BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh pembuluh dimana akan membawa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah

darah. Kerusakan glomerulus menyebabkan protein (albumin) dapat melewati glomerulus sehingga ditemukan dalam urin yang disebut mikroalbuminuria (Ritz

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

olahraga secara teratur, diet pada pasien obesitas, menjaga pola makan, berhenti merokok dan mengurangi asupan garam (Tedjasukmana, 2012).

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit non infeksi, yaitu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

OBAT ANTI HIPERTENSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA TERAPI ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI TAHUN 2014 NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. VII, 2003). Diagnosis hipertensi seharusnya didasarkan pada minimal tiga kali pengukuran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kematian ketiga terbanyak di negara-negara maju, setelah penyakit jantung dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Hipertensi

jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008). Menurut data dan pengalaman sebelum adanya pengobatan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW. penyakit degeneratif dan man made diseases yang merupakan faktor utama masalah

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kerusakan jantung, mata, otak, dan ginjal (WHO, 2009).

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI KOMBINASI DUA OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. 90 mmhg.penyakit hipertensi telah menjadi masalah utama dalam masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian. promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang

An Update Management Concept in Hypertension Ria Bandiara SubBagian Ginjal Hipertensi Bag. Ilmu penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr.Hasan Sadikin Bandung

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN DI PUSKESMAS SEMPAJA SAMARINDA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga meningkatkan risiko PKV seperti pembesaran ventrikel kiri, infark

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penyakit kardiovaskuler. The Third National Health and Nutrition

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Proporsi kematian

BAB I PENDAHULUAN. manusia contohnya adalah obesitas, diabetes, kolesterol, hipertensi, kanker usus,

KAJIAN PENGOBATAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS KARANG ASAM SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang albuminuria, yakni: mikroalbuminuria (>30 dan <300 mg/hari) sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejak beberapa dekade belakangan ini para ilmuan dibidang kesehatan

I. PENDAHULUAN. dilakukan rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol (Chobanian,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konseptual

4.10 Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Manajemen Data Analiasis Data BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai proteksi, pengaturan reseptor

E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain: 1. Ng et al (2014) dengan judul Cost of illness

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi penyakit menular namun terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. diastolik yang di atas normal. Joint National Committee (JNC) 7 tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN PESERTA BPJS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR

BAB I PENDAHULUAN. akibat insufisiensi fungsi insulin (WHO, 1999). Berdasarkan data dari WHO

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS

The Prevalence and Prognosis of Resistant Hypertension in Patients with Heart Failure

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi tekanan darah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Tekanan Darah (Benowitz,2012)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pencegahan Tersier dan Sekunder (Target Terapi DM)

BAB I PENDAHULUAN. Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Diabetes Melitus atau kencing manis, seringkali dinamakan

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kualitas hidup serta produktivitas seseorang. Penyakitpenyakit

Farmaka Vol. 14 No Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Rawat Jalan di Fasilitas

Farmaka Volume 14 Nomor 2 19

ANALISIS EFEKTIFITAS BIAYA ANTARA OBAT ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Era globalisai membawa pengaruh yang sangat besar tidak hanya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kardiovaskuler (PKV) (Kemenkes RI, 2012). World Health Organization. yang berpenghasilan menengah ke bawah (WHO, 2003).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. urutan kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15-59

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organisation WHO (2014) prevalensi penyakit DM

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. 2. di vena sehingga menimbulkan kenaikan tekanan vena. 3 Penyebab utama gagal

BAB III METODE PENELITIAN. cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran/polusi lingkungan. Perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir-akhir ini prevalensinya meningkat. Beberapa penelitian epidemiologi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut WHO pada tahun 2012 kematian yang disebabkan karena hipertensi berkisar antara 1,1 juta di seluruh dunia (WHO, 2014). Jumlah kejadian hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013 memiliki angka kejadian yang sangat tinggi yaitu 25,8% atau sekitar 65 juta orang yang menderita hipertensi (Kemenkes RI, 2013b). Faktor resiko terserangnya penyakit kardiovaskuler semakin tinggi ketika pasien memiliki hipertensi dan akan meningkat menjadi 4 kali lebih besar ketika pasien diikuti dengan diabetes melitus tipe 2 dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Pada pasien hipertensi dengan diabetes cenderung memiliki tekanan sistolik yang lebih sulit diturunkan atau dikontrol, selaian itu pasien juga sering mengalami penurunan tekanan darah nokturnal dan detak jantung yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa diabetes (Aksnes et al., 2012). RSUD Sukoharjo merupakan satu-satunya rumah sakit milik pemerintah daerah dan menjadi rumah sakit rujukan untuk 21 puskesmas yang berada di Sukoharjo (RSUD Sukoharjo, 2017). Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo selama 3 tahun berturut-turut dari tahun 2012-2014 menunjukkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 4 penyakit utama dalam kelompok penyakit jantung dan pembuluh darah dengan total pelaporan pada tahun 2012 sebesar 1.136 kasus, 1.209 kasus pada tahun 2013 dan 1.782 kasus pada tahun 2014 dari seluruh rumah sakit di Sukoharjo. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kemungkinan semakin tingginya angka kejadian hipertensi di Kabupaten Sukoharjo kedepannya dan hipertensi yang merupakan salah satu penyakit degeneratif kronis yang memerlukan terapi pengobatan lama dengan biaya yang besar, sehingga perlu dilakukan analisis efektivitas biaya pada terapi antihipertensi pasien hipertensi di RSUD Sukoharjo (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012; Kementerian

2 Kesehatan Republik Indonesia, 2013c; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Menurut buku pedoman farmakoekonomi yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam reformasi ruang lingkup kesehatan masyarakat perlu dilakukan penyusunan kebijakan strategis dan perencanaan yang berbasis bukti agar dapat tercapainya alokasi sumber daya yang efektif sehingga perlunya dilakukan peningkatan efisiensi tersebut supaya tercapainya efektivitas biaya (cost-effectiveness) setinggi-tingginya yang ditunjukkan dengan diperolehnya hasil yang maksimal dengan biaya terendah(kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013b). BPJS merupakan salah satu badan hukum yang dibentuk untuk menjamin program asuransi kesehatan di Indonesia dan mewajibkan seluruh penduduk Indonesia mendaftarkan diri dan seluruh keluarga yang berada dalam 1 kartu kelurga untuk menjadi peserta BPJS berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hal tersebut akan semakin meyakinkan bahwa kedepannya untuk pembiayan kesehatan di Indonesia akan dilaksanakan dengan sistem jaminan kesehatan melalui BPJS sebagai badan hukum yang dibentuk oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Panduan BPJS, 2017). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtiyas, (2015) pengobatan antihipertensi yang paling cost-effective dengan menggunakan metode ACER merupakan kombinasi golongan ACEI-BB pada pasien diruang perawatan kelas III dengan nilai Rp10.180,36 sedangkan untuk penggunaan metode ICER pada tiap ruang perawatan adalah, ACEI-BB pada ruang perawatan kelas III, CCB- BB pada ruang perawatan kelas II, CCB-Diuretik untuk ruang perawatan VIP, dan ACEI-Diuretik untuk ruang perawatan intensif. Maka dari itu perlunya dilakukan penelitian efektivitas biaya lebih lanjut dengan mengangkat masalah BPJS dan tahun yang lebih baru pada rumah sakit yang berbeda pada penyakit hipertensi komplikasi diabetes melitus sebagai bentuk tanggung jawab seorang farmasis dalam rangka mempromosikan biaya terapi hipertensi yang efektif.

3 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran terapi antihipertensi pada pasien hipertensi komplikasi diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016? 2. Apakah terapi antihipertensi yang paling cost-effective pada pasien hipertensi komplikasi diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016 berdasarkan ACER dan ICER? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui gambaran pengobatan pasien hipertensi komplikasi diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016. 2. Untuk menentukan terapi antihipertensi yang paling cost-effective pada pasien hipertensi komplikasi diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016 menggunakan metode ACER dan ICER. 1. Hipertensi D. Tinjauan Pustaka a. Definisi Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang tidak normal dan terdapat di pembuluh arteri (Siyad, 2011). Hipertensi merupakan kondisi kronis yang banyak ditangani oleh tenaga kesehatan (Kenerson et al., 2013). Secara umum gejala hipertensi sangat sedikit, tetapi dapat meningkatkan faktor risiko berbagai macam penyakit kardiovaskuler seperti stroke, serangan jantung dan penyakit selain kardiovaskular seperti kerusakan pada ginjal, tahap akhir gagal ginjal, dan lain-lain (Siyad, 2011). b. Klasifikasi Pada klasifikasi hipertensi pasien dapat digolongkan dengan kategori prehipertensi jika tekanan darah sistoliknya berada diantara 120 hingga 139 mmhg atau tekanan darah diastoliknya pada rentang 80 hingga

4 89 mmhg. Pasien dengan kondisi tersebut belum perlu untuk diberikan pengobatan antihipertensi, tetapi mereka dapat didorong untuk melakukan perubahan gaya hidup supaya dapat menunda maupun mencegah perkembangan hipertensi tersebut. Kategori hipertensi derajat 1 terjadi pada pasien dengan tekanan darah sistolik 140 159 mmhg dan diastolik 90-99 mmhg. Sedangkan untuk derajat 2, pasien memiliki tekanan darah sistolik 160 mmhg atau lebih dan diastolik 100 mmhg atau lebih (Kenerson et al., 2013). Menurut (AHA, 2017) tekanan darah sistolik perlu lebih diperhatikan dibandingkan dengan tekanan diastolik, karena pada tekanan darah sistolik merupakan faktor resiko utama dari penyakit kardiovaskuler untuk pasien dengan usia di atas 50 tahun. Tekanan darah sistolik cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia pasien, karena akan meningkatnya kekakuan pembuluh arteri besar, pembentukan plaque dan meningkatnya kejadian penyakit jantung. Klasifikasi dari tingkat keparahan pengukuran tekanan darah adalah sesuai dengan yang tercantum pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Klasifikasi Sistolik Diastolik Optimal < 120 < 80 Normal 120 129 80-84 Normal Tinggi 130 139 84 89 Hipertensi Derajat 1 140 159 90 99 Hipertensi Derajat 2 160 179 100 109 Hipertensi Derajat 3 180 110 Hipertensi Sistolik Terisolasi 140 < 90 (PERKI, 2015) c. Komplikasi Pasien hipertensi yang diikuti dengan komplikasi diabetes melitus perlu diperhatikan secara khusus pada pengobatannya, karena pasien dengan komplikasi tersebut diikuti dengan semakin tingginya kemungkinan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler (Kenerson et al., 2013). Menurut WHO diabetes merupakan faktor resiko utama dari kardiovaskuler. Diabetes di definisikan sebagai pasien yang memiliki nilai gula darah puasa 7 mmol/l (126 mg/dl) (WHO, 2011). Pasien dengan diabetes melitus

5 cenderung memiliki kondisi pembuluh arteri yang lebih kaku atau hipertensi dengan tekanan sistolik yang terisolasi dan juga dikarenakan neuropati, pasien sering mengalami kesulitan penurunan tekanan darah. Detak jantung pada pasien diabetes cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes (Aksnes et al., 2012). d. Tatalaksana Terapi Tingginya hubungan antara hipertensi sebagai faktor resiko kardiovaskuler dan penyakit lainnya ini menunjukkan perlunya manfaat dari pengobatan antihipertensi pada tingkat yang lebih tinggi sehingga dapat mengurangi tekanan darah tinggi (UW Health, 2016). Adanya cukup bukti untuk melakukan terapi antihipertensi pada pasien dengan umur 60 tahun, sehingga diharapan penurunan tekanan darahnya dapat mencapai 150/90 mmhg atau dibawahnya. Pada pasien hipertensi dengan umur 30 59 tahun memiliki goal therapy yaitu tekanan diastoliknya di bawah 90 mmhg, sedangkan untuk pasien yang berumur 30, target terapi tekanan darahnya dibawah 140/90 mmhg termasuk pada pasien yang memiliki diabetes ataupun non diabetes yang ginjal kronis (Dennison-himmelfarb et al., 2014). Terdapat beberapa algoritma dalam tatalaksana dan pengobatan hipertensi, salah satunya adalah algoritma yang terdapat pada JNC 8. Pada Gambar 1 Berikut merupakan algoritma terapi hipertensi berdasarkan JNC 8 tahun 2014.

Gambar 1. Algoritma Terapi Hipertensi Menurut JNC 8 (Dennison-himmelfarb et al., 2014) 6

7 Pada pengobatan hipertensi terdapat beberapa golongan obat antihipertensi termasuk dengan dosisnya yang dijelaskan pada guideline JNC 8 yang terdapat pada tabel 2. Tabel 2. Golongan Obat Antihipertensi Obat Antihipertensi Dosis Target Dosis Secara Review RCT Jumlah Dosis/Hari ACE inhibitors Captopril 50 150-200 2 Enalapril 5 20 1-2 Lisinopril 10 40 1 Angiotensin receptor Blockers Eprosartan 400 600-800 1-2 Candesartan 4 12-32 1 Losartan 50 100 1-2 Valsartan 40-80 160-320 1 Irbesartan 75 300 1 β-blockers Atenolol 25-50 100 1 Metoprolol 50 100-200 1-2 Calcium channel Blockers Amlodipine 2.5 10 1 Diltiazem extended Release 120-180 360 1 Nitrendipine 10 20 1-2 Thiazide-type Diuretics Bendroflumethiazide 5 10 1 Chlorthalidone 12.5 12.5-25 1 Hydrochlorothiazide 12.5-25 25-100 1-2 Indapamide 1.25 1.25-2.5 1 (Dennison-himmelfarb et al., 2014) Pada pasien hipertensi seringkali disertai dengan penyakit lain atau komplikasinya, sehingga terdapat beberapa pengobatan khusus untuk hipertensi dengan komplikasi tertentu yang disampaikan dalam Clinical Practice Guidelines for the Management of Hypertension in the Community and the International Society of Hypertension yang terdapat pada tabel 3. Penyakit hipertensi yang diikuti dengan Tabel 3. Pengobatan Hipertensi yang diikuti Penyakit Lain Pengobatan pertama Pengobatan kedua, jika diinginkan mencapai tekanan darah 140/90 mmhg Diabetes ARB atau ACEi CCB atau thiazide diuretic Penyakit ginjal kronis ARB atau ACEi CCB atau thiazide diuretic Pengobatan ketiga, jika diinginkan mencapai tekanan darah 140/90 mmhg Alternatif dari pengobatan kedua (Thiazide atau CCB) Alternatif dari pengobatan kedua (Thiazide atau CCB)

8 Lanjutan tabel 3 Penyakit koroner arteri β-blocker dengan ARB atau ACEi CCB atau thiazide diuretic Stroke ACEi atau ARB Thiazide diuretic atau CCB Gagal jantung e. Golongan Obat Hipertensi Alternatif dari pengobatan kedua (Thiazide atau CCB) Alternatif dari pengobatan kedua (CCB atau Thiazide) ARB atau ACEi + β-blocker + diuretic + spironolactone. Dapat ditambahakan Dihydropyridine CCB sebagai pengontrol tekanan darah. (Kenerson et al., 2013) Pengobatan hipertensi dalam panduan dari ESH/ESC tahun 2013 disebutkan bahwa diuretic thiazide, β-blocker, calcium channel blockers (CCBs), angiotensin converting enzyme (ACEi) dan angiotensin II receptor blocker (ARB) direkomendasikan sebagai pengobatan antihipertensi yang cocok baik secara monoterapi ataupun kombinasi (Mancia et al., 2013). 1) Renin Angiotensin System blockers (ACEi dan ARB) Golongan obat Angiotensin-Converting Enzyme inhibitor (ACEi) memiliki sifat yaitu memblokir konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dengan cara menghambat angiotensin converting enzyme-nya. Pengurangan level angiotensin II ini bukan hanya digunakan sebagai vasodilator pada pembuluh darah dan penurunan tekanan darah saja tetapi juga dapat menurunkan potensi efek berbahaya dari angiotensin 2 pada sistem kardiovaskuler, seperti kerusakan pada jantung, pembuluh darah dan ginjal. ACEi juga dapat meningkatkan kadar bradikinin melalui inhibisi tersebut yang memiliki efek potensial membantu antihipertensi tersebut tetapi juga memiliki efek samping yaitu batuk. Golongan angiotensin II receptor blocker (ARB) mempunyai cara kerja memblokir reseptor angiotensin II type I sehingga terjadi vasodilatasi, tetapi dikarenakan jenis reseptor pada ARB yang selektif, maka ARB tidak memiliki potensi sebagai bradikinin dibandingkan dengan ACEi. Pada pengobatan hipertensi menggunakan RAS blocker hampir selalu disertakan dalam setiap terapi antihipertensi terutama pada pasien hipertensi nefropati diabetes dengan proteinuria.

9 2) Calcium Channel Blocker (CCB) CCB bekerja dengan menghambat transfer ion kalsium melewati membran sel sehingga mengurangi kalsium instraseluler atau kalsium yang masuk kedalam sel. Obat golongan CCB merupakan antihipertensi yang efisien dan tidak memiliki efek buruk dalam metabolisme di lipid atau karbohidrat. Jika dibandingkan antara RAS blocker, CCB kurang efektif dalam mecegah gagal jantung, tetapi terapi CCB tetap dapat ditoleransi dan juga sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah pada pasien diabetes khususnya jika CCB ini di kombinasikan. 3) Diuretic Pada golongan obat antihipertensi diuretic terdapat beberapa golongan obat yaitu thiazide diuretic, loop diuretic, potassium sparing diuretic dan lainnya. Golongan thiazide diuretic lebih sering digunakan dibandingkan golongan loop diuretic kecuali pada pasien yang mengalami disfungsi sistolik di ventricular bagian kiri dan pada pasien yang memiliki penyakit ginjal lanjut. Thiazide diuretic dapat merendahkan tekanan darah dengan cara memblokir tubulus ginjal untuk mereabsorpsi sodium. Pada penggunaan thiazide dosis tinggi dapat merusak kontrol glikemik dengan cara merusak sekresi dari insulin dan menurunkan sensitivitas insulin. Pada dosis tertentu juga dapat menyebabkan hipokalemia sehingga akan menghambat pelepasan insulin dari pankreas, tetapi jika menggunakan potassium sparing diuretic yang dikombinasikan dengan ACEi atau ARB dapat menanggulangi hipokalemia. 4) β-blocker Terapi menggunakan β-blocker dapat mengurangi tekanan darah dengan cara mengurangi cardiac output pada pasien hipertensi. β- blocker dapat meningkatkan risiko semakin cepatnya onset dan semakin parahnya diabetes pada pasien dengan diabetes melitus dini (pradiabetes), terutama bila dikombinasikan dengan thiazide diuretic.

10 Penggunaan β-blocker berpotensi memiliki efek metabolik yang merugikan termasuk menutupi tanda-tanda hipoglikemia dan gangguan sensitivitas insulin (Grossman and Grossman, 2017). Sehingga β- blocker tidak dapat dijadikan sebagai pilihan utama pada pasien hipertensi dengan diabetes. (Aksnes et al., 2012) 2. Farmakoekonomi a. Definisi Farmakoekonomi dapat didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis dari pembiayaan terapi obat dalam perawatan sistem kesehatan dan massyarakat. Lebih jelasnya farmakoekonomi merupakan proses mengidentifikasi, mengukur dan membandingkan antara biaya, resiko serta manfaat suatu program, layanan atau terapi dan juga menentukan alternatif mana yang menghasilkan outcome yang paling baik. Informasi dari perhitungan farmakoekomomi ini dapat membantu menentukan perlakuan klinik dalam memilih pengobatan dengan efektivitas biaya terbaik (DiPiro et al,. 2011). b. Klasifikasi Dalam melakukan penelitian farmakoekonomi terdapat beberapa metodologi yang dapat digunakan untuk membantu mendemonstrasikan pengaruh pembiayaan dalam melakukan pengobatan yang innovative. Berikut adalah beberapa metode tersebut. 1) Analisis Minimisasi Biaya Analisis ini hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya. 2) Analisis Manfaat Biaya Analisis ini suatu teknik analisis yang diturunkan dari teori ekonomi yang menghitung dan membandingkan surplus biaya suatu

11 intervensi kesehatan terhadap manfaatnya. Untuk itu, baik surplus biaya dan manfaat diekspresikan dalam satuan moneter 3) Analisis Efektivitas Biaya Analisis ini membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda. menetapkan bentuk intervensi kesehatan yang paling efisien membutuhkan biaya termurah untuk hasil pengobatan yang menjadi tujuan intervensi tersebut. 4) Analisis Utilitas Biaya Analisis ini memiliki metode yang menyerupai analisis efektivitas biaya tetapi hasil pada penelitian ini dinyatakan dengan utilitas yang terkait dengan peningkatan kualitas atau perubahan kualitas akibat intervensi kesehatan yang dilakukan. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013b) 3. Analisis Efektivitas Biaya Secara umum analisis efektivitas biaya didefinisikan sebagai cara yang digunakan untuk mengidentifikasi manfaat suatu terapi dan jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk program terapi tersebut dan dalam program pengobatan tersebut terdapat beberapa pilihan intervensi lain dengan tingkat efektivitas yang berbeda-beda, sehingga nantinya dapat disimpulkan intervensi mana yang memiliki efektivitas paling baik dengan biaya yang paling minimum. Biaya dalam analisis efektivitas biaya diukur dalam bentuk rupiah dan keluaran dalam analisis ini diukur dalam bentuk hasil terapi yang diinginkan atau bukan dalam bentuk rupiah seperti kesembuhan pasien dan penurunan tekanan darah. (DiPiro et al., 2011) Hasil dari analisis tersebut kemudian digolongkan sebagai batas efektifitas yaitu pengobatan yang memiliki biaya terendah dan efektivitas tertinggi. (Wertheimer Albert I & Nicole, 2003). Hasil dari analisis efektivitas biaya dapat dinyatakan sebagai rasio, baik sebagai average cost-effectiveness ratio (ACER) atau sebagai incremental cost-effectiveness ratio (ICER). ACER merupakan total biaya dari suatu pengobatan di bagi dengan kualitas hidup pasien untuk menghasilkan rasio

12 yang mewakili biaya kualitas hidup pasien secara spesifik, sedangkan ICER merupakan formula yang digunakan untuk menentukan biaya tambahan dan efektivitas yang didapat ketika suatu pengobatan dibandingkan dengan alternative pengobatan lainnya (DiPiro et al., 2011) 4. Biaya Pada setiap terapi yang dilakukan terdapat biaya yang dikeluarkan oleh pasien yaitu dalam bentuk pembiayaan dari jasa dan produk yang diberikan oleh tenaga medik. Biaya pengobatan yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien tersebut dapat di kategorikan dalam beberapa kategori, yaitu : biaya langsung, biaya tidak langsung, biaya nirwujud (intangible) dan biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost). Berikut adalah kategori dari biaya tersebut. a. Biaya Langsung Biaya medik langsung merupakan pengeluaran biaya untuk layanan medik dan produk obat untuk mendeteksi, mengobati penyakit dan mencegah penyakit. Contoh biaya medik langsung meliputi obat-obatan, perlengkapan medik, peralatan, laboratorium dan tes diagnostik, rawat inap, dan kunjungan dokter. (DiPiro et al., 2011) b. Biaya Tidak Langsung Biaya tidak langsung merupakan biaya yang dikeluarkan karena hilangnya produktivitas dari pasien, karena sakit yang sedang diderita oleh pasien. (NICHSR, 2007) c. Biaya Terhindarkan Biaya yang dapat dihindari dalam setiap intervensi pengobatan yang di berikan pada pasien dengan masalah kesehatan atau penyakit. (NICHSR, 2007) d. Biaya Tak Berwujud Biaya tak berwujud adalah rasa yang timbul dari penyakit yang diderita oleh pasien, jadi biaya medik tak berwujud bukan dalam bentuk

13 uang. Biaya tak terwujud meliputi penderitaan, rasa sakit, kesedihan, ketidaknyamanan, rasa yang timbul sulit diukur dalam bentuk uang maupun secara kuantitatif. Dalam analisis farmakoekonomi, biaya tak berwujud sering dibahas dan diidentifikasi, tapi tidak dihitung secara resmi. (DiPiro et al., 2011) 5. BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. (Kemenkes RI, 2013a). BPJS memiliki beberapa manfaat yaitu bersifat komprehensif dengan premi yang terjangkau, kemudian BPJS menggunakan sistem kendali biaya dan mutu sehingga peserta menerima pelayanan bermutu yang memadai dengan biaya yang wajar. BPJS juga menjamin sustainabilitas yaitu kepastian dalam pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan sehingga bisa digunakan diseluruh wilayah Indonesia (Kemenkes RI, 2013A). Penyelenggaraan BPJS di Indonesia didasari dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 yang menjelaskan tentang BPJS. Berdasarkan kedua undangundang tersebut, BPJS sebagai salah satu bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional bersifat wajib dengan tujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (Kemenkes RI, 2013A). Peserta BPJS dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) merupakan peserta jaminan kesehatan yang fakir, miskin dan orang tidak mampu, sedangkah untuk kelompok bukan Penerima Bantuan Iuran merupakan peserta jaminan kesehatan yang menerima upah, bukan penerima upah (mandiri) dan peserta yang mampu membayar iuran walaupun tidak bekerja (Kemenkes RI, 2013a)

14 E. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui efektivitas biaya pada pengobatan pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes melitus tipe 2 yang merupakan peserta BPJS di instalasi rawat inap RSUD Sukoharjo pada tahun 2016. Penelitian ini dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyuningtiyas, (2015) tentang Analisis Efektivitas Biaya Terapi Antihipertensi di RSUD Moewardi Tahun 2014, menunjukkan dari 45 pasien yang memenuhi inklusi menunjukkan pengobatan antihipertensi paling cost-effective dengan metode ACER menggunakan kombinasi golongan ACEI-BB pada pasien diruang perawatan kelas III dengan nilai Rp10.180,36 sedangkan untuk penggunaan metode ICER pada tiap ruang perawatan adalah, ACEI-BB pada ruang perawatan kelas III, CCB-BB pada ruang perawatan kelas II, CCB-Diuretik untuk ruang perawatan VIP, dan ACEI-Diuretik untuk ruang perawatan intensif.