BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awal Juli 1997, Indonesia mengalami krisis moneter, keadaan ini berlangsung kurang lebih selama dua tahun. Sehingga berdampak pada lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pengangguran. Dampak lainnya adalah terganggunya kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah. Hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya. 1 Salah satu upaya pemerintah agar dampak-dampat tersebut tidak terlalu luas adalah pada tanggal 22 April 1998 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Langkah ini dilakukan karena peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintahan Hindia-Belanda sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utang-piutang. Selain 1 Munif Rochmawanto, Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan, Jurnal Independent Vol 3 Nomor 2, hal. 25 1
itu peraturan ini dikeluarkan untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya. Dalam masa-masa itu hingga berlakunya revisi atas undang-undang kepailitan, urusan kepailitan merupakan suatu hal yang jarang muncul ke permukaan. Kekurang populeran masalah kepailitan ini terjadi karena selama ini banyak pihak yang kurang puas terhadap pelaksanaan kepailitan. Banyak urusan kepailitan yang tidak tuntas, lamanya waktu persidangan yang diperlukan, tidak adanya kepastian hukum yang jelas, merupakan beberapa dari sekian banyak alasan yang ada. Secara psikologis mungkin hal ini dapat diterima, karena pernyataan kepailitan diartikan hilangnya nilai piutang karena harta kekayaan debitur yang dinyatakan pailit itu tidak mencukupi untuk menutupi semua kewajibannya kepada kreditur. Akibatnya dalam masalah kepailitan, tidak semua kreditur setuju dan bahkan ada yang berusaha keras untuk menentangnya. 2 Kemudian setelah Undang-Undang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 disahkan, maka serta-merta dunia hukum diramaikan oleh diskusi dan kasus-kasus kepailitan di pengadilan. Sekarang banyak debitur (baik yang nakal maupun yang jujur) yang mulai was-was untuk dipailitkan. Tetapi tentunya hukum kepailitan yang berlaku sekarang haruslah 2 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, 2004, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 3. 2
memenuhi syarat-syarat hukum yang efektif, adil, efesien, cepat, pasti, modern, dan terekam dengan baik. 3 Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah pailit dapat ditemukan. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail dan kata di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire. 4 Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pailit didefinisikan sebagai debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Pengertian pailit tersebut di atas dapat diartikan bahwa pailit dapat terjadi apabila seorang debitur tidak mampu untuk membayar kepada kreditur atas utang-utangnya yang telah jatuh waktu. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan 3 Munif Rochmawanto, Op. Cit., hal 26. 4 Zainal Asikin, 2002, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, hal.26-27. 3
secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun pihak ketiga atas suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan. Penyelesaian sengketa dalam kepailitan terdapat dua pihak inti yaitu adanya kreditur dan debitur. Dalam hal ini pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU) hanya dapat diajukan oleh Pihak Debitor, Satu orang Kreditor atau lebih, Jaksa untuk kepentingan umum, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dan Menteri Keuangan. 5 Sementara pihak-pihak yang dapat dipailitkan adalah setiap orang atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia dapat dipailitkan, antara lain ialah orang perorangan, bank, perusahaan, BUMN, Holding Company, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Perusahaan Asuransi dan kepailitan Penjamin (borgtocht). Selanjutnya, untuk permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan efek sendiri hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (yang selanjutnya disebut Bapepam). Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU kepada Bapepam untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap bursa efek, perusahaan, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian. Selain itu, dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Pasar Modal (UUPM) 5 Etty Susilowati. 2013. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Semarang. Badan Penerbit UNDIP. Hal. 37 4
menyatakan bahwa pembinaan, pegaturan, dan pengawasan sehari-hari kegiatan pasar modal dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal yang disebut Bapepam. Kemudian pada tahun 2011, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Keluarnya undang-undang ini berdampak pada perubahan besar terhadap industri keuangan di Indonesia. Perubahan tersebut dapat dilihat pada aturan peralihan UU OJK dalam Pasal 55 yang menyatakan : 1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Mentreri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. 6 2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektro perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK. Dengan demikian fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan beralih dari BI ke OJK termasuk juga beralihnya wewenang pengaturan dan pengawasan pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya dari Bapepam-LK ke OJK. Peralihan kewenangan sebagaimana tersebut di atas berdampak juga secara langsung terhadap UUK dan PKPU dimana kewenangan bagi lembaga-lembaga yang diatur dalam ketentuan Pasal (2) sampai dengan ayat 6 Adanya lembaga OJK merupakan amanat dari Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI), yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dan masyarakat 5
(5) UUK dan PKPU tersebut secara otomatis berpindah ke OJK kecuali untuk pengajuan permohonan kepailitan atas Bank yang masih dipegang oleh BI, hal ini karena amanat dari UUK dan PKPU itu sendiri dalam Pasal 2 ayat (3) yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa kewenangan pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya menjadi kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan (macroprudential). Dengan demikian, pada kepailitan terhadap debitor yang bergerak di bidang pasar modal, kewenangan pengajuan permohonan pernyataan pailit yang awalnya hanya bisa dilakukan oleh Bapepam sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU, yang berbunyi: Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelasaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. 7 Dengan hadirnya UU OJK, maka kewenangan pengajuan pailiti tersebut beralih pada OJK, dalam hal ini OJK sebagai otoritas yang memiliki kewenangan pembinaan, pengawasan dan pengaturan di bidang Pasar Modal. Namun, dalam beberapa kasus pada Pengadilan Niaga di Indonesia, banyak perkara kepailitan yang mengajukan kepailitan bukan pihak yang sesuai dengan ketentuan UUK. Seperi kasus kepailitan terhadapa PT. AAA yang terjadi pada tahun 2014. PT AAA Sekuritas adalah perusahaan efek 7 Hal itu dikarenakan hanya Bapepam lah lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi seluruh kegiatan yang bergerak dalam kegiatan pengumpulan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek. 6
yang bergerak di bidang perantara perdagangan efek dan penjamin emisi efek selaku. Adapun debitor dalam perkara ini adalah GM dan AG. Alasan diajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT AAA Sekuritas adalah karena PT AAA Sekuritas tidak mengembalikan dana penjualan repo saham kepada kreditor sampai dengan jatuh waktu pelunasan. Dalam kasus ini Majelis Hakim menerima permohonan pernyataan pailit terhadap PT AAA Sekuritas. Kemudian melalui putusannya tanggal 29 Juni 2015 dengan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit terhadap PT AAA Sekuritas yang diajukan oleh kreditor perorangan. Kasus tersebut di atas bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU, dimana seharusnya pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada PT AAA Sekuritas adalah Badan Pengawas Pasar Modal yang telah dipindahkan fungsi dan wewenang nya kepada OJK pasca diterbitkannya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Kasus kepailitan terhadap PT AAA Sekuritas diputus tanpa adanya peran dari OJK sebagai satu-satunya lembaga yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Perusahaan Efek. Hal ini disebabkan karena peran OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas di dalam kegiatan pasar modal pada fungsinya adalah lebih memfokuskan tugasnya dalam mengawasi kepatuhan dan ketaatan dari pelaku usaha pasar modal terhadap Undang-undang dan peraturan serta memastikan terjaminnya hak-hak dari 7
konsumen (investor) dari pelaku usaha pasar modal termasuk Perusahaan Efek di dalamnya. Permasalahan utang piutang (privat) dari Perusahaan Efek dengan Kreditor nya bukanlah merupakan ranah kewenangan pengawasan dari OJK, hal ini lah yang menyebabkan terjadinya beberapa permohonan pengajuan pailit terhadap Perusahaan Efek oleh para Kreditor, padahal seperti sudah diketahui bahwa wewenang pengajuan permohonan pernyatan pailit kepada Perusahaan Efek merupakan wewenang mutlak dari OJK. 8 Berdasarkan uraian atas permasalahan pada latar belakang dan beberapa alasan tersebut diatas, maka mendorong penulis untuk menganalisa lebih lanjut tentang kewenangan pengajuan kepailitan dengan judul Analisis Yuridis Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pusat Ditinjau Dari Perspektif Hukum. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pertimbangan amar dan putusan hakum dalam putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pusat ditinjau dari perspektif hukum? 2. Bagaimana implikasi hukum terhadap pailitnya perusahaan efek yang diajukan bukan oleh pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? 8 Rio Pambudi, dkk. 2016. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan Pada Kepailitan Perusahaan Efek (Studi Kasus Kepailitan PT AAA Sekuritas). Diponegoro Journal Law. Volume 5 No 3. 2016. Fakultas Hukum. Universitas Diponegoro. Hal. 2-5 8
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan mengkaji pertimbangan amar dan putusan hakum dalam putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pusat ditinjau dari prespektif hukum. 2. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi implikasi hukum terhadap pailitnya perusahaan efek yang diajukan bukan oleh pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK). D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai penulis, maka manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang gilirannya dapat memberikan andil bagi perkembangan keilmuan dibidang hukum perdata bisnis, khususnya dalam bidang hukum kepailitan tentang pemahaman pihak yang dapat mengajukan kepailitan terhadap perusahaan efek. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan informatif yaitu sebagai bahan masukan informasi bagimasyarakat tentang pelaksanaan permohonan pailit terhadap perusahaan efek. Diharapkan dapat bergunadalam memecahkan permasalahan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. 9
E. Kegunaan Penelitian 1. Bagi Penulis Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis, serta untuk mengembangkan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat, dan sebagai syarat akademis untuk mendapat gelar Sarjana Strata 1 (S1) di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. 2. Bagi Akademisi Penelitian ini bisa dijadikan suatu informasi yang sedikit menambah wawasan serta rferensi dalam penelitian hukum lebih lanjut. 3. Bagi Kalangan Hukum Bisnis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu pelajaran terutama jika ada permasalahan sejenis dan terutama dalam bidang keperdataan dikemudian hari, agar tidak ada lagi kesalahan dalam pihak yang mengajukan permohonan kepilitan pada perkara selanjutnya. F. Metode Penulisan 1. Metode Pendekatan Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian atau penulisan. 9 Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara 9 Abdul Kadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti. hal. 112 10
menelaah dan menginterprestasikan hal-hal yang bersifat teoritis. Pendekatan ini juga dikenal dengan pendekatan kepustakaan, yaitu mempelajari jurnal-jurnal, buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini. 10 2. Jenis Bahan Hukum 11 Bahan penulisan hukum ini meliputi: a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi, atau risalah didalam pmbuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 12 Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. 2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. 3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. 10 Soerjono, Soekanto dan Sri Mamuji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta. Rajawali Press. hal. 52 11 Dalam penelitian ini tidak digunakan istilah data, tapi istilah bahan hukum, karena dalam penelitian normatif tidak memerlukan data, yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadpa hukum. Dalam Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang. Bayumedia. hal. 268-269. 141 12 Peter Muhamad Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada Mulia. hal. 11
4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 5) Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pusat b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer, yang diperoleh dari studi pustaka berupa jurnaljurnal, buku-buku, makalah, atau sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. c. Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum primer dan sekunder seperti Ensiklopedia, Kamus, Glossary, dan lain-lain. 13 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan Hukum yang dilakukan adalah model studi kepustakaan (library research). Yang dimaksud adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber, dipublikasikan secara luas dan dibutuhkan dalam penelitian Hukum normatif, 14 yaitu penulisan yang telah didasari pada data-data yang dijadikan obyek penulisan kemudian dikaji dan disusun secara komprehensif. 13 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. 2016. Pedoman Penulisan Hukum. hal. 17 14 Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Pendekatan Hukum Normatif. Malang. Bayumedia. hal. 392 12
4. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisa yang digunakan oleh penulis dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan Teori-Teori, Asas-Asas, Norma-Norma, doktrin dan Pasal-Pasal didalam Undang-undang. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uaraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar jenis data. Selanjutnya semua data akan diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskripyif sehinggga selain menggambarkan, mengungkapkan dasar hukumnya dan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud dalam penelitian ini. G. Sistematika Penulisan Pada penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 Bab yang akan membantu penulis dan pembaca untuk memahami isi dari penelitian yang akan diangkat oleh penulis. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pada bab pertama ini memuat hal-hal yang melatarbelakangi penulis dalam memilih judulskripsi serta menjadi dasar umum dalam memahami penulisan skripsi ini. Pada Bab I berisikan latarbelakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini memuat penjelasan dari teori-teori yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yang digunakan untuk membantu penulis dalam membahas permasalahan yang diangkat oleh penulis. BAB III PEMBAHASAN Pada bab III ini berisikan mengenai pembahasan yang diangkat oleh penulis serta dianalisa berdasarkan kenyataan yang terjadi dan didukung dengan teori-teori yang relevan dengan permasalah dalam penulisan ini. BAB IV PENUTUP Bab IV merupakan bab terakhir yang berisikan tentang kesimpulan dan saran dari penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis. 14