BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan merupakan suatu kunci pokok untuk mencapai cita-cita suatu bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan lulusan yang cakap dalam fisika dan dapat menumbuhkan kemampuan logis,

BAB I PENDAHULUAN. dan teori-teori sains semata, siswa kurang dilatih untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sains pada hakekatnya dapat dipandang sebagai produk dan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

I. PENDAHULUAN. demi peningkatan kualitas maupun kuantitas prestasi belajar peserta didik,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menempuh kehidupan (Sani, RA.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Arus kemajuan zaman yang ditandai dengan semakin pesatnya ilmu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. adalah warisan intelektual manusia yang telah sampai kepada kita (Ataha,

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. 1

BAB I PENDAHULUAN. belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Kemudian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu kompetensi penting sebagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Miskwoski, 2005). (Marbach- Ad & Sokolove, 2000). interaksi dengan dunia sosial dan alam. Berdasarkan hasil observasi selama

BAB I PENDAHULUAN. (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan berperan untuk membentuk manusia yang berkualitas, dan berguna untuk kemajuan hidup bangsa.

Skripsi OLEH: REDNO KARTIKASARI K

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi setiap perubahan yang terjadi akibat adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN. kelas. 1 Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan

BAB II. Kajian Pustaka

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA NEGERI 2 BIREUEN PADA MATERI KALOR MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN OPEN - ENDED PROBLEM

I. PENDAHULUAN. Manusia (SDM) yang berkualitas yang mampu menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. berfungsi secara kuat dalam kehidupan masyarakat (Hamalik, 2008: 79).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mutu lulusan pendidikan sangat erat kaitannya dengan proses

BAB I PENDAHULUAN. tersebut menunjukkan bahwa pendidikan perlu diselenggarakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu komponen penting yang tidak dapat dipisahkan

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

KETRAMPILAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS DALAM PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBM) PADA SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pendidikan dan teknologi menuntut pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang sangat berperan penting

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

2015 PENGARUH METODE GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DITINJAU DARI KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

Diajukan Oleh : IRFAKNI BIRRUL WALIDATI A

BAB I PENDAHULUAN. intelektual, manual, dan sosial yang digunakan. Gunungsitoli, ternyata pada mata pelajaran fisika siswa kelas VIII, masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

II. KERANGKA TEORETIS. 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning)

BAB I PENDAHULUAN. tentang fenomena-fenomena alam. Fenomena-fenomena alam dikemas berupa

PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KREATIVITAS ANAK SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga

I. PENDAHULUAN. jenjang pendidikan menengah, sehingga tanggung jawab para pendidik di

I. PENDAHULUAN. diperoleh pengetahuan, keterampilan serta terwujudnya sikap dan tingkah laku

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dapat dialami langsung oleh siswa, hal ini dapat mengatasi kebosanan siswa dan perhatiannya akan lebih baik sehingga prestasi siswa dapat meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan hal yang

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan. Proses pembelajaran di dalam kelas harus dapat menyiapkan siswa

I. PENDAHULUAN. Salah satu disiplin ilmu yang dipelajari pada jenjang Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. banyak dituntut dalam menghafal rumus rumus fisika dan menyelesaiakan soal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Keterlibatan siswa baik secara fisik maupun mental merupakan bentuk

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan orang-orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merupakan suatu kunci pokok untuk mencapai cita-cita suatu bangsa. Pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon sumber daya yang handal untuk dapat bersikap kritis, logis, dan inovatif dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi. Pendidikan menuntut adanya perbaikan yang terus menerus. Dunia pendidikan memiliki tujuan yang harus dicapai dalam proses pembelajarannya. Pendidikan tidak hanya ditekankan pada penguasaan materi, tetapi juga ditekankan pada penguasaan keterampilan. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan antara lain dengan melengkapi sarana dan prasarana, meningkatkan kualitas guru, serta penyempurnaan kurikulum yang menekankan pada aspekaspek yang bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetisi siswa untuk dapat menyesuaikan diri dan berhasil di masa yang akan datang. Pendidikan sains khususnya fisika sebagai bagian dari pendidikan pada umumnya memiliki peran dalam meningkatkan mutu pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi menyebutkan bahwa mata pelajaran fisika di SMA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan antara lain: (1) meningkatkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa; (2) mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir

analisis dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menyelesaian masalah; (3) memupuk sikap ilmiah yang meliputi kejujuran, terbuka, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain; serta (4) mempunyai keterampilan mengembangkan pengetahuan dan sikap percaya diri untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Pengkajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi mutu keterampilan proses sains merupakan usaha awal yang seharusnya dilakukan agar kita dapat menetapkan langkah dan cara-cara yang tepat dalam rangka perbaikan dan peningkatan mutu keterampilan proses sains. Masalah kualitas lulusan sekolah sesungguhnya banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, ditinjau dari unsur siswa, baik faktor yang ada dalam diri maupun dari luar diri siswa. Faktor yang ada dalam diri siswa adalah faktor fisiologis dan psikologis. Misalnya: persepsi, minat, sikap, motivasi, bakat, IQ, kreatifitas dan seterusnya. Sedangkan faktor yang berada di luar diri siswa misalnya lingkungan tempat tinggal, keadaan sosial ekonomi, orang tua dan lain-lain. Melalui pembelajaran fisika di SMA diharapkan siswa tidak hanya menguasai pengetahuan semata tetapi menjadi individu yang mempunyai keterampilan serta mampu mengatasi masalah-masalah yang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari. McDermott (dalam Sani, 2012) mengidentifikasikan sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran fisika, yaitu: (1) kemampuan melakukan penalaran baik kualitatif maupun kuantitatif, (2) kemampuan menginterpretasikan representasi ilmiah seperti gambar, persamaan matematis, dan grafik, (3) keterampilan proses, (4) kemampuan memecahkan masalah, (5) keterampilan komunikasi.

Berdasarkan studi pendahuluan di kelas X SMA Negeri 1 Habinsaran TP. 2014/2015 pada mata pelajaran fisika hanya sekitar 60% dari jumlah keseluruhan siswa kelas X SMA Negeri 1 Habinsaran mencapai nilai kriteria ketuntasan minimal. Kesimpulan tersebut diperkuat oleh pernyataan melalui hasil wawancara dengan salah satu guru fisika SMA Negeri 1 Habinsaran, mengatakan bahwa pembelajaran fisika diajarkan dengan model konvensional yang terdiri dari metode ceramah dan presentase. Dalam metode presentase dimana guru menyajikan materi melalui laptop kemudian dijelaskan kepada siswa. Nilai mata pelajaran hanya difokuskan ke hasil belajar dengan kata lain keterampilan proses sains tidak pernah diberlakukan. Selama belajar tidak mengaitkan kreativitas siswa dengan keterampilan proses sains. Guru cenderung memindahkan pengetahuan yang dimiliki ke pikiran siswa, mengajarkan secara urut halaman per halaman tanpa membahas keterkaitan antara konsep-konsep atau masalah. Siswa menjadi pasif dan kurang terlibat dalam proses belajar mengajar. Sekolah memiliki laboratorium namun pembelajaran cenderung dilakukan di dalam kelas berupa demonstrasi saja, sehingga kemampuan siswa untuk berkreativitas tidak berkembang karena siswa hanya mengetahui informasi dan meniru hal yang didemostrasikan guru dan kurang mampu menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana mengaplikasikannya pada situasi nyata. Proses pembelajaran di kelas terlalu fokus pada sains sebagai sebuah pengetahuan saja. Siswa hanya dipenuhi oleh berbagai pengertian konsep, hukum, prinsip dan teori tentang sains tanpa memahami sains dengan benar. Pengetahuan mereka hanya dalam bentuk ingatan atau hapalan. Akibatnya pembelajaran sains

menjadi tidak bermakna. Sains tidak memberi perubahan apapun kepada diri siswa kecuali sekedar bertambah pengetahuannya tentang alam. Siswa menjadi lebih tahu tentang bagaimana alam bekerja, namun mereka tidak pernah tahu proses seperti apa yang harus dilalui seorang ilmuan untuk bisa mengungkap rahasia alam, dan sikap/nilai seperti apa yang bisa tumbuh selama proses pembelajaran sains tersebut berlangsung. Siswa kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sainsnya karena proses pembelajaran tidak memberi ruang bagi berlangsungnya kerja ilmiah tersebut. Sehingga mengakibatkan cara berfikir siswa rendah dan ketidaktertarikan untuk belajar fisika. Konsep fisika yang bersifat abstrak yang harus diserap siswa dalam waktu yang relatif terbatas menjadikan ilmu fisika menjadi salah satu mata pelajaran yang paling sulit bagi siswa sehingga banyak siswa yang gagal dalam belajar. Pada umumnya siswa cenderung dengan hafalan daripada secara aktif membangun pemahaman mereka sendiri terhadap konsep fisika. Hal inilah yang terjadi di sekolah peneliti. Proses pembelajaran yang masih teacher centered tidak memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berkembang secara mandiri, dimana guru hanya menekankan pada pemahaman konsep melalui hafalan-hafalan (Trianto, 2009). Hakikatnya, pembelajaran fisika lebih menekankan pada proses. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahar (2002) yang menyatakan bahwa keterampilan proses sains adalah kemampuan siswa untuk menerapkan metode ilmiah dalam memahami, menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain itu, keterampilan proses sains juga perlu dilatih dan dikembangkan karena

keterampilan proses sains mempunyai peranan sebagai berikut: 1) Membantu siswa mengembangkan pikirannya, 2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan, 3) Meningkatkan daya ingat, 4) Memberikan kepuasan intrinsik bila siswa telah berhasil melakukan sesuatu, 5) Membantu siswa mempelajari konsep-konsep sains. Untuk meningkatkan mutu pendidikan sains pada sekolah menengah atas atau mutu pendidikan fisika secara khusus diperlukan perubahan pola pikir yang digunakan sebagai landasan pelaksanaan pembelajaran. Paradigma pembelajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peranan pendidik dalam mentransfer pengetahuan kepada siswa. Paradigma tersebut telah bergeser menuju paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Menumbuhkan sifat kreatif dan antisipatif para guru sains dalam praktek pembelajaran untuk memaksimalkan peranan siswa dewasa ini belum optimal. Untuk mencapai yang optimal guru harus memahami berbagai konsep dan teori yang berhubungan dengan proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Slameto (2003) yaitu, guru memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas siswa dalam belajar siswa dan guru harus benar-benar memperhatikan, memikirkan dan sekaligus merencanakan proses belajar mengajar yang menarik bagi siswa, agar siswa berminat dan semangat belajar dan mau terlibat dalam proses belajar mengajar, sehingga pengajaran tersebut menjadi efektif dan bermakna.

Menyikapi masalah diatas, perlu adanya upaya yang dilakukan oleh guru untuk menggunakan strategi mengajar yang membuat siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Membiasakan bekerja ilmiah diharapkan dapat menumbuhkan kebiasaan berpikir dan bertindak yang merefleksikan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap ilmiah yang dimiliki siswa, sehingga dengan sendirinya model pembelajaran itu akan berakibat pada meningkatnya pengtahuan, keterampilan dan sikap ilmiah siswa sebagai hasil belajar.setiap proses belajar mengajar menuntut upaya pencapaian suatu tujuan tertentu. Penerapan dengan berbagai model pembelajaran, guru dapat memilih model yang sesuai dengan lingkungan belajar. Sagala (2007) mengemukakan inkuiri (inquiry) merupakan pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan pada semua jenjang pendidikan. Pembelajaran dengan pendekatan ini sangat terintegrasi meliputi penerapan proses sains dengan proses berpikir logis dan berpikir kritis. Inquiry merupakan pendekatan untuk memperoleh pengetahuan dan memahami dengan jalan bertanya, observasi, investigasi, analisis dan evaluasi. Salah satu model pembelajaran yang tepat dan sesuai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan model inquiry training (Joyce et. al. 2009), model pembelajaran inquiry training dirancang untuk membawa siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah melalui latihan - latihan yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut ke dalam periode waktu yang singkat. Tujuannya adalah membantu siswa mengembangkan disiplin dan mengembangkan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk mengajukan pertanyaan dan menemukan jawaban berdasarkan rasa keingintahuannya.

Model pembelajaran inquiry training dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya. Model inquiry training ini digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan model inquiry training. Melalui model ini siswa belajar lebih berorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran. Pada model ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual agar mampu menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri. Melalui model pembelajaran inquiry training siswa diharapkan aktif mengajukan pertanyaan mengapa sesuatu terjadi kemudian mencari dan mengumpulkan serta memproses data secara logis untuk selanjutnya mengembangkan strategi intelek yang dapat digunakan untuk dapat menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Model pembelajaran inquiry training dimulai dengan mengajukan peristiwa yang mengandung teka teki kepada siswa. Siswa yang menghadapi situasi tersebut akan termotivasi menemukan jawaban masalahmasalah yang masih menjadi teka-teki tersebut. Guru dapat menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan prosedur pengkajian sesuai dengan langkahlangkah model pembelajaran inquiry training. Hasil penelitian Pandey et. al (2011) menyatakan bahwa model inquiry training lebih baik digunakan dalam mengajar fisika karena memberikan efek yang sangat baik jika dibandingkan dengan pembelajaran langsung. Suwondo et. al (2012) menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan prestasi

siswa. Selain itu, pembelajaran inkuiri juga dapat mengubah gaya belajar siswa yaitu mereka bisa lebih mandiri, kreatif, toleran, disiplin dan sebagainya. Mengubah gaya mengajar yaitu bergeser dari berpusat pada guru ke berpusat pada siswa. Pelaksanaan model pembelajaran inquiry memberikan perubahan yang signifikan dalam lingkungan siswa. Calik, et. al (2013) menyatakan bahwa guru harus memiliki keyakinan bahwa memberikan model pembelajaran yang mampu membuat siswa menyelidiki dan memecahkan masalah harus diterapkan dalam pengajaran juga menyimpulkan bahwa model inquiry training secara signifikan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan model pembelajaran langsung. Penelitian Setiawati,.dkk (2012) diketahui bahwa menggunakan model pembelajaran inquiry training hampir seluruh mahasiswa meningkat prestasinya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Suciawati (2011) pembelajaran melalui penemuan (inquiry) dan tingkat kreatifitas sangat berpengaruh terhadap prestasi kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Penelitian yang terdahulu tentang inquiry training memiliki kendala yaitu waktu yang belum terorganisasi dengan baik. Peneliti ingin mengoptimalkan waktu yang disediakan dalam menerapkan model inquiry training tersebut. Selain pemilihan strategi pembelajaran hal lain yang sangat penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa adalah kreatifitas siswa dalam pembelajaran.. Torrance dalam Munandar (2009) menyatakan kreativitas adalah proses yang mengandung kepekaan terhadap masalah- masalah dan kesenjangan- kesenjangan (gaps) di bidang tertentu, kemudian membentuk beberapa pikiran atau hipotesis untuk menyelesaikan masalah tersebut, menguji kesahihan hipotesis, dan menyampaikan hasilnya kepada orang lain.

Toenas Setyo, dkk (2012) dalam jurnal penerepan model pembelajaran inquiry training melalui teknik peta konsep dan teknik puzzle ditinjau dari tingkat keberagaman kreativitas belajar dan kemampuan memori menyatakan, bahwa model pembelajaran inquiry training mempengaruhi hasil belajar siswa dan siswa lebih kreatif dalam memecahkan masalah. Ginamarie (2012) dalam jurnal the effectiveness of creativity training: a quantitative review disimpulkan bahwa tingkat kreativitas seseorang mempengaruhi kemampuan untuk berpikir dalam menyelesaikan masalah. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti berkeinginan untuk mengatasi permasalahan rendahnya keterampilan proses sains siswa dengan mengadakan penelitian yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training dan Kreativitas Terhadap Keterampilan Proses Sains 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Keterampilan proses sains siswa masih rendah 2. Pelaksanaan pembelajaran fisika sebagian besar dilakukan melalui metode ceramah dan persentase, sehingga penguasaan siswa terhadap konsepkonsep fisika sangat lemah. 3. Pembelajaran yang digunakan oleh guru fisika selama ini cenderung menggunakan pembelajaran konvensional yang berpusat pada guru. 4. Kurangnya penggunaan media pembelajaran. 5. Siswa tidak diajarkan dan dibiasakan untuk berkreativitas.

1.3. Batasan Masalah Untuk lebih memfokuskan masalah yang akan diatasi, maka dibuat batasanbatasan masalah sebagai berikut: 1. Model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran inquiry training. 2. Subjek penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Habinsaran 3. Materi pelajaran tentang listrik dinamis 4. Penelitian memfokuskan pada peningkatan keterampilan proses sains. 1.4. Rumusan Masalah Adapun masalah yang dirumuskan adalah: 1. Apakah ada perbedaan keterampilan proses sains siswa dengan model pembelajaran menggunakan inquiry training dan pembelajaran konvensional? 2. Apakah ada perbedaan keterampilan proses sains siswa yang memiliki kreativitas tinggi dan kreativitas rendah? 3. Apakah ada interaksi model pembelajaran inquiry training dan pembelajaran konvensional dengan kreativitas terhadap keterampilan proses sains siswa? 1.5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian tersebut adalah: 1. Mengetahui apakah keterampilan proses sains siswa dengan menggunakan model pembelajaran inquiry training dari pemmbelajaran konvensional? 2. Mengetahui apakah keterampilan proses sains yang memiliki kreativitas tinggi lebih baik dari kreativitas rendah? 3. Mengetahui interaksi model pembelajaran inquiry training dan pembelajaran konvensional dengan kreativitas terhadap keterampilan proses sains siswa.

1.6. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.6.1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan referensi penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan keterampilan proses sains b. Sebagai bahan pertimbangan, landasan empiris maupun kerangka acuan bagi peneliti pendidikan yang relevan dimasa yang akan datang. c. Memperkaya dan menambah khazanah ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya yang berkaitan dengan model pembelajaran inquiry training dan kreativitas. 1.6.2. Manfaat Praktis a. Sebagai model pembelajaran yang dapat membuat siswa belajar bermakna dan dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa. b. Sebagai umpan balik bagi guru fisika dalam upaya meningkatkan keterampilan proses sains melalui model pembelajaran inquiry training. c. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran fisika khususnya pada tingkat SMA sederajat. 1.7. Definisi Operasional Memperjelas istilah yang digunakan dalam penelitian ini maka dibuat definisi operasional sebagai berikut: 1. Model pembelajaran inquiry training adalah model yang dirancang untuk membawa siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah melalui latihanlatihan yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut ke dalam periode waktu yang singkat. Model pembelajaran inquiry training memiliki lima

fase sebagai sintaks pembelajarannya. Adapun kelima fase tersebut meliputi 1) berhadapan dengan masalah. Guru menjelaskan prosedur inkuiri dan menyajikan peristiwa yang menimbulkan rasa ingin tahu siswa terhadap masalah, 2) pengumpulan data untuk verifikasi. Menemukan sifat obyek dan kondisi serta menemukan terjadinya masalah, 3) pengumpulan data dalam eksperimen. Mengenali variabel-variabel yang relevan, 4) merumuskan penjelasan. Merumuskan aturan-aturan atau penjelasanpenjelasan. Pada fase ini siswa dibimbing dalam melakukan percobaan atau eksperimen untuk mengumpulkan data, 5) mengalisis proses inkuiri. Menganalisis strategi inkuiri dan mengembangkannya. 2. Kreativitas merupakan sebuah proses yang melibatkan unsur-unsur orisinalitas, kelancaran, fleksibilitas, dan elaborasi. Dikatakan lebih lanjut kreativitas merupakan sebuah proses menjadi sensitif dan sadar terhadap masalah- masalah atau kekurangan, membawa serta informasi dari memori atau sumber- sumber eksternal, mendefenisikan kesulitan, mencari solusi, menduga, menciptakan alternatif- alternatif untuk menyelesaikan masalah, menguji, menyelesaikan serta mengkomunikasikan hasil- hasilnya. Indikator kreativitas, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), merinci/ penguraian (elaboration), keterampilan menilai (mengevaliasi), rasa ingin tahu, imaginatif, merasa tertantang oleh kemajemukan, sifat berani mengambil resiko dan sifat menghargai. 3. Keterampilan proses sains adalah keterampilan fisik dan mental terkait dengan kemampuan-kemampuan yang mendasar yang dimiliki, dikuasai dan diaplikasikan dalam suatu kegiatan ilmiah, sehingga para ilmuwan

berhasil menemukan sesuatu yang baru. Keterampilan proses sains meliputi 1) mengamati (observasi), 2) mengajukan pertanyaan, 3) merumuskan hipotesis, 4) memprediksi, 5) menemukan pola dan hubungan, 6) berkomunikasi secara efektif, 7) merancang percobaan 8) melaksanakan percobaan, dan 9) mengukur dan menghitung.