BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN. pantai km serta pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2, sehingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Lalu Wima Pratama dan Andik Isdianto (2017) J. Floratek 12 (1): 57-61

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan


TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMETAAN KERUSAKAN MANGROVE DI MADURA DENGAN MEMANFAATKAN CITRA DARI GOOGLE EARTH DAN CITRA LDCM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

RIZKY ANDIANTO NRP

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STUDI TENTANG DINAMIKA MANGROVE KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN DATA PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) 2.3. Pantai

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMETAAN KERUSAKAN MANGROVE MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT OLI DI DELTA MAHAKAM, KALIMATAN TIMUR

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan

INVENTARISASI DAN PREDIKSI DINAMIKA KAWASAN PESISIR SEGARA ANAKAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki beragam masalah

Oleh. Firmansyah Gusasi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2 (0,3 juta km 2 perairan teritorial; dan 2,8 juta km 2 perairan nusantara) atau 62 % dari luas teritorialnya. Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia. Hal ini karena memiliki ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea grass beds), yang sangat luas dan beragam. Selain itu, kekayaan yang dimiliki oleh pesisir dan lautan Indonesia adalah bahan tambang dan mineral, seperti : minyak dan gas, timah, bijih besi, bauksit, dan pasir kwarsa (Dahuri, 2004). Segara Anakan merupakan sebuah teluk di bagian selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang di depannya membentang sepanjang kurang lebih 30 kilometer arah timur - barat adalah Pulau Nusakambangan yang melindungi teluk tersebut dari gelombang Samudera Hindia. Kondisi pasang surut dan kadar garamnya masih mencirikan sifat - sifat laut, tetapi gelombang dan arusnya sudah teredam sehingga menjadi perairan yang tenang dan banyak orang yang menyebut Segara Anakan sebagai lagoon atau laguna. Permasalahan yang dihadapi pada Laguna Segara Anakan adalah tingkat sedimentasi tinggi dan penebangan vegetasi mangrove secara bebas. Sedimentasi di Laguna Segara Anakan berasal dari sungai Citanduy dan sebagian kecil lainnya dari sedimentasi pantai. Sedimen dari Sungai Citanduy sebanyak 5,00 juta m³/th (jumlah angkutan sedimen); 4,26 juta m³/th (langsung ke laut); dan 0,74 juta m³/th diketahui mengendap di Segara Anakan (Sukardi, 2010). Sedimentasi yang meningkat ini akan menurunkan kapasitas dan aliran air menuju Samudera Hindia serta dapat mengganggu kondisi ekosistem kawasan pesisir terutama hutan mangrove. 1

Penelitian Ardli dan Wolff (2008) menyatakan bahwa terjadi perubahan luasan hutan mangrove yang terjadi dari tahun 1984 2003 sebesar 44% (gambar.1) yang dialokasikan sebagai lahan pertanian padi dan pertambakan serta pemukiman. Perubahan tersebut diakibatkan adanya aktivitas manusia, salah satunya penebangan vegetasi mangrove yang tidak terkontrol. Lebih lanjut (Sukardi, 2010) menunjukkan bahwa angka penebangan vegetasi mangrove di Segara Anakan mencapai 14,23 m³ per hari. Hal ini menunjukkan hasil yang sangat besar dalam perubahan luasan hutan mangrove yang ada di Segara Anakan. Kondisi perubahan penyusutan hutan mangrove yang terjadi ini perlu dilakukan pemetaan hutan mangrove sehingga diperoleh data yang terkini (up to date). Hal ini dapat dilihat melalui tingkat kerapatan kanopi hutan mangrove di tahun terbaru. Perlu adanya teknik yang cepat dan akurat agar kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan efisisen karena perubahan luasan hutan mangrove terjadi relatif cepat dan lokasinya sulit dijangkau. Kemajuan teknologi penginderaan jauh sistem satelit pada saat ini mampu menyediakan citra penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial, spektral, dan temporal yang cukup tinggi. Selain itu, penginderaan jauh saat ini pun menjadi suatu alat bantu dalam menyelesaikan berbagai permasalahan aspek keruangan, lingkungan, dan kewilayahan karena luasnya lingkup penginderaan jauh. Adanya salah satu satelit terbaru yang bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi hutan mangrove adalah Landsat 8. Satelit ini melanjutkan misi satelit Landsat 7 (ETM+) sebelumnya. Landsat 8 merupakan salah satu teknologi penginderaan jauh yang diluncurkan pada awal Februari 2013 di California, Amerika Serikat. 2

Gambar 1.1 Perubahan Luas Segara Anakan berdasarkan Penginderaan Jauh (Ditjen SDA, Dept. Pekerjaan Umum dalam Ardli dan Wolff, 2008) Keberadaan satelit Landsat 8 ini dilengkapi oleh 2 buah sensor yang merupakan hasil pengembangan serta peningkatan dari sensor pada satelit-satelit sebelumnya. Guna memaksimalkan fungsi sensor yang ada, Landsat 8 memiliki 9 saluran pada sensor OLI (Operational Land Imager) dan 2 saluran pada sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor). Jumlah keseluruhan dari sensor Landsat 8, ada 11 saluran yang memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda sehingga mampu mengenali objek secara lebih meluas, dibandingkan dengan Landsat sebelumnya. Keunggulan Landsat 8 dibandingkan seri-seri sebelumnya adalah terkait oleh spesifikasi saluran-saluran yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Tidak hanya itu saja, tingkat keabuan yang dimiliki Landsat 8 juga lebih besar dibandingkn seri-seri 3

sebelumnya. Jika sebelumnya Landsat memiliki tingkat keabuan sebesar 8 bit, kini di Landsat 8 tingkat keabuan meningkat menjadi dua kali lipat, yaitu 16 bit. Resolusi spasial yang dimiliki oleh Landsat 8 tidak mengalami peningkatan dibandingkan seri sebelumnya, yaitu 30 meter untuk saluran multispectral dan 15 meter untuk saluran pankromatik. Adanya kombinasi tingkat keabuan yang meningkat dua kali lipat, membuat perbedaan kenampakan objek-objek di permukaan bumi semakin lebih jelas. Hal ini tentu membuat interpretasi akan semakin meningkat dan berpengaruh terhadap peningkatan kerincian peta yang akan dihasilkan. Satelit Landsat 8 ini menyediakan data citra time series meliputi seluruh wilayah Indonesia yang gratis untuk diunduh. Resolusi spasial, temporal, serta resolusi radiometrik yang tergolong baik, menjadi 3 keunggulan yang dimiliki oleh citra Landsat 8 dibandingkan dengan citra-citra lainnya. Hal ini tentu saja sangat membantu pelaksanaan pemetaan kerapatan kanopi hutan mangrove dengan lebih efisien dibandingkan pemetaan secara konvensional. Hasil interpretasi hutan mangrove dalam hal ini diperoleh dari citra penginderaan jauh yang dikaitkan dengan hasil lapangan sehingga memberikan gambaran kondisi daerah penelitian. Selanjutnya, hasil interpretasi citra diambil sampel dan dapat dihitung efektivitas hasilnya. Oleh sebab itu, penggunaan citra Landsat 8 sangat membantu dalam berbagai kebutuhan aspek, salah satunya untuk studi vegetasi hutan mangrove. 1.2. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Hutan mangrove merupakan ekosistem di kawasan pesisir yang mampu berperan sebagai penahan ombak, penahan intrusi dan abrasi air laut. Selain itu, hutan mangrove juga berperan sebagai sumber penghasilan masyarakat desa di kawasan pesisir, sebagai habitat biota laut, serta dapat dikembangkan sebagai kawasan wanawisata untuk kepentingan pendidikan dan hiburan. Akan tetapi, wilayah Segara Anakan mengalami tekanan yang besar yaitu tingginya laju sedimentasi dari daratan dan penebangan liar yang mengakibatkan penurunan hutan mangrove baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini bahkan dapat menyebabkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. 4

Pengelolaan hutan mangrove yang terencana dengan baik merupakan cara terbaik dalam pemanfaatan dan upaya untuk menjamin kelestarian hutan mangrove di Segara Anakan. Adanya teknologi penginderaan jauh yang semakin berkembang pesat, tentu saja diharapkan dapat membantu dalam penyelesaian permasalahan yang ada terutama penurunan besarnya luasan hutan yang berdampak pada kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang ditujukan untuk mengukur kerapatan kanopi hutan mangrove yang ada dengan memanfaatkan citra Landsat 8. Kerapatan kanopi hutan mangrove yang diukur akan menjadi indikator kerusakan hutan mangrove yang terjadi. Penelitian yang dilakukan berupa pemetaan kerapatan kanopi hutan mangrove yang diperoleh dari data penginderaan jauh berupa citra satelit penginderaan jauh. Kerapatan kanopi hutan mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, dimana letak geografi hutan mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan objek vegetasi darat lainnya. Adanya teknologi penginderaan jauh akan membantu mempermudah dalam proses pemantauan yaitu dengan bantuan citra penginderaan jauh berupa citra satelit. Penerapan teknologi penginderaan jauh merupakan alternatif dalam menyediakan informasi biofisik lahan kelautan sebagai salah satu upaya inventarisasi kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan. Penggunaan data citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial menengah mampu menyediakan informasi biofisik secara akurat sehingga dapat digunakan untuk mengindentifikasi objek hutan mangrove dengan objek vegetasi lainnya di Segara Anakan. Selain itu, citra penginderaan jauh juga digunakan untuk mengetahui akurasi dan tingkat kerapatan kanopi hutan mangrove pada wilayah kajian secara lebih akurat. Kerapatan kanopi hutan mangrove sendiri dapat diketahui melalui perhitungan algoritma indeks vegetasi yang didapatkan dari interaksi pola spektral vegetasi mangrove. Informasi pola dan nilai spektral pada citra satelit dapat diekstraksi menjadi informasi objek jenis mangrove pada kisaran spektrum tampak dan inframerah dekat. Hal ini nanti yang akan diproses 5

dengan algoritma indeks vegetasi lalu akan menghasilkan informasi kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan. Penggunaan citra satelit penginderaan jauh Landsat 8 OLI (Operational Land Imager) yang merupakan Landsat generasi ke-8, diharapkan dapat membantu dalam mengindentifikasi objek hutan mangrove dengan objek vegetasi lainnya di Segara Anakan serta mengetahui akurasi dan tingkat kerapatan kanopi hutan mangrove pada wilayah kajian secara lebih akurat. Selain itu, dengan adanya saluran spektral yang lengkap dari visible, near infrared, shortwave infrared, dan thermal infrared, identifikasi kerapatan kanopi hutan mangrove dinilai sangat baik karena ketersediaan kemampuan panjang gelombang dari saluran yang ada pada Landsat 8. Identifikasi kerapatan kanopi hutan mangrove dapat memanfaatkan beberapa transformasi indeks vegetasi yang memiliki karakteristik masing-masing. Akan tetapi dalam penelitian ini, transformasi indeks vegetasi yang dimanfaatkan adalah transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Hal tersebut karena transformasi NDVI merupakan transformasi yang paling efektif digunakan untuk monitoring atau pemantauan kondisi dan kerapatan mangrove (Faizal et al., 2005) Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Berapa akurasi citra satelit Landsat 8 OLI dalam mengekstrasi informasi objek kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan dengan menggunakan transformasi indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)? 2. Bagaimana tingkat kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan? 6

1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui tingkat akurasi citra satelit Landsat 8 OLI (Operational Land Imager) untuk mengindentifikasi kerapatan kanopi hutan mangrove dengan menggunakan transformasi indeks vegetasi NDVI. 2. Memetakan tingkat kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Teoritis 1. Memberikan informasi mengenai tingkat akurasi citra satelit Landsat 8 OLI (Operational Land Imager) untuk mengindentifikasi kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan melalui pendekatan transformasi indeks vegetasi NDVI. 2. Memberikan visualisasi mengenai tingkat kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan. 1.4.2. Praktis 1.4.2.1. Bagi Penulis a. Menambah wawasan baru mengenai pemanfaatan citra satelit Landsat 8 OLI untuk mengindetifikasi kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan. b. Memperjelas pemahaman tentang penggunaan transformasi indeks vegetasi NDVI yang diterapkan dalam vegetasi mangrove. 1.4.2.2. Bagi Lembaga Pendidikan a. Sebagai data masukan yang dapat digunakan untuk penentu kebijakan dalam lembaga pendidikan, serta pemerintah secara umum. 7

b. Sebagai bahan pertimbangan yang dapat diterapkan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan berkurangannya lahan hutan mangrove di Segara Anakan. 1.4.2.3. Bagi Ilmu Pengetahuan a. Menambah wawasan keilmuan tentang tingkat kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan tahun 2016 dengan memanfaatkan transformasi indeks vegetasi NDVI. b. Sebagai bahan referensi dalam ilmu bidang kelautan dan perikanan khususnya vegetasi mangrove sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan. 1.4.2.4. Bagi Peneliti Berikutnya Sebagai bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut, serta referensi terhadap penelitian yang sejenis yaitu pemanfaatan citra Landsat 8 OLI untuk pemetaan kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan. 1.5. Hasil Yang Diharapkan 1. Tabel tingkat akurasi citra satelit Landsat 8 OLI (Operational Land Imager) untuk mengindentifikasi kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan melalui pendekatan transformasi indeks vegetasi NDVI. 2. Peta tingkat kerapatan kanopi hutan mangrove di Segara Anakan skala 1 : 100.000. 8