BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Reformasi total pada seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Lahirnya otonomi daerah memberikan kewenangan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. terutama dalam mengatur, memanfaatkan serta menggali sumber-sumber. berpotensi yang ada di daerah masing-masing. Undang-undang yang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Mahi (2001)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. oleh rakyat (Halim dan Mujib 2009, 25). Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. adanya akuntabilitas dari para pemangku kekuasaan. Para pemangku. penunjang demi terwujudnya pembangunan nasional.

BAB III METODE PENELITIAN. berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang.

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan desentraliasasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. Akuntansidapatdidefinisikan sebagai sebuahseni, ilmu (science)maupun

ANALISIS PERKEMBANGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH. (Studi Kasus Kabupaten Klaten Tahun Anggaran )

tercantum dalam salah satu misi yang digariskan GBHN yaitu perwujudan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemerintahan Kota Surakarta) dalam penelitiannya menyimpulkan sebagai berikut

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

Analisis Kinerja Keuangan Dalam Otonomi Daerah Kabupaten Nias Selatan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perkembangan teknologi dan otonomi daerah menuntut

BAB III METODE PENELITIAN. Buleleng (4) Kab. Gianyar (5) Kab. Jembrana (6) Kab. Karangasem (7) Kab. Klungkung (8) Kab. Tabanan (9) Kota Denpasar.

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

Rasio Kemandirian Pendapatan Asli Daerah Rasio Kemandirian = x 100 Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

BAB I PENDAHULUAN. kemudian dapat mengarah pada reformasi. Salah satu bentuk dari reformasi yang

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian tersendiri bagi sebuah organisasi sektor publik. Pendekatan-pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan regulasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dilakukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 33 Tahun 2004, menjadi titik awal dimulainya otonomi. dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PEMERINTAHAN KOTA DEPOK TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ANGGARAN DAN REALISASI PADA APBD KOTA TANGERANG TAHUN ANGGARAN

BAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. tetapi untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Beralihnya masa orde lama ke orde baru telah menimbulkan banyak. perubahan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi dan politik.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Selama ini dominasi Pusat terhadap Daerah menimbulkan besarnya

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas layanan terhadap masyarakat luas. Sebagai organisasi nirlaba, lembaga pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi total pada seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia karena krisis ekonomi yang pernah terjadi pada tahun 1998, selain memberikan dampak negatif, juga memberikan dampak positif dan manfaat bagi seluruh kegiatan kehidupan rakyat Indonesia, khususnya bagi pemerintah daerah. Setelah krisis ekonomi terjadi, dengan alasan bahwa kurangnya kemampuan dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan nasional dikarenakan besarnya kewenangan dan juga kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pusat dimasa yang lalu dan dengan adanya tuntutan dari daerah kepada pemerintah pusat untuk memberikan otonomi daerah maka pemerintah pusat memutuskan untuk mengganti sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi menurut Utang Rosidin (2015:23) merupakan : Pembagian wewenang pusat pada badan tertentu untuk menjalankan fungsi pemerintahan tertentu (desentralisasi fungsional) atau penyerahan wewenang secara vertikal pada daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjalankan urusan pemerintahan tertentu yang ditetapkan sebagai urusan rumah tangga daerah (desentralisasi teritorial). Mardiasmo (2002:25) menjelaskan bahwa Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama pemberian otonomi daerah merupakan strategi 1

2 untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memeperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era perdagangan bebas. Menghadapi sistem baru tersebut, tentunya dibutuhkan strategi yang baru pula, maka dari itu sebelumnya pemerintah telah membuat keputusan yang terdapat pada TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 yang salah satunya mencakup tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan dengan adanya TAP MPR tersebut maka keluarlah UU No 22 tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dan juga UU NO 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan UU tersebut, maka membawa perubahan mendasar pada pola hubungan antara pemerintahan dan keuangan antara pusat dan daerah. Pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi, dan dalam membiayai penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahannya bersumber dari APBD, oleh karena itu otomatis pemerintah daerah diberikan hak dalam menentukan sekaligus mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

3 (APBD) secara efektif, efisien, akuntabel, dan transparan secara berkesinambungan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) itu sendiri merupakan bentuk nyata dari suatu rencana keuangan daerah untuk satu tahun kerja yang didalamnya terdapat rencana pendapatan atau pnerimaan daerah serta pengeluaran atau belanja daerah untuk satu tahun tersebut, yang berpedoman pada peraturan atau ketentuan ketentuan yang berlaku. Pengelolaan anggaran keuangan daerah, hendaknya mengutamakan kepentingan publik, jadi dalam rencana penganggaran idealnya pemerintah daerah mengalokasikan pendapatan daerah lebih banyak ke sektor belanja pembangunan dari pada belanja rutin atau belanja pegawai. Namun, kendati demikian fenomena yang sering terjadi di pemerintahan daerah justru sebaliknya, anggaran pendapatan seringkali tidak mementingkan kepentingan publik, dan anggaran yang ada kebanyakan dialokasikan untuk belanja pegawai yang nantinya hanya akan dirasakan oleh pegawai pemerintahan daerah. Pemerintah daerah diberikan hak untuk mengatur daerahnya sendiri, maka pemerintah daerah harus mampu mengelola dan menggali sumber sumber pendapatan dan potensi daerah otonomnya agar daerah tersebut dapat maju, sejahtera, dan dapat dinilai mampu dalam menjalankan tugasnya. Tetapi hal tersebut masih saja menjadi ekspektasi belaka, dikarenakan masih banyak daerah yang belum mampu menghidupi daerah otonomnya, hal ini dibuktikan bahwa masih banyaknya daerah yang

4 bergantung kepada pemberian dana dari pemerintah pusat dalam menjalankan daerah otonomnya. Sehingga dengan fenomena yang seperti itu, maka yang akan menjadi sorotan publik yaitu kinerja keuangan daerah yang dibuat oleh aparatur pemerintah sebagai orang yang mempunyai tugas untuk mengelola keuangan daerah, baik dana yang bersumber dari masyarakat daerahnya sendiri maupun dari pemerintah pusat. Kinerja keuangan daerah itu sendiri merupakan kondisi yang menggambarkan suatu hasil yang di capai dengan penggunaan anggaran daerah pada periode tertentu. Dikarenakan, kinerja keuangan daerah menjadi sorotan publik, sementara masih banyak masyarakat yang kurang mampu memahami laporan keuangan maka dari itu kinerja keuangan sangat penting untuk dilihat dan diukur dengan hasil yang jelas dan dapat dipahami dengan mudah. Pengukuran kinerja keuangan daerah menurut Jumingan (2006: 239) bertujuan untuk, pertama mengetahui keberhasilan pengelolaan keuangan, kedua untuk mengetahui kemampuan dalam mendayagunakan semua aset. Pengukuran kinerja sendiri bisa dilakukan dengan cara menganalisis kinerja keuangan daerah. Analisis kinerja keuangan daerah merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauhmana pemerintah daerah telah menggunakan anggarannya secara baik dan benar. Salah satu cara dalam mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah bisa dilakukan dengan cara menggunakan rasio keuangan. Dimana analisis kinerja keuangan dengan menggunakan rasio keuangan dilakukan dengan cara membandingkan hasil

5 yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Rasio keuangan Menurut Sofyan Syafri (2001: 297) adalah : Rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan (berarti). Rasio keuangan sangat penting dalam melakukan analisa terhadap kondisi keuangan suatu perusahaan atau instansi). Salah satu pemerintah daerah yang telah menyelenggarakan otonomi daerah diantaranya adalah Kota Tasikmalaya. Dalam pengelolaan keuangannya, Kota Tasikmalaya dinilai masih kurang baik, dan ini terlihat dari anggaran yang digelontorkan Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk belanja pegawai masih sangat tinggi. Berdasarkan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Budiarso mengatakan bahwa Belanja pegawai daerah tidak boleh melebihi 50 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Sumber : Tempo, 7 Desember 2016-17:50 WIB), karena memang seharusnya anggaran yang ada harus banyak dipakai untuk kemakmuran masyarakat lewat anggaran pembangunan, dan sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 pasal 66 ayat 1 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat. Jika anggaran tersebut tidak memperhatikan kepentingan publik, maka sangat tidak adil untuk masyarakat. Tetapi Kota

6 Tasikmalaya sendiri, dalam pengelolaan anggaran belanja pegawainya masih jauh dari kata baik, dikarenakan anggaran belanja pegawainya melebihi 50 persen, dan hal ini terbukti dari data yang telah diolah peneliti berdasarkan data Laporan Realisasi Anggaran yang ada, untuk lebih jelasnya, bisa dilihat dari tabel dibawah ini: Tabel 1.1 Belanja Daerah Kota Tasikmalaya Tahun 2016 BELANJA DAERAH 1,766,515,827,845.60 Belanja Pegawai Tidak Langsung 802,394,935,423.00 Belanja Pegawai Langsung 152,117,379,592.60 Jumlah 954,512,315,015.6 Rasio Belanja Pegawai Sumber : Hasil Analisis (diolah Peneliti) Tahun 2017 = 954,512,315,015.6 1,766,515,827,845.60 100 = 54 % Berdasarkan Halim (2004: 189) pola hubungan dan tingkat kemandirian suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerah bisa dilihat sebagai berikut : Tabel 1.2 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kemandirian Keuangan Kemandirian (%) Rendah Sekali 0% - 25% Rendah 25% - 50% Sedang 50% - 75% Tinggi 75% - 100% Pola Hubungan Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif

7 Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti pada data Laporan Realisasi Anggaran Kota Tasikmalaya tahun 2014-2016, ternyata pendapatan asli daerah pemerintah kota Tasikmalaya pada tahun anggaran 2014-2016 cenderung lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan transfer dari pemerintah pusatnya, sehingga tingkat kemandirian kota Tasikmalaya pada tahun anggaran 2014-2016 berada pada tingkat rendah sekali, yaitu 22.16%, 19.08%, dan 18.81%. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Kota Tasikmalaya pada tahun anggaran 2014-2016 dapat dikatakan tidak mampu dalam menjalakan otonomi daerahnya sendiri. Tabel 1.3 Realisasi Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Transfer Kota Tasikmalaya TA. 2014-2016 Tahun Total Pendapatan Asli Daerah Total Pendapatan Transfer % 2014 253.429.871.132 1,143,506,296,816.00 22.16 % 2015 242.979.820.517 1,273,121,125,809.00 19.08 % 2016 254.532.699.375 1,352,579,393,583.00 18.81 % Sumber : Hasil Analisis (diolah Peneliti), 2017 Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan menganalisis realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Oleh karena itu peneliti mengambil judul ANALISIS KINERJA KEUANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DITINJAU DARI RASIO KEUANGAN (STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA TA. 2014-2016.

8 B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka adapun identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Anggaran belanja Kota Tasikmalaya yang digelontorkan oleh pemerintah lebih banyak untuk belanja pegawai. 2. Realisasi Pendapatan asli daerah Kota Tasikmalaya pada TA. 2014-2016 lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan transfer, sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah Kota Tasikmalaya pada TA. 2014-2016 memang tidak mampu menghidupi daerah otonomnya sendiri. 3. Para pengguna laporan keuangan kebanyakan kurang mampu memahami laporan realisasi anggaran, sehingga perlu dilakukan analisis kinerja keuangan yang dapat menjadi alat bantu untuk memudahkan para pengguna laporan keuangan dalam memahami Laporan Realisasi Anggaran. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dihasilkan yaitu : Bagaimana Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tasikmalaya ditinjau dari Rasio Keuangan pada Tahun Anggaran 2014-2016?

9 D. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja keuangan anggaran pendapatan dan belanja daerah ditinjau dari rasio keuangan kota Tasikmalaya tahun anggaran 2014 sampai dengan tahun 2016. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi sebagai acuan dalam menilai Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan perhitungan analisis rasio. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ukuran sejauh mana tingkat kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya dari waktu ke waktu selama periode tiga tahun, sehingga pemerintah terpacu untuk meningkatkan kualitas kinerjanya pada periode-periode berikutnya. b. Bagi Masyarakat Penelitan ini diharapkan dapat memberikan informasi secara transparan kepada masyarakat mengenai laporan pertanggungjawaban APBD yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya. c. Bagi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah literature dan menjadi acuan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan Analisis Kinerja APBD.

10 d. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat membantu peneliti untuk memenuhi tugas akhir dan memberikan pengetahuan bagaimana cara menghitung analisis kinerja keuangan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada laporan realisasi anggaran, sehingga peneliti mengetahui bagaimana kinerja keuangan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam mengelola keuangan darah dari tahun ke tahun. F. Kerangka Pemikiran Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam mempertanggungjawabkan tugasnya baik kepada DPRD maupun kepada masyarakat, harus membuat suatu laporan yang berbentuk laporan keuangan, salah satu bentuk laporan keuangan ialah laporan realisasi anggaran yang didalamnya memuat tentang Angggaran dan realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah. Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah itu sendiri merupakan suatu daftar yang memuat perincian sumber-sumber pendapatan daerah dan jenis jenis pengeluaran daerah dalam jangka waktu satu tahun yang dibuat secara bersama sama, berpedoman pada aturan yang ada serta berorientasi kepada kepentingan publik/ masyarakat. Menurut Moh. Mahsun dkk, (2011:81) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah : Daftar yang memuat rincian penerimaan daerah dan pengeluaran/belanja daerah selama satu tahun yang ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) untuk masa satu tahun. Mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

11 Untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya bisa diukur melalui kinerja/kemampuan keuangan daerah (Halim 2004:24). Menurut Nurlan Darise (2008:51) Kinerja Keuangan adalah realisasi pendapatan dan belanja yang disusun berdasarkan basis akrual. Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauhmana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. (Irham fahmi 2015: 239) Dengan demikian, kinerja keuangan APBD dapat diartikan sebagai gambaran tentang keadaan keuangan suatu daerah dalam kurun waktu atau periode tertentu. Oleh karena itu Kinerja keuangan APBD berarti menunjukkan realisasi pendapatan dan belanja suatu daerah dalam penggunaan anggaran yang menunjukkan seberapa efektif dan efisiennya daerah dalam mengelola keuangan daerahnya. Untuk melihat dan mengukur kinerja APBD itu sendiri dapat dilakukan dengan cara menganalisis Kinerja APBD. Analisis kinerja APBD bertujuan untuk melihat sejauhmana pemerintah daerah dapat menggali potensi daerah dan menggunakan dananya dengan efektif dan efisien. Untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya, antara lain adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap laporan keuangan Pemda. Hasil analisis rasio keuangan selanjutnya dipergunakan sebagai tolak ukur dalam menilai. (Abdul Halim 2007:230)

12 Dalam penelitian ini menggunakan beberapa rasio keuangan dari Mahmudi (2007:140-147). Rasio keuangan tersebut diantaranya yaitu Rasio Derajat Desentralisasi, Rasio Ketergantungan Daerah, Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Analisis Belanja Operasi terhadap Belanja Daerah, Analisis Belanja Modal terhadap Belanja Daerah, dan Analisis Efisiensi Belanja Daerah. Dengan menggunakan beberapa rasio tersebut, maka dapat diketahui kinerja keuangan Daerah Kota Tasikmalaya, jika semua kinerja keuangan tersebut menunjukkan hasil angka yang sesuai dengan target dan standar yang ada, maka dapat dikatakan bahwa kinerja keuangan APBD tesebut adalah baik. Gambar 1.1 Paradigma Penelitian Pemerintah Kota Tasikmalaya APBD Pemerintah Kota Tasikmalaya TA. 2014-2016 Analisis Kinerja APBD Mahmudi (2007:140-147) Analisis Kinerja Pendapatan Daerah 1. Rasio Derajat Desentralisasi 2. Rasio Ketergantungan Daerah 3. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Mahmudi (2007:140-147) Analisis Kinerja Belanja Daerah 1. Analisis Keserasian Belanja a. Analisis Belanja Operasi terhadap Belanja Daerah b. Analisis Belanja Modal terhadap Belanja Daerah 2. Analisis Efisiensi Belanja Daerah Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Tasikmalaya TA. 2014-2016

13