BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Waduk Saguling merupakan salah satu waduk buatan yang terbentuk dengan membendung aliran Sungai Citarum. Awalnya bendungan ini hanya direncanakan sebagai pembangkit energi listrik untuk pasokan listrik Jawa-Bali, namun saat ini fungsinya semakin berkembang untuk perikanan, agri-akuakultur, pariwisata, bahkan juga dimanfaatkan untuk tempat pembuangan limbah. Perubahan peruntukan tersebut berakibat pada percepatan penurunan kualitas perairan Waduk Saguling (Wangsaatmaja 2004). Pengaruh penurunan kualitas air pada waduk tentunya tidak lepas dari pengaruh faktor-faktor kuantitas dan kualitas pada sungai yang memasok air ke dalam waduk tersebut. Isu mengenai tercemarnya sungai citarum sebagai sumber air pada waduk saguling merupakan suatu permasalahan yang sangat serius. Pembuangan limbah industri dan sisa pakan dari budidaya ikan di Karamba Jaring Apung (KJA) di sekitar sungai citarum dan Waduk Saguling, dapat menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan perairan karena kandungan bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam limbah, diantaranya logam berat. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2003) di Waduk Saguling dan Cirata, pencemaran logam berat seperti merkuri (Hg), tembaga (Cu), seng (Zn), dan timbal (Pb) telah melampaui baku mutu. Timbal (Pb) dan kadmium (Cd) merupakan logam berat yang sulit mengalami degradasi (non biodegradable) sehingga dapat bertahan lama dalam perairan dan mengendap dalam sediment. Logam berat tersebut dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh biota perairan. Pada ikan yang hidup dalam habitat yang terbatas seperti sungai, danau, dan teluk, menyebabkan ikan itu sulit untuk menghindar dari pengaruh pencemaran logam berat. Logam berat tersebut akan diabsorpsi dan akan masuk ke dalam tubuh ikan (Darmono 1995). Pb dan Cd dapat masuk ke dalam jaringan tubuh organisme air melalui rantai makanan, 1
2 insang dan difusi melalui permukaan kulit. Akumulasi biologis dapat juga terjadi melalui absorbsi langsung terhadap logam berat yang terdapat dalam badan air. Ikan Pangasius sp atau yang dikenal dengan ikan patin adalah ikan demersal yang hidup di dasar berlumpur dan memakan invertebrata bentik. Ikan ini banyak hidup bebas di perairan Waduk Saguling dan ada pula yang dibudidayakan dalam KJA. Terjadinya penimbunan logam berat pada organ tubuh ikan patin akan berakibat meningkatnya konsentrasi logam berat Pb dan Cd sejalan dengan lamanya ikan hidup di perairan yang tercemar. Kondisi ini dapat mengakibatkan rusaknya jaringan organ tubuh ikan patin dan pada akhirnya dapat menimbulkan kematian pada ikan. Ikan patin merupakan ikan konsumsi bagi masyarakat sehingga adanya akumulasi logam berat dalam jaringan tubuh ikan dapat membahayakan bagi yang memakannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai akumulasi logam berat Pb dan Cd serta kerusakan jaringan pada insang, hati dan daging ikan patin yang hidup di perairan waduk Saguling. 1.2 Identifikasi Masalah. Masalah yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah logam berat Pb dan Cd sudah terakumulasi dalam organ insang, hati dan daging ikan patin, serta berapa besar kandungan logam berat tersebut. 2. Bagaimana atau sejauh mana kerusakan yang terjadi pada organ insang, hati dan daging ikan patin yang tercemar logam berat Pb dan Cd. 1.3 Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam Pb dan Cd serta kerusakan yang terjadi pada insang, hati dan daging ikan patin. 1.4 Kegunaaan Penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tingkat pencemaran yang terjadi di Waduk Saguling dan kerusakan yang terjadi pada
3 organ insang, hati dan daging ikan patin, sehingga dapat digunakan dalam penentuan kebijakan pengelolaan Waduk Saguling. 1.5 Pendekatan Masalah Penggunaan timbal (Pb) dikenal luas pada industri cat, tinta, pestisida, fungisida dan juga sering digunakan pada industri plastik sebagai bahan stabilizer dan kadmium (Cd) terakumulasi dalam air akibat masukan limbah yang berasal dari kegiatan elektroplating (pelapisan emas dan perak), pengerjaan bahan-bahan dengan menggunakan pigmen atau zat warna lainnya dalam industri plastik, tekstil, dan industri kimia (Darmono 1995). Logam berat yang masuk ke sistem perairan, baik di sungai maupun di laut akan dipindahkan dari badan airnya melalui tiga proses yaitu pengendapan, adsorbsi, dan absorbsi oleh organismeorganisme perairan (Bryan 1976). Tingginya kosentrasi logam berat Pb dan Cd dalam air dan sedimen memungkinkan terjadinya perpindahan ke tubuh organisme air dan menyebabkan perubahan fisiologi maupun kerusakan histologi pada organisme demersal diantaranya ikan Patin. Menurut Bryan (1976), peningkatan kandungan logam berat pada perairan dapat membahayakan biota dan organisme yang hidup di dalamnya, salah satunya adalah ikan (Bryan, 1976). Meason (2002), menyatakan bahwa bahan toksik di perairan akan menyebabkan gangguan fisiologis organisme yang diikuti dengan kerusakan anatomi. Logam berat dapat terakumulasi di dalam tubuh suatu biota dan tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai racun (Fardiaz 2005). Ikan pada umumnya lebih sensitif terhadap pencemaran logam berat dibanding Crustacea dan biota bentik lainnya (Ward dan Young 1982 dalam Connell dan Miller 1995). Ikan patin termasuk kelompok blackfish (catfish) yang lebih tahan terhadap perubahan lingkungan karena pencemaran dibanding ikan whitefish. Ikan patin merupakan ikan yang hidup pada dasar perairan dan dapat hidup dalam kondisi perairan yang buruk karena memiliki organ pernafasan tambahan yang berupa labyrinth. Cara makan ikan patin ini dengan menyapu dasar perairan
4 sehingga makanan masuk ke dalam tubuh bersama air dan sedimen. Apabila air dan sedimen mengandung logam berat Pb dan Cd, maka logam berat tersebut dapat masuk ke tubuh ikan pating dan menyebabkan terjadinya akumulasi logam berat dalam tubuh ikan. Logam berat Pb dan Cd termasuk golongan logam berat yang berbahaya dan dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Dalam tubuh ikan, logam berat di absorbsi oleh darah, berikatan dengan protein darah kemudian di distribusikan ke seluruh jaringan tubuh (Darmono 2001) Wong (2000) menyatakan insang merupakan organ pertama yang berhubungan langsung dengan bahan toksik di dalam perairan. Insang dengan permukaan yang luas dan terbuka, mengakibatkan bagian ini menjadi sasaran utama bagi bahan toksik yang ada di perairan. Struktur jaringan insang yang tersusun atas epitel tipis selapis dan secara langsung berhubungan dengan zat toksik di lingkungan mengakibatkan organ tersebut dengan mudah mengalami kerusakan (Roberts 1989). Perubahan histopatologi pada jaringan insang ikan dapat dijadikan sebagai parameter penting untuk mengetahui perubahan yang terjadi akibat masuknya bahan pencemar pada tubuh ikan (Spector 1993). Menurut penelitian Alifia dan Djawad (2003), akumulasi logam Pb terhadap juvenil ikan bandeng memperlihatkan bahwa kerusakan lamela insang terjadi sejalan dengan semakin tingginya logam berat Pb. Hati merupakan organ yang berperan secara langsung untuk mendetoksifikasi racun dan mensekresikan bahan kimia yang digunakan untuk proses pencernaan. Menurut Loomis (1978), sebagian besar zat toksik yang masuk kedalam tubuh setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati, sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan. Pada penelitian Hidayati dkk (2009), dapat diketahui bahwa ikan Bandeng (Chanos chanos), mengalami gejala histopatologis berupa pembengkakan sel, kehilangan integrasi pembuluh darah kapiler (sinusoid) yang merupakan percabangan dari vena porta dan arteri hepatica dan nekrosis, dikarenakan lumpur Sidoarjo mengandung logam berat
5 diatas ambang batas yang dipersyaratkan, unsur Cd 0,45 ppm dengan ph lumpur 9,18. Agustina (2011), menyatakan konsentrasi logam berat paling tinggi berada di dalam daging dibandingkan insang ikan nila, Kondisi ini terjadi karena insang merupakan alat pertukaran gas pada organisme akuatik sehingga lebih sering tercuci air, namun menurut penelitian Harteman (2011), pada jaringan otot ikan badukang, ikan sembilang di muara sungai Kahayan dan Sungai Katingan tidak mengandung Hg, Cd serta Pb kecuali sel darah, jaringan ikat, dinding pembuluh darah dan sekitarnya. SNI 7387 : 2009 telah menetapkan batas maksimum cemaran Pb dan Cd dalam pangan, untuk daging ikan tidak boleh melebihi standar yang telah ditentukan yaitu sebesar 0,3 ppm untuk Pb dan 0,1 untuk Cd. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penelitian untuk mengetahui adanya akumulasi logam berat Pb dan Cd serta kerusakan jaringan pada insang, hati dan daging ikan patin (Pangasius sp) di waduk Saguling. Data ini diperlukan untuk mengetahui apakah ikan patin yang hidup di perairan waduk Saguling aman untuk dikonsumsi. Pendekatan masalah dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir berikut ini (Gambar 1),
6 SUMBER PENCEMARAN Pb dan Cd WADUK SAGULING TERLARUT DALAM AIR SEDIMENTASI Pb dan Cd AKUMULASI Pb dan Cd PADA IKAN PATIN INSANG, HATI DAN DAGING KERUSAKAN JARINGAN KANDUNGAN LOGAM BERAT ANALISIS DESKRIPTIF KOMPARATIF Gambar 1. Diagram Alir Pendekatan Masalah.