BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Kebutuhan akan adanya lembaga jaminan, telah muncul sejak zaman romawi.

BAB II FIDUSIA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN. Fidusia manurut asal katanya berasal dari fides yang berarti

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara yuridis

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pembebanan Jaminan Fidusia

BAB I PENDAHULUAN. oleh gabungan orang yang bukan badan hukum sekalipun. Tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK. Oleh: Ni Made Trisna Dewi ABSTRACT

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA. Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di Indonesia juga. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR PENERIMA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie.

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB II TINJAUAN MENGENAI PENGATURAN PENGEMBALIAN PIUTANG DENGAN JAMINAN FIDUSIA. A. Ketentuan Hukum Jaminan menurut KUHPerdata dan KUH Dagang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu : 2

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB II TINJAUAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Sejarah Jaminan Fidusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBUK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Istilah fidusia berasal dari bahasa belanda, yaitu fiducie, sedangkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA TAKE OVER PEMBIAYAAN DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai negara berkembang, Indonesia berusaha untuk melaksanakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

BAB III TINJAUAN UMUM. pembangunan nasional perlu senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yang menganut Negara welfare state yaitu negara yang

PENDAHULUAN. mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dana merupakan salah satu faktor penting dan strategis dalam

UNDANG-UNDANG FIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999 MEMBAWA PERUBAHAN DALAM PRANATA JAMINAN RABIATUL SYAHRIAH

BAB I PENDAHULUAN. meningkat sesuai dengan usia dan status sosialnya namun seringkali

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

BAB II TINJAUAN TEORITIS UNDANG - UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. zaman dan kebutuhan modal bagi setiap masyarakat untuk memajukan dan

A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

BAB II TERHADAP JAMINAN FIDUSIA YANG DIDAFTARKAN PADA SAAT TERJADINYA KEMACETAN PEMBAYARAN. jaminan fidusia, pada Pasal 1 angka 1 menyatakan :

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan prinsip kehati-hatian. Penerapan prinsip kehati-hatian tersebut ada

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana kita ketahui bahwa pembangunan ekonomi sebagai bagian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah

AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA DI DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB I PENDAHULUAN. merupakan upaya mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Untuk

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT A. Tinjauan Umum Kredit 1. Pengertian kredit Kredit pada saat sekarang ini bukanlah suatu hal yang baru lagi ditengahtengah masyarakat. Kredit saat ini telah menjadi suatu model perjanjian yang lazim bagi masyarakat, terutama dalam hal jual beli. Dengan kata lain, jual beli yang dilakukan pada masa sekaran ini banyak yang dilakukan dengan menggunakan metode kredit. Kredit ini semakin lama semakin berkembang dan pada akhirnya dalam masyarakat kemudian menimbulkan salah satu sistem pembayaran yang populer di masyarakat yaitu kartu kredit. Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, yaitu Cradere yang berarti kepercayaan. Misalkan, seorang nasabah debitur yang memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang mendapatkan kepercayaan dari bank, hal ini menunjukan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah adalah kepercayaan. 9 adalah: 10 Munurut Munir Fuady, adapun yang dimaksud dengan perkreditan suatu penyediaan uang atau yang dipersamakan denganya, yang didasari atas perjanjian pinjam meminjam antara pihak kreditur (bank, perusahaan atau perseorangan) dengan pihak debitur (peminjam), yang 9 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.57 10 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Menata Bisnis Modern di Era Global), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.111 17

18 mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutangnya dengan jangka waktu tertentu, dimana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditur (pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung. Berdasarkan pendapat Munir Fuady tersebut, maka yang menjadi elemenelemen yuridis dari suatu pemberian kredit adalah sebagai berikut: 11 a. adanya kesepakatan antara debitur dengan pihak kreditur, yang disebut dengan perjanjian kredit; b. adanya para pihak, yaitu pihak kreditur dan pihak debitur; c. adanya kesanggupan atau janji untuk membayar utang; d. adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit dengan pembayaran kredit. Sementara pengertian kredit berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, disebutkan bahwa: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu, yang diserta dengan pemberian bunga. Berdasarkan pemaparan pengertian kredit yang telah diuraikan di atas, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan mengenai arti kredit itu sendiri, pertama, kredit bukanlah hibah dan juga bukanlah jual beli, hal ini dikarenakan hibah adalah perbuatan cuma-cuma, jadi kredit tidak termasuk dalam artian ini, juga bukan termasuk jual beli karena di dalam jual beli pihak penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar sejumlah uang. Kedua, kredit bukanlah merupakan 11 Ibid.,hlm.111

19 perjanjian tukar menukar, sebab kredit adalah penyediaan uang untuk dipinjamkan kepada penerima kredit, dimana pada hakikatnya tidak ada persetujuan antara pemberi kredit dengan penerima kreditsekalipun di satu pihak yang diberikan adalah dana dan di pihak lain yang diberikan adalah jaminan. Ketiga, kredit merupakan perjanjian pinjam uang yang didasarkan pada kepercayaan akan akan kemampuan ekonomi penerima kredit, dimana hal ini dapat dilihat dri pengertian kredit yang digariskan oleh Undang-Undang Perbankan, dimana didalamnya terdapat unsur kewajiban untuk mengembalikan pinjaman, atau secara lebih luas dapat juga diartikan kewajiban untuk memenuhi perikatan, juga pemenuhan kewajiban pengembalian pinjaman yang sama artinya dengan kemampuan memenuhi prestasi suatu perikatan. 12 2. Unsur-unsur kredit Unsur esensial dari kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank sebagai kreditur terhadap nasabah peminjam sebagai debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur antara lain: jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan. 13 Menurut Hasanudin Rahman sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad, mengemukakan bahwa dengan menunjuk ketentuan Pasal 1 Angka 12 Mariam Darus Badruldzaman, Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hyphoteek Serta Hambatan-hambatanya Dalam Praktik di Medan, Penerbit Alumni, Bandung, 1978, hlm.21 13 Hermansyah, Loc.Cit

20 (12) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Mengemukakan bahwa 4 (empat) unsur kredit sebagai berikut: 14 a. Kepercayaan Setiap pemberian kredit dilandasi oleh keyakinan bank bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan b. Waktu Antara pemberian kredit oleh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu c. Risiko Setiap pemberian kredit jenis apapun akan terkandung resiko dalam jangka waktu antara pemberian kredit dan pembayaran kembali, hal ini berarti semakin tinggi jangka waktu kredit yang diberikan, semakin tinggi pula resiko kredit yang diberikan tersebut d. Prestasi Setiap kesepakatan yang terjadi antara bank dengan debitur mengenai pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi Berdasarkan pendapat tadi maka dapat diketahui bahwa selain unsur kepercayaan yang merupakan unsur yang penting dalam pemberian kredit masih ada lagi unsur-unsur lain yang mendukung seperti misalnya waktu, resiko, serta 14 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.294-295

21 prestasi. Sehingga dengan adanya unsur-unsur tadi diharapkan bahwa kemungkinan untuk terjadinya kredit macet dapat diperkecil. 3. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok Pemberian kredit pada umumnya dilakukan oleh pihak bank sebagai kreditur karena pendapatan dan kuntungan suatu bank lebih banyak bersumber dari pemberian kredit kepada debitur. Setiap kredit yang telah disepakati oleh kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit. Perjanjian kredit itu sendiri pada hakekatnya berakar pada perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Sedangkan di dalam Pasal 1 Ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Perjanjian kredit yang dibuat dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta notaris pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (Standard Contract), dimana pada praktiknya perjanjian baku ini telah disediakan atau telah dirancang isi atau klausula perjanjianya oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan pihak debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. 15 Perjanjian kredit sendiri mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian kredit oleh kreditur baik pengelolahanya maupun pelaksanaan kredit 15 Hermansyah, Op.Cit., hlm.71

22 itu sendiri. Adapun fungsi dari suatu perjanjian kredit itu sendiri adalah bahwa perjanjian kredit itu berfungsi sebagai perjanjian pokok, dimana dalam artian bahwa perjanjian kredit ini akan diikuti oleh perjanjian tambahan seperti misalnya perjanjian jaminan kebendaan dan perjanjian pokok ini juga menentukan ada dan berakhirnya perjanjian tambahan. Adanya perjanjian kebendaan yang mengikuti perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok bertujuan agar dana kredit yang sudah dikucurkan oleh pihak bank dapat lebih terjamin pengembalianya serta untuk mengantisipasi terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh pihak debitur, oleh karena itulah tentunya pihak bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit harus disertai oleh jaminan atau agunan, dimana pemberian jaminan ini dilakukan melalui suatu perjanjian tambahan yaitu perjanjian kebendaan yang bertujuan untuk mengikatkan benda yang dijaminkan. 16 4. Bentuk-bentuk jaminan dalam perjanjian kredit Pemberian kredit dalam praktiknya, ternyata tidak cukup hanya didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan kepada pihak debitur, akan tetapi perlu disertai jaminan berupa barang, dimana hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya wanprestasi atau kemacetan dalam pengembalian kredit. 17 Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyatakan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas 16 Herowati Poesoko, Dinamikan Hukum Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan, Asswaja Presindo, Yogyakarta, 2013, hlm.112 17 Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit.

23 perkreditan yang sehat untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Sehingga untuk memperoleh keyakinan tersebut sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur. Berdasarkan Pasal 8 tersebut dapat diketahui bahwa jaminan mempunyai peranan penting untuk menghindari resiko dalam pemberian kredit, dimana apabila kredit yang diberikan itu memang benar-benar mengalami kemacetan sampai kepada pihak debitur sudah tidak mampu lagi membayar hal ini tentunya akan menyebabkan kerugian bagi pihak bank. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi keadaan tersebut diharapkan jaminan dapat mengkover kerugian yang dialami oleh pihak bank dengan cara melakukan eksekusi terhadap jaminan tersebut. Jaminan kredit sendiri dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu: 18 1. Jaminan Materiil (Kebendaan) Jaminan ini memberikan ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk jaminan kebendaan ini antara lain: a. Gadai (Pand), yang diatur dalam Bab 20 Buku ke II KUH Perdata; 18 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raj Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.23

24 b. Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku ke II KUH Perdata; c. Credietverband, yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah dirubah dengan Stb. 1937 Nomor 190; d. Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999; e. Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. 2. Jaminan Immateril (Perorangan) Jaminan ini berbeda dengan jaminan kebendaan, dimana pada jaminan ini tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, akan tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk jaminan perorangan ini antara lain: a. Penanggungan (Borg), adalah orang lain yang dapat ditagih; b. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; dan c. Perjanjian garansi. B. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Kredit 1. Pengertian jaminan fidusia Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata fides yang berarti kepercayaan, sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan (hukum) antara debitur

25 (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan yang berdasarkan kepercayaan. 19 Jaminan fidusia sendiri sudah mulai dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum romawi. Pada jaminan fidusia sendiri ada 2 bentuk jaminan fidusia yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico, dimana keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio, dimana dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas. 20 Fidusia sendiri merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia, dimana undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah fidusia, dengan demikian istilah fidusia sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum kita, akan tetapi terkadang dalam bahasa Indonesia untuk istilah fidusia ini disebut juga dengan istilah penyerahan hak milik secara kepercayaan. Pada terminologi Belanda istilah fidusia sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa fiduciare eigendom overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggris secara lengkap sering disebut dengan istilah fiduciary transfer of ownership. 19 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Garfindo Persada, Bandung, 2004, hlm 119 20 Ibid.,hlm.120

26 Pengertian fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia pada Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikanya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengertian jaminan fidusia sendiri menurut ketentuan Pasal 1 Angka 2, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa: Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebankan hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainya. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas memperjelas bahwa ada perbedaan antara fidusia dengan jaminan fidusia, dimana fidusia sendiri merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia, hal ini menunjukan bahwa pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia merupakan pranata jaminan fidusia yang diatur dalam fidusia cum creditore. 21 2. Karakteristik jaminan fidusia Sebagai suatu perjanjian accesoir (perjanjian ikutan), perjanjian jaminan fidusia memiliki karakteristik sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang 21 Ibid., hlm. 130

27 Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dimana adapun yang menjadi karakteristik dari pada suatu jaminan fidusia adalah sebagai berikut: 22 a. Memberikan kedudukan yang mendahului kepada kreditur penerima fidusia terhadap kreditur lainya (Pasal 27 Undang-Undang Fidusia). Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada kantir pendaftaran fidusia. Hak yang didahulukan yang dimaksud adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atau hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada (droit de suite) (Pasal 20 Undang-Undang Fidusia). Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia. c. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga mengikat kepada pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 6 dan Pasal 11 Undang-Undang Fidusia). Untuk memenuhi asas spesialitas dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Fidusia, maka akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat: 1) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia; 2) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; 3) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; 22 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.160-175

28 4) Nilai penjaminan, dan; 5) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Asas pubilisitas sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Fidusia adalah untuk memberikan kepastian hukum sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia, kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani dengan jaminan fidusia berada diluar wilayah Republik Indonesia. 23 d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 29 Undang-Undang Fidusia) Eksekusia jaminan fidusia didasarkan pada sertifikat jaminan fidusia, sertifikat jaminan fidusia diterbitkan dan diserahkan oleh Kantor Pertanahan Fidusia kepada penerima jaminan fidusia memuat tanggal yang sama dengan tanggal penerima pendaftaran jaminan fidusia, sertifikat jaminan fidusia merupakan salinan dari buku daftar fidusia, memuat catatan tentang hal-hal yang dinyatakan dalam pendaftaran jaminan fidusia. 24 Dalam hal debitur atau pemberi fidusia cidera janji, pemberi fidusia wajib menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, dalam artian bahwa eksekusi dapat langsung dilaksanakan, ataupun melalui lembaga parate eksekusi penjualan objek jaminan fidusia atas kekuasaanya sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan 23 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit.,hlm.139 24 Ibid.,hlm.123-124

29 dari hasil penjualan, apabila eksekusi yang akan dilakukan melalui penjualan di bawah tangan, maka haruslah dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. 3. Objek dan subjek jaminan fidusia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Namun oleh karena guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka dengan diberlakukanya Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia ini, objek jaminan fidusia diberi pengertian yang lebih luas, yaitu: 25 a. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan b. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani dengan hak tanggungan. Adapun yang dimaksud dengan bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan disina dalam kaitanya dengan bangunan rumah susun. Ketentuan mengenai objek jaminan fidusia adalah diatur pada Pasal 1 Angka 2, dan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 Angka 4 dan Pasal 3, serta penjabaranya lebih lanjut dalam Pasal 9 Undang-Undang Fidusia. Mengenai subjek jaminan fidusia adalah para pihak yaitu pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia atau debitur adalah orang perorangan ataupun juga korporasi pemilik benda yang dijadikan objek fidusia, sedangkan hlm.211 25 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, CV. Alfabeta, Bandung, 2003,

30 adapun yang dimaksud dengan korporasi dalam hal ini adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang bukan berbadan hukum, dimana untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi objek jaminan fidusia milik sah pemberi fidusia, maka harus dilihat etrlebih dahulu bukti-bukti kepemilikan benda-benda jaminan tersebut. Sedangkan penerima fidusia atau kreditur adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayaranya dijamin dengan jaminan fidusia. Sedangkan yang dimaksud korporasi adalah bada usaha yang berbadan hukum yang memiliki usaha dibidang pinjam-meminjam uang seperti perbankan. 26 4. Proses penerbitan jaminan fidusia Proses penerbitan jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu tahap pembebanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang- Undang Fidusia, dan tahap pendaftaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia. Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Fidusia menyatakan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 5 Ayat 1 tadi, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya tidak mensyaratkan adanya keharusan atau kewajiban pembebanan benda dengan jaminan fidusia dituangkan dalam bentuk akta notaris, sehingga dapat ditafsirkan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia diperbolehkan tidak 26 Ibid.,hlm.212

31 dituangkan dalam akta notaris. Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Fidusia ini tidaklah bersifat memaksa, karena tidak mencantumkan kata harus atau wajib di depan kata-kata dibuat dengan akta notaris, maupun dengan menyebutkan akibat hukumnya kalau tidak dibuat dengan akta notaris. 27 Menurut Tan Kamello, alasan mengapa Undang-Undang Fidusia menetapkan bentuk perjanjian jaminan fidusia dengan akta notaris adalah: 28 a. Akta notaris adalah akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna; b. Objek jaminan fidusia pada umumnya adalah benda bergerak; c. Undang-Undang melarang adanya fidusia ulang. Namun demikian, Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia bisa kita tafsirkan, bahwa terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Fidusia, untuk pelaksanaan pemberi hak-hak dari pemberi dan penerima fidusia sebagai yang disebutkan dalam Undang-Undang Fidusia, harus dipenuhi syarat bahwa jaminan itu haruslah dituangkan dalam akta notaris, sehingga hal ini tidak sama dengan mengatakan bahwa semua jaminan fidusia yang tidak dituangkan dalam bentuk akta notaris, yang dibuat setelah berlakunya Undang-Undang Fidusia tidak berlaku, sebab bisa saja terhadap jaminan fidusia seperti itu berlaku ketentuanketentuan tidak tertulis dan yurisprudensi yang selama ini berlaku. 29 Pasal 37 Ayat (3) Undang-Undang Fidusia mengatakan jika dalam jangka waktu 60 hari, jaminan fidusia yang lama tidak disesuaikan dengan Undang- 27 J. Satrio, Op.Cit.,hlm.200 28 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm.187 29 Ibid.,hlm.188

32 Undang Fidusia, maka jaminan itu bukanlah merupakan hak agunan atas kebendaan sebagiamana dimaksud dalam Undang-Undang Fidusia. Dengan demikian, akta notaris dalam hal ini merupakan syarat materiil berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Fidusia atas perjanjian penjaminan fidusia yang ditutup para pihak dan merupakan alat bukti. 30 Setelah tahapan pembebanan dilaksanakan maka tahap selanjutnya berdasarkan Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia adalah tahap pendaftaran, dimana Pasal 11 Ayat 1 tersebut menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Adapun tata cara pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan oleh penerima fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia sehubungan adanya permohonan pendaftaran jaminan fidusia oleh penerima fidusia, diatur lebih lanjut berdasarkan PP Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran jaminan Fidusia, adalah sebagai berikut: a. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan jaminan fidusia yang memuat: 1) Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia yang meliputi nama, agama, tempat tinggal/tempat kedudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan; 2) Tanggal dan nomor akta jaminan, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia; 3) Data perjanjian pokok; 30 Ibid.,hlm. 188-189

33 4) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; 5) Nilai penjaminan; 6) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia Pejabat pendaftaran jaminan fidusia setelah menerima permohonan tersebut memeriksa kelengkapan persyaratan permohonan, namu apabila tidak lengkap harus langsung dikembalikan berkas permohonan tersebut. b. Apabila sudah lengkap pejabat pendaftaran fidusia memberikan sertfikat jaminan fidusia dan menyerahkan kepada pemohon yang dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pencatatan permohonan pendaftaran jaminan fidusia c. Apabila terdapat kekeliruan penulisan dalam sertifikat jaminan fidusia, dalam waktu 60 hari setelah menerima sertifikat jaminan fidusia pemohon memberitahu kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Sertifikat jaminan fidusia ini memuat tanggal yang sama dengan tanggal sertifikat semula. Didaftarkanya jaminan akta perjanjian fidusia, maka Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat akta jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia dan kepada kreditur diberikan sertifikat jaminan fidusia. Saat pendaftaran akta pembebanan fidusia adalah melahirkan jaminan fidusia bagi pemberi fidusia, memberikan kepastian kepada kreditur lain mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditur dan

34 untuk memenuhi asas publisitas karena Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum. 31 Apabila terjadi perubahan atas data yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia, maka penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia, selain itu hal yang sangat menguntungkan bagi kreditur penerima jaminan fidusia adalah bahwa sertifikat jaminan fidusia mengandung kata-kata yang disebut dengan irah-irah DEMI KEADILAN YANG BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia. 5. Hapusnya jaminan fidusia Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang jaminan Fidusia, jaminan fidusia ini merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian dasar yang menerbitkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sebagai suatu perjanjian accesoir, perjanjian jaminan fidusia ini hapus demi hukum, apabila utang dari perjanjian pokok yang menjadi sumber lahirnya perjanjian jaminan fidusia atau utang yang dijamin dengan jaminan fidusia hapus, disamping itu, Pasal 25 Undang-Undang Fidusia menyatakan secara tegas bahwa jaminan fidusia hapus karena: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusia; b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia; atau c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. 31 Purwahid Patrick dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 2001, hlm. 41

35 Sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia tergantung dari piutang yang dijamin pelunasanya, sehingga apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang karena pelepasan, maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan akan menjadi hapus, hapusnya utang ini antara lain dibuktikan dengan bukti pelunasan atau bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditur. Apabila hapusnya hutang karena musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia, maka klaim asuransi akan menjadi pengganti jaminan fidusia tersebut. Dalam hal penerima fidusia mengenai hapusnya jaminan dan Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan hak yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia tidak berlaku lagi. Hapusnya jaminan fidusia perlu diikuti dengan roya atau pencoretan terhadap catatan fidusia dalam buku daftar fidusia yang ada di Kantor Pendaftaran Fidusia, hal ini dilakukan agar untuk menghindari jangan sampai secara yuridis fidusia sudah hapus, akan tetapi secara administratif fidusia masih ada karena masih tercatat dalam buku daftar fidusia. Apabila pihak kreditur tidak mau mengajukan roya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, maka pihak debitur dapat mengajukan permohonan untuk meroya fidusia ke Pengadilan Negeri dan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan supaya Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan roya terhadap jaminan fidusia dan barulah Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan pencoretan fidusia tersebut. 32 32 Gatot Supramono, Op.Cit.,hlm.249-251