BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Biodiesel Dari Minyak Nabati

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. oksigen. Senyawa ini terkandung dalam berbagai senyawa dan campuran, mulai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

I. PENDAHULUAN. produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan bahan bakar fosil yang bersifat tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

4 Pembahasan Degumming

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

1. PENDAHULUAN. Perkembangan komposit berlangsung dengan sangat pesat seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Industri dunia menganalisa peningkatan pasar emulsifier. Penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI PENELITIAN

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumber energi alternatif saat ini terus digiatkan dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi bahan bakar sangat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. bahan dasar seperti kelapa sawit, kelapa, kedelai, jagung, dan lain-lain. Meski

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

A. Sifat Fisik Kimia Produk

PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK JELANTAH MENGGUNAKAN KATALIS HETEROGEN CANGKANG BEKICOT (ACHATINA FULICA) DENGAN METODE PENCUCIAN DRY WASHING

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum mengenal bahan bakar fosil, manusia sudah menggunakan biomassa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

PEMBUATAN BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF MELALUI PROSES TRANSESTERIFIKASI LANGSUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

LAPORAN TETAP TEKNOLOGI BIOMASSA PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK JELANTAH

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak. bumi sebagai salah satu tulang punggung produksi energi semakin

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

Soal Open Ended OSN PERTAMINA 2015 Bidang Kimia. Algae Merupakan Bahan Bakar Terbarukan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIODIESEL Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester ; FAME) merupakan bahan bakar yang disusun oleh mono-alkil ester dari asam lemak rantai panjang yang diturunkan dari bahan baku terbarukan, seperti minyak nabati atau lemak hewani [19, 20]. Biodiesel merupakan cairan kuning muda yang jernih dapat digunakan dalam bentuk murni (B100) atau sebagai campuran dengan bahan bakar diesel dari petroleum (B5, B20). Petrodiesel merupakan hasil fraksinasi pada pertengahan proses cracking, yang dikenal dengan middle distillates. Viskositas biodiesel adalah dua kali lebih besar daripada petrodiesel, sehingga biodiesel memiliki sifat pelumas yang lebih baik. Biodiesel dapat dihasilkan melalui alkoholisis kompleks (transesterifikasi) dari minyak nabati dan lemak hewani [19]. Metanol adalah alkohol yang paling banyak digunakan karena lebih murah dan merupakan senyawa polar dengan rantai pendek [2]. Suatu senyawa (biodiesel) dapat dikomersialkan dan dijual sebagai biodiesel apabila telah memenuhi standar biodiesel EN 14214:2009 (Inggris) atau ASTM D 6751 (Amerika Serikat). Ketentuan paling penting dalam penentuan biodiesel adalah kadar ester (minimal 96,5%), bilangan asam (maksimum 0,5 mg KOH/gr). Kadar ester dipengaruhi oleh kualitas teknologi dan proses yang digunakan, serta komposisi bahan baku yang digunakan. Selain itu, parameter penting lainnya berupa kandungan sulfur, fosfor, logam alkali, total kontaminasi, dan asilgliserol yang tidak bereaksi [21]. 8

Tabel 2.1 Standar Biodiesel Berdasarkan ASTM D 6751/09, EN 14214/03, dan Pr EN 14214/09 [22-24] No. Parameter Satuan ASTM D EN Pr EN 6751/09 14214/03 14214/09 1. Kandungan ester % w/w - 96,5 96,5 2. Densitas kg/m 3-860-900 860-900 3. Viskositas kinematik mm 2 /s 1,9-6,0 3,5-5,0 3,5-5,0 4. Titik nyala o C 130 93 (gelas 120 101 tertutup) 5. Kandungan sulfur mg/kg 15 10 10 6. Residu karbon % w/w 0,05 0,30-7. Angka Setana 47 51 51 8. Kadar abu tersulfatasi % w/w 0,02 0,02 0,02 9. Air dan sedimen % w/w 0,05 - - 10. Kandungan air mg/kg - 500 500 11. Total kontaminasi mg/kg - 24 24 12. Korosi pada jalur tembaga No.3 Kelas 1 Kelas 1 13. Stabilitas oksidasi H 3 6 8 14. Angka asam mg KOH/g 0,80 0,50 0,50 15. Nilai Iodin g Iodin/10-120 120 0 g 16. Linolenat metil ester % w/w - 12,0 12,0 17. Metil ester ganda tak jenuh % w/w - 1 1 18. Kandungan metanol % w/w 0,20 0,20 0,20 19. Kandungan monogliserida % w/w - 0,80 0,80 20. Kandungan digliserida % w/w - 0,20 0,20 21. Kadungan trigliserida % w/w - 0,20 0,20 22. Gliserol bebas % w/w 0,020 0,020 0,020 23. Total gliserol % w/w 0,24 0,25 0,25 24. Logam kelompok I (natrium dan kalium) mg/kg 5,0 5,0 5,0 25. Logam kelompok II (kalsium dan mg/kg 5,0 5,0 5,0 magnesium) 26. Kandungan fosfor mg/kg 10,0 10,0 2,0 27. Cold soak filterability S 360 - - Bergantu Cold filter plugging 28. o C - ng pada point (CFPP) kelas Bergantun g pada kelas 9

2.2 BAHAN BAKU 2.2.1 Minyak Jelantah Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Produksi minyak kelapa sawit (CPO) di Indonesia mengalami peningkatan drastic dari 21,39 juta ton pada tahun 2009 menjadi 30,95 juta ton pada tahun 2015. Pasar potensial yang menyerap pemasaran minyak sawit maupun minyak inti sawit adalah industri fraksinasi/rafinasi (industri minyak goreng), lemak khusus, margarin, oleokimia, dan sabun mandi [25]. Pada masa sebelum Orde Baru dan sampai pada awal Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I, minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat didominasi oleh jenis minyak goreng asal kelapa, akan tetapi sejak tahun 1970-an sejajar dengan meningkatnya produksi kelapa sawit, minyak goreng asal kelapa tergeser oleh minyak goreng asal sawit [26]. Kebutuhan minyak goreng sawit sendiri mencapai 6,58 juta ton pada tahun 2015 [27]. Minyak goreng bekas (jelantah) adalah minyak goreng yang sudah digunakan beberapa kali pemakaian oleh konsumen. Selain warnanya yang tidak menarik dan berbau tengi, minyak jelantah juga mempunyai potensi besar dalam membahayakan kesehatan tubuh. Minyak jelantah kaya akan asam lemak bebas [28]. Kandungan asam lemak dalam minyak jelantah dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak pada Minyak Jelantah [29] No. Komponen Rumus Molekul %Komposisi 1 Asam Laurat C 12 H 24 O 2 0,4 2 Asam Miristat C 14 H 28 O 2 1,1 3 Asam Palmitoleat C 16 H 30 O 2 1,0 4 Asam Palmitat C 16 H 32 O 2 25,8 5 Asam Linolenat C 18 H 30 O 2 2,5 6 Asam Linoleat C 18 H 32 O 2 29,4 7 Asam Oleat C 18 H 34 O 2 34,6 8 Asam Stearat C 18 H 36 O 2 4,7 9 Asam Arakidonat C 20 H 40 O 2 0,2 10 Cis 11 Eikosenoat C 20 H 38 O 2 0,3 10

Bahan baku dalam pembuatan biodiesel harus memiliki biaya produksi yang rendah dan dapat digunakan pada skala produksi yang besar. Minyak jelantah adalah minyak nabati yang telah digunakan pada pengolahan bahan pangan dan tidak dapat digunakan lagi. Minyak jelantah tersedia dalam jumlah yang besar di seluruh belahan dunia. Minyak jelantah dapat diperoleh dengan biaya setengah dari minyak goreng yang baru. Penggunaan minyak jelantah sebagai reaktan biodiesel tidak hanya mengurangi masalah pembuangan limbah minyak jelantah, tetapi juga menurunkan biaya produksi [5]. 2.2.2 Zeolit Zeolit adalah senyawa padat dan bersifat asam, berupa alumina-silikat yang berbentuk kristal dan memiliki ukuran pori yang seragam [30-32] dengan rumus molekul (M x/n [(AlO 2 ) x (SiO 2 ) y ].mh 2 O). Zeolit juga memiliki sifat sifat khusus seperti kemampuan menukar ion, saringan molekul, luas permukaan yang besar, dan aktivitas katalitiknya, sehingga zeolit menjadi bahan yang banyak dipilih untuk ragam aplikasi dalam industri, seperti: katalis heterogen, pemisahan, penukar ion, pemisahan kimiawi, adsorpsi, membrane, dan lain-lain [32-34]. Kinerja zeolit dipengaruhi oleh beberapa parameter, yakni: tipe struktur zeolit, perbandingan silika terhadap aluminium, dan distribusi aluminium itu sendiri [32]. Stabilitas termal zeolit bervariasi pada interval suhu yang besar, misalnya zeolit dengan kandungan silika rendah akan terdekomposisi pada suhu 700 C sedangkan zeolit silikat stabil hingga suhu 1.300 C [35]. Zeolit alam memiliki kemampuan sebagai katalis dalam beberapa reaksi kimia. Namun, zeolit alam perlu diaktivasi terlebih dahulu agar dapat bekerja dengan optimal [12]. Secara umum, aktivasi zeolit dilakukan menggunakan larutan basa kuat ataupun larutan asam kuat. Metode metode ini memiliki kekurangan, seperti pengurangan rasio kandungan Si/Al dalam zeolit serta terjadinya proses dealuminasi [12, 36, 37]. Sebagai katalis, zeolit dapat digunakan berulang kali, sebanyak 5 kali dengan penurunan konversi yang dapat diabaikan [30]. Penggunaan mineral sebagai penyangga katalis (catalyst support) bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan kontak dan meningkatkan dispersi area aktif 11

[38]. Zeolit merupakan senyawa mesoporous yang mengandung ragam logam oksida serta dapat digunakan untuk menyangga basa dan logam transisi [18, 39]. Katalis tersebar pada permukaan zeolit dan bagian dalam zeolit, sehingga mempengaruhi kemampuan katalitik dari katalis tersebut. Semakin tinggi rasio Si/Al pada zeolit, maka stabilitas termal zeolit juga semakin tinggi [13]. Gambar 2.1 Struktur Zeolit Alam [31] 2.2.3 Kalsium Oksida (CaO) Kalsium oksida (CaO) adalah salah satu logam alkali tanah oksida yang terbentuk dari kristal ionik dan karakter kation logam dari asam Lewis yang dimiliki sangat rendah karena nilai elektronegatif yang rendah. Katalis CaO juga tersedia dalam jumlah besar dan biaya yang murah. Selain itu, CaO dapat diproduksi dari bahan bahan limbah / buangan yang mengandung kalsium karbonat. Penggunaan bahan limbah / buangan tak hanyak meningkatkan keuntungan dari segi biaya, namun juga terkait dengan daur ulang sumber mineral alami [9]. Katalis basa heterogen juga dikenal mudah diregenerasi dan tidak korosif, sehingga penggunaannya lebih aman, hemat, dan ramah lingkungan [40]. Cangkang telur ayam bersifat mesoporous, sehingga memiliki kemampuan untk membentuk struktur nanoporous [41]. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Mosaddegh [41], nano-kristalin CaO dapat diperoleh melalui kalsinasi cangkang telur pada suhu di atas 600 C, dengan ukuran kristal sebesar 40 nm. Hal ini didukung oleh kajian Sirisomboonchai [6] bahwa kalsinasi cangkang telur untuk digunakan sebagai katalis dalam pembuatan biodiesel optimal dilakukan pada suhu 1000 C, dengan luas permukaan katalis mencapai 7,33 m 2 /gram. 12

Penggunaan senyawa basa padat sebagai katalis [42] seperti CaO dari cangkang telur / hewan dapat mempermudah tahap pemurnian biodiesel dan pemisahan katalis dari biodiesel yang diperoleh. Kemampuan katalis CaO dapat ditingkatkan dengan mengkombinasikan katalis dengan ragam penyangga, seperti logam oksida, alumina, dan silika. CaO yang dikombinasikan dengan penyangga (disebut loaded CaO) cenderung memiliki kinerja katalitik yang lebih baik dibandingkan CaO murni. Sebagai tambahan, adanya ikatan antara CaO dan penyangga menyebabkan katalis lebih stabil terhadap pengaruh air dan asam lemak bebas (tidak membentuk sabun kalsium) [8]. Konversi dan yield yang dicapai dengan penggunaan katalis CaO dari cangkang telur/hewan juga cukup tinggi, seperti yang dikaji oleh Niju, dkk. (2014) yang mencapai konversi sebesar 94,52% dan Chen, dkk. (2014) dengan yield sebesar 92,7% [17, 43]. 2.3 PROSES PEMBUATAN BIODIESEL 2.3.1 Pre-Treatment dengan Menggunakan Karbon Aktif Penggunaan minyak sebagai media penggorengan tidak dapat terhindar dari serangkaian reaksi kimia yang mampu mempengaruhi kualitas minyak tersebut. Kualitas minyak menurun sebagai dampak dari terbentuknya asam lemak bebas (FFA), gliserol, monogliserida, digliserida dan produk oksigenasi yang lain [44, 45]. Dalam hal ini, asam lemak bebas adalah yang paling tidak diinginkan [45-47] karena dapat mempengaruhi konversi minyak jelantah menjadi biodiesel. Sehingga, perlu dilakukan treatment untuk mengurangi impuritas dari minyak jelantah agar dapat digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai aplikasi [45]. Adsorpsi adalah salah satu langkah untuk menurunkan kadar asam lemak bebas pada minyak, dimana asam lemak bebas tersebut dapat dipisahkan dan dijual sebagai produk samping. Asam lemak bebas adalah pengganggu dalam pembuatan biodiesel. Asam lemak bebas dapat bereaksi dengan basa dan berubah menjadi sabun, serta menurunkan efisiensi biodiesel [48]. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kheang [45] mengenai pretreatment minyak jelantah dengan menggunakan berbagai adsorben, terjadi penurunan kadar FFA yang bervariasi (dari 1,3% menjadi 0,4%) tergantung pada berat adsorben dan jenis adsorben yang 13

digunakan. Menurut Kheang [45] adsorben yang terbaik adalah silica gel, namun harganya relatif mahal. Sedangkan, karbon aktif terletak di urutan kedua, dimana terjadi penurunan kadar FFA (dari 1,3% menjadi 0,5%) dan lebih mudah diperoleh secara komersil. Pada pemurnian biodiesel, karbon aktif dapat diregenerasi dan digunakan kembali untuk fungsi pemurnian, dan hasilnya lebih baik dibandingkan penggunaan silica gel yang diregenerasi dan digunakan kembali [49]. 2.3.2 Transesterifikasi Ragam metode untuk menghasilkan biodiesel dari berbagai jenis bahan baku telah dikembangkan. Metode ini diklasifikasikan atas penggunaan/pencampuran minyak secara langsung dengan bahan bakar diesel, pirolisis, mikro-emulsi, dan transesterifikasi. Metode yang paling sering digunakan dalam menghasilkan biodiesel adalah reaksi transesterifikasi minyak nabati dengan alkohol rantai pendek, biasanya menggunakan metanol [7]. Berikut ini merupakan skema reaksi transesterifikasi katalitik dari minyak nabati: Catalyst Triglycerides Methanol Methyl Esters Glycerol Gambar 2.2 Skema Reaksi Transesterifikasi dengan Menggunakan Metanol [7] Transesterifikasi juga dikenal sebagai reaksi alkoholisis, dimana terjadi penggantian alkohol suatu ester oleh alkohol yang lain, proses ini mirip dengan hidrolisis, perbedaannya terletak pada molekul yang terlibat pada hidrolisis adalah molekul air, bukan molekul alkohol. Reaksi transesterifikasi awalnya merupakan metode yang digunakan untuk membentuk gliserin dalam pembuatan sabun. Produk samping dari proses tersebut adalah mono-alkil ester yang merupakan konstituen biodiesel [51]. Tahapan reaksi transesterifikasi adalah sebagai berikut: 14

Catalyst Triglycerides Methanol Methyl Esters Diglyceride Catalyst Diglyceride Methanol Methyl Esters Monoglyceride Catalyst Monoglyceride Methanol Methyl Esters Glycerol Gambar 2.3 Tahapan Reaksi Transesterifikasi [50] Ketidaklarutan lemak / minyak terhadap alkohol berpengaruh pada konversi yang rendah dari trigliserida menjadi produk biodiesel. Sehingga, untuk meningkatkan laju reaksi dan mencapai rendemen yang lebih baik, digunakan katalis pada reaksi. Pada metode konvensional, biasanya digunakan katalis homogen seperti katalis basa (NaOH, KOH, CH 3 ONA, CH 3 OK, dan lain lain) serta katalis asam (asam sulfat, asam klorida, asam fosfat, dan lain lain) dalam pembuatan biodiesel. Untuk pembuatan biodiesel secara komersial, banyak menggunakan katalis basa [7]. Reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis homogen yang bersifat basa memiliki keuntungan, yaitu laju reksi yang sangat cepat (4000 kali lebih cepat daripada transesterifikasi dengan katalis asam), reaksi dalam fasa cair dan membutuhkan konsumsi energi yang lebih sedikit, dan katalisnya mudah diperoleh dengan biaya yang murah. Namun, reaksi ini sensitif terhadap kandungan asam lemak bebas pada minyak [50]. Jika kadar asam lemak bebas pada minyak lebih besar daripada 0,5%, maka akan terjadi saponifikasi yang mengganggu proses pemisahan ester dan gliserin [2]. Pembentukan sabun yang berlebihan akan menurunkan konversi dan rendemen, sehingga membutuhkan air dalam jumlah yang besar untuk pemurnian produk [50]. 15

2.3.3 Pemurnian Biodiesel Transesterifikasi juga dikenal sebagai reaksi alkoholisis, dimana terjadi penggantian alkohol suatu ester oleh alkohol yang lain, proses ini mirip dengan hidrolisis, perbedaannya terletak pada molekul yang terlibat pada hidrolisis adalah molekul air, bukan molekul alkohol [51]. Tingkat kemurnian biodiesel memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sifat sifat bahan bakar tersebut, terutama pada jumlah gliserida dan trigliserida yang terdapat dalam bahan bakar dapat menyebabkan masalah serius dalam aplikasinya ke mesin penghasil energi. Bahan bakar harus bebas dari kandungan air, alkohol, gliserin, dan katalis. Sehingga, perlu dilakukan treatment terhadap lapisan ester pada tahap pembuatan biodiesel [49, 52]. Adapun beberapa dampak negatif dari kontaminan dalam biodiesel dapat dilihat pada Tabel 2.3. 16

Tabel 2.3 Dampak Negatif Kontaminan dalam Biodiesel [53] No. Kontaminan Dampak Negatif 1 Metanol Pengikisan pada segel karet dan gasket, titik nyala yag rendah (menimbulkan masalah pada penyimpanan, transportasi, utilitas, dan lain lain), viskositas dan densitas yang rendah, bersifat korosif terhadap aluminium dan zinc. 2 Air Menurunkan panas pembakaran, korosi pada komponen sistem (saluran bahan bakar dan pompa injektor), kegagalan pemompaan bahan bakar, hidrolisis (FFA terbentuk), pembentukan kristal es yang menyebabkan timbulnya gel pada sisa bahan bakar, pertumbuhan bakteri (terhalangnya saluran saringan mesin), serta pitting pada piston. 3 Katalis Merusak injektor, korosi pada mesin. 4 FFA 5 Gliserida 6 Gliserol Stabilitas oksidasi yang rendah, korosi pada mesin. Kristalisasi, kekeruhan, viskositas yang tinggi, deposit pada piston dan keran injektor. Pengendapan, deposit pada tangki bahan bakar, kandungan aldehid yang tinggi, emisi akrolein, fouling pada injektor. Setelah proses transesterifikasi dilakukan, dilakukan tahap pemurnian biodiesel. Umumnya metode yang digunakan adalah metode pencucian basah, dimana teknik ini dilakukan dengan memasukkan sejumlah air ke dalam biodiesel mentah untuk selanjutnya diaduk secara perlahan untuk mencegah emulsi. Proses ini diulangi hingga diperoleh air buangan yang jernih. Hal ini menandakan bahwa impuritas telah terbuang sepenuhnya [53]. Metode konvensional ini dilaporkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar [53-55]. 17

2.4 FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REAKSI TRANSESTERIFIKASI 2.4.1 Kandungan Air pada Minyak Waktu reaksi yang singkat cenderung memberikan konversi yang tinggi melalui penggunaan katalis basa bila dibandingkan dengan katalis asam. Transesterifikasi dengan katalis basa sangat dipengaruhi oleh kandungan air yang menyebabkan reaksi parsial (saponifikasi) [56, 57]. Pada transesterifikasi dengan katalis basa menggunakan minyak dengan kadar asam lemak bebas di atas 1%, reaksi membutuhkan jumlah katalis yang jauh lebih banyak untuk menetralisasi asam lemak bebas [58]. 2.4.2 Suhu Reaksi Semakin tinggi suhu reaksi dapat meningkatkan laju reaksi dan menurunkan waktu reaksi yang dibutuhkan, yang disebabkan oleh penurunan viskositas minyak. Transesterifikasi biasanya dilangsungkan pada suhu di bawah titik didih alkohol untuk mencegah evaporasi alkohol [58]. Namun, menurut kajian Berrios, [2], suhu reaksi transesterifikasi berada pada rentang 60 80 C. 2.4.3 Konsentrasi Katalis Penggunaan katalis yang banyak dapat meningkatkan konversi trigliserida menjadi biodiesel. Jika katalis yang digunakan tidak mencukupi, maka konversi menjadi tidak maksimal [59]. Pada kajian yang dilakukan oleh Margaretha [15] dengan menggunakan minyak sawit, metanol, dan katalis CaO dari cangkang Pomacea sp., berat katalis yang digunakan berada dalam interval 1% hingga 5%, dimana yield tertinggi sebesar 95,61% dapat dicapai pada penggunaan katalis sebanyak 4%. Sedangkan kajian yang dilakukan oleh Niju [17] dengan menggunakan minyak jelantah, metanol, dan katalis CaO dari cangkang tiram, berat katalis yang digunakan berada dalam interval 5% hingga 10%, dimana yield tertinggi (94,25%) dapat dicapai pada penggunaan katalis sebanyak 7%. 18

2.4.4 Waktu Reaksi Secara umum, konversi menjadi ester akan semakin meningkat dengan bertambahnya waktu reaksi. Reaksi akan berlangsung lambat pada awal reaksi [60]. Yield akan meningkat hingga mencapai maksimum dan kemudian akan menurun seiring pengingkatan waktu reaksi. Hal ini disebabkan oleh hidrolisis ester [3]. Bedasarkan kajian terhadap penggunaan minyak jelantah dan metanol sebagai bahan baku transesterifikasi menjadi biodiesel, biasanya menggunakan waktu reaksi 2 jam [6, 17]. 2.4.5 Rasio Molar Alkohol dan Minyak Penggunaan alkohol yang berlebih dapat meningkatkan konversi minyak atau lemak menjadi ester dalam waktu yang singkat. Sehingga, yield biodiesel akan meningkat seiring peningkatan konsentrasi alkohol sampai batas tertentu [58]. Penggunaan katalis CaO dan metanol dikaji oleh beberapa peneliti, seperti Niju [17] yang mencapai yield 94,25% dengan rasio molar metanol terhadap minyak sebesar 12 : 1 serta Sirisomboonchai [6] yang mencapai yield 86% dengan rasio molar metanol terhadap minyak sebesar 6 : 1. 2.4.6 Kecepatan Pengadukan Kecepatan pengadukan yang rendah cenderung membantu reaksi pembentukan sabun. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan reverse pada reaksi transesterifikasi [61]. Adapun pada kajian yang terdahulu, diperoleh data kecepatan pengadukan yang digunakan berada di atas 500 rpm, dimana pada kajian yang dilakukan dapat diperoleh biodiesel (FAME >96%) [2, 5, 62, 63]. 19

2.5 ANALISIS EKONOMI Minyak jelantah adalah limbah rumah tangga dari proses penggorengan berbagai jenis makanan, digunakan beberapa kali oleh konsumen. Minyak jelantah memiliki warna yang sudah tidak menarik, cenderung gelap dan keruh, berbau tengi, dan berpotensi besar dalam membahayakan kesehatan tubuh, serta tidak dapat digunakan lagi untuk pengolahan pangan. Sehingga, minyak jelantah dapat dijadikan alternatif bahan baku dalam pembuatan biodiesel, sekaligus mengurangi biaya produksi melalui pemanfaatan limbah, serta memenuhi kebutuhan bahan bakar biodiesel dalam negeri yang semakin meningkat. Dalam penelitian ini digunakan katalis yang berasal dari limbah, yaitu cangkang telur ayam. Konsumsi telur ayam yang tinggi di Indonesia menjamin ketersediaan limbah cangkang telur ayam. Oleh karena itu, pembuatan biodiesel yang menggunakan bahan minyak jelantah dan cangkang telur ayam memiliki potensi ekonomi yang tinggi dan dapat diperoleh dengan mudah karena tersedia dalam jumlah berlimpah dalam bentuk limbah. 20