat badan penderita kurang gizi. Namun seiring dengan dihentikannya bantuan PMT, masalah kurang gizi biasanya muncul kembali akibat kemampuan atau daya beli sebagian besar keluarga penderita kurang gizi yang tergolong rendah. Oleh karena itu perlu diupayakan PMT yang terjangkau dari segi ekonomi tanpa mengurangi kandungan zat gizinya, aman dikonsumsi bagi penderita kurang gizi, efektif meningkatkan pertumbuhan dan memperhatikan kebiasaan makan masyarakat setempat (Soenaryo. E, 2004). Tempe adalah makanan tradisional sebagai hasil dari fermentasi kedelai yang terikat padat oleh mycelium dan Rhizopus oligoporus, dengan cita rasa yang khas dan mempunyai nilai gizi yang tinggi, harga murah dan sebagai sumber protein yang tinggi (Astawan.M, 2004). Perubahan-perubahan yang terjadi selama fermentasi kedelai menjadi tempe mengakibatkan zat-zat gizi tempe lebih mudah dicerna dan diabsorbsi usus, kandungan vitamin B12 dan asam folatnya meningkat cukup tinggi dibandingkan kedelai, serta terjadi degradasi asam fitat
3 (inhibitor Fe dan Zn) sehingga dapat mencegah anemia. Tempe juga mengandung isoflavon yaitu senyawa bioaktif yang memiliki sifat antioksidatif, antikolesterolemik (Mark, 1999; Hermensen et.al., 2005; Zhan & Suzanne, 2005). Kandungan antioksidan dalam tempe dapat melindungi tubuh dari infeksi bakteri viral. Tempe mempunyai mutu biologi protein dengan nilai PER (Protein Efficiency Ratio) tempe (2,45) mendekati nilai PER kasein (2,5). Artinya, tempe sebagai sumber protein sekitar 18% 20% mempunyai kualitas protein menyerupai kualitas protein hewani. Disamping itu kadar zat besi tempe mencapai 9 mg atau sekitar 10% dari kecukupan zat besi yang dianjurkan setiap hari (26 mg) dan lebih mudah diserap oleh tubuh dibanding dengan sumber pangan nabati lainnya (Sri Winarti, 2010). Beberapa penelitian menunjukkan pertumbuhan anak yang mendapat formula kedelai atau tempe tidak berbeda dengan anak yang mendapat formula susu sapi maupun ASI. Begitu juga mineralisasi tulang sekurang-kurangnya sama dengan anak yang mendapat formula susu sapi maupun ASI (Russell et al, 2004). Bayi yang mendapat formula tempe mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Mendoza et al, 2004), serum albumin dan hemoglobinnya normal (Lasekan, 1999). Selain itu tempe terbukti dapat mencegah masalah gizi ganda (akibat kekurangan/kelebihan gizi) beserta berbagai penyakit yang menyertainya, baik penyakit infeksi maupun penyakit degeneratif (Astawan. M, 2002). Penelitian yang menguji pengaruh metabolik penambahan susu formula standar dan membandingkan dengan formula tempe masih terbatas. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh formula lain sebagai pengganti formula standar dalam melengkapi makanan (complementary food) yang digunakan dalam terapi diet anak kurang gizi. Penelitian tersebut dikaitkan dengan status protein dan status anemia sebagai salah satu prediktor akurat dan sensitif dalam evaluasi kasus kurang gizi pada fase rehabilitasi lanjutan. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2012 dan 2013 di Kabupaten Sijunjung tentang kejadian kurang gizi pada balita menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 14.5% (2012) menjadi 14.3% (2013), prevalensi pendek dari 27.4% (2012) menjadi 20.0% (2013) begitu juga
4 prevalensi kurus menurun dari 12.1% (2012) menjadi 4.8% (2013) (Dinkes Sijunjung, 2013). Penurunan prevalensi kurang gizi yang terjadi di Kabupaten Sijunjung tidak sebanding dengan dana yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu sebanyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) per tahun. Dana ini digunakan untuk menanggulangi kurang gizi pada balita dengan pemberian formula standar (F100) sebagai bahan terapi selama tiga bulan sebesar Rp. 300.000,- per bulan per kasus. Sehingga perlu dilakukan upaya strategi untuk meningkatkan status gizi balita dengan penambahan nutrisi pangan. Tempe bukanlah makanan tradisional di Sumatera Barat, namun tempe sangat mudah didapatkan di tengah-tengah masyarakat pada umumnya dan di Kabupaten Sijunjung khususnya. Sementara pemberian tempe dalam bentuk formula belum pernah diberikan sebagai PMT (Pemberian Makanan Tambahan) secara Program Perbaikan Gizi di Kabupaten Sijunjung. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan hal yang telah diuraikan dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Bagaimana perbedaan rerata kadar protein total dan kadar hemoglobin antara pemberian formula tempe dan F100 pada anak balita kurang gizi di Kabupaten Sijunjung? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui perbedaan rerata kadar protein total dan kadar hemoglobin antara pemberian formula tempe dan formula 100 (F100) pada anak balita kurang gizi di Kabupaten Sijunjung.
5 1.3.2. Tujuan Khusus 1.3.2.1. Mengetahui rerata kadar protein total dan kadar hemoglobin sebelum pemberian formula tempe dan pemberian F100 1.3.2.2. Mengetahui rerata kadar protein total dan kadar hemoglobin sebelum dan sesudah pemberian formula tempe dan pemberian F100 1.3.2.3. Mengetahui perbedaan rerata kadar protein total dan kadar hemoglobin antara pemberian formula tempe dan pemberian F100 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para klinisi dalam penanganan balita kurang gizi dengan menggunakan formula tempe sebagai alternatif selain F100. Disamping itu dapat memberikan informasi tentang nilai gizi formula tempe dan pengaruhnya terhadap peningkatan kadar protein total dan kadar hemoglobin anak, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi tempe dan memperbaiki masalah gizi pada anak yang berada di daerah yang banyak memproduksi tempe maupun daerah yang tidak memproduksi tempe.