BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia yaitu gempabumi. Gempa bumi dinyatakan sebagai goncangan tanah yang disebabkan oleh pelepasan energi kulit bumi secara tiba-tiba (Elnashai dan Sarno, 2008). Energi ini mungkin berawal dari berbagai sumber yang berbeda, seperti pergeseran lempeng, erupsi gunungapi, atau kejadian yang disebabkan oleh tangan manusia seperti ledakan atau meruntuhkan gua di bawah tanah untuk proses penambangan. Salah satu penyebab Indonesia memiliki intensitas gempa yang tinggi yaitu letak Indonesia yang berada pada zona pertemuan antara tiga lempeng tektonik yakni lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan lempeng Pasifik seperti terlihat pada gambar 1.1. EURASIA PLATE Gambar 1.1 Lempeng tektonik di wilayah Indonesia (Hamilton, 1979) Daerah perbatasan lempeng ini merupakan zona seismisitas yang aktif (Issack, 1968 dalam Kusumaningsih, 2004), yang membentang sepanjang tidak kurang dari 5600 km mulai dari Andaman sampai ke Busur Banda Timur sehingga banyak terjadi gempabumi tektonik yang diakibatkan oleh tumbukan antar lempeng tersebut, dan sebab yang lainnya adalah karena aktivitas beberapa sesar lokal di daratan (Daryono, 2009). 1
2 Pergerakan lempeng Indo - Australia terhadap lempeng Eurasia mengakibatkan zona selatan Jawa sebagai salah satu daerah yang memiliki tingkat kegempaan yang cukup tinggi di Indonesia berkaitan dengan aktivitas tumbukan lempeng. Disamping sangat rawan gempabumi aktivitas tumbukan lempeng, zona selatan jawa juga sangat rawan gempabumi akibat aktivitas sesar-sesar lokal di daratan. Kondisi tektonik semacam ini menjadikan zona selatan Jawa sebagai kawasan seismik aktif (Daryono, 2015). Pada gambar 1.2 terlihat sebaran episentrum gempabumi di wilayah pulau Jawa. Gambar 1.2 Sebaran episentrum gempabumi di wilayah Pulau Jawa Cilacap merupakan salah satu daerah yang berada di sisi selatan pulau Jawa yang sering merasakan dampak dari guncangan gempabumi yang disebabkan oleh tumbukan lempeng di selatan Jawa dan aktivitas patahan lokal di daerah Cilacap dan sekitarnya ( Susilanto dan Ngadmanto, 2014). Gempabumi yang memberikan dampak cukup signifikan adalah gempabumi Tasikmalaya 7,3 SR pada 2 September 2009. Gempabumi ini dirasakan cukup kuat di sebagian daerah Kabupaten Cilacap dan dilaporkan lebih dari 1.000 rumah rusak berat dan ringan serta 6.043 orang menjadi pengungsi (BNPB, 2009). Sedangkan gempabumi terbaru yang dirasakan adalah gempabumi Kebumen dengan
3 magnitude 6,1 SR pada 25 Januari 2014 yang berpusat pada 119 km ke arah tenggara dari kota Cilacap. Dimana gempabumi ini mengakibatkan 20 rumah di wilayah Cilacap mengalami kerusakan diantaranya 16 rumah rusak di Kecamatan Adipala, 2 rumah di Kecamatan Bantarsari, 1 rumah di Kecamatan Maos dan 1 rumah di Kecamatan Majenang (ESDM, 2014). Setiap kejadian gempabumi menghasilkan goncangan tanah yang dapat diidentifikasikan melalui nilai percepatan getaran tanah pada suatu tempat. Semakin besar nilai percepatan getaran tanah yang terjadi disuatu tempat, semakin besar bahaya gempabumi yang mungkin terjadi. Besar kecilnya nilai percepatan getaran tanah tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat menunjukkan tingkat risiko gempabumi. Secara demografi, wilayah Kabupaten Cilacap merupakan daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, dimana tercatat pada tahun 2014 memiliki jumlah penduduk sebesar 1.774.649 jiwa dengan kepadatan penduduk rata rata 1454 jiwa/km 2. Daerah paling padat adalah Kecamatan Cilacap Selatan dengan kepadatan penduduk mencapai 8613 jiwa/km 2 (BPS, 2014). Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor kerentanan berisiko tinggi yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan kerugian besar jika terjadi bencana alam. Di wilayah Kabupaten Cilacap terdapat instalasi penting pemerintah, yaitu Pertamina Refnery Unit IV Cilacap. PT PERTAMINA (PERSERO) Unit Pengolahan IV Cilacap merupakan salah satu dari 7 jajaran unit pengolahan di Indonesia yang memiliki kapasitas produksi terbesar dan terlengkap fasilitasnya (www.pertamina.com). Selain itu, di Cilacap Selatan juga terdapat Pelabuhan Tanjung Intan dan Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) yang merupakan pelabuhan perikanan terbesar dan menempati posisi paling strategis. Oleh karena itu, maka sangat diperlukan suatu kajian yang berkaitan dengan upaya mitigasi bencana gempabumi. Salah satu kajian yang dapat dilakukan adalah dengan memetakan daerah yang memiliki potensi besar mengalami kerusakan akibat gempabumi.
4 I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diutarakan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik dinamika tanah pada daerah penelitian berdasarkan penyebaran nilai frekuensi, amplifikasi, periode dominan, indeks kerentanan seismik, dan pecepatan getaran tanah. 2. Bagaimana tingkat bahaya, kerentanan, dan kemampuan terhadap bencana gempabumi di wilayah Kabupaten Cilacap. 3. Bagaimana tingkat resiko bencana gempabumi di wilayah Kabupaten Cilacap. I.3. Batasan Masalah Dari permasalahan yang ada pada rumusan masalah, maka dilakukan pengambilan data di wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Data mikrotremor yang didapat diolah menggunakan metode Horizontal to Vertikal Spectral Ratio (HVSR). Nilai percepatan getaran tanah maksimum didapatkan dari perhitungan menggunakan metode Kanai dengan memperhitungkan periode dominan dari tanah setempat sebagai faktor bahaya gempabumi. Sedangkan untuk faktor kerentanan digunakan data kepadatan penduduk tiap kecamatan di Kabupaten Cilacap tahun 2014, serta untuk faktor kemampuan yaitu jumlah sarana kesehatan di Kabupaten Cilacap. I.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai PGA sebagai parameter kekuatan getaran tanah akibat gempabumi dan Kg sebagai parameter kondisi tanah di wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan menganalisis tingkat potensi resiko bencana gempabumi di wilayah tersebut secara mikrozonasi. I.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai langkah awal dalam melakukan mitigasi bencana khususnya di wilayah Kabupaten Cilacap.
5 Mikrozonasi gempabumi dapat dijadikan data dasar untuk mengetahui tingkat risiko daerah penelitian khususnya yang disebabkan oleh bencana gempabumi, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan dan pengembangan wilayah.