BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik (Aqib, 2013). Menurut Siswono (2001, dalam Contesa 2012) WHO menunjukkan bahwa beban yang ditimbulkan gangguan jiwa sangat besar, dimana terjadi global burden of disease akibat masalah kesehatan jiwa mencapai 8,1%. Angka ini lebih tinggi dari TBC (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%), dan malaria (2,6%). Keluarga merupakan tempat pertama anak mendapatkan pendidikan. Orang tua pada umumnya memberikan pelayanan kepada putri dan putranya sesuai dengan kebutuhan mereka. Ada kalanya orang-orang tua sangat memanjakan, ada pula yang bertindak keras. Namun demikian, bagi keluarga yang mengerti tentang kesehatan mental akan mendidik putra-putrinya sesuai dengan perkembangan kemampuan dan kesenangan serta kepuasan mereka (Sundari, 2005). Di keluarga, anak berinteraksi dengan orang tua (atau pengganti orang tua) dan segenap anggota keluarga lainnya. Ia memperoleh pendidikan informal, berupa pembentukan pembiasaan-pembiasaan (habit formations). Pendidikan informal dalam keluarga akan banyak membantu dalam meletakkan dasar pembentukan kepribadian anak (Gunawan, 2010).
Notoatmodjo (2010) mengatakan keluarga merupakan lingkungan sosial yang paling dekat dengan pasien. Proses penyembuhan dan terutama pemulihan terjadi bukan hanya semata-mata karena faktor rumah sakit, tetapi juga faktor keluarga. Semua anggota keluarga terlibat di dalam problem yang dihadapi, karena itu seharusnya perlu untuk mendapatkan solusinya. Sebagian para ahli terapi keluarga mempertimbangkan bahwa problem seorang anggota keluarga disebabkan oleh hubungannya dalam keluarga, sementara yang lain melihat problem seorang anggota keluarga sebagai neurotik dari seluruh anggota keluarga (Aqib, 2013). Karakteristik keluarga dapat dikembangkan berdasarkan pendidikan orang tua, penghasilan orang tua, dan tipe keluarga. Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung akan mendapatkan informasi yang lebih banyak sehingga dalam memberikan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan dan permasalahan dalam keluarga akan lebih baik pula (Harlock, 1999 dalam Anonim, 2012). Pendidikan yang tinggi pada ibu, ibu sangat mempengaruhi perilaku remaja, ibu yang berpendidikan tinggi memiliki kemampuan kognitif yang lebih tinggi dan mendapatkan informasi yang lebih baik, sehingga mampu memberikan keputusan yang terkait dengan masalah remaja ( Harlock, 1999 ). Ibu sebagai pilar rumah tangga tentu memiliki peran formal yaitu sebagai ibu rumah tangga dan juga sebagai pengasuh anak. Mendidik dan mengasuh anak bukanlah suatu hal
yang mudah, mengingat anak-anak terutama remaja memiliki keunikan masingmasing (Anonim, 2012). Pendidikan yang tinggi pada ibu, juga memiliki peluang bagi ibu untuk mendapatkan pekerjaan. Ibu yang bekerja pada umumnya memiliki pendidikan yang lebih baik, sehingga kualitas pengasuhan juga lebih baik, meskipun dalam segi kuantitas frekuensi keberadaan didalam rumah lebih sedikit dibandingkan ibu yang tidak bekerja (Ariani, 2006 dalam Anonim 2012). Posisi seorang ayah dalam keluarga memilki peran formal sebagai pencari nafkah dan peran informal sebagai pelindung keluarga, pendorong, dan pengambil keputusan. Budaya Indonesia peran bapak masih dominan dalam berbagai segi kehidupan dan pengambil keputusan. Keputusan-keputusan yang diambil berkaitan dengan pengasuhan yang diberikan pada anggota keluarga masih banyak ditentukan oleh bapak. Keputusan akan semakin baik apabila bapak memilki wawasan dan pendidikan yang memadai (Ariani, 2006, dalam Anonim, 2012). Secara garis besar penyebab gangguan jiwa dibagi menjadi tiga, yaitu faktor organobiologi, psikoedukatif dan sosiodemografi. Faktor sosiodemografi meliputi usia, jenis kelamin, kepadatan penduduk, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, ekonomi keluarga dan persepsi peringkat sosial. Menurut Riskesdas (2013), prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat 14,3 persen, terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Data dari 33 rumah sakit jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang (Mubarta, 2011). Kepadatan penduduk yang tinggi merupakan suatu stresor lingkungan yang memberikan dampak bagi manusia baik secara fisik, sosial, maupun psikis. Dampak psikis meliputi perasaan negatif, cemas, stres, menarik diri dan perilaku agresif. Gangguan jiwa ringan banyak diderita kaum perempuan, yaitu dua kali lebih banyak dibanding laki-laki. Sedangkan gangguan jiwa berat pada perempuan lebih ringan dibanding laki-laki. Gangguan jiwa banyak dialami oleh penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun karena pada usia tersebut memiliki pola psikis yang labil kemudian dilanjutkan dengan beban psikis yang lebih banyak (Mubarta, 2011). Jenis-jenis gangguan jiwa yang termasuk dalam ruang lingkup kesehatan jiwa masyarakat tercantum dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi Ketiga (PPDGJ-III) tahun 1995 atau chapter F00-F99 dari International Classification of Diseases (ICD-X) antara lain: Gangguan mental dan perilaku, skizofrenia, gangguan neurosis lainnya (gangguan psikosomatik dan ansietas), gangguan mental organik (demensia/alzheimer, delirium, epilepsi, paska stroke dan lain-lain), gangguan jiwa anak dan remaja serta retardasi mental (Mubarta, 2011). Penelitian Brenner (1979, dalam Hawari, 2011), mengemukakan bahwa untuk setiap 1% kenaikan pengangguran di Amerika Serikat tercatat jumlah
pasien baru laki-laki yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa naik 4,3%, jumlah pasien baru perempuan yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa naik 2,3%. Penelitian Yip (2005, dalam Contesa, 2012) yang dilakukannya di Cina terhadap keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa, diperoleh bahwa 90% keikutsertaan keluarga dalam pengobatan psikiatris dan rehabilitasi klien mampu mengembalikan kondisi klien ke keadaan normal. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan 18 Nopember 2013 pada beberapa orang dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di RS Jiwa Propsu Medan diketahui bahwa ada beberapa masalah yang teridentifikasi pada keluarga dengan karakteristik usia orang tua yang masih muda, pendidikan rendah, orang tua yang bekerja di swasta dengan penghasilan rendah dan mempunyai jumlah anggota keluarga yang banyak (lebih dari 2 orang), kebiasaan dan kepercayaan suku bangsa dan agama tertentu pada orang yang mengalami gangguan jiwa, kondisi yang dapat dilihat yaitu meningkatnya stres dan tingkat kecemasan keluarga, sesama keluarga saling menyalahkan, kesulitan pemahaman (kurangnya pengetahuan keluarga) dalam menerima sakit yang diderita oleh anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dan pengaturan sejumlah waktu dan energi keluarga dalam menjaga serta merawat penderita gangguan jiwa dan jumlah keuangan keluarga yang akan dihabiskan untuk biaya perobatan pada penderita gangguan jiwa. Melihat kondisi ini peneliti ingin melakukan pengkajian yang lebih lanjut tentang seberapa dalam karakteristik keluarga dapat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi klien gangguan jiwa.
Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti ingin mengetahui bagaimana hubungan karakteristik keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Poliklinik RS Jiwa Propsu Medan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah diatas, maka penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik keluarga penderita gangguan jiwa? 2. Bagaimana tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa? 3. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga terhadap tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa? 1.3. Tujuan Penelitian a. Untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga klien gangguan jiwa. b. Untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. c. Untuk mengidentifikasi hubungan usia kepala keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. d. Untuk mengidentifikasi hubungan pendidikan kepala keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
e. Untuk mengidentifikasi hubungan pekerjaan kepala keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. f. Untuk mengidentifikasi hubungan penghasilan kepala keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Praktik Keperawatan Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan sebagai data dasar dalam melakukan intervensi pada keluarga klien gangguan jiwa yang berkaitan dengan peningkatan kesembuhan klien dan sebagai peningkatan motivasi terhadap perawat untuk melakukan kunjungan rumah. 1.4.2. Bagi Penelitian Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang berharga bagi peneliti, sehingga dapat menerapkan pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk penelitian yang akan datang mengenai program perawatan klien gangguan jiwa beserta keluarganya. 1.4.3. Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan di bagian keperawatan jiwa dan keperawatan komunitas dalam hal pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga gangguan jiwa.